Efektifitas Astaxanthin Oral disertai Gel Astaxanthin Dibandingkan dengan Astaxanthin Oral disertai Krim Triple Combination (Hidrokuinon 4%, Tretinoin 0,05%, Fluosinolon Asetonid 0,01%) dalam Pengobatan Melasma

(1)

EFEKTIFITAS ASTAXANTHIN ORAL DISERTAI GEL ASTAXANTHIN

DIBANDINGKAN DENGAN ASTAXANTHIN ORAL DISERTAI KRIM

TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon

asetonid 0,01%,) DALAM PENGOBATAN MELASMA

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Persyaratan

Memperoleh Keahlian dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Oleh

FARIDAH ISRAWATY LUBIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

M E D A N

2011


(2)

Medan, 28 Juni 2011

Tesis ini diterima sebagai salah satu syarat program pendidikan untuk mendapatkan gelar Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan

Disetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Rointan Simanungkalit, SpKK (K) dr. Daratia I. Kadri, SpKK NIP.196308201989022001 NIP. 196101261988032003

Disahkan oleh:

Ketua Departemen Ketua Program Studi Departemen

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan

Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K) dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K)


(3)

KATA PENGANTAR

A

ssalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan mengucap Alhamdulillah, saya panjatkan puji dan syukur yang tak terhingga kehadirat Allah SWT karena hanya dengan ridho, hidayah dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan seluruh rangkaian penyusunan tesis ini, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam menjalani pendidikan spesialis ini, berbagai pihak telah turut berperan serta sehingga terlaksananya seluruh rangkaian pendidikan ini. Dengan berakhirnya masa pendidikan saya ini, pada kesempatan yang berbahagia ini, dengan segala kerendahan hati saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat :

dr. Rointan Simanungkalit, SpKK(K), selaku pembimbing utama tesis ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.

dr. Daratia I. Kadri, SpKK, selaku pembimbing kedua tesis ini, yang juga telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan tesis ini.

Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai guru besar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis dibidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan sebagai salah satu anggota dari tim penguji, yang juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu, SpA(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K) dan (Alm) dr.Emil R.Darwis, semasa beliau sebagai Kepala Bagian dan Kepala Program Studi yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti


(4)

pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

dr. Oratna Ginting, SpKK dan dr. Lukmanul Hakim Nasution, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

Para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, dan Direktur RS PTPN II Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

Drs. H. Abdul Jalil Amra, M.Kes, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU selaku staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FK USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.

Seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.

Papi tercinta (Alm) dr. H. Isro’ Ayyubi Lubis, SpRad, tidak ada kata yang mampu menggantikan rasa terima kasih saya untuk semua pengorbanan, jerih payah dan kasih sayang papi untuk saya selama ini, saat ini hanya doa yang dapat saya panjatkan semoga papi mendapat tempat sebaik-baiknya di sisi Allah SWT dan kepada Mami tersayang Hj. Rosmawati, yang tidak pernah putus memberikan cinta kasih, doa dan dengan penuh kesabaran mengasuh, mendidik serta membesarkan saya, terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan dan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orang tua seperti papi dan mami. Semoga Allah SWT membalas segalanya.

Suami saya terkasih, Reza Fahlefi, terima kasih yang setulus-tulusnya saya ucapkan atas segala pengorbanan, kesabaran dan pengertiannya serta untuk selalu memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan disetiap saat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Anugerah terindah dari Allah SWT, anak-anakku, M. Dzikra (7 tahun), Fatimah Az-Zahra (6 tahun), Haura Alishafara (5 tahun), (Almh) Khaira Ashelafarza (4bln) dan Laksamana Ayyub Ghaffara (2 tahun), yang selalu sabar menunggu saya disaat saya tidak selalu bisa menemaninya dan senantiasa menjadi pendorong semangat saya untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Saudara-saudara saya, Suriyah Israwati Lubis, SH dan kel, dr. Syaifuddin Lubis, SpRad dan kel, dr. Raja Chair Lubis, SpM dan kel, dr. Saad Sulaiman Lubis dan kel, drg. Sofyan Lutphie Lubis dan kel, dr. Zulkarnain Salahuddin Lubis dan kel, drg. Rika Jamilah Israwati Lubis, dan drg. Irfan Zulfikar Salahuddin Lubis dan kel, terima kasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada saya selama ini.


(5)

Teman seangkatan saya, dr. Poppy Syafnita, SpKK dan dr. Joice Sonya Gani Panjaitan, SpKK, terima kasih untuk kerja sama, kebersamaan, waktu dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan selama menjalani pendidikan ini.

Sahabat-sahabat saya, dr. Ika Fitrika, SpKK, dr. Rr.Sri Sundari, dr. Khairur Rahmah Lubis, dr. Sauri Putra, dr. Sharma Hernita, SpKK, dr. Riana M. Sinaga, dr. Fahmi Rizal, SpKK, dr. Khairina Nasution, dr. Imanda J. Siregar, dr. Rudyn R. Panjaitan dan Sisca Carolina Sidabuke yang telah menjadi teman berbagi cerita suka dan duka selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

Semua teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terutama yang berada di poliklinik sub bagian kosmetik yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan kerjasama kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Juni 2011

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar belakang masalah ...1

1.2 Rumusan masalah...3

1.3 Hipotesis...3

1.4 Tujuan penelitian ...4

1.4.1 Tujuan umum...4

1.4.2 Tujuan khusus...5

1.5 Manfaat penelitian ...5

1.6 Kerangka teori ...6

1.7 Kerangka konsep ...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...8

2.1 Melasma ...8

2.1.1 Pendahuluan...8

2.1.2 Epidemiologi ...8

2.1.3 Etiologi ...9


(7)

A. Sistem pigmentasi kulit ...10

B. Patogenesis faktor – faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma ...12

2.1.5 Gambaran klinis...17

2.1.6 Pemeriksaan penunjang ...18

A. Pemeriksaan laboratorium ...18

B. Pemeriksaan histopatologis ...18

C. Pemeriksaan dengan lampu Wood...18

2.1.8 Diagnosis banding ...20

2.1.9 Penatalaksanaan ...20

2.2 Astaxanthin...21

2.2.1 Pendahuluan...21

2.2.2 Mekanisme kerja...22

2.2.3 Cara kerja...23

2.3 Triple combination...23

2.3.1 Pendahuluan...23

2.3.2 Mekanisme kerja ...24


(8)

B. Tretinoin ...25

C. Kortikosteroid ...26

2.3.3 Cara kerja ...27

2.3.4 Efek samping ...27

2.4 Tabir surya...28

2.5 Evaluasi hasil pengobatan (efikasi) ...30

2.5.1 Teknik evaluasi subjektif...31

2.5.2 Teknik evaluasi objektif ...32;

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...33

3.1 Desain penelitian ...33

3.2 Waktu dan tempat penelitian ...33

3.3 Populasi penelitian ...33

3.3.1 Populasi target ...33

3.3.2 Populasi terjangkau...33

3.3.3 Sampel ...33

3.4 Besar sampel...34


(9)

3.6 Identifikasi variabel ...35

3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi...35

3.7.1 Kriteria inklusi ...35

3.7.2 Kriteria eksklusi...35

3.8 Alat, bahan dan cara kerja ...36

3.8.1 Alat & bahan...36

3.8.2 Cara kerja...36

3.9 Definisi operasional ...42

3.10Kerangka operasional ...44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...45

4.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian ...45

4.1.1 Kelompok usia ...45

4.1.2 Suku ...47

4.1.3 Pekerjaan ...47

4.1.4 Riwayat keluarga ...48

4.1.5 Faktor predisposisi...49

4.1.6 Pola melasma ...51

4.2 Melasma Severity Scale...52 4.2.1 Perbandingan hasil pengobatan anatar kelompok terapi dengan kelopok


(10)

kontrol terhadap Melasma Severity Scale mulai minggu 0, 4 dan 8 ...52

4.3 Skor MASI...53

4.3.1 Perbandingan hasil pengobatan antara kelompok terapi dengan kelompok kontrol terhadap skor MASI mulai minggu 0-8 ...53

4.4 Efek samping ...54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...55

5.1 Kesimpulan ...55

5.2 Saran ...56

DAFTAR PUSTAKA...57

LAMPIRAN LAMPIRAN I Lembar Penjelasan Kepada Subyek (Pasien) ...63

LAMPIRAN II Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian...65


(11)

DAFTAR TABEL

1.

Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok usia : ...45

2.

...

T

abel 4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan suku ...47

3.

...

T

abel 4.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pekerjaan ...48

4.

...

T

abel 4.4 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan riwayat keluarga ...49

5.

...

T

abel 4.5 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kemungkinan faktor predisposisi ...50

6.

...

T

abel 4.6 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pola melasma ...52

7.

...

T

abel 4.7 Perbandingan

Melasma Severity Scale

antara kelompok terapi dan kelompok

kontrol dari minggu 0-minggu 8. ...53

8.

...

T

abel 4.8 Perbandingan skor MASI antara kelompok terapi dan kelompok kontrol dari

minggu 0-minggu 8. ...54


(12)

Efektifitas

Astaxanthin

Oral disertai Gel

Astaxanthin

Dibandingkan

dengan

Astaxanthin

Oral disertai Krim

Triple Combination

(Hidrokuinon 4%, Tretinoin 0,05%, Fluosinolon Asetonid 0,01%)

dalam Pengobatan Melasma

Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

Abstrak

Latar belakang : Melasma merupakan suatu penyakit kulit hipermelanosis, didapat, dan letaknya simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah. Melasma sering ditemukan pada wanita. Banyak modalitas terapi yang ada akan tetapi tidak satupun memberikan hasil pengobatan yang memuaskan.

