Pergeseran Nilai Hukum Adat Terhadap Hak Mewarisi Anak

D. Pergeseran Nilai Hukum Adat Terhadap Hak Mewarisi Anak

Perempuan di Sipirok Hukum adat itu adalah untuk kebutuhan masyarakat dan individu-individu dalam masyarakat, maka banyak diantara unsur-unsur adat itu yang sudah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan masyarakat itu terutama terjadi sesudah adanya perpindahan orang-orang Sipirok ke daerah lain dan kota-kota besar dan ditambah pula dengan adanya pengaruh-pengaruh lain. Bahwa Hukum Adat itu bersifat dinamis yaitu mengikuti perkembangan zaman, demikian pula halnya dengan Hukum Adat Angkola di Sipirok. Hal-hal yang menyebabkan ke arah terjadinya perkembangan Hukum Waris Adat Angkola di Sipirok adalah :

1. Hukum Waris Adat Patrilineal

Anak lelaki sebagai waris dapat diketahui dalam sistem kekerabatan Patrilineal dimana kebanyakan berlaku bentuk perkawinan jujur seperti terdapat di tanah Batak, Lampung, Bali. Di daerah-daerah tersebut pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak lelaki, terutama anak-anak lelaki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai waris tetapi dapat sebagai penerima bagian harta warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan kedalam perkawinannya mengikuti pihak suami. Menurut keputusan Landraad Padang Sidempuan tanggal 10 Mei 1937 No. 21 yang dikuatkan Raad Van Justitie Padang tanggal 13 Januari 1938 dinyatakan bahwa “anak – anak perempuan bukan ahli waris dari bapaknya, terkecuali bila mereka dengan menyimpang dari ketentuan tadi harus dianggap sebagai ahli waris”. Penyimpangan yang dimaksud bisa terjadi misalnya dikarenakan pewaris tidak mempunyai anak lelaki tetapi hanya mempunyai anak perempuan, sebagaimana yang berlaku di Lampung – perpadun maka salah seorang anak perempuan terutama yang sulung dijadikan berkedudukan sebagai anak lelaki dengan melakukan perkawinan ambil suami ngaguk ragah atau meminjam jantan nginjam jaguk. Dari perkawinan itu kelak apabila mendapat anak lelaki maka anak inilah yang menjadi waris dari kakeknya. Demikian seterusnya para waris itu harus keturunan lelaki. Apabila pewaris tidak punya keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak lelaki dari saudara kandungnya lelaki yang terdekat, demikian seterusnya sehingga hanya anak lelaki yang menjadi waris, dimana segala sesuatunya harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. Kelihatannya bahwa pada masyarakat yang menganut prinsip garis keturunan Patrilineal tetapi ini tidak juga selalu, ahli warisnya adalah laki-laki saja. Di Batak, yang merupakan ahli waris itu hanyalah anak laki-laki saja, demikian juga di Bali, tetapi di Bali selain anak laki-laki kandung juga tergolong sebagai ahli waris adalah anak laki-laki angkat. Dengan demikian, pada masyarakat Batak, Bali dan Lampung, anak perempuan dan janda juga di Sumatera Selatan bukanlah sebagai ahli waris. Dalam masyarakat Batak Karo, hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan diluar dari golongan Patrilinealnya semula, sesudah mereka itu kawin. Terdapat beberapa argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat Patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewarisi. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya”. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu : 1. Emas kawin tukur, yang membuktikan bahwa perempuan dijual: 2. Adat lakoman levirat yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal; 3. Perempuan tidak mendapat warisan; 4. Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tiupan, dan lain-lain. Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab “terbukti dalam cerita dan dalam kesusastraan klasik Karo kaum wanita tidak kalah perananya dibandingkan dengan kaum laki-laki”. Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat Karo, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah keturunan keluarga; 2. Dalam rumah tangga, istri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga marga ayah. Istri digolongkan kedalam keluarga marga suaminya; 3. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua ayahnya sebab ia masuk anggota keluarga suaminya; 4. Dalam adat, kalimbubu laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua ibu; 5. Apabila terjadi perceraian, suami-istri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda. Di dalam masyarakat Karo, seperti juga masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan yang sama, apabila anak perempuan sudah menikah, ia tergolong kelompok suaminya. Anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan anak boru, seperti halnya dengan suaminya dan saudara-saudaranya yang semarga. Sehubungan dengan itu, hanya anak laki-laki yang akan menerima warisan dari orang tuanya dan disini menunjukkan, bahwa kaum wanita Karo mempunyai harga diri yang cukup besar serta mempunyai sifat mampu berdiri sendiri yang mengagumkan. Meskipun demikian tidak berarti bahwa hak-hak kaum wanita pada masyarakat yang mempunyai sistem Patrilineal menjadi tertekan. Peranan kaum wanita Karo sejak dahulu sudah terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan ekonomi, pertanian, perdagangan. Tetapi walau bagaimanapun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dalam pergaulan pada masyarakat, dapat dilihat dari peranan yang dipegangnya di dalam masyarakat. Selain itu sistem sosial suatu masyarakat juga sangat menentukan sejauh mana wanita diberi kesempatan untuk melaksanakan peranannya. Namun demikian, dalam hukum adat Karo, meskipun hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya, tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut berdasarkan pada prinsip bahwa orang tua bebas untuk menentukan atau membagi-bagi harta bendanya kepada anak-anaknya secara bijaksana dengan tidak membedakan kasih sayang. Berkaitan dengan hukum adat waris Tanah Karo yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No. 179 K Sip 1961 telah terjadi upaya kearah proses persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana sini putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut. Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut di atas, antara lain : 1. “Menimbang, bahwa keberatan – keberatan tersebut berdasarkan atas tanggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya”. 2. “Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki – laki dari seorang peninggal warisan, bersama – sama berhak atas warisan, dalam arti bahwa anak laki – laki sama dengan anak perempuan”. 3. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orang tuanya’. Juga keputusan Mahkamah Agung No. 100 K Sip 1967 tanggal 14-06- 1968, yang menyatakan bahwa : “… karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju kearah persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurisprudensi yang dianut oleh Mahkamah Agung…”. Dengan demikian, menurut Mahkamah Agung anak perempuan dan janda dinyatakan sebagai ahli waris. Bagaimanakah kenyataannya sekarang ini. Oleh karena keputusan Mahkamah Agung No. 179 K Sip 1961 itu dibuat untuk kasus yang terjadi pada masyarakat di tanah Karo.

