Perbedaan Sy njrƗ dan Demokrasi menurut Hasan al-Banna

dapat membuat manusia berfikir tenang dan penuh dengan rasa berserah diri pada Allah swt. Untuk waktu liburan, al-Banna hanya bermaksud untuk mengisi liburan dengan suatu kegiatan yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan santai berleha-leha. Waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga, karena hidup adalah amanah.

B. Perbedaan Sy njrƗ dan Demokrasi menurut Hasan al-Banna

Sy ūrā menurut Hasan al-Banna adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin pemerintah dengan rakyat. 83 Walaupun tidak terdapat mekanisme khusus dalam sy ūrā, namun syūrā membatasi pada pembahasan yang di musyawarahkan. Hanya masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah lah yang diperkenankan untuk dimusyawarahkan, dan itupun hanya boleh dilakukan oleh orang anggota berkualitas yang disebut dengan nama ahlul halli wal ‘aqdi. Demokrasi merupakan tradisi Yunani Kuno yang berasal dari dua kata yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi “demos-cratein” atau “demos-cratos” demokrasi adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. 84 Hasan al-Banna memberikan perhatian dan pandangan yang serius pada Undang- 83 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna, Penerjemah Wahid Ahmadi, Solo: Era Intermedia, 2001, cet. Ke-1, h. 262 84 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayaullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, cet. Ke-1, h. 162 Undang Dasar Mesir tahun 1923 yang merupakan salah satu undang-undang paling demokratis sepanjang sejarah negeri itu. Dalam sebuah kesempatan konferensi Ikhwanul Muslimin yang dihadiri oleh utusan-utusan dari seluruh pelosok negeri ia mengungkapkan bahwa bentuk pemerintahan konstitusional yang diharapkan itu ialah “Ditetapkannya kemerdekaan kebebasan pribadi, dilaksanakannya sy ūrā musyawarah, ditegaskannya hak-hak rakyat dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, serta kebebasan rakyat dalam melakukan kegiatan dan ketentuan batas waktu bagi setiap pemerintahan atau penguasa”. Ia kembali menegaskan bahwa,“Soal-soal yang fundamental seperti ini, dalam hubungannya dengan pemerintah, haruslah dijalankan dengan berpedoman kepada ajaran dan aturan-aturan Islam Syari’at Islam”. Menurut al-Banna sistem pemerintahan yang konstitusional itu ialah system pemerintahan yang dekat dengan Islam. dan Ikhwanul Muslimin tidak akan pernah memilih yang lain daripada itu. Dalam mengomentari tentang pelaksanaan dari undang- undang yang dinilai demokratis pada saat itu ia mencoba memberikan contoh tentang undang-undang pemilihan umum yang diharapkan akan dapat menampung suara yang benar-benar murni dari rakyat, sehingga orang yang terpilih akan menyanggupi dan bertanggung jawab untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Namun dalam hal ini ternyata justru mengakibatkan terjadinya konflik-konflik dan bentuk-bentuk permusuhan yang tumbuh dan berkembang setelah diadakannya pemilihan umum. Sistem Islam bukanlah hanya susunan kata-kata yang tersusun rapi dan indah, namun juga suatu kaidah-kaidah pokok dalam Islam yang harus diwujudkan secara tepat dengan tetap menjaga keseimbangan dalam berbagai situasi. Keseimbangan merupakan salah satu kata dalam istilah politik modern yang biasa lebih dikenal dengan sebutan kesadaran politik, kematangan politik atau pendidikan politik. Keseimbangan inipun tidak akan dapat tercipta tanpa adanya kesadaran yang tulus dari hati nurani setiap manusia yang ingin menggapai keselamatan di dunia maupun di akhirat. 85 Pada lain kesempatan Hasan kembali menerangkan bahwa ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an Hadist telah memberikan ketentuan dan dasar-dasar dalam berbagai bidang seperti; sipil, perdagangan, hukum dan lain sebagainya. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk para ahli hukum Barat untuk mengatakan bahwa aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist bertentangan dengan aturan-aturan mereka yang 85 Hasan al-Banna, terj Matta, Anis, dkk, Risalah Pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun 1, Solo: Era Intermedia, 2006, cet. ke-13, h. selalu mengatasnamakan kebebasan Hak asasi manusia. 86 Dalam hal kebebasan berpendapat disini, beliaupun menegaskannya dengan kata- kata yang cukup tegas; “Bedakanlah antara kepartaian yang slogannya adalah kebebasan pendapat dan kebebasan berselisih dalam berbagai pandangan, baik yang umum maupun detailnya, dengan kebebasan berpendapat yang dibolehkan dan dianjurkan dalam Islam dan usaha mengkaji berbagai sudut pandang perbedaan dalam rangka mencari kebenaran. Sehingga manakala sudah jelas masalahnya, semua orang mau mengikutinya, baik mengikuti arus mayoritas, maupun ijma’ para ulama. Dengan demikian, tidak ada fenomena di tengah masyarakat kecuali tegaknya persatuan, dan tidak pula di tengah para ulama kecuali kesepakatan”. 