BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya untuk memegang prinsip sy
ūrā bermusyawarah dalam menjalani roda kehidupan. Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk mengikuti
prinsip tersebut, sy ūrā juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan Islam setelah
keadilan.
1
Karena sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, dan yang telah diketahui bersama bahwasanya Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang memiliki ruh pembangkit,
penguat dan tempat berpijak serta merupakan suatu undang-undang dan konsep-konsep global syumul yang dapat dijadikan acuan dalam mencari solusi bagi setiap
permasalahan umat muslim
2
, maka Nabi pun selalu menerapkan budaya musyawarah
3
di kalangan para sahabatnya. Walaupun beliau seorang Rasul, namun beliau amat gemar
berkonsultasi dengan para pengikutnya khususnya dalam soal-soal kemasyarakatan. Dalam hal ini Rasul tidak hanya mengacu pada satu pola saja, akan tetapi beliau
menyesuaikan dengan kondisi permasalahan yang ada. Adakalanya beliau merasa hanya harus berkonsultasi pada beberapa sahabat senior saja atau pada orang-orang yang
memang ahli atau profesional dalam hal yang dipersoalkan, namun tidak jarang pula
1
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 272
2
Sayyid Qutb, Fiqih Dakwah, Penerjemah Suwardi Effendi, Jakarta: Pustaka Amani, 1995, cet. Ke-2, h. 1
3
Sebenarnya Bangsa Arab telah mengenal system sy ūrā jauh sebelum Islam datang. Syūrā
merupakan salah satu tradisi suku-suku Arab yang sudah membumi dan turun-temurun hingga sekarang. Sy
ūrā muncul dan tumbuh bukan untuk menguasai kepala atau pemimpin suku, melainkan lebih merupakan mekanisme penjaringan ide-ide terbaik yang berlangsung di lembaga Majelis Permusyawaratan Suku. Lihat
KH. Husain Muhammad, Dawrah Fiqih Perempuan, Cirebon: Fahmina Institute, 2006, hal. 135
beliau melemparkan masalah-masalah pada pertemuan-pertemuan besar karena memang masalah tersebut memiliki dampak yang luas bagi masyarakat tersebut. Adapun beberapa
penerapan sy ūrā yang dilakukan oleh Nabi dapat terlihat dalam sejarah Pertempuran
Badar, Perjanjian Hudaibiyah, Masalah Tawanan Badar dan Perlakuan terhadap Jenazah Abdullah bin Ubayi bin Salul.
4
Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip sy
ūrā, beberapa hadistpun telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan sy
ūrā, karena dengan syūrā maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk
kemaslahatan individu maupun kelompok serta Negara akan dengan mudah didapatkan.
5
Dengan melihat beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep sy ūrā, maka hal
itulah yang kemudian melatar belakangi pemikiran para intelektual muslim untuk tidak pernah meninggalkan tema tersebut dalam beberapa hasil karyanya, khususnya yang
berkenaan dengan pemerintahan dan kepemimpinan. Salah satu pemikir sekaligus ulama yang sangat fenomenal adalah seperti Hasan al-Banna pun tergerak untuk membahas
dengan rinci apa dan bagaimana suatu prinsip yang ditengarai dapat menyatukan beberapa fikiran untuk mencapai sebuah kemufakatan itu.
Dalam beberapa karyanya beliau benar-benar terlihat sangat focus dalam membahas tema yang merupakan salah satu nilai Islam yang sangat berharga tersebut.
Hal itu dapat terbuktikan dengan adanya penerapan konsep tersebut pada gerakan yang memang beliau dirikan yaitu gerakan Ikhwanul Muslimin.
4
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993, cet. Ke-5, h. 16-17
5
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 2000, h. 54
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1928 di kota Isma’iliyah, sebelah timur laut Kairo, Mesir.
6
Organisasi yang dalam bahasa Indonesia memiliki pengertian Saudara-saudara Sesama Muslim ini merupakan sebuah
organisasi yang terlihat sangat matang dalam “menguasai medan” di awal kemunculannya. Hal tersebut dapat terbuktikan dengan datangnya sambutan dan
dukungan yang sangat antusias dari masyarakat luas terhadap berbagai kegiatan moral dan social yang memang menjadi “agenda utama” Ikhwanul Muslimin dalam sepuluh
tahun pertama. Walaupun pada awalnya Ikhwanul Muslimin tidak pernah mengklaim dirinya
sebagai organisasi politik, namun pada akhirnya hal tersebut merupakan suatu ungkapan yang tidak dapat terbantahkan lagi melihat awal kelahirannya yang memang merupakan
sebuah reaksi terhadap kondisi perpolitikan di Mesir pada saat itu serta tindak tanduknya yang semakin hari semakin mencerminkan sebuah organisasi politik.
7
Meskipun dalam perjalanan politiknya Ikhwanul Muslimin sempat mengalami pasang surut dengan menghilang “di bawah tanah” atau meninggalkan Mesir dan pindah
ke Negara-negara Arab lainnya, namun akhirnya organisasi yang dalam jangka waktu 21 tahun sudah memiliki lebih dari dua ribu cabang yang tersebar di seluruh pelosok Mesir
ini terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir pada saat itu dengan menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya Negara Israel di atas bumi
Palestina.
6
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 145
7
John L Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, cet ke-1 , h. 267-268
Mendambakan berdirinya Negara Islam di Mesir memang menjadi prioritas utama bagi gerakan ini, namun yang pasti dalam memahami ajaran, masyarakat serta Negara
Islam, Ikhwanul Muslimin sangat terwarnai oleh pendiri organisasi tersebut. Seperti yang telah dikatakan diatas, konsep sy
ūrā merupakan salah satu konsep yang sangat diusung oleh Hasan Al-Banna dan akhirnya diterapkan oleh gerakannya yaitu
Ikhwanul Muslimin. Namun penerapan belum dapat dibuktikan tanpa adanya hasil nyata atau pengaplikasian terhadap konsep tersebut. Oleh sebab itu hal inilah yang kemudian
menjadi salah satu alasan bagi penulis untuk memilih pembahasan ini, karena selain terdapatnya tema tersebut pada mata kuliah pemikiran dan gerakan politik Islam modern
dalam jurusan Pemikiran Politik Islam, mengetahui lebih dalam merupakan tujuan utama dalam penulisan ini. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini para pembaca tidak
hanya mengetahui namun juga dapat memahami apa yang dimaksud dengan konsep sy
ūrā dan apa bukti dari penerapan konsep tersebut pada gerakan Ikhwanul Muslimin.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah