anak perempuan tidak karena anak perempuan dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika anak perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan
masuk ke dalam margaclan suaminya. Selama anak perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya.
Dalam masyarakat Angkola di Sipirok yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris ayahnya.
Anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah. Oleh karena itu, apabila dalam sebuah keluarga hanya mempunyai anak
perempuan maka keluarga tersebut dianggap punah. Kedudukan suami dan istri di dalam rumah tangga dan masyarakat adalah tidak seimbang ini karena pengaruh
dari sistem kekeluargaan Patrilineal yang dianut oleh masyarakat Angkola di Sipirok.
D. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179KSIP1961
Pada dasarnya menurut hukum adat hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam perorangan adalah sama, hak dari seorang istri sama saja
dengan suaminya, istri dapat bertindak sendiri dalam bidang hukum tanpa bantuan ataupun pemberian kuasa dari suaminya. Artinya istri dapat mengikatkan sendiri
dalam perbuatan hukum tanpa bantuan ataupun kuasa suaminya.
47
Namun dalam sistem kekerabatan Patrilineal masyarakat Angkola di Sipirok, anak laki-laki dan anak perempuan memilki tanggung jawab yang
46
W.J.S. Poerwadarminta, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta. balai Pustaka, 1976, hal 38.
berbeda terhadap clannya. Anak laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya sedangkan anak perempuan mengenal dua clan yaitu clan ayahnya
dan clan suaminya. Dengan demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut maka posisi perempuan adalah ambigu atau tidak jelas karena
meskipun berhubungan dengan keduanya tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut.
48
Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama dengan anak laki-laki sehingga perlakuan adil harus diberikan sama dengan anak
laki-laki, namun dalam hal pewarisan arti adil tadi tidak diberikan sama antara anak lakilaki dan anak perempuan. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan konsep
Raja Parhata yaitu ahli waris selalu mengacu kepada anak laki-laki karena dialah yang dianggap bertanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan marga dari
ayahnya, kemudian anak perempuan dianggap menjadi anggota clan suaminya menjadi marga lain.
Seiring dengan perkembangan zaman, di dalam pembagian harta warisan adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan mulai dirasakan oleh anak
perempuan di dalam sistem kekerabatan Patrilineal, maka melalui pendidikan dan pengetahuannya kaum wanita melakukan penolakan resistensi terhadap sistem
kekerabatan Patrilineal, yaitu mereka tidak begitu saja tunduk kepada ketentuan hukum adat tradisionalnya, khususnya di dalam pembagian harta warisan.
Sehingga banyak konflik mengenai harta, dan kaum wanita memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa warisan, dalam berbagai upaya
47
Syafera Mairita Achmad, “Tinjauan Yuridis Mengenai Hak dan Kedudukan Janda dan Anak Perempuan di Bidang Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata”, Tesis
Mahasiswa. Magister kenotariatan Universitas Indonesia, 2003, hal 25
untuk memperoleh bagian dari harta ayah ataupun suami yang akhirnya keluarlah berbagai yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris anak perempuan dalam
masyarakat dengan sistem kekerabatan Patriilneal seperti pada masyarakat Batak.
49
De-sakralisasi
50
hukum adat terjadi melalui lahirnya vonis-vonis hakim negara yang memberi kemenangan kepada perempuan dengan berbagai dasar
pertimbangan pada dasarnya mengesampingkan substansi Hukum Adat. Putusan yang memberi win-win solutions kompromi kepada semua pihak menunjukkan
bahwa sedang berlangsung proses perubahan dikalangan masyarakat Batak Toba berkenaan dengan masalah pewarisan, tetapi putusan yang memberikan dampak
kekalahan bagi perempuan menunjukkan bahwa substansi dari hukum adat masih bertahan dan hal ini menyebabkan perempuan menunjukkan penolakannya
terhadap Patrilineal, perempuan pada masyarakat Angkola di sipirok gigih untuk keluar dari kungkungan adat yang membatasi aksesnya terhadap harta warisan.
51
Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan
hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang memberikan hak mewaris kepada anak perempuan Batak. Hukum adat selalu
menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumber-sumber hukum
yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundang-undangan, kebiasaan, dan perumusan dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.