Tujuan : Mengetahui perbedaan efektifitas pemberian astaxanthin oral disertai gel astaxanthin dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination terhadap pasien melasma.

Subyek dan metode : Penelitian bersifat uji klinis, acak, tersamar ganda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2011, melibatkan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai gel astaxanthin (dua kali sehari) sebagai kelompok terapi dan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai krim triple combination (sekali sehari) sebagai kelompok kontrol, pengobatan diberikan selama 8 minggu. Terhadap subyek penelitian dilakukan penilaian derajat keparahan melasma (Melasma Severity Scale), pengukuran skor Melasma Area and Severity Index (MASI) dan efek samping obat.

Hasil : Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin secara statistik lebih efektif bermakna dibandingkan

astaxanthin oral disertai krim triple combination dimana lesi melasma hampir sama dengan warna kulit disekitarnya setelah 4 minggu kedepan ditemukan sebanyak 23,1% pada kelompok terapi, dibandingkan 16,7% pada kelompok kontrol (p=0,014). Penurunan skor MASI baik kelompok terapi maupun kelompok kontrol yang diukur mulai mulai minggu ke 0 samping minggu ke 8 secara statistik bermakna (p=0,0001). Efek samping hanya ditemukan pada kelompok kontrol (22/24, 91,7%).

Kesimpulan: Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin lebih efektif dan aman dibandingkan astaxanthin

oral disertai krim triple combination dalam pengobatan melasma.


(13)

Efficacy of Oral Astaxanthin combined with Astaxanthin

Gel

compared with Oral Astaxanthin combined with Triple

Combination Cream (hydroquinone 4%, tretinoin 0,05%,

fluocinolone acetonide 0,01%) in the Treatment of Melasma

Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri Departement of Dermatology-Venereology

Faculty of Medicine, University of North Sumatera H. Adam Malik Hospital, Medan

Abstract

Background : Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis that occurs on sun-exposed facial areas. Melasma is frequently observed among women. Many modalities of treatment are available but none is satisfactory.

Aim : To compare the efficacy and safety of oral astaxanthin combined with astaxanthin gel and oral astaxanthin combined with triple combination cream in the treatment of melasma.

Subject and methods : A double blind, randomize, clinical trial design study was conducted from January to May 2011, 54 female patient with epidermal melasma were divided into two groups of 27 each. One group received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical astaxanthin (twice daily). The other, a control group, received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical triple combination (once daily) for 8 weeks. Evaluation include static global severity assessment (Melasma Severity Scale), Melasma Area and Severity Index (MASI) score, and adverse event.

Results : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was significantly more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream week 4 onwards: lesion were approximately equivalent to the surrounding skin in 23,1% of all oral astaxanthin combined astaxanthin gel, compared to 16,7% of those who used oral astaxanthin combined with triple combination cream (p=0,014). All 54 patients showed marked improvement, as calculated by the MASI score before and after treatment, and the response was highly statistically significant (p=0,0001). Adverse events were observed on oral astaxanthin combined with triple combination cream (22/24, 91,7%).

Conclusion : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream and safe agent in the treatment of melasma.


(14)

Efektifitas

Astaxanthin

Oral disertai Gel

Astaxanthin

Dibandingkan

dengan

Astaxanthin

Oral disertai Krim

Triple Combination

(Hidrokuinon 4%, Tretinoin 0,05%, Fluosinolon Asetonid 0,01%)

dalam Pengobatan Melasma

Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

Abstrak

Latar belakang : Melasma merupakan suatu penyakit kulit hipermelanosis, didapat, dan letaknya simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah. Melasma sering ditemukan pada wanita. Banyak modalitas terapi yang ada akan tetapi tidak satupun memberikan hasil pengobatan yang memuaskan.

Tujuan : Mengetahui perbedaan efektifitas pemberian astaxanthin oral disertai gel astaxanthin dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination terhadap pasien melasma.

Subyek dan metode : Penelitian bersifat uji klinis, acak, tersamar ganda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2011, melibatkan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai gel astaxanthin (dua kali sehari) sebagai kelompok terapi dan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai krim triple combination (sekali sehari) sebagai kelompok kontrol, pengobatan diberikan selama 8 minggu. Terhadap subyek penelitian dilakukan penilaian derajat keparahan melasma (Melasma Severity Scale), pengukuran skor Melasma Area and Severity Index (MASI) dan efek samping obat.

Hasil : Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin secara statistik lebih efektif bermakna dibandingkan

astaxanthin oral disertai krim triple combination dimana lesi melasma hampir sama dengan warna kulit disekitarnya setelah 4 minggu kedepan ditemukan sebanyak 23,1% pada kelompok terapi, dibandingkan 16,7% pada kelompok kontrol (p=0,014). Penurunan skor MASI baik kelompok terapi maupun kelompok kontrol yang diukur mulai mulai minggu ke 0 samping minggu ke 8 secara statistik bermakna (p=0,0001). Efek samping hanya ditemukan pada kelompok kontrol (22/24, 91,7%).

Kesimpulan: Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin lebih efektif dan aman dibandingkan astaxanthin

oral disertai krim triple combination dalam pengobatan melasma.


(15)

Efficacy of Oral Astaxanthin combined with Astaxanthin

Gel

compared with Oral Astaxanthin combined with Triple

Combination Cream (hydroquinone 4%, tretinoin 0,05%,

fluocinolone acetonide 0,01%) in the Treatment of Melasma

Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri Departement of Dermatology-Venereology

Faculty of Medicine, University of North Sumatera H. Adam Malik Hospital, Medan

Abstract

Background : Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis that occurs on sun-exposed facial areas. Melasma is frequently observed among women. Many modalities of treatment are available but none is satisfactory.

Aim : To compare the efficacy and safety of oral astaxanthin combined with astaxanthin gel and oral astaxanthin combined with triple combination cream in the treatment of melasma.

Subject and methods : A double blind, randomize, clinical trial design study was conducted from January to May 2011, 54 female patient with epidermal melasma were divided into two groups of 27 each. One group received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical astaxanthin (twice daily). The other, a control group, received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical triple combination (once daily) for 8 weeks. Evaluation include static global severity assessment (Melasma Severity Scale), Melasma Area and Severity Index (MASI) score, and adverse event.

Results : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was significantly more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream week 4 onwards: lesion were approximately equivalent to the surrounding skin in 23,1% of all oral astaxanthin combined astaxanthin gel, compared to 16,7% of those who used oral astaxanthin combined with triple combination cream (p=0,014). All 54 patients showed marked improvement, as calculated by the MASI score before and after treatment, and the response was highly statistically significant (p=0,0001). Adverse events were observed on oral astaxanthin combined with triple combination cream (22/24, 91,7%).

Conclusion : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream and safe agent in the treatment of melasma.


(16)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Melasma (juga dikenal sebagai chloasma atau topeng kehamilan) berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir iregular, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah.1-8

Insiden pasti melasma masih belum diketahui.1,2,6 Hasil penelitian Halder dkk., dari 2000 pasien kulit hitam yang mendatangi praktik pribadi ahli kulit di Washington DC menyatakan bahwa kelainan kulit peringkat ketiga tersering setelah vitiligo adalah masalah hiperpigmentasi.4 Dari data rekam medis pasien yang datang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari sampai Desember 2009, didapati 22 orang (0,41%) pasien melasma.9

Melasma paling sering diderita wanita usia reproduksi, sedangkan pria 10% dari keseluruhan kasus.Melasma dapat terjadi pada semua ras, akan tetapi paling sering mengenai individu berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV, V, VI), yaitu bangsa Hispanik, Asia Timur dan Selatan yang merupakan daerah dengan radiasi sinar ultraviolet (UV) yang tinggi.1-8

Meskipun penyebab pasti melasma masih kurang dimengerti, terdapat banyak faktor yang terlibat dalam etiopatogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, radiasi sinar matahari dan faktor lainnya seperti pemakaian bahan kosmetika tertentu, obat-obatan (bersifat fototoksik dan fotoalergik, antikonvulsi), defisiensi nutrisi dan idiopatik.1-8,10-12


(17)

Ada tiga bentuk klinis berdasarkan distribusi pigmen pasien melasma. Bentuk sentrofasial (63%), malar (21%) dan mandibular (16%). Jumlah makula hiperpigmentasi bervariasi mulai dari lesi tunggal sampai multipel.1,4,8

Meskipun melasma tidak mempunyai risiko secara medis, tetapi melasma dapat menganggu penampilan wajah, hal ini secara emosional sangat mengganggu penderita dan juga menjadi masalah sosial diberbagai negara.10 Sayangnya, apabila seseorang mendapat melasma maka mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengalami rekurensi.3 Melasma juga merupakan kelainan yang sulit diobati dengan pengobatan yang ada, meskipun salah satu kunci keberhasilan pengobatan telah dilakukan (pemakaian tabir surya dan menghindari paparan sinar matahari).2,4-7,11,13 Saat ini belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif untuk pasien melasma secara keseluruhan.Pengobatan yang ada memiliki efektifitas yang bervariasi terhadap depigmentasi.1

Mengingat akan pentingnya bagi pasien dan para dokter untuk mengobati kelainan ini, berbagai pengobatan terbaru telah digunakan untuk mengobati melasma.10 Sasaran pengobatan melasma harus bertujuan memperlambat proliferasi melanosit, menghambat pembentukan melanosom dan meningkatkan degradasi melanosom.1,3,7 Hal ini dapat tercapai melalui inhibisi aktivitas melanosit, inhibisi sintesis melanin, menghilangkan/mendestruksi melanin dan mengganggu granul-granul melanin. Menghindari paparan langsung sinar matahari dan pemakaian tabir surya berspektrum luas terhadap radiasi sinar UV (UVA dan UVB) dan sinar tampak secara teratur, menghentikan pemakaian kontrasepsi oral, suntik, dan susuk, atau bahan-bahan yang mengandung estrogen-progesteron dan menghindari produk-produk kosmetika wajah yang mengandung pewangi, sangatlah penting untuk pencegahan terbentuknya melanin baru dan bercak kehitaman akibat melanin, selain dari penggunaan obat-obat depigmentasi seperti hidrokuinon, tretinoin, kortikosteroid, asam azelaik, resorsinol, asam kojik, vitamin C dan E,


(18)

pycnogenol, pigmen karotenoid astaxanthin (AX), dan pengelupasan secara kimia, dermabrasi, serta laser yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi.1,6,7,8,10-15

Efikasi pengobatan monoterapi yang kurang dan tidak dapat diprediksi pada melasma menyebabkan berkembangnya bahan-bahan terapeutik kombinasi, diantaranya formula Kligman.

Pigmentary Disorders Academy (PDA) berpendapat bahwa terapi triple combination (TC) topikal yang telah fixed harus diberikan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Saat ini, kebutuhan akan fixed combination therapy yang stabil telah tercapai dengan ditemukannya krim TC yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%.2,6,10 ,11

Penelitian Chan dkk. (2005) terhadap pasien melasma derajat sedang sampai berat yang diobati dengan terapi TC menunjukkan adanya perbaikan derajat keparahan melasma berdasarkan

investigator’s assessment of Global Severity Score dan penurunan skor MASI (Melasma Area Severity Index). Penelitian ini juga melaporkan adanya efek samping ringan seperti eritema, iritasi, eksfoliasi dan perasaan tidak nyaman di kulit.6

Penelitian Moertolo (2009) terhadap wanita dengan melasma tipe epidermal yang membandingkan pengobatan antara AX oral disertai AX topikal dan AX topikal, dimana kedua pengobatan memberikan perubahan yang lebih cepat pada area hiperpigmentasi yang diterapi. Tidak ditemukan adanya efek samping pada penelitian ini.14

Pengobatan yang ideal seharusnya mempunyai efek yang kuat, cepat, dan permanen dan tanpa efek samping.12 Atas pertimbangan hal diatas maka perlu kiranya dilakukan penelitian lanjutan tentang pengobatan melasma menggunakan AX. Di Medan hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang membandingkan AX oral disertai AX topikal dengan terapi TC dalam pengobatan melasma. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh pemberian AX oral disertai gel AX dan pemberian AX oral disertai krim TC, mengetahui lama pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan oleh pemberian kedua regimen tersebut untuk


(19)

pengobatan pasien melasma yang datang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2 Rumusan masalah

Apakah pemberian AX oral disertai gel AX lebih efektif dibandingkan AX oral disertai krim TC dalam memperbaiki gambaran klinis pasien melasma (penurunan nilai Melasma Severity Scale dan skor MASI)?

1.3 Hipotesis

Terdapat perbaikan gambaran klinis (penurunan nilai Melasma Severity Scale dan skor MASI) yang lebih baik dengan pemakaian AX oral disertai gel AX dibandingkan AX oral disertai krim TC.

1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan efektifitas pemberian AX oral disertai gel AX dibandingkan AX oral disertai krim TC terhadap pasien melasma.


(20)

A. Mengetahui perubahan gambaran klinis (penurunan nilai Melasma Severity Scale dan skor MASI) yang terjadi setelah diterapi dengan AX oral disertai gel AX.

B. Mengetahui perubahan gambaran klinis (penurunan nilai Melasma Severity Scale dan skor MASI) yang terjadi setelah diterapi dengan AX oral disertai krim TC.

C. Mengetahui efek samping yang terjadi setelah pemberian terapi AX oral disertai gel AX pada pasien melasma.

D. Mengetahui efek samping yang terjadi setelah pemberian terapi AX oral disertai krim TC pada pasien melasma.

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Membuka wawasan mengenai penanganan melasma.

1.5.2 Sebagai alternatif terapi pada pengobatan melasma dengan efek samping minimal.


(21)

1.6 Kerangka teori

faktor paparan  sinar matahari

faktor obat‐obatan  tertentu faktor genetik  faktor endokrin faktor kosmetika 

morfologi  melanosit, struktur  matriks melanosom, 

aktivitas tirosinase,  tipe melanin yang 

di i t i

preoksidasi lipid  membran selular estrogen, 

progesteron, MSH,  ACTH lipoprotein

obat anti epilepsi,  tetrasiklin,  fotosensitisasi 

klorokuin dll terbentuk radikal 

bebas

tertimbun diatas  lapisan dermis stimulasi melanosit

produksi melanin >>>


(22)

1.7 Kerangka konsep

AX oral disertai gel AX   MELASMA 

AX oral disertai krim TC    

1. Evaluasi klinis: 

- Perubahan Melasma  Severity Scale 

- Perubahan skor MASI 

2. Evaluasi efek samping 


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melasma

2.1.1 Pendahuluan

Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai, bersifat didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduksi.Melasma muncul dalam bentuk makula berwarna coklat terang sampai gelap dengan pinggir yang iregular, biasanya melibatkan daerah dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Meskipun melasma dapat mengenai semua orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap. 2-11,15-18,19

2.1.2 Epidemiologi

Insiden pasti melasma masih belum diketahui. Banyaknya bahan-bahan pemutih yang dijual bebas berpengaruh terhadap keterbatasan insiden pasti yang sebenarnya.1,2,4,6 Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar 5-6 juta wanita menderita kelainan ini.10,15 Prevalensi melasma pada kulit Asia tidak diketahui akan tetapi diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria.6 Di Asia Timur dilaporkan pasien yang datang berobat ke klinik kulit setiap tahunnya sebesar 0,25%-40%.20 Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari sampai Desember 2009, dari total 5.369 pasien yang berobat


(24)

ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 22 orang (0,41%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis melasma.9

Melasma terutama mengenai wanita usia reproduksi, sedangkan pria hanya 10% dari keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama seperti pada wanita.1,3,4,6,8,10,11 Penelitian oleh Goh dan Dlova di Singapura mendapatkan rasio melasma antara wanita dan pria sebesar 21:1. Di Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita dan pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia 30-44 tahun dengan riwayat terpapar langsung sinar matahari.20 Sudharmono dkk. (2004) di Jakarta, dari 145 pasien melasma hampir seluruh pasien berjenis kelamin wanita (97,93%), kecuali 3 pasien berjenis kelamin pria (2,07%).21

Meskipun melasma dapat mengenai semua ras akan tetapi paling sering dijumpai pada ras berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV-VI) terutama pada wanita ras Asia dan Hispanik yang tinggal pada daerah dengan radiasi ultraviolet yang tinggi.1,2,4,7,8,15,22-24 Pada wanita ras Latin, melasma lebih sering terjadi pada tipe kulit III-IV.17

2.1.3 Etiologi

Etiologi melasma masih belum dimengerti.1-3,23,25 Adapun faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi UV, dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu yang terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut terlibat dalam patogenesis melasma.1-5,8,10,12,15,16,24 Dari sekian banyak faktor etiologi yang berhubungan dengan melasma, paparan sinar matahari terlihat sangat berperan penting.5,8,22,26 Penelitian oleh Sanchez dkk., semua pasien yang bertempat tinggal di Puerto Rico


(25)

dan sebagian besar onset melasmanya terjadi selama musim panas, pasien merasa pada musim dingin melasma mereka nyata berkurang. Pasien ini juga mengatakan bahwa paparan sinar matahari akan memperparah melasma mereka.5 Pathak dkk. memperkirakan bahwa pengaruh genetik dan paparan sinar matahari adalah yang sangat berperan.4,12,27 Beberapa dari faktor-faktor tersebut telah diobservasi sedangkan yang lainnya telah dilakukan uji klinis.5 Kira-kira sepertiga kasus melasma pada wanita, dan sebagian besar pada pria adalah idiopatik.3,27,28

2.1.4 Patogenesis

Patogenesis melasma selalu digunakan dalam pelaksanaan proses diagnosis maupun proses pengobatan. Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak berkaitan dengan biologi, biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi kulit, baik ditingkat selular, biomolekular dan jaringan kulit. Juga berhubungan langsung dengan faktor penyebab melalui beberapa mekanisme yang bersifat spesifik.27

A. Sistem Pigmentasi Kulit

Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan keratinosit beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu pigmen melanin.27 Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di lapisan basal epidermis dan matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal dihubungkan melalui dendrit-dendrit melanosit dengan 36 keratinosit yang berada pada lapisan malphigi epidermis, ini yang disebut dengan unit melanin lapisan epidermal. Melanosit memproduksi tirosinase dan melanosom. Di dalam melanosit diproduksi dua subtipe melanin, eumelanin dan feomelanin. Tirosinase berperan dalam pembentukan dua subtipe melanin tersebut.29,30


