37
jawara mempelajari praktek-praktek ilmu magis, kesaktian, ziyad, kebal dan lain sebagainya. Selain itu, akan dijelaskan kemunculan
praktek magis dalam dunia pesantren dan paguron padepokan di Banten. Salah satu akar kekerasan yang terjadi dalam budaya
jawara Banten dan masyarakat pada umumnya, adalah fenomena teluh dan tenung. Sihir Teluh dan tenung yang berkembang di
Masyarakat, merupakan salah satu representasi dari ilmu hitam di Banten, akar budaya kekerasan ini pun akan dijelaskan dalam bab
ini.
A. Sejarah Singkat Kekerasan di Banten
Banten merupakan salah satu daerah yang cukup dikenal, bukan hanya tempat pariwisata pantai anyer, suku Baduy ataupun
badak bercula satu yang menjadi land mark andalan pariwisata provinsi ini. Lebih dari itu Banten dikenal karena budaya
masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerah-daerah
lain di Indonesia memiliki kutur budaya mereka tersendiri. Identitas budaya masyarakat lokal inilah yang disebut Ali Fadillah
sebagai kearifan lokal, disinilah nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat yang bersumber dari ascriptive ataupun atavistic selalu
dipegang oleh masyarakat Banten di dalam melestarikan dan menjaga kebudayaan mereka.
40
Secara geografis Banten sendiri salah satu provinsi yang terletak di ujung barat pulau Jawa Indonesia, di sebelah barat
provinsi ini langsung menghadap ke selat sunda, di sebelah timur berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta, di sebelah utara ia
berbatasan dengan laut jawa, di sebelah selatan provinsi ini langsung menghadap ke laut pasifik. Dari segi letak geografis
provinsi ini memegang peranan perekonomian yang cukup
40
Persoalan selanjutnya adalah kultur identitas lokal Banten sendiri kerapkali hanya dijadikan symbol bagi segelintir elit, dalam meraih
kepentingan pribadi maupun kelompok. Lihat Ali Fadillah, Identitas Banten: Reposisi Nilai Budaya Dalam Modernitas, dalam Banten Melangkah Menuju
Kemandirian , Kemajuan dan Kesejahteraan, editor Agus Sutisna Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005,73.
38
strategis, provinsi ini sendiri merupakan jalur transit yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera, sekaligus
menjadi wilayah alternative dan wilayah penyangga hinterland bagi DKI Jakarta, dan memiliki bandara udara internasional
Soekarno-Hatta sebagai jalur akses dunia luar. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 penduduk Banten berjumlah
8.096.809 jiwa, dan pada tahun 2003 meningkat 8.956.229 jiwa, dengan komposisi 4.563.563 jiwa laki-laki dan 4.392.666 jiwa
perempuan. Sebagian besar penduduk Banten berpendidikan rendah, khususnya yang terletak di wilayah serang, lebak dan
pandeglang.
Masyarakat Banten dimata orang luar dikenal dengan daerah yang keras, baik dari gaya bicaranya, bahasanya, dan
tindakannya. Sehingga menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah telah melekat dalam kehidupan
masyarakatnya. Untuk memahami kondisi sosial dan budaya kekerasan pada masyarakat Banten tersebut, dapat dilihat dari
aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah terkonstruk pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Jika
dilihat dari aspek sosial dan budaya, Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik di kepulauan
Jawa. Maka tak heran jika ketika seseorang membicarakan Banten, ia akan berasumsi bahwa daerah ini adalah daearah para
Kiayi, Jawara, magis dan debus. Pandangan ini sendiri muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap aspek kehidupan
masyarakatnya, baik secara taradisi, kultur dan Budaya. Selain itu Banten juga dikenal dengan tingkat religiusitas masyarakatnya
yang cukup tinggi.
41
Identitas budaya tradisi masyarakat Banten inilah yang lebih dikenal luas oleh sebagian masyarakat
Indonesia, baik masyarakat awam maupun akademik. Selain itu
41
Bruinessen menyimpulkan bahwa masyarakat Banten memiliki tingkat religiusitas yang tinggi berdasarkan faktor historis, diantaranya, Banten
merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam,kiyai berperan sebagai elit masyarakat lokal dan memiliki peran signifikan, kultur dan budaya Banten
diwarnai oleh nili-nilai ajaran Islam dan lain sebagainya. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The
Banten Paris: Archipel, 1995,168.
39
kultur dan budaya lokal Banten dianggap memiliki nilai jual marketable dikalangan para peneliti ataupun dunia pariwisata.
Daerah Banten pada masa awal merupakan sebuah daerah terpencil yang diapit oleh berbagai sungai diantaranya, CiBanten,
Cisadane, dan Cidurian. Sejarah Banten sendiri lebih dikenal ketika penetrasi Islam masuk ke wilayah ini dan membentuk
sebuah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan oligarki. Pada abad ke-16 M Islam telah menyebar di wilayah ini sampai
kepada puncaknya yang diatandai dengan berdirinya kesultanan Banten Girang pada tahun 1525 M. Adapun tentang keberadaan
ataupun masukknya Islam di Banten, sekitar tahun 1512 M telah di temukan komunitas Islam di daerah Cimanuk kota pelabuhan
dan batas kerajaan Sunda Hindu dengan Cirebon. Hal ini berarti menunjukan bahwa pada abad 15 M di wilayah kerajaan Sunda
Hindu Padjajaran telah terdapat masyarakat yang memeluk Islam.
42
Penetrasi Islam di wilayah ini mulai menyebar secara signifikan ketika datangnya Syarif Hidayatulah Sunan Gunung
Djati dan putranya pangeran Sabakingking Maulana Hasanuddin yang mulai menyebarkan Islam di wilayah ini.
