BAB II BIOGRAFI HASAN AL-BANNA
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Imam Syahid Hasan Al-Banna adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin yang terlahir di Distrik Mahmudiyah dekat Iskandariah atau kota kecil yang terletak di
sebelah timur laut Kairo, Mesir pada tanggal 17 Oktober 1906 M1323 H.
10
Beliau merupakan putra dari Syeikh Ahmad Abd al-Rahman al-Banna yang merupakan salah
satu mahasiswa Al-Azhar pada masa Muhammad Abduh masih mengemban tugas di sana.
Sebelum melanjutkan studi ke Universitas Dar Al-‘Ulum, sang tokoh kharismatik itu telah terlebih dahulu menyelesaikan studinya di sekolah guru Damanhur sejak tahun
1923 hingga tahun 1927. Dalam mengisi hari-harinya al-Banna muda sangat disibukkan dengan berbagai kegiatan di sekolahnya, sampai akhirnya ia mendirikan sebuah
organisasi yang bernama Muharabah Al-Munkarat Organisasi Pemberantas Kemungkaran.
Kesibukan berorganisasi tidak membuat al-Banna terlena dan lupa akan tugasnya sebagai pelajar, namun justru semakin membuat ia memiliki pengetahuan yang lebih
dibanding para pelajar yang lain. Hal tersebut dapat terlihat dari diperolehnya predikat lulusan terbaik ke-5 untuk seluruh Sekolah Menengah Umum SMU di Mesir.
Kecerdasan otak sang imam yang sejak remaja sudah turut ambil bagian dalam tarekat sufi Hashafiyah ini memang sudah tidak dapat diragukan lagi keabsahannya. Hal
tersebut kembali dapat ia buktikan dengan dinobatkannya sebagai mahasiswa yang
10
Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, Jakarta: Harakah, 2002, cet ke-1, h. 3
berhasil lulus dengan yudisium terbaik pertama tingkat Universitas yang didirikan oleh Muhammad Abduh itu.
11
Sesungguhnya disanalah kehidupan Hasan al-Banna mulai terasa semakin “hidup”, karena di kota besar itulah beliau benar-benar memahami arti kehidupan dengan
banyak berkenalan dan berinteraksi dengan orang-orang ternama disekitarnya. Mengenal Rasyid Ridha beserta gerakan Salafiyahnya merupakan awal pembentukan pola fikir al-
Banna muda dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan di dunia. Apalagi hal tersebut didukung oleh rajinnya sang imam untuk membaca majalah Al-Manar yang
memang merupakan kumpulan beberapa tulisan tokoh-tokoh ternama seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha.
Dapat menyerap semangat pembaharuan para penulisnya memang merupakan salah satu hikmah yang pertama kali didapatkan oleh sang imam. Namun dari beberapa
tulisan yang ada pada majalah tersebut, hasil karya Rasyid Ridhalah yang dapat menduduki peringkat teratas di hati dan fikiran al-Banna. Ia benar-benar terpana dengan
isi atau kandungan tulisan Ridha yang lebih fokus dalam membahas tema-tema politik dan sosial. Ridha berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan
memiliki aturan-aturan hukum yang dapat berfungsi untuk mengatur segala persoalan yang terjadi pada umat manusia, termasuk masalah politik, ekonomi dan sosial. Oleh
karena itu, betapa perlunya didirikan Negara atau pemerintahan Islam dan diberlakukannya hukum Islam menjadi salah satu topik andalannya.
12
Setelah menyelesaikan studinya di sekolah yang sempat dimasyhurkan oleh Muhammad Rasyid Ridha tersebut, pada September 1927 al-Banna mulai mengajar di
11
Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, h. 4
12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, h. 147
sekolah dasar di Isma’iliyah. Di tengah kesibukan kegiatan barunya, ia masih tetap menjadi koresponden majalah Pemuda Muslim Kairo yang bernama Al-Fath serta
menjalin hubungan baik dengan kelompok Maktabah Salafiah atau penerbit jurnal Al- Manar pimpinan Rasyid Ridha. Sampai pada akhirnya al-Banna dapat mengambil alih
jurnal tersebut untuk periode 1939 hingga 1941.