(26)

Skema 1. Pigmentasi kulit*

Tirosin

hidroksilasi

3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA) oksidasi enzim tirosinase DOPAquinon

Pembentukan melanin di dalam melanosom

Bermigrasi ke dalam dendrit-dendrit dari melanosit

setiap melanosit berhubungan dengan beberapa keratinosit

Unit Melanin Epidermal

*Sesuai dengan kepustakaan aslinya no.30

Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari polimerisasi dan oksidasi pada proses melanogenesis. Terdapat 2 pigmen melanin yaitu, eumelanin (coklat-hitam) dan feomelanin (kuning-merah). Eumelanin bersifat lebih dominan.27,29,31 Melanin ditransfer dari melanosit ke epidermis melalui keratinosit. Degradasi melanosom dilakukan oleh asam hidrolase lisosom selama keratinosit naik menuju permukaan epidermis, dan akhirnya melanin hilang bersama lepasnya stratum korneum.30 Jika terdapat inflamasi kulit dan kemudian kerusakan selular, beberapa melanosom


(27)

masuk ke dalam dermis dan ditangkap oleh makrofag, maka sel-sel ini yang kemudian dikatakan sebagai melanofag.28

Karakteristik keadaan untuk melasma yaitu terjadi kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermal, yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin tanpa perubahan jumlah melanosit, dengan mekanisme peningkatan produksi melanosom, peningkatan melanisasi dari melanosom, pembentukan melanosom yang lebih besar, peningkatan pemindahan melanosom ke dalam keratinosit, dan peningkatan ketahanan melanosom dalam keratinosit.27

B.Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma

a). Faktor Endokrin

Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain : Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan progesteron.27,31

Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenyl cyclase (c-AMP) dan juga meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin dan penyebaran melanin. Hipermelanosis yang difus berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal. Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi bila kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme inhibisi umpan balik.27

Estrogen dan progesteron baik natural maupun sintetis diduga sebagai penyebab terjadinya melasma oleh karena sering berhubungannya dengan kehamilan (Snell, 1964), penggunaan obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron (Esoda, 1963; Resnick, 1967; Cook dkk., 1961), penggunaan estrogen konjugasi pada


(28)

wanita postmenopause (Parker, 1981) dan pengobatan kanker prostat dengan dietilbestrol (Ross dkk., 1981).1,18 Meskipun peran estrogen dalam menginduksi melasma belum diketahui, namun dilaporkan bahwa melanosit yang mengandung reseptor estrogen menstimulasi sel-sel tersebut menjadi hiperaktif.1

Peranan hormon estrogen dan progesteron pada kehamilan yang disertai melasma juga belum diketahui dengan pasti. Pathak dkk. berpendapat bahwa melasma tidak akan hilang setelah proses kelahiran atau penghentian penggunaan obat kontrasepsi. Kelainan ini dapat memudar akan tetapi lebih sering persisten untuk jangka waktu yang lama, dan timbul kembali pada kehamilan berikutnya.3,4,11,23 Dari penelitian ternyata 77% wanita yang menderita melasma karena pemakaian pil kontrasepsi, juga menderita melasma gravidarum.27 Pada penelitian Iraji di Iran menunjukkan dari 230 wanita hamil, 27,6% menderita melasma. Muzzaffar di Pakistan menyatakan dari 140 wanita hamil, 46,4% menderita melasma dan pada satu penelitian di Perancis oleh Estev dkk. (1994) pada 60 wanita hamil, dilaporkan prevalensi sebanyak 5% (n=3). Prevalensi melasma pada penelitian lainnya dilaporkan sebanyak 50-70%.32 Pada mamalia, hormon pituitari dan ovarium merangsang terjadinya melanogenesis.29

Walaupun estrogen disangka memegang peranan penting dalam etiologi melasma, terdapat insiden yang rendah diantara para wanita postmenopause yang mendapat terapi pengganti.2,3,27

Perez dkk. mengevaluasi profil endokrinologik pada 9 wanita dengan melasma idiopatik dan menemukan adanya peningkatan level leutinizing hormon (LH) dan level estradiol serum yang rendah, abnormalitas diduga akibat adanya disfungsi ovarium ringan. Pada 15 pasien pria dengan melasma idiopatik juga menunjukkan profil


(29)

hormon yang abnormal, dengan peningkatan level sirkulasi LH dan level testosteron serum yang rendah dibanding kontrol, mungkin oleh karena testicular resistance.1,4 ,5,18

Disamping itu juga terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit autoimun tiroid dengan melasma. Penelitian oleh Lutfi dkk. pada 108 wanita yang tidak hamil dan menemukan hubungan yang bermakna antara penyakit tiroid autoimun dan melasma, terutama pada wanita yang penyakit tersebut didapat pada saat hamil atau setelah menggunakan obat kontrasepsi oral. Pada penelitian ini penderita penyakit tiroid empat kali lebih besar menderita melasma (n=84) dibanding kontrol (n=25).1,4,5,23

b). PredisposisiGenetik

Faktor genetik dan ras mempunyai kontribusi bermakna terhadap patogenesis melasma, seperti yang diduga pada kajadian melasma familial bahwa penyakit ini jauh lebih sering ditemukan pada ras Hispanik, Latin, Oriental dan Indo-Cina.1,11 Faktor predisposisi genetik pada melasma sering dijumpai pada penderita dengan tipe kulit III-VI.28

Orang-orang yang berkulit coklat terang dari daerah yang banyak mengandung sinar matahari, menunjukkan lebih dari 30% penderita melasma mempunyai riwayat keluarga dengan melasma juga. Pada kembar identik pernah dilaporkan menderita melasma, sementara saudara kandung lain dengan kondisi yang sama tidak menderita melasma. Sanchas melaporkan 25% penderita melasma mempunyai keluarga yang juga menderita melasma, sedangkan Vasquez melaporkan sebanyak 70% dan Pathak sebanyak 30%.27 Penelitian Rikyanto (2003), pasien melasma yang terjadi pada usia 21-30 tahun kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik. Melasma terjadi pada usia lebih muda bila terdapat riwayat melasma dalam keluarga.20 Meskipun telah


(30)

dilaporkan beberapa kasus yang familial, bukti bahwa melasma dapat diturunkan sangat lemah.28,30

Faktor genetik melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik.30,31

c). Faktor Paparan Sinar Matahari

Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini berlaku untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah apabila terpapar sinar matahari.23 Eksaserbasi melasma hampir pasti dijumpai setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi melasma akan memudar selama musim dingin.1,3 Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang merusak lipid dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan.14

Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan 10% dapat mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai dermis.30 Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase sehingga dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu proses melanogenesis.27 Pada mekanisme perlindungan alami terjadi peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning cepat dan lambat sebagai respon terhadap radiasi UV. Ultraviolet A menimbulkan reaksi pigmentasi cepat. Reaksi cepat ini merupakan fotooksidasi dari melanin yang telah


(31)

ada, dan melanin hasil radiasi UVA hanya tersebar pada stratum basalis. Pada reaksi pigmentasi lambat yang disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami proliferasi, terjadi sintesis dan redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya. Melasma merupakan proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang kronis.27

Terjadinya melasma pada daerah wajah karena memiliki jumlah melanosit epidermal yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya dan merupakan daerah yang paling sering terpapar sinar matahari.Interaksi antara faktor sinar matahari dan berbagai hormon terjadi di perifer, kemudian bersama-sama mempengaruhi metabolisme melanin di dalam melanoepidermal unit.27,30,31

d). Faktor Kosmetika

Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan faktor positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit seseorang dapat menimbulkan efek kosmetik. Penelitian Tranggono pada bulan Januari sampai Desember 1978 terhadap 244 pasien di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta yang menderita noda-noda hitam, 18,3% diantaranya disebabkan oleh kosmetik.30 Bahan kosmetika yang menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan iritan atau photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak, minyak mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik.1,19,27,33 Melasma yang terjadi biasanya difus dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari.27

Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan sinar matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon imun. Mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan merangsang prolifersi melanosit yaitu


(32)

leukotrien C4 dan D4. Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1 α, IL6, Tumor

Necrosing Factor (TNF) α menghambat proliferasi melanosit.27

Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan kimia ini menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses ini melanosom dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis dan terjadilah inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal.27

e). Faktor Obat-obatan

Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan kasus hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh obat ini bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan melibatkan akumulasi melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non spesifik dan sering diperparah dengan paparan sinar matahari.30 Biasanya obat-obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis.33

Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering terpapar sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin), amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen inorganik, dan obat antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan barbiturat.3,27


(33)

Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan pinggir iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan pola retikular.8 Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu sentrofasial (63%) mengenai daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, malar (21%) mengenai pipi dan hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus mandibula. 1,3,4,8,12,17,20,23,,32,34 Melasma tidak mengenai membran mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu lesi sampai multipel dengan distribusi simetris.1

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan fungsi endokrin, tiroid dan hepatik.33

B. Pemeriksaan histopatologis

Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal. Terdapat tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal, dan campuran. Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan, terdapat peningkatan melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah dan aktivitas melanosit masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit. Tipe epidermal lebih responsif terhadap pengobatan.1,3,4,5,12,28,34 Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan diambil oleh makrofag (melanofag), dimana sering berkumpul di sekitar pembuluh darah kecil dan dilatasi. Pada melasma tipe campuran ditandai dengan adanya deposisi pada lapisan dermal dan epidermal.1,3,4,5,28,31


