Definisi SynjrƗ TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SY

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SY

NjRƖ

A. Definisi SynjrƗ

Di kalangan masyarakat luas, kata sy ūrā memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah sy ūrā berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Adapula yang mengatakan bahwa kata sy ūrā memiliki kata kerja yaitu syāwara-yusyāwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Adapun bentuk- bentuk lain yang berasal dari kata kerja asy āra adalah yusyiru yang berarti memberi isyarat, tasy āwara yang berarti berunding, saling bertukar pendapat, syāwir yang berarti meminta pendapat, musyawarah, dan mustasyir yang berarti meminta pendapat orang lain. Dalam bahasa Arab biasa pula dijumpai istilah syara al-a’sai yang berarti mengeluarkan madu dari sarangnya, atau memetik, lalu mengambilnya dari sarang dan tempatnya. 26 Merujuk pada pengertian kata yang telah ada, maka sy ūrā dapat diartikan dengan kata musyawarah atau yang berarti saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Dari uraian diatas, para intelektual muslim telah memiliki pendapat sendiri dalam mendefinisikan kata tersebut. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna sy ūrā adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan 26 Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahian dan Pemaknaan Yogyakarta: LKIS, 2003, h. 139-140 itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin pemerintah dengan rakyat. 27 Dalam hal ini Hasan al-Banna sangat terinspirasi oleh dua ayat dalam Al-Qur’an yang berisi tentang anjuran untuk bermusyawarah serta sunnah Rasulullah yang juga telah diterapkan oleh khulafaurasyidin. Seorang mufasir yang bernama Al-Qurtubi w. 9 Syawal 671 mengatakan bahwa; “Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama ulama haruslah ia dipecat.” 28 Selain Hasan al-Banna dan Al-Qurtubi, seorang penulis Islam seperti Fazlur Rahman pun memiliki komentar sendiri dalam hal ini. Menurutnya, dalam rangka usaha perbaikan terhadap dunia serta dalam menciptakan sebuah hubungan yang harmonis, maka dibutuhkan hubungan yang baik pula antara sesama manusia yang taat terhadap perintah Allah melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena sesungguhnya, hubungan antara sesama manusia tidak dapat terlepas dari hubungan mereka dengan Tuhannya. Keyakinan itulah yang kemudian memacu Fazlur Rahman untuk menegaskan betapa pentingnya melakukan musyawarah sy ūrā dalam kehidupan manusia. Ia juga mengatakan bahwa pelaksanaan musyawarah akan menjamin stabilitas politik bila memang dapat dikembangkan sebagai sebuah lembaga yang efektif dan permanen. 29 27 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna, Penerjemah Wahid Ahmadi, Solo: Era Intermedia, 2001, cet. Ke-1, h. 262 28 Abdul Aziz Dahlan, dkk. ed., Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,, 1996, cet. Ke-6, h. 18 29 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institut of Islamic Research, 1965, h. 86 Setelah dua pengertian yang terlihat ekstrim dan lebih fokus terhadap dunia pemerintahan, Ibn Huwaiz Mandad mencoba memberikan pengertian kata tersebut. Secara menyeluruh ia mengatakan bahwa para penguasa wajib bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan dalam soal-soal agama yang samar-samar, penguasa wajib mengarahkan prajurit dalam soal-soal perang dan mengarahkan orang banyak dalam soal-soal kemashlahatan. Begitu pula penguasa wajib mengarahkan sekretaris, wazir dan para pejabat dalam hal kemaslahatan dan pengaturan negeri. 30 Dalam mengartikan kata sy ūrā, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendapat satu dan yang lainnnya. Namun perbedaan itu jelas terlihat pada objek dari musyawarah tersebut. Menurut salah satu tokoh panutan al-banna yaitu Muhammad Rasyid Ridha, objek yang boleh di musyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan urusan dunia saja, dan tidak untuk masalah agama. Karena hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama seperti, keyakinan dan masalah-masalah ibadah merupakan suatu hal yang telah ditetapkan hukumnya dan apabila hukum-hukum tersebut dimusyawarahkan itu berarti telah mencampuri suatu hukum yang telah disyariatkan oleh Allah swt. 31 Namun pendapat tersebut berbanding terbalik dengan pemikiran at-Tabari, Fakhruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maragi, bagi mereka hal-hal yang boleh dimusyawarahkan bukan saja masalah yang berkaitan dengan urusan keduniaan namun juga masalah-masalah keagamaan. Bagi mereka, setiap permasalahan yang ada baik itu di bidang sosial, ekonomi maupun politik, pasti memerlukan jawaban yang merujuk pada aturan agama. 30 Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshar al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz II, Kairo: Dar al-Sya’b, tt, h. 1491-1492 31 Abdul Aziz Dahlan, dkk. ed., Ensiklopedi Islam, h. 19

B. Isyarat Al-Qur’an dan As-Sunnah