87 Demokrasi merupakan suatu topik yang selalu hangat untuk dibicarakan, oleh karena itu selain al-Banna para pemikir lain banyak yang mengungkapkan pendapatnya tentang definisi dari demokrasi. Menurut ilmuwan sosial, Joseph A. Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy, Metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat 88 , Sidney Hook dalam Encyclopedia Americana mengatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung harus didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa 89 , sedangkan David Beetham mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai control oleh rakyat 90 . 86 Fathi Usman, dkk terj, Ikhwanul Muslimin Membedah Demokrasi, Jakarta: Media Da’wah, tt, h. 3-5 87 Hasan al-Banna, terj Matta, Anis, dkk, Risalah Pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun 1, Solo: Era Intermedia, 2006, cet. ke-13, h. 88 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, h. 72-73 89 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, h. 73-74 90 Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokrasi Gelombang ketiga di Indonesia, terj. Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1997, h. 11 Selain para pemikir Barat diatas, pemikir Islam seperti Deliar Noor pun turut serta dalam mengungkapkan definisi dari demokrasi. Menurutnya Demokrasi yang merupakan dasar hidup bernegara mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat, 91 kemudian Nurcholish Majid yang lebih dikenal dengan “pemikiran sekuler- nya” lebih menekankan kepada betapa sejalannya antara konsep demokrasi dengan sy ūrā. Karena sesungguhnya demokrasi dan agama dapat ditemukan. Demokrasi dipandang sebagai aturan politik yang paling layak, sementara agama diposisikan sebagai wasit moral dalam pengaplikasian demokrasi. 92 Melihat definisi yang telah ada, konsep sy ūrā jelas berbeda dengan sistem demokrasi ala Barat. Sy ūrā tidak mengenal “mayoritas” tanpa hukum yang jelas, yang berlaku hanyalah suara mayoritas yang sesuai dengan hukum agama karena itulah kebenaran yang hakiki. Sedangkan demokrasi merupakan suatu aturan yang terlahir oleh orang-orang yang memang ingin melepas dari nilai keagamaan, dan suara mayoritas merupakan ketentuan hukum yang harus dipatuhi. Sy ūrā yang merupakan tindakan bernilai agama lebih mengutamakan kualitas dari kepribadian orang yang melakukannya. Dengan kefahaman orang tersebut terhadap segala aturan agama, maka ia tidak akan menyimpang dalam mengambil sebuah keputusan. Sedangkan demokrasi lebih mengutamakan kuantitas dari sebuah musyawarah. Suara mayoritas merupakan “harga mati” yang harus dipatuhi. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat merupakan prinsip demokrasi ala Barat 91 A. Ubaidillah, et al, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Press, 2000, cet. Ke-1, h. 162 92 Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Renika Cipta, 1999, h. 66 yang jelas bertentangan dengan sy ūrā versi Islam. seperti telah diuraikan diatas, majelis sy ūrā hanya boleh membicarakan masalah yang belum memiliki isyarat pemecahan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan itupun hanya boleh dilakukan dalam tataran teknis saja. Sedangkan demokrasi lebih mementingkan suara mayoritas, tanpa melihat kemampuan berfikir dari mereka. Karena Ahlul halli wal ‘aqdi merupakan sarana untuk mengambil sebuah keputusan yang berdasarkan aturan agama, maka lembaga ini harus dijaga sedemikian rupa. Dalam menghindari kekacaubalauan dalam tubuh Ahlul halli wal ‘aqdi, Hasan al- Banna memasukkan masalah ini pada kewajiban pertama yang harus difikirkan. Ia mengatakan bahwa “aturlah lembaga ini dengan baik agar mempunyai sifat kelestarian dan mencegah para penguasa agar jangan sampai mencampuri pembentukannya untuk menghilangkan kebebasan jumhur dalam memilih wakil-wakil mereka, sebagaimana wajib mengatur pengendaliannya akan otoritasnya dalam mengontrol para penguasa. Ini demi mencegah mereka jangan sampai keluar dari syariat, mengamati mereka, dan memecat mereka ketika diperlukan sesuai dengan hukum-hukum syara.” 93 Ahlul halli wal aqdi juga merupakan sebuah lembaga yang dapat mengesahkan cara pengangkatan kepala negara, hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa: “pengangkaan itu hanya sah dengan keikutsertaan mayoritas ahlul halli wal aqdi dari seluruh negeri sehingga kepemimpinannya itu mendapatkan penerimaan secara tulus dan pengakuan secara umum. 94 93 Taufik Muhammad Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, h. 564 Dalam hal ini, Hasan al-Banna telah menyatakan dalam risalahnya yang brjudul “Problema- problema Kita dalam Negeri di Bawah Sinar Sistem Islam”. 94 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet ke-1, h. 19

C. Korelasi Konsep “Sy njrƗ yang Mengikat” dengan Kekuasaan Negara