(34)

Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat menentukan pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan lokalisasi pigmen, sebelum diterapi maka pasien harus diperiksa dengan menggunakan lampu Wood.1

Lawrens berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma. Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe melasma campuran dermal-epidermal.3 Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik bagi perbaikan klinis.3

Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat diklasifikasikan menjadi :

a). Tipe Epidermal

Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal.1,3-5,8,23,33 Sebagian besar pasien melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe epidermal memiliki respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi.1,23,34

b). Tipe Dermal

Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras pada lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui makrofag dan keadaan ini tidak mampu dicapai oleh bahan-bahan depigmentasi.1,3-5,8,23,31


(35)

c). Tipe Dermal-Epidermal (Campuran)

Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan lampu biasa dan dengan lampu Wood terlihat pada beberapa daerah lesi akan tampak warna yang kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak.1,3-5,8,23,31

d). Tipe Indeterminate

Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V danVI) dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-abu gelap namun sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul.1,3-5,23,31

2.1.7 Diagnosis Banding

Melasma dapat didiagnosis banding dengan Hipermelanosis postinflamasi, Efelid, Solar lentigo, Lentigo simpleks, Nevus ota, Acquired bilateral naevus of ota-like macules, Erythose peribuccale pigmentaire of Brocq, Erythromelanosis follicularis faciei et colli, Poikiloderma of civatte, Melanosis Riehl, Dermatitis Berloque, Makula Café au lait, Keratoses seboroik, Liken planus aktinik, Hiperpigmentasi periorbita.6,28,35

2.1.8 Penatalaksanaan

Pengobatan melasma dapat dilakukan dengan cara topikal menggunakan bahan-bahan pemutih yang dibagi dalam tiga kategori yaitu senyawa fenolik (hidrokuinon), senyawa non fenolik (asam azelaik, tretinoin, asam kojik, asam L-askorbat, kortikosteroid, vitamin E, dan


(36)

thioctic acid) dan formula kombinasi (formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof).1,5,12

Untuk pengobatan secara oral dapat diberikan obat yang mengandung pigmen karotenoid, AX, yang banyak terkandung pada alga Haematococcus pluvialis dimana juga mempunyai sifat sebagai antioksidan, fotoprotektif, dan antiinflamasi serta banyak manfaat lainnya.Dapat juga dengan Pycnogenol yaitu ekstrak French maritime pine bark (Pinus pinaster), yang mengandung senyawa monomer fenolik dan condensed flavonoid dimana juga mempunyai sifat sebagai antioksidan dan antiinflamasi, namun kedua pengobatan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut lagi.1,14

Selain itu pada kasus-kasus yang sulit diobati dapat digunakan pengobatan dengan pengelupasan kimia yaitu dengan asam glikolik (GA), asam trikloroasetat (TCA), asam salisilat, tretinoin dan resorsinol; dermabrasi, intense pulsed light therapy (IPL) dan laser.1,8,28

Oleh karena paparan sinar matahari merupakan faktor utama dalam eksaserbasi melasma, maka diwajibkan pemakaian tabir surya berspektrum luas (SPF>30) yang memiliki perlindungan terhadap UVA dan UVB, dan menghindari paparan langsung sinar matahari serta menggunakan pakaian tertutup dan kain pelindung seperti topi atau payung disiang hari. Secara umum ada dua jenis produk tabir surya yaitu tabir surya organik dan inorganik.1,3

2.2 Astaxanthin

Astaxanthin (AX) merupakan pigmen merah karotenoid yang mempunyai struktur hampir mirip dengan ß-karoten. Astaxanthin diperoleh dari berbagai organisme laut, meliputi tumbuhan mikroskopik yang dikenal sebagai mikro-alga Haematococcus pluvialis, serta didapat dari


(37)

beberapa jenis ikan seperti salmon, tuna dan trout juga terdapat dari sekelompok crustacea

misalnya kepiting, lobster dan udang, begitu juga pada burung flamingo dan burung puyuh.36-38

Terdapat 3 stereoisomer dari AX seperti 3S, 3’S; 3R,3’S; 3R,3’R. Stereoisomer 3S,3’S merupakan bentuk utama pada H. pluvialis, yang mana AX sintetik biasanya mengandung stereoisomer 3R,3’S.37,38

Karotenoid dapat dibagi menjadi Karotenoid Polar (astaxanthin, canthaxanthin, tunaxanthin, zeaxanthin, lutein) dan Karotenoid Non-Polar (β-karoten, α-karoten, lycopene). Alga

H. pluvalis kaya akan AX dengan tiga peran penting diantaranya sebagai antioksidan, antiinflamasi, dan imunomodulator (in vitro).36-38 Astaxanthin juga memiliki berbagai fungsi biologis penting lainnya diantaranya perlindungan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh esensial, perlindungan terhadap efek sinar matahari, respon imun, pigmentasi, kemampuan reproduksi dan memperbaiki sistem reproduksi.38

2.2.1 Mekanisme kerja

Inflamasi yang biasanya terjadi setelah paparan sinar matahari dapat dimodulasi oleh suatu antioksidan kuat. Astaxanthin adalah antioksidan biologik yang kuat, yang dapat mengabsorbsi energi yang berlebihan dari radikal bebas yang mengandung atom-atom oksigen yang disebut sebagai zat-zat oksigen reaktif (reactive oxygen species) diantaranya singlet oxygen

kedalam rantai karotenoid, sehingga mengurangi kerusakan sel dan jaringan tubuh (kulit), juga melindungi membran sel yang terdiri dari fosfolipid dan lipid lainnya terhadap peroksidasi sehingga AX diyakini mempunyai peranan penting sebagai proteksi terhadap fotooksidasi sinar UV. Astaxanthin secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan β karoten dan lutein dalam mencegah fotooksidasi lipid dan jaringan tubuh. Astaxanthin juga memperbaiki garis-garis, keriput, elastisitas dan kelembaban kulit sambil mengurangi inflamasi dan kerusakan sel.36


(38)

Yamashita (1995) menunjukkan pada subyek (n=7), AXalamiah topikal secara signifikan mengurangi tingkat kemerahan (eritema) sampai dengan 60% dalam waktu 98 jam setelah paparan terhadap UVB. Lee dkk. (2003), mengatakan bahwa AX bekerja dengan menekan mediator prainflamasi dan sitokin melalui jalur aktivasi NF-κB yang bergantung pada IκB kinase.38

2.2.2 Cara kerja

Di Indonesia AX mempunyai sediaan dalam bentuk oral yang diminum sekali sehari, sedangkan bentuk topikal diaplikasikan dua kali sehari pada daerah yang terlibat.37

2.3 Triple Combination

Formula kombinasi merupakan sekumpulan bahan yang diharapkan dapat memperbaiki efektifitas bahan pemutih tunggal dan mengurangi risiko terjadinya efek samping. Formulasi kombinasi yang paling sering digunakan diantaranya formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof.1

Formula original dari Kligman dan Willis mengandung hidrokuinon 5%, tretinoin 0,1%, dan deksametason 0,1% dan telah terbukti efektif dalam pengobatan melasma, efelid, dan hiperpigmentasi postinflamasi.1-4 Formula Pathak mengandung hidrokuinon 2% dan tretinoin 0,05-0,1%, tanpa steroid dan dianjurkan pemberiannya apabila ditemukan adanya iritasi akibat hidrokuinon atau tretinoin. Formula Westerhof mengandung N-acetylcystein 4,7%, hidrokuinon 2%, dan triamsinolon asetonid 0,1%.1


(39)

Saat ini, fixed combination therapy telah dikembangkan yang mengandung fluosinolon asetonid, merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI). Formula dari terapi TC ini terdiri dari hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA), dan fluosinolon asetonid 0,01% (FA). Kombinasi ini telah terbukti aman dan efektif dalam pengobatan melasma selama 8 minggu.2,5,6,10,16

Berbagai penelitian telah dilakukan, membandingkan krim TC dengan ketiga bahan aktif yang berhubungan (FA + HQ, FA + RA, dan HQ + RA). Keseluruhan penelitian ini telah memperlihatkan bahwa krim TC memiliki efikasi yang lebih baik.6 Baru-baru ini the Pigmentary Disorders Academy (PDA) telah mengevaluasi seluruh uji klinis pada melasma dalam 20 tahun terakhir dan telah mempublikasikan pernyataan yang disetujui dalam pengobatan melasma. PDA berpendapat bahwa topical fixed triple combination (TC) harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Dual therapies dan monoterapi mempunyai onset kerja dan efikasi yang rendah, dan oleh karena itu hanya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap triple therapy

atau jika triple therapy tidak tersedia.6

2.3.1 Mekanisme kerja

A. Hidrokuinon

Hidrokuinon adalah bahan pemutih yang sangat sering digunakan pada saat ini, terutama untuk melasma dan kelainan hiperpigmentasi wajah lainnya.1,4,11,17,22,23,28,39 Hidrokuinon merupakan senyawa kimia hidroksifenolik yang dapat menginhibisi perubahan DOPA menjadi melanin melalui penghambatan aktivitas enzim tirosinase. Mekanisme lainnya adalah penghambatan sintesis DNA dan RNA, degradasi melanosom, dan penghancuran melanosit.1,4,5,7,12,22,23 Kemiripan struktur kimia HQ dengan prekursor


