Korelasi Konsep “Sy njrƗ yang Mengikat” dengan Kekuasaan Negara

C. Korelasi Konsep “Sy njrƗ yang Mengikat” dengan Kekuasaan Negara

Sy ūrā merupakan batas antara masyarakat zalim dengan masyarakat beriman. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh mengabaikan sy ūrā dalam mengambil sebuah keputusan, karena hal itu disinyalir dapat membunuh kemauan dan memasung pemikiran. Sy ūrā harus mengacu pada dua sumber yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Syūrā pun memaksa para pesertanya untuk berusaha keras dalam mencapai sebuah kebenaran. Memang tidak ada aturan tentang siapa harus membahas apa. Namun alangkah lebih baiknya apabila seseorang dapat membahas apa yang telah ia kuasasi. Oleh karena itu, para qiyadah pemimpin harus dengan cermat mencari kebenaran. Gunakan segala kemampuan dan peluang yang ada. Janganlah lupa meminta pandangan orang yang memang berkompeten di bidang itu. Apabila musyawarah telah terlaksana, maka semua anggota harus melaksanakan keputusan yang telah disepakati. Tidak ada yang boleh melanggar keputusan itu karena sy ūrā dalam pandangan Ikhwan adalah bersifat mengikat. Hal itu sesuai dengan perkataan Hasan yang berbunyi: “Kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan saling memaafkan dalam hal yang diperselisihkan.” 95 Walaupun pada mulanya Hasan al-Banna dan sebagian ulama berpandangan bahwa sy ūrā hanya sekedar memberi masukan dan bukan sebagai badan yang menetapkan. 96 Namun pada masa-masa akhir kehidupannya, ia menerima pandangan bahwa sy ūrā bersifat mengikat. Hal tersebut ia buktikan dengan diwariskannya sebuah qanun undang-undang jamaah yang disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh Hasan 95 Jum’ah Amin Abdul Azi., Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2002, cet. Ke-2, h. 89-93 96 Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998, cet ke-3, h. 204 al-Banna sendiri. Akhirnya Pada tahun 1948 atau setahun sebelum ia syahid, ditetapkanlah rancangan tersebut menjadi sebuah ketetapan undang-undang tentang sy ūrā. Undang- undang itu menyatakan keharusan menerima dan memegang pandangan mayoritas. Jika ada suara berimbang, maka pemimpin jamaahlah yang menimbang diantara keduanya. 97 Apa yang telah dilakukan Banna dalam menyikapi sifat sy ūrā bukanlah karena ketidakyakinannya pada prinsip tersebut. Akan tetapi semua itu ia lakukan tidak lain hanya ingin memberikan pelajaran serta pengetahuan tentang konsep sy ūrā secara jelas kepada para muridnya. Hal itu tampak pada diungkapkannya bahwa sy ūrā itu bersifat masukan ketika para muridnya masih baru tumbuh. Namun setelah mereka mencapai kematangan dalam pemahaman, ia mengambil pandangan bahwa sy ūrā itu mengikat, agar hal itu menjadi landasan yang kokoh dalam qanun yang akan digunakan pada gerakan yang dibangun dan dipimpinnya. Kebebasan merupakan sebuah kata yang sangat diagung-agungkan oleh setiap manusia dari sejak dulu hingga masa kini. Karena kebebasan merupakan sebuah nilai dasar hukum yang dapat memanusiakan manusia. 98 Namun kebebasan yang merupakan esensi sy ūrā dalam syariat disini bukanlah kebebasan mutlak tanpa aturan yang mengikat dan tanpa kendali yang mengekangnya. Sy ūrā adalah kebebasan berjamaah dan bertatanan, yang komitmen pada aturan dan batas-batas yang dibimbing pada syariat yang abadi dan oleh keputusan sy ūrā yang mengikat. Inilah makna sy ūrā sesungguhnya yang akan bermuara pada tujuan syūrā. Adapun tujuan sy ūrā itu sendiri adalah merealisasikan sebesar-besarnya kadar 97 Jum’ah Amin Abdul Aziz, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, h. 80 98 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 92 kemerdekaan untuk berfikir di atas landasan keadilan, kerja sama dan solidaritas. 99

D. Praktik Sy njrƗ dalam Pemikiran Hasan Al-Banna