Dalam proses menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Maulana Hasanuddin mempergunakan cara-cara yang
lebih dikenal oleh masyarakat setempat yakni dengan mengadu kesaktian. Dengan metode seperti inilah Maulana Hasanuddin
berhasil menaklukan Pucuk Umun yakni punggawa dari Padjajaran beserta 800 ajar melalui adu kesaktian, dan bersedia
memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Hasanuddin. Dengan takluknya Pucuk Umun terhadap Hasanuddin, hal ini
telah menandakan berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Sunda Hindu Padjajaran atas wilayah Banten.
43
Sekitar tahun 1525 M. wilayah Banten secara teritorial dapat dikuasai penuh oleh pasukan Sultan Maulana Hasanuddin,
yang kemudian lebih dikenal dengan gelar Panembahan
42
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten Serang: Saudara Serang, 1993, 50.
43
Else Ensering, Banten in Times of Revolutions Paris: Archipel,1995,131-132.
40
Surosowan. Dengan berdirinya kesultanan Islam di wilayah Banten, telah menandai peralihan kekuasaan dari penguasa Hindu
saat itu, yaitu Pucuk Umun kepada Sultan Maulana Hasanuddin sebagai penguasa dengan pemerintahan Islam yang berkedudukan
di Cirebon. Banten Girang pada saat itu menjadi pusat kegiatan pemerintahan Kesultanan Banten, tetapi atas intruksi dari Sunan
Gunung Djati pusat Ibu Kota pemerintahan Kesultanan Banten di pindahkan dari Banten Girang menuju teluk Banten 1526-1820
M yang kemudian disebut Surosowan. Daerah ini menjadi pusat kegiatan Kesultanan Banten, kerajaan yang bercorak Islam
terbesar di ujung barat pantai utara pulau Jawa, selama kurang lebih empat abad 16-19 M.
Setidaknya tercatat 19 orang Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Islam terbesar di ujung barat pulau Jawa ini.
Walaupun kerajaan ini berlandaskan Islam, asas kerukunan toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat.
Kesultanan Banten merupakan kesultanan yang egaliter dan terbuka bagi semua golongan dan agama, setidaknya sampai saat
ini kita dapat melihat klenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung Djati sampai saat ini masih terawat dengan
baik dan menjadi situs cagar budaya nasional. Kejayaan Kesultanan Banten tetap terus bertahan setelah Sultan Maulana
Hasanuddin wafat 1570 M. Adapun para Sultan yang menggantikan beliau seperti halnya; Maulana Yusuf 1570-1580
M, Maulana Muhammad 1580-1596 M, sampai kepada Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1672 M, berhasil mempertahankan
kejayaan dan terus berusaha memperluas wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.
Pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa wilayah Kerajaan Kesultanan Banten terus meluas dengan mengadakan
invasi dan menguasai beberapa daerah meliputi; Jayakarta Jakarta, Bogor, Karawang sampai ke daerah Lampung. Bahkan
pada masa kekuasaan Sultan Maulana Yusuf, kekuasaan Kerajaan Sunda Padjajaran telah berhasil ditaklukan, sehingga kekuasaan
Kesultanan Banten telah menguasai sepenuhnya Ibu Kota
41
Kerajaan Padjajaran.
44
Meskipun Kesultanan Banten sedang berada pada masa puncak kejayaan, tak berarti Kesultanan ini
bebas dari konflik-konflik, baik internal maupun eksternal. Pada masa kekuasan Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
1596-1651 M konflik internal pernah dialami oleh Kesultanan Banten pada saat itu, bahkan Kesultanan ini sempat goyah karena
adanya persaingan internal antara sesama pangeran keturunan Sultan yang ingin berkuasa dengan memperebutkan tahta. Pada
saat situasi seperti inilah kapal-kapal dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie VOC mulai berdatangan di kawasan
wilayah perairan Nusantara, termasuk wilayah Banten dan sempat berhasil menguasai wilayah Jayakarta Batavia.
Kesultanan Banten merupakan Kerajaan yang berlandaskan asas syariat Islam, secara otomatis perkembangan Islam pada
masa ini berkembang pesat. Perkembangan Islam yang signifikan pada masa ini diperoleh dengan dukungan politik pemerintah
yang berkuasa saat itu. Seperti halnya menurut Thomas Aquinas, agama rakyat menuruti agama raja penguasanya.
45
Teori seperti ini nampaknya berlaku pada masyarakat Banten pada masa
tersebut. Perkembangan pesat tersebut ditandai dengan tumbuh dan bermunculanya kelompok tarekat-tarekat, pesantren-
pesantren di pedesaan-pedesaan di wilayah Banten, serta kultur masyarakat yang memegang teguh agama dan tradisi budaya
mereka. Sebagai Kerajaan Kesultanan Islam Banten tentunya posisi Ulama ataupun Kiyai memiliki peran yang signifikan, dan
menduduki struktur sosial teratas setelah Sultan dalam masyarakat Banten. Para Kiyai merupakan perpanjangan tangan
dari Sultan dalam proses Islamisasi di pedesaan-pedesaan, bahkan peran Kiyai lebih dari sekedar orang kepercayaan Sultan, mereka
menjadi guru spiritual para Sultan dan memberikan masukan serta restu. Sebagai sosok tokoh agama islam, para kiyai memiliki
kewajaiban untuk memberikan nasehat-nasehat Mau’izatul
44
Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 Leiden Netherland:
Brill, 2006, 5.
45
Teori ini dikenal dengan teori teokratis, dimana negara dibentu oleh Tuhan dan pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Thomas Aquinas merupakan
salah satu pengusung teori ini. Lihat, F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik Bandung: Bina Cipta, 1980, 152-153.
42
hasanah lil mu’minin baik terhadap Sultan maupun masyarakat Banten pada umumnya.
46
Dengan