(40)

melanin menjelaskan kemampuannya untuk dapat dimetabolisme di dalam melanosit begitu juga terhadap kerja HQ yang selektif pada proses melanogenesis.1

Derivat dari HQ yaitu the monobenzyl ether of HQ, methoxyphenol, 4-isopropylcatechol, 4-hydroxyanisol, dan N-acetyl-4-S-cystaminylphenol. Tidak seperti the monobenzylether of HQ, HQ tidak dimetabolisme menjadi radikal bebas sitotoksik dan tidak merusak melanosit. Efek depigmentasi biasanya terbatas pada daerah aplikasi dan bersifat reversibel.1

Efektifitas HQ berhubungan secara langsung dengan konsentrasi preparat, vehikulum yang digunakan, dan stabilitas hasil akhir dari bahan-bahan kimia yang terkandung didalamnya.1,23 Konsentrasi HQ bervariasi mulai dari 2%-5%, dimana konsentrasi yang lebih tinggi biasanya lebih iritatif dan memiliki risiko yang lebih besar terhadap fototoksisitas, dengan peningkatan efikasi yang lebih sedikit dan tidak direkomendasikan, terkecuali pada kasus yang refrakter.1,2,11,22,23,39,40 Aplikasi topikal HQ 2%-4% adalah pengobatan yang disetujui dan HQ 4% merupakan baku emas untuk pengobatan melasma.5 Pemakaian HQ 2%, tanpa penambahan substansi lainnya, hanya bermanfaat sebagai terapi pemeliharaan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh US Food and Drug Administration and European of Cosmetics Products.23 Efikasi dan efek simpang HQ 4% telah dievaluasi oleh Ennes dkk. (2000) pada penelitian buta ganda kontrol plasebo yang melibatkan 48 pasien melasma di wajah.41

Berbagai penelitian uji klinis menganjurkan vehikulum solusio hidroalkoholik atau salap hidrofilik atau gel yang mengandung AHA 10%, yang lebih baik untuk formulasi HQ.1,12,23,26,40 Antioksidan, seperti sodium bisulfat 0,1% dan asam askorbat (vitamin C) 0,1%, harus digunakan untuk menjaga stabilitas forrmulasi. Efek pemutih HQ didapatkan mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah aplikasi.1,23,26


(41)

Efek samping akut pemakaian HQ diantaranya dermatitis kontak iritan dan alergik, hiperpigmentasi postinflamasi, dan perubahan warna kuku. Okronosis eksogen,

reticulated ripple-like sooty pigmentation yang permanen pada wajah, biasanya mengenai pipi, dahi, daerah periorbital adalah efek samping kronis yang utama. Resolusi biasanya terjadi perlahan setelah penghentian obat.1,4,22,23,40 Hidrokuinon dapat menimbulkan depigmentasi permanen apabila lesi diobati dengan konsentrasi yang tinggi dan dalam jangka waktu lama.23

B. Tretinoin

Tretinoin (asam retinoat atau asam vitamin A) juga terbukti efektif untuk pengobatan melasma. Selain melasma, tretinoin juga digunakan untuk mengobati hiperpigmentasi akibat penuaan dini dan hiperpigmentasi postinflamasi. Tretinoin secara luas diyakini dapat menyebabkan penyebaran granul-granul pigmen dalam keratinosit, dengan mengganggu transfer pigmen, dan mempercepat transfer epidermis, sehingga pigmen hilang secara lebih cepat. Tretinoin juga mempercepat turnover epidermis, mempersingkat “transit time” di lapisan basal dan mempercepat hilangnya pigmen melalui proses epidermopoesis. Asam retinoat (RA) mereduksi melanin epidermis, kemungkinan dengan cara menurunkan jumlah transfer melanosom ke keratinosit, selanjutnya meningkatkan proliferasi epidermis dan penghambatan enzim tirosinase dan pada akhirnya terjadi penurunan proses melanogenesis.1,2,5,7,11,23 Ketika digunakan sebagai monoterapi, tretinoin cukup efektif akan tetapi membutuhkan waktu pengobatan selama 6 bulan atau lebih. Sehingga tretinoin sering dikombinasikan dengan satu atau lebih bahan lainnya untuk mempercepat timbulnya efek yang diharapkan. Tretinoin juga berpotensi untuk menginduksi sintesis DNA sel epidermal dan dermal. Hal ini dianggap dapat membantu meniadakan efek atrofogenik steroid topikal dengan meningkatkan ketebalan kulit. Tretinoin mengesampingkan efek atrofi dan anti mitotik akibat penggunaan


(42)

kortikosteroid.2,7 Reaksi iritasi akibat tretinoin dapat memfasilitasi penetrasi epidermal dari HQ dan juga mencegah HQ teroksidasi.7,12 Konsentrasi tretinoin berkisar antara 0,05% sampai 0,1%.22

Efek samping pemakaian tretinoin berupa eritema, deskuamasi dan dermatitis kontak, akan tetapi tidak akan merubah efikasi pengobatan.4,28

C. Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal dapat mengurangi hiperpigmentasi pada pasien melasma akan tetapi tidak dapat dipakai sebagai monoterapi oleh karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.1 Kortikosteroid memiliki efek anti metabolik pada berbagai sistem sel. Ada yang bersifat sitotoksik atau sitostatik terhadap epidermis dan menurunkan turnover

epidermis.7 Dikatakan bahwa kortikosteroid dapat menghambat sintesis melanin melalui penurunan aktivitas sel secara umum. Selain itu, kortikosteroid dapat mereduksi iritasi atau inflamasi yang disebabkan oleh HQ dan tretinoin. Demikian juga, komponen kortikosteroid tampaknya antagonis terhadap efek penipisan stratum korneum akibat penggunaan tretinoin dan mereduksi iritasi yang diinduksi oleh retinoid.2,7 Kligman dan Willis menduga bahwa komponen kortikosteroid pada formulasi mereka dapat menekan fungsi biosintetik dan sekresi melanosit, sehingga menekan produksi melanin tanpa menghancurkan melanosit.7

Efek samping pemakaian kortikosteroid potensi tinggi terutama dalam jangka waktu lama diantaranya atrofi, telangiektasi, akne atau erupsi akneformis, eritema mirip rosacea, dermatitis perioral, dan rasa gatal.7


(43)

TC mempunyai sediaan dalam bentuk topikal yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01% dan diaplikasikan sekali sehari, kira-kira setengah jam sebelum tidur.

2.3.3 Efek samping

Efek samping pengobatan TC yang paling sering terjadi adalah eritema, deskuamasi, rasa terbakar, kulit kering, dan rasa gatal.10

2.4 Tabir surya

Paparan sinar matahari merupakan faktor etiologi yang berperan penting, menghindari paparan sinar matahari (UVA dan UVB) dan penggunaan pelindung matahari termasuk pemakaian tabir surya berspektrum luas, pelindung UVA pada kaca mobil dan rumah, dan pakaian tertutup, seperti topi, adalah bagian dari pengobatan melasma yang sangat menentukan.3,5,11

Tabir surya telah ada sejak tahun 1928 dan saat ini berperan penting dalam pencegahan kanker kulit dan proteksi terhadap sinar matahari.42 Saat ini, tolak ukur dan pelaporan efikasi tabir surya ditentukan oleh sun protection factor (SPF).43 Tabir surya sangat efektif mencegah terjadinya eritema. SPF merupakan pengukuran kemampuan perlindungan suatu tabir surya terhadap eritema, terutama pengukuran proteksi terhadap UVB, sebagaimana UVB 1000 kali lebih eritemogenik dibanding UVA. Sun protection factor adalah perbandingan antara dosis radiasi UV yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon eritema minimal kulit yang dilindungi oleh tabir surya selama 24 jam setelah terpapar terhadap dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkatan eritema yang sama pada kulit yang tidak dilindungi. Protokol yang ada


(44)

secara umum dapat diterima, tetapi belum ada standart internasional yang sebenarnya. Saat pemeriksaan SPF telah selesai, sumber radiasi (solar stimulator atau natural sunlight) dan tipe kulit peserta harus ditentukan.43 Di Amerika Serikat, tabir surya diatur oleh Food and Drug Administration (FDA).44,45

Terdapat 17 bahan aktif terkandung dalam tabir surya yang disetujui FDA. Komposisi tabir surya secara umum dibagi menjadi bahan inorganik dan organik, sebelumnya secara berurutan dikenal dengan istilah tabir surya fisik dan tabir surya kimia.42

Tabir surya inorganik bekerja dengan merefleksikan atau menghamburkan radiasi sinar tampak, UV, dan infrared lebih dari sekedar berspektrum luas. Bahan inorganik utama yang digunakan saat ini adalah zinc oxide (ZnO) dan titanium dioxide (TiO2), yang bersifat fotostabil dan

memerlukan aplikasi yang tebal untuk mencapai refleksi yang adekuat. Zinc oxide memberikan proteksi yang lebih baik terhadap UVA (sampai 380 nm), dimana TiO2 memberikan proteksi

yang lebih baik terhadap UVB dan memiliki warna keputihan oleh karena indeks refraksi yang lebih tinggi.42,45

Berbeda dengan bahan tabir surya inorganik, bahan kimia organik mengabsorbsi radiasi UV melalui struktur cincin aromatik konjugasi. Berdasarkan aktivitasnya bahan tabir surya organik dibagi menjadi filter UVB dan UVA. Komposisi tabir surya organik, khususnya filter UVB, bekerja dengan mengabsorbsi radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas.42,45

