Konsep Sy njrƗ Perspektif Hasan Al-Banna

BAB IV KONSEP SY

NjRƖ PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA YANG TERAPLIKASI PADA GERAKAN POLITIK IKHWANUL MUSLIMIN

A. Konsep Sy njrƗ Perspektif Hasan Al-Banna

1 Pelaksana Sy njrƗ Hasan al-Banna merupakan pemikir dan pemimpin umat Mesir pada saat itu. Pemikiran-pemikiran beliau dituangkan dan direalisasikan melalui sebuah pergerakan berpengaruh, yaitu Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin yang merupakan manifestasi dari pemikiran Hasan al-Banna memiliki pendapat sendiri dalam menentukan siapa seharusnya yang melakukan sy ūrā dalam mengambil sebuah keputusan. Bagi gerakan yang dipelopori oleh Imam Hasan Al-Banna ini, Ikhwan memiliki pemikiran yang berbeda dengan pendapat para terdahulunya yang dimana keputusan terakhir ada ditangan khalifah. 69 Pernyataan tersebut merujuk pada perkataan al-Banna yang mengungkapkan bahwa “Diantara hak umat Islam adalah melakukan kontrol terhadap pemerintah dengan secermat-cermatnya dan mengarahkannya kearah kebaikan. Pemerintah hendaknya bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dan mengambil yang baik dari masukan-masukannya. Allah Swt telah memerintahkan kepada para oknum pemerintah agar melakukan hal itu”. 70 69 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, cet. Ke-2, h.325 Tidak ada mekanisme yang baku dalam sy ūrā, jadi walaupun keputusan terakhir ada di tangan khalifah, khalifah pun tetap berdasarkan atas suara terbanyak atau mayoritas. 70 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna, Penerjemah Wahid Ahmadi, Solo: Era Intermedia, 2001, cet. Ke-1, h. 262 Melalui pernyataannya tersebut dapat terlihat bahwa pelaksana utama sy ūrā menurut Hasan al-Banna adalah pemerintah atau para pemimpin yang menjabat pada suatu negara atau suatu kelompok. Pernyataan ini dimaksudkan bahwa sistem sy ūrā tidak hanya berlaku pada dunia pemerintahan atau konteks kenegaraan saja namun juga akan berlaku pada setiap kelompok yang dimana sedang mencari sebuah kesepakatan dari suatu permasalahan. Namun yang pasti dalam suatu musyawarah harus terdiri dari tiga rukun utama, yaitu: 1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum mereka di dalam kata wa syawirhun. 2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana. 3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab orang kedua pada kalimat faidza azamta fatawakkal alallah... Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin. 71 Melihat pentingnya makna melakukan sy ūrā Muhammad Hamidullah menempatkan hal tersebut pada kerangka yang lebih luas: Makna penting dan manfaat musyawarah harus ditekankan. Al-Qur’an berulang- ulang memerintahkan kaum muslim untuk mengambil keputusan setelah bermusyawarah, baik dalam forum terbuka maupun tertutup…Al-Qur’an tidak menetapkan metode yang keras atau cepat. Jumlah, bentuk pemilihan, jangka 71 Abi Abdullah, Kewajiban Melaksanakan Mentaati Syura’ Wujub Asy-Syura’dikutip dari http:www.al-shia.comhtmlidservicemaqalatmusyawarah-dalam-Islam.htm Al-Ikhwan.net | 28 February 2007 | 9 Safar 1428 H | Hits: 2,107 waktu perwakilan, dan sebagainya diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin dari setiap zaman dan Negara. Yang penting, musyawarah harus dihadiri oleh para tokoh yang menerima keperayaan dari rakyat yang mereka wakili dan memiliki integritas watak. 72 Muhammad Hamidullah tidak begitu focus dalam membahas seperti apa mekanisme dari kegiatan musyawarah tersebut. Namun ia menggaris bawahi bahwa diantara pelaksana sy ūrā harus terdapat para tokoh yang telah dipercaya oleh rakyat karena kemampuannya. Adapun bentuk dari penerapan musyawarah pada diri al-Banna dapat terbuktikan dengan dibentuknya Majelis Sy ūrā pada gerakan yang dipeloporinya serta terlaksananya musyawarah umum dalam tubuh gerakannya dalam membahas segala permasalahan. Baik itu permasalahan internal ataupun masalah umat secara keseluruhan. Selain pendapat Hasan, para tokoh Ikhwanul Muslimin pun mengutarakan pendapatnya sendiri dalam menentukan siapa pelaksana sy ūrā sesungguhnya. Menurut Abdul Qadir Audah, sy ūrā merupakan suatu kewajiban atas para penguasa. Penguasa yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya penguasa inti atau utama saja melainkan semua orang yang mempresentasikan kekuasaan eksekutif. Apabila Audah lebih me-spesifikasi-kan pada tataran penguasa di bidang eksekutif, Sayyid Qutub lebih luas dalam menjabarkan siapa pelaksana sy ūrā sesungguhnya. 