2. Hukum Waris Adat Matrilineal

Kebalikan dari pewarrisan dalam sistem kekerabatan Patrilineal ialah pewarisan pada anak-anak wanita yang berlaku pada sistem kekerabatan Matrilineal, dimana bentuk perkawinan semanda yang berlaku dan suami setelah perkawinan mengikuti kedudukan istri atau tidak termasuk kekerabatan istri seperti berlaku di Minangkabau. Di Minangkabau sebagai waris adalah anak wanita, demikian pula di daerah Semendo Sumatera Selatan atau di lingkungan masyarakat adat Lampung peminggir. Hanya di Minangkabau seorang ibu mewarisi anak wanitanya sedangkan bapak mewarisi saudara wanita atau kemenakan dari saudara wanitanya, di daerah Semendo ayah ibu mewarisi hanya pada anak-anak wanitanya. Apabila pewaris tidak mempunyai anak wanita tetapi hanya mempunyai anak-anak pria saja, sebagaimana berlaku di daerah semendo maka salah seorang anak lelaki diambilkan wanita sebagai isterinya dalam bentuk perkawinan semendo ngangkit “Mirip serupa ini terdapat pula di perbatasan Minangkabau dan Mandailing dimana anak lelaki Minang melakukan perkawinan jujur dengan wanita Mandailing, sehingga dengan demikian si wanita dapat meneruskan kedudukan sebagai waris dari orang tuanya”. Seperti halnya dapat terjadi penyimpangan dalam kekerabatan Patrilineal dimana pewaris, memberi hibah wasiat kepada anak-anak wanita, demikian pula dalam kekerabatan Matrilineal terjadi dimana pewaris memberi hibahwasiat kepada anak-anak lelaki oleh pewaris ibu atau oleh pewaris ayah kepada anak perempuannya bukan pada keponakan di Minangkabau. Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu disebabkan karena kekhasan dan keunikannya bila dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Sistem kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi. Misalnya harta pencaharian yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko, akan jatuh kepada pembelinya sebagai harta pusaka rendah jika pemilik harta pencaharian itu meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh keponakannya. Masyarakat Minangkabau menurut adatnya melaksanakan hukum waris keponakan, sedangkan agama yang dipeluk oleh masyarakat memiliki pula hukum waris melalui anak pada umum yaitu Faraidh. Akan tetapi hukum waris keponakan di Minangkabau tidak melanggar hukum Faraidh sebab di dalam masyarakat Minangkabau tidak terdapat gezin dalam satu kesatuan unit yang lebih besar masyarakat masih berkaum, berkeluarga, berkampung, dan bersuku. Sedangkan gezin, family itu relatif sedikit sebab meskipun ada gezin, si ayah tetap menjadi anggota kaumnya. Demikian pula si ibu masih tetap menjadi anggota keluarganya. Yang dimaksud dengan lingkungan sanak di dalam susunan tertib hukum ibu di Minangkabau ialah semua orang-orang yang satu sama lain diikat oleh pertalian darah, dilihat dari keturunan seorang ibu. Dalam perkawinan di Minangkabau, “Masing-masing orang yang kawin itu tidak memutuskan pertalian dengan lingkungannya, si isteri masih tetap berada di dalam hubungan dengan paruiknya, demikian juga si suami tetap tinggal dalam hubungan dengan paruiknya”. Setiap anak yang lahir dari perkawinan langsung menjadi anggota paruik ibunya, anak-anak tersebut langsung termasuk suku dari ibunya. Penambahan jumlah anggota dari paruik ibunya apabila anak-anak tersebut anak perempuan, mereka adalah pendiri dari jurai-jurai baru yang kemudian sepanjang perjalanan masa akan menimbulkan paruik yang baru. Di dalam perkawinan istri pun tidak masuk ke dalam lingkungan si suami, sebagaimana dapat kita lihat di dalam tertib susunan orang Batak. Semua anggota dari sebuah paruik, satu sama lain mereka merupakan sudaro, dan sebagai sebuah payuang mereka berada di bawah perlindungan seorang penghulu. Istri serta anak-anak tinggal bersama-sama di dalam rumah keluarga serta dari ibunya rumah gadang. Di dalam rumah gadang tersebut tinggal juga sanak-sanak perempuan dari istri-istri serta anak laki-lakinya yang belum kawin, semuanya mereka ini berada di bawah kekuasaan lingkungan keluarga, di bawah kekuasaan mamak. Perkawinan bagi si istri tidak memutuskan pertalian dengan lingkungan keluarganya, terhadap wanita-wanita yang sudah kawin ini pun, mamak masih mempunyai kekuasaan, mamak tetap tinggal sebagai kepala keluarga jurai baik pun anggota-anggotanya kawin atau belum, serta terhadap anak-anak dari wanita- wanita yang telah kawin tadi mamak tetap mempunyai kekuasaan yaitu sebagai mamak terhadap segala keponakannya, juga terhadap segala anak-anak yang nantinya lahir dari keponakan-keponakannya yang perempuan. Si suami sebagai bapak tetap tinggal di dalam lingkungannya, tetap merupakan bagian dari jurainya merupakan bagian dari paruik ibunya pula di sana si suami tadi juga merupakan mamak dari segala keponakan-keponakannya”. Dikarenakan, anak-anak termasuk dalam clan ibunya, sehingga hak waris anaknya menurut hukum waris tanpa ada surat wasiat, atas harta peninggalan bapaknya orang tua laki-laki adalah tidak mungkin sama sekali. Anak-anak tidak merupakan ahli waris dari orang tuanya secara utuh, akan tetapi hanya mewarisi dari ibunya. Tetapi, selain dari anak kandung, maka family atau kerabat juga sebagai ahli dapat dimiliki oleh warga keluarga itu secara individual. Apabila seorang istri itu meninggal dunia dan misalnya ia mempunya sebidang sawah, maka sawah itu menjadi harta pusaka dari anak-anak kandungannya, harta pusaka ini dinamakan harta generasi pertama, atau juga disebut harta suko, juga sering disebut dengan harta pusaka rendah. Apabila yang meninggal dunia itu adalah seorang suami, maka harta itu tidak menjadi harta pusaka dari anak-anak kandungnya, akan tetapi merupakan harta pusaka dari keluarga si suami itu sendiri, yaitu saudara-saudara kandungannya.

E. Hambatan Hak Mewarisi Anak Perempuan Pada Masyarakat Angkola