PABA merupakan bahan organik UVB yang paling poten, yang mana kemampuannya mengikat keratinosit dapat mengotori kulit, tetapi membuatnya tahan terhadap air dan keringat. Banyak laporan mengenai alergi kontak akibat PABA, dan oleh sebab itu sering digantikan dengan derivat PABA yang kurang efektif seperti padimate O. Sinamat, termasuk octinoxate dan

cinoxate, adalah filter UVB yang sangat populer di AS karena tidak mengotori kulit dan jarang mengiritasi. Salisilat, bahan organik UVB yang paling lemah, termasuk octisalate, homosalate,


(45)

dan trolamine salicylate. Octocrylene merupakan penyerap UVB yang lemah. Senyawa ini memiliki profil keamanan yang baik dengan iritasi, fototoksik dan fotoalergik yang rendah.42,45

Benzophenone merupakan bahan organik UVA yang memberikan perlindungan broad-spectrum terhadap UVB dan UVA. Namun demikian, benzophenone bersifat fotolabil dan oksidasinya dapat menganggu sistem antioksidan. FDA telah menyetujui 3 benzophenone:

oxybenzone, sulisobenzone, dan dioxybenzone. Avobenzone (butyl methoxydibenzoylmethane), filter UVA yang poten, tetapi bersifat sangat fotolabil. Ecamsule (Mexoryl atau terephthalylidene dicamphor sulphoic acid) merupakan bahan broad-spectrum terbaru dengan profil absorbsi antara 290 dan 390 nm. Ecamsule dapat mencegah atau mereduksi pigmentasi yang diinduksi sinar matahari, pembentukan dimer pirimidin, akumulasi protein p53, perubahan densitas sel Langerhans, dan fotodermatoses.42,45

Filter organik dan inorganik juga bekerja secara sinergis untuk meningkatkan SPF. Bahan inorganik menghamburkan sinar UV, meningkatkan the photons’optical pathways dan mempertinggi absorbsi yang berikutnya oleh bahan organik.42

Pakaian tertutup dan topi diyakini sebagai fotoproteksi yang sangat bermakna. Dibanding tabir surya, cara fotoproteksi paling populer yang dipakai masyarakat umum, pakaian memiliki banyak kelebihan. Pertama, pakaian dan topi memberikan kenyamanan dan perlindungan yang sama terhadap UVA dan UVB. Kedua, pakaian dan topi lebih memberi perlindungan yang dapat diandalkan selama pemakainya ingat untuk menggunakannya. Terakhir, pakaian dan topi lebih murah dibanding tabir surya, dan sama sekali tidak menimbulkan komplikasi seperti dermatitis kontak dan fotoalergik. Untuk ukuran perlindungan UV pada baju yang lebih akurat dan kuantitatif, sebagian besar perusahaan di seluruh dunia telah menyetujui UV protection factor


(46)

Australia tahun 1996, dan kemudian disetujui dan disaring kembali oleh European Committee for Standardization tahun 2003.45

2.5 Evaluasi hasil pengobatan (efikasi)

Evaluasi hasil pengobatan penelitian uji klinis pada melasma dapat dibagi menjadi teknik evaluasi subjektif dan objektif.35

2.5.1 Teknik evaluasi subjektif

Meskipun mutunya lebih rendah dibanding teknik evaluasi objektif, evaluasi subjektif terutama sekali the physician’s global assessment (PGA) merupakan the primary efficacy endpoint untuk mengevaluasi pengobatan terbaru. PGA adalah the primary efficacy endpoint pada uji klinis melasma. Secara klinis, PGA meruapkan pengukuran subjektif yang relevan dari perubahan keparahan pigmentasi selama pengobatan dibanding dengan awal pengobatan.35

Sistem pengukuran yang paling sering digunakan adalah Melasma Area and Severity Index

(MASI) score dan pertama kali dipakai oleh Kimbrough-Green et al untuk penilaian melasma.

Melasma Area and Severity Index adalah suatu cara untuk mengukur secara teliti keparahan melasma dan perubahan selama terapi. Skor MASI dihitung pertama sekali dengan menilai area hiperpigmentasi di wajah. Empat area yang dievaluasi: dahi (F), pipi kanan (MR), pipi kiri (ML), dan dagu (C), yang disesuaikan secara berurutan dengan 30%, 30%, 30%, dan 10% dari seluruh wajah. Melasma dimasing-masing keempat area diberi nilai numerik: 0, tidak dijumpai lesi hiperpigmentasi; 1, <10%; 2, 10-29%; 3, 30-49%; 4, 50-69%; 5, 70-89%; dan 6, 90-100%. Kehitaman pigmen dibanding kulit normal (D) dinilai pada masing-masing area dengan skala 0


(47)

(tidak ada) sampai 4 (maksimal), homogenitas (H) juga diukur berdasarkan skala 0 (minimal) sampai 4 (maksimal). Untuk mengukur skor MASI, jumlah tingkatan keparahan D dan H dikalikan dengan nilai numerik are yang terlibat (A); skor maksimal adalah 48 dan minimal 0.24,35,46,47

The Melasma Severity Scale (MSS) merupakan sistem skoring empat tingkat (skala kategorik) yang menilai keparahan melasma yaitu: 0, lesi melasma hampir sama dengan kulit normal disekitarnya atau dengan sedikit sisa pigmentasi; 1, ringan, sedikit lebih gelap dibanding kulit normal disekitarnya; 2, moderat, cukup gelap dibanding kulit normal disekitarnya; 3, berat, sangat mencolok/jelas kegelapan lesi dibanding kulit normal disekitarnya.24,35

2.6.2 Teknik evaluasi objektif

Berbagai teknik evaluasi objektif telah digunakan pada penelitian uji klins melasma, seperti reflectance spectroscopy, fotografi, fluorescent video recording dan corneomelametry, dan histologi.35


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda (double blind randomized clinical trial).

3.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi, bertempat di Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi penelitian

3.3.1 Populasi target

Wanita yang menderita melasma.

3.3.2 Populasi terjangkau

Wanita yang menderita melasma yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan mulai bulan Januari 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi.


(49)

3.3.3 Sampel

Wanita yang menderita melasma yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan Bagian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil untuk dilakukan pengukuran dan jumlahnya sesuai dengan rumusan besar sampel yang telah ditentukan.

3.4 Besar sampel

Rumus :

n = jumlah sampel wanita yang menderita melasma zα = tingkat kepercayaan 95% =1,960

zβ = power penelitian= 0,842 P= proporsi efek pada terapi standar

P= ½ (P1+P2)

P1= proporsi efek TC pada penelitian sebelumnya = 64%

P2= proporsi efek yang diharapkan pada penelitian yang diteliti = 96 %

Maka :


(50)

(0,64-0,96)2 n1=n2= (1,96√0,32+0,842√0,23+0,038)2

(0,32) 2 n1=n2= (1,96.0,565+0,842.0,517)2

(0,32)2 n1=n2= (1,11+0,44)2

0,1 n1=n2= (1,55)2

0,1

n1=n2= 24

Koreksi besar sampel untuk antisipasi drop out

n = n

(1-f) n = 24

1 – 0,1

= 26,7

= 27 pasien

Jadi total sampel untuk tiap kelompok adalah 27 pasien

3.5 Cara pengambilan sampel penelitian


(51)

3.6 Identifikasi variabel

3.6.1 Variabel bebas : AX oral, gel AX, krim TC

3.6.2 Variabel tergantung : perbaikan klinis melasma (penurunan Melasma

Severity Scale dan skor MASI)

3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.7.1 Kriteria Inklusi :

1. Pasien melasma berjenis kelamin wanita. 2. Pasien melasma tipe epidermal.

3. Pasien melasma derajat sedang sampai berat (MSS ≥ 2). 4. Usia pasien minimal 21 tahun.

5. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent.

3.7.2 Kriteria eksklusi :

1. Pasien tidak sedang hamil. 2. Pasien tidak sedang menyusui.

3. Pasien yang menggunakan kontrasepsi baik secara oral, suntik, implan atau susuk.

4. Pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obat yang bersifat fotosensitif seperti klorpromazin, amiodaron; tetrasiklin, minosiklin, klorokuin,


(52)

5. Pasien yang bekerja dibawah paparan sinar matahari.

6. Pasien yang telah mendapat pengobatan topikal (kortikosteroid, asam glikolat, hidrokuinon, terapi sinar UV, retinoid) dalam waktu 2 minggu, obat kortikosteroid sistemik dalam waktu 1 bulan, laser, dermabrasi atau peels

dalam waktu 3 bulan, dan atau obat sistemik asitretin, etretinat, isotretinoin, metotreksat) dalam waktu 4 bulan sebelum datang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.

3.8 Alat, bahan dan cara kerja

3.8.1 Alat & bahan

Alat : Medicindo wood lamp dengan ukuran alat kira-kira 20 x 11 cm, ukuran kaca kira-kira 6 x 3 cm, dan pegangan tangan sepanjang 12 cm, penggaris merk Butterfly (cm), dan kamera digital merk Canon

tipe Powershoot a700, 6MP.

Bahan : kapsul AX 4mg, gel AX 0,02%, krim TC (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%), krim ambifilik, krim tabir surya inorganik SPF 33. Bahan-bahan dikemas dalam tempat, bentuk dan ukuran yang sama.


(53)

3.8.3 Cara kerja

Sebelum dilakukan pengobatan, kepada pasien diberikan pengertian dan petunjuk yaitu :

I. Pasien harus mempunyai keinginan yang kuat untuk berobat dan kontrol, serta harus dapat bekerja sama dengan dokter.

II. Kepada pasien diterangkan bahwa hasil pengobatan ini tidak terlihat dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan waktu yang lama yaitu 8 minggu. III. Pasien diminta untuk tidak menggunakan kosmetika dan bahan topikal

lainnya pada saat pemeriksaan (lampu Wood, Melasma Severity Scale, skor MASI dan pengambilan foto) karena dapat mengganggu hasil pengamatan. IV. Menggunakan tabir surya minimal 1 kali sehari, baik di dalam maupun di

luar rumah dan pengolesan dapat diulang apabila wajah berkeringat atau basah dan setelah 2 jam kemudian.

V. Pasien tidak diperbolehkan menggunakan pelembab dan kosmetika selain bahan-bahan yang digunakan selama penelitian.

Terhadap subyek penelitian dilakukan randomisasi blok oleh asisten untuk menentukan subyek mana yang mendapatkan pengobatan AX oral disertai gel AX atau disebut sebagai kelompok terapi dan subyek mana yang mendapatkan AX oral disertai krim TC atau disebut sebagai kelompok kontrol.

Adapun cara melakukan adalah sebagai berikut :

Terhadap masing-masing subyek penelitian diberikan amplop yang berisikan kode untuk pengobatan AX oral disertai gel AX ataupun pengobatan AX oral disertai krim TC.


(54)

Setelah pasien memilih kemudian dicatat oleh asisten, pasien yang mendapat AX oral disertai gel AX atau AX oral disertai krim TC.

A. Kelompok AX oral disertai gel AX :

1. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti.

Pencatatan data dasar meliputi identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dermatologis, pemeriksaan penunjang dengan menggunakan lampu Wood sesuai formulir catatan medis terlampir.

2. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang menggunakan lampu Wood oleh peneliti dengan supervisi pembimbing (dokter spesialis kulit dan kelamin).

3. Pemeriksaan lampu Wood.

1) Bertujuan untuk membantu menegakkan diagnosis melasma sekaligus menentukan tipe melasma.

2) Pemeriksaan dilakukan oleh peneliti dengan supervisi pembimbing dalam ruangan gelap tanpa jendela.

3) Lampu wood dihidupkan dan dibiarkan selama 1 menit hingga terasa hangat. Penderita diminta untuk duduk tegak lalu lampu Wood diletakkan lebih kurang 4-5 inci diatas lesi melasma, kemudian dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna/efloresensi yang terjadi pada lesi melasma.

I. Tipe epidermal dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras pada lesi.

II. Tipe dermal dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras pada lesi.


(1)

Chi-Square Tests

2.318

a

2

.314

2.368

2

.306

2.271

1

.132

50

Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio

Linear-by-Linear

Association

N of Valid Cases

Value

df

Asymp. Sig.

(2-sided)

2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The

minimum expected count is 1.92.

a.

Faktor predisposisi * Kelompok pengamatan

Crosstab

5 11 16

7.7 8.3 16.0

10.0% 22.0% 32.0%

7 6 13

6.2 6.8 13.0

14.0% 12.0% 26.0%

2 1 3

1.4 1.6 3.0

4.0% 2.0% 6.0%

0 1 1

.5 .5 1.0

.0% 2.0% 2.0%

10 7 17

8.2 8.8 17.0

20.0% 14.0% 34.0%

24 26 50

24.0 26.0 50.0

48.0% 52.0% 100.0%

Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Paparan sinar matahari

Pengaruh hormonal

Pemakaian kosmetika

Pemakaian obat-obatan

Salah satu faktor diatas disertai pengaruh genetik Faktor

predisposisi

Total

Ax Oral + TC Topikal

Ax Oral + Ax Topikal Kelompok pengamatan

Total

Chi-Square Tests

4.116a 4 .391

4.561 4 .335

2.029 1 .154

50 Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

4 cells (40.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48.


(2)

T-Test

[DataSet0] E:\ABDUL JALIL A A\DATAPPDS07\Faridah Kulkel\Data Faridah Kulkel

20-05-11.sav

Group Statistics

24

41.50

5.649

1.153

26

42.69

6.498

1.274

Kelompok pengamatan

Ax Oral + TC Topikal

Ax Oral + Ax Topikal

Usia (tahun)

N

Mean

Std. Deviation

Std. Error

Mean

Independent Samples Test

.258 .614 -.690 48 .494 -1.192 1.728 -4.667 2.283

-.694 47.839 .491 -1.192 1.719 -4.648 2.263

Equal variances assumed Equal variances not assumed Usia (tahun)

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means

Crosstabs

[DataSet0] E:\ABDUL JALIL A A\DATAPPDS07\Faridah Kulkel\Data Faridah Kulkel

20-05-11.sav

Case Processing Summary

50

100.0%

0

.0%

50

100.0%

Efek simpang gel

Astaxanthin * Kelompok

pengamatan

N

Percent

N

Percent

N

Percent

Valid

Missing

Total


(3)

Efek simpang gel Astaxanthin * Kelompok pengamatan Crosstabulation

2 26 28

13.4 14.6 28.0

4.0% 52.0% 56.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

2 0 2

1.0 1.0 2.0

4.0% .0% 4.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

2 0 2

1.0 1.0 2.0

4.0% .0% 4.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

2 0 2

1.0 1.0 2.0

4.0% .0% 4.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

2 0 2

1.0 1.0 2.0

4.0% .0% 4.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

2 0 2

1.0 1.0 2.0

4.0% .0% 4.0%

1 0 1

.5 .5 1.0

2.0% .0% 2.0%

24 26 50

24.0 26.0 50.0

48.0% 52.0% 100.0% Count

Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total Count Expected Count % of Total

-atrofi

Atrofi

Atrofi, hiperpigmentasi

Eritema, gatal, perih, deskuam

Eritema, gatal, perih, hiperpi

Eritema, gatal, rasa terbakar, Eritema, perih, deskuamasi Eritema, perih, deskuamasi, at Eritema, perih, deskuamasi, te Eritema, perih, hiperpigmentas

Eritema, perih, rasa terbakar, Eritema, rasa terbakar, kulit Eritema, rasa terbakar, perih, Eritema, rasa terbakar, telang Eritema, telangiektasi, hipopi Hiperpigmentasi Telangiektasi, atrofi Efek simpang gel Astaxanthin Total

Ax Oral + TC Topikal

Ax Oral + Ax Topikal Kelompok pengamatan


(4)

Chi-Square Tests

42.560

a

17

.001

54.825

17

.000

50

Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio

N of Valid Cases

Value

df

Asymp. Sig.

(2-sided)

34 cells (94.4%) have expected count less than 5. The

minimum expected count is .48.


(5)

MASTER TABEL KELOMPOK TERAPI

1

RS

49

1

1

2

6

2

2

1

19.2

11.4

2 HS 42

1

1

2

1

2 1 1 8.3 2.1

3 MR 51

1

1

1

6

3 2 1 38.7

29.9

4 HT 43

1

3

1

4

3 - - 19.2 -

5 SCP 46

1

1

2

6

3 2 2 12.6 9

6 ES 27 1

2

2

6

3 2 2 6.3 3.3

7 NKK 49

1

4

1

1

2 1 0 19.5 2.7

8 SP 41 1

1

3

6

3 2 2

12.6

9.8

9 NP 43

1

1

1

6

3 2 2

34.4

18.1

10 RS 41

1

1

1

1

2 1 1 19.8

10.8

11 RM 50

1

3

1

1

2 1 1 23.1 12.5

12 LP 47

1

1

2

3

2 1 1 5.4 2.1

13 RS 36

1

3

1

3

3 3 2 24.3

16.2

14 N 53

4

3

1

1

3 2 1

27.3

17.5

15 NRP 41

1

1

1

1

3 2 2 9.6 7.6

16 MS 38

1

3

1

1

3 3 2 23.8 17.7

17 CLT 51

1

1

3

5

2 1 1 13.8 6.4

18 MA 32

1

1

2

1

3 2 2 21 16.2

19 RMG 40

1

1

2

3

2 1 1 9 3.6

20 AH 41

3

1

3

1

3 1 1 17.1 11.1

21 MT 37

1

1

2

6

2 1 1 7.2 2.4

22 A 48

4

1

2

3

2 1 1 9 3.3

23 NP 33

1

3

2

1

3 2 2 10.5 3.6


(6)

25 ESG 43

1

1

2

4

2 1 1 18 9

26 ST 40

1

3

2

1

2 1 1 11.7 4.8

27 M 49

1

1

2

3

3 2 2

18.9 9

Suku:

1.

Batak

Faktor

Pencetus:

1.

Sinar

matahari

2. Melayu

2. Genetik

3. Jawa

3. Hormonal

4. Minangkabau

4. Kosmetika

5. Tionghoa

5. Obat-obatan

6.

Lain-lain

6.

Salah

satu

faktor

diatas

disertai

pengaruh genetik

7. Lain-lain

Pekerjaan: 1.

PNS

2. Peg. swasta

3.

Wiraswsta

4.

Tidak

bekerja

Bentuk melasma: 1. Sentrofasial

2. Malar