48
Sulistyowati Irianto, “Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum”, Disertasi Antropologi. Universitas Indonesia, 2000, hal 9
49
Togar Nainggolan, “Batak Toba Di Jakarta”, Jakarta: BM, 1990, hal. 210
50
W.J.S. Poerwadarminta, Op Cit hal. 197
Yurisprudensi disebut sebagai faktor pembentukan hukum yang dalam praktek berfungsi untuk mengubah, memperjelas, menghapus, menciptakan, atau
mengukuhkan hukum yang hidup dalam masyarakat.
52
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa “yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya judicature rechtspraak yaitu pelaksanaan hukum dalam hal
konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan atau siapapun dengan
cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.”
53
Dengan demikian yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang
merupakan produk yudikatif yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan karena itu yurisprudensi yang lahir dari
adanya putusan hakim dalam suatu kasus tertentu dapat dijadikan dasar hukum atau sumber hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang serupa dikemudian
hari.
54
Perkembangan Hukum Waris adat yang cukup penting untuk diketahui adalah terkait dengan lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.179KSIP1961 selanjutnya disebut MARI yang melahirkan penemuan hukum adanya persamaan hak mewaris antara anak laki-laki dan anak
perempuan pada masyarakat Patrilineal Batak. Dalam perkembangannya Melalui putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.179KSip1961,
55
tanggal 23 Oktober 1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak pewarisan antara anak laki-laki dengan anak perempuan
51
Ibid Hal. 221
52
Soerjono Soekanto, “Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat”, Jakarta: Academica, 1979, hal 24,
53
Sudikno Mertokusumo, “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1983, hal 179
54
Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, Yogyakarta: Liberty, 1999,hal 104
55
Putusan Hakim yang memberi hak mewaris kepada anak perempuan Batak pertama kali adalah putusan Mahkamah Agung untuk suatu kasus tanah pada tahun 1961 di Tanah Karo
suatu putusan atas kasus di Tanah Karo, meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru
menyetujui hal tersebut kemudian diikuti beberapa putusan-putusan Mahkamah Agung yang subtansinya mengakui dan memberikan kedudukan hak mewaris bagi
anak perempuan pada masyarakat Patrilineal Batak, seperti : 1.
Pambaenan penyerahan tanpa melepaskan hak milik harus dianggap sebagi usaha untuk memperlunak Hukum Adat di masa sebelum perang
dunia ke II, dimana seorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris. Hukum Adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian
hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki, perkembangan mana sudah diperkuat pula dengan sutu yurisprudensi tetap
mengenai Hukum Waris di daerah tersebut.
56
2. Di Tapanuli Selatan terdapat “Lembaga Holong Ate” yaitu pemberian
sebahagian dari harta warisan menurut rasa keadilan kepada anak perempuan apabila seseorang meninggal dunia tanpa keturunan laki-laki.
57
Bahwa ini semua merupakan gejala pergeseran hak mewaris anak perempuan pada masyarakat suku Batak dan yang menjadi tonggak perubahan
persamaan hak mewaris didalam hukum waris adat Batak adalah Yurisprudensi MA-RI Nomor 179KSIP1961 seperti yang disebutkan di atas.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak mempunyai kapasitas dalam hukum adat, namun bagaimanapun kehadirannya mempengaruhi
hukum adat tersebut, yaitu memberi hak mewaris bagi anak perempuan, sehingga memberi pengaruh bagi masyarakat Patrilineal, karena dengan adanya
56
Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 415KSIP1970, tanggal 30 Juni 1971
57
Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 528KSIP1972, tanggal 17 Januari 1973
Yurisprudensi tersebut meningkatkan bargaining power nilai tawar anak perempuan, sehingga saudara laki-lakinya tidak menyepelekan saudara
perempuannya. Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung
Nomor 179KSIP1961 dalam putusan tersebut, antara lain: 1.
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup,
bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orangtuanya.
2. Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa
prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan
menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-
sama berhak atas warisan, dalam arti bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan.
3. Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari
MahkamahAgung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari
orangtuanya.
BAB IV HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM WARIS