13
Latar belakang keluarga yang penuh dengan keilmuan dan pengetahuan agama merupakan dasar yang sangat dominan dalam pembentukan diri sang imam al-Banna.
Hal tersebut dapat terlihat pada perkembangan pribadi al-Banna yang sangat mengagumkan. Ia tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas, kritis serta bersifat zuhud.
Sejak kecil ia selalu menerapkan atau membiasakan diri untuk shalat malam, puasa Senin-Kamis dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Semua yang telah dilakukan al-Banna
kecil bukanlah suatu pekerjaan yang main-main, karena dengan hasil kerja kerasnya itu ia mampu menghafal setengah Al-Qur’an 15 Juz yang kemudian ia sempurnakan menjadi
30 Juz ketika menginjak masa akil baligh. Dengan menjadi seorang yang religius tidaklah membuat sang pengikut tarekat
sufi Hasyafiyah ini tidak lagi perduli dengan masalah-masalah yang ada di muka bumi. Justru karena rasa kecintaannya yang begitu dalam pada agamanya ghirah, dia
terdorong untuk mengubah kemungkaran dengan tangannya sendiri.
14
Pengalaman pertamanya dalam mengajar merupakan guru yang sangat berharga bagi diri al-Banna, karena walaupun harus hidup ditengah situasi dan kondisi yang
kurang mendukung, ia tetap mampu untuk bertahan dan bahkan menghasilkan sebuah gagasan. Provinsi Ismailiah yang pada saat itu sangat didominasi oleh pengaruh Inggris
13
John L Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 264
14
Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, h. 3
membuat hati al-Banna terluka. Karena baginya, selain gaya kehidupan bercorak Eropa yang membuatnya merasa berada di Inggris, ia merasa tersinggung atas perlakuan Inggris
terhadap masyarakat Mesir yang telah memandang hina dengan memperlakukan para pekerja selayaknya seorang hamba.
Kegelisahan itupun akhirnya membawa al-Banna kepada lima rekannya untuk menggagasi sebuah proyek pergerakan perbaikan umat dan kejayaan Islam. Pada
awalnya mereka hanya menamakan diri mereka dengan sebutan “Muslimin” saja, namun secara spontan mereka berseru “Kita adalah ‘Ikhwanul Muslimin’, yang berarti, “para
saudara dari kaum Muslimin”. Kesuksesan mengawali sejarah perjalanan gerakan Ikhwanul Muslimin diawal
pertumbuhannya. Hal tersebut dapat terlihat dari keberhasilannya menjadikan masyarakat kelas miskin kepada generasi yang teladan dalam memahami nilai-nilai
aturan agama. Namun fase pasang surut memang sungguh sangat tidak dapat dihindari dalam perjalanan sebuah pergerakan. Berkembangnya kelompok Ikhwanul Muslimin
merupakan ancaman bagi pemerintahan Raja Faruq pada saat itu. Karena dengan peristiwa pada tahun 1947 ketika al-Banna mengutus tentara sukarelanya ke Palestina
untuk perang melawan Israel, Faruq benar-benar merasa telah menerima pelajaran pahit dari gerakan yang mempunyai kantor pusat Darul Ikhwan di kota Kairo itu.
Di sinilah awal dari sejarah kelam gerakan Ikhwanul Muslimin, ketika Raja Faruq merasa khawatir karena mulai ditinggalkan dan dikhianati oleh para sekutu Arabnya, dan
sehingga ia merasa sangat takut dengan kembalinya para mujahidin Ikhwanul Muslimin dari Palestina. Pemerintah mulai bergerak untuk melakukan penawanan-penawanan
sampai akhirnya pada peristiwa pembunuhan sang Imam di depan kantor Pusat Pemuda
Ikhwanul Muslimin Dar Asy-Syubban Al-Muslimin pada tanggal 12 Februari 1949M 1368 H. Dengan membawa segenggam harapan al-Banna benar-benar kembali
keharibaan Sang Pencipta.
B. Pemikiran Politik dan Karya-karyanya