73 Bagi Qutub, setiap pemimpin harus memiliki sifat sy ūrā. Dalam artian, setiap orang yang memiliki sifat kepemimpinan atau kekuasaan, maka ia diwajibkan untuk melakukan sy ūrā. Tidak hanya penguasa utama saja, melainkan juga termasuk 72 john L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim; Problem dan Prospek terj: Rahmani Aztuti, Bandung: Mizan, 1990, h. 33 73 Abdul Qadir Audah dan Sayyid Qutb merupakan dua diantara beberapa tokoh gerakan yang diprakarsai oleh Hasan Al-Banna yaitu gerakan Ikhwanul Musllimin. kepala Negara, perdana menteri, salah seorang menteri dan lain sebagainya. 74 Setiap perangkat Negara wajib untuk melakukan sy ūrā dalam mengambil sebuah keputusan. Karena mereka merupakan bagian dari negara, maka merekalah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan dari setiap persoalan warga negara. Perangkat negara yang dimaksudkan disini adalah setiap pemimpin bagi sekelompok orang, baik itu dalam ruang lingkup yang kecil ataupun yang besar. Ketika ia telah menyanggupi untuk menjadi pemimpin maka ia harus bertanggung jawab untuk selalu melakukan musyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan yang menyangkut orang banyak. 74 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, h. 325. 2 Anggota Sy njrƗ Dalam menentukan siapa saja yang dapat menjadi anggota sy ūrā, Imam Al-Banna berpendapat bahwa anggota sy ūrā terdiri atas tiga golongan, yaitu: 1 Para ahli fiqih yang mujtahid, yang pernyataan-pernyataannya diperhitungkan dalam fatwa dan pengambilan hukum. 2 Pakar yang berpengalaman dalam urusan publik. 3 Semua orang yang memiliki kepemimpinan terhadap orang lain, misalnya pimpinan golongan, kepala suku dan lain-lainnya. 75 Ketiga golongan diatas, disebut dengan nama Ahlul halli wal ‘aqdi. Ahlul halli wal ‘aqdi merupakan juru kunci dalam menentukan sebuah keputusan. Mereka terdiri dari angota sy ūrā yang sudah memilki tiga kriteria diatas. Hal ini jualah yang menjadi salah satu alasan bagi al-Banna untuk memutuskan mengikuti pemilu pada saat itu. Karena parlemen pada pemerintahan saat itu sudah dinilai telah menyusun langkah menuju ahlul hall wal aqdi, maka Islam tidak boleh menolak hal ini. Bagi Banna ahlul halli awal aqdi merupakan orang-orang pilihan yang telah teruji pengetahuannya. Sesungguhnya para penguasa sudah dapat dikatakan memperoleh kekuasaan yang sah apabila dalam pemilihannya melalui jalan sy ūrā dan di tetapkan oleh ahlul hall wal aqdi yang berfungsi sebagai wakil umat dan rakyat. Betapa pentingnya peran Ahlul halli wal Aqdi menurut Hasan al-Banna, hal tersebut sesuai dengan perkataannya yang mengatakan behwa “Pendapat pemimpin atau wakilnya yang tidak dilandasi nash, yang bisa ditafsiri oleh beberapa versi dan yang berkaitan dengan berbagai kemashlahatan yang tidak terbatas, boleh dipraktikkan”. 75 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, , h. 326. Disini sangat terlihat jelas bahwa betapa bermaknanya pendapat mereka, karena bagi al- Banna apapun keputusan mereka merupakan keputusan yang harus ditaati karena memang mereka adalah orang-orang pilihan. 76 Sedikit berbeda dengan Hasan, Al-Mawardi merujuk pada pendapat fuqaha Bashrah berpendapat bahwa syura boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Hal tersebut ia ungkapkan dengan merujuk pada sejarah pengangkatan Abu Bakar yang dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Saad, dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu di antaranya sebagai khalifah. Namun menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu diantara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. 77 Tidak ada ketentuan khusus untuk jumlah dari anggota sy ūrā, yang terpenting adalah anggota sy ūrā merupakan orang-orang pilihan yang berkualitas. Selain tiga kriteria diatas, Audah menambahkan bahwa alangkah lebih baiknya anggota sy ūrā merupakan tokoh-tokoh cendekiawan dalam Islam. disamping itu, ia pun mengatakan bahwa tidak ada jumlah tertentu dalam anggota sy ūrā, dan tidak ada pula cara tertentu untuk memilih mereka. Karena sy ūrā dilakukan untuk kepentingan umat, maka hal inipun sepenuhnya merupakan otoritas umat dalam menentukannya. Hanya saja menurut Audah, para anggota sy ūrā haruslah memiliki sifat adil, berpengetahuan serta memiliki pandangan atau pemikiran yang berkualitas. 78 Hal ini pun sesuai dengan pemikiran Abdul Qadir Djaelani yang telah 76 Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Al-KAutsar, 1999, cet. Ke-1, h. 104 77 Jalaluddin Rakhmat, Skisme dalam Islam Sebuah Telaah Ulang http:www.jalal- center.comindex.php?option=com_contenttask=viewid=99 78 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, h. 326. mengungkapkan masalah ini pada salah satu pasal di dalam undang-undang negara Islam yang berbunyi bahwa “anggota majelis sy ūrā terdiri atas orang-rang pilihan dan kualitas yang lebih tinggi.” 79 3 Mekanisme Sy njrƗ Tidak ada cara atau mekanisme khusus dalam pelaksanaan sy ūrā. Syūrā dapat dilakukan dengan berbagai cara disesuaikan pada situasi dan kondisi yang ada. Walaupun hal ini telah dijadikan senjata oleh Ibn Hazm untuk melumpuhkan sy ūrā. 80 Namun bagi Ikhwan ini merupakan kebebasan yang diberikan Allah Swt untuk manusia dalam memikirkannya. Sarana atau bentuk pelaksanaan merupakan teknis yang dapat berkembang dan bebas menurut kondisi umat dan peristiwa pada saat itu. Sesuai dengan pendapat Qutub yang mengatakan bahwa esensi lebih utama dibandingkan dengan kemasan luar dari sy ūrā tersebut. 81 Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa karena sy ūrā merupakan kewajiban bersama, maka penguasa dan rakyat harus menjalankannya sebagaimana fungsinya masing-masing. Penguasa harus memusyawarahkan segala urusan pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan individu dan umum dan rakyat harus dengan setia pula menyampaikan aspirasinya agar terjadi suatu kolaborasi yang serasi. Tidak ada yang lebih mondominasi dalam hal ini, hanya pendapat yang benar karena tidak menyimpang dari aturan agamalah yang wajib diikuti. Bagi kaum minoritas 79 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, cet. Ke-1, h. 447 80 Ibn Hazm adalah seorang ulama yang berotoritas keturunan Arab kelahiran Spanyol dan hidup pada abad ke-11. Ia menyatakan bahwa pemilihan untuk menetapkan seorang pengganti khalifah melalui suatu pemufakatan ‘‘ijma atau bahkan melalui suatu komite shur ā dapat mengakibatkan munculnya anarkhi. Lihat Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, h. 196 81 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, h. 329 yang memiliki pendapat berbeda harus mentaati pendapat mayoritas dan tidak boleh mementahkan pendapat yang sudah sampai pada tataran aplikasi, apabila ada ketidak sesuaian dan memiliki pendapat sendiri, maka kritik tersebut harus disampaikan pada saat diskusi berlangsung. Walaupun tidak ada mekanisme khusus dalam pelaksanaan sy ūrā, namun hal ini dapat dilihat dari isi pertemuan Majelis Sy ūrā gerakan Ikhwanul Muslimin yang selalu diwarnai oleh pemikiran sang imam Hasan al-Banna. Dari beberapa keputusan yang dihasilkan dalam kongres tersebut, terdapat dua point yang dengan jelas membahas tentang prinsip berdiskusi. Adapun isi dari point kedua prinsip tersebut ialah; “kita senantiasa mengingat prinsip-prinsip diskusi, yaitu meminta izin, bersikap tenang, menyampaikan pendapat secara ringkas, memberikan kebebasan kepada orang yang berbicara, tidak memotong pembicaraan, dan meninggalkan debat kusir dalam masalah-masalah parsial, sehingga masing-masing bisa menjelaskan pendapat dan mengemukakan alasan-alasan. Cukup itu saja yang bisa dilakukannya ketika hendak menolak pendapat saudaranya.” Prinsip diskusi yang cukup jelas diutarakan dalam point kedua tersebut ternyata masih dilanjutkan pada point ketiga yang lebih menjelaskan kepada dianjurkannya untuk berpikir panjang, tidak tergesa-gesa, menimbang perkataan dengan teliti dan berterus terang dalam menyampaikan pendapat, karena sesungguhnya kita semua hendak mencari kebaikan. 82 Selain prinsip diatas, al-Banna terlihat gemar untuk melakukan sy ūrā pada saat liburan dan malam hari. Karena pada malam menjelang dini hari merupakan waktu yang 82 Al-Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna untuk Dakwah dan Para Dainya, Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid, Solo: Intermedia, 2004 cet. Ke-4, h. 291 dapat membuat manusia berfikir tenang dan penuh dengan rasa berserah diri pada Allah swt. Untuk waktu liburan, al-Banna hanya bermaksud untuk mengisi liburan dengan suatu kegiatan yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan santai berleha-leha. Waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga, karena hidup adalah amanah.

B. Perbedaan Sy njrƗ dan Demokrasi menurut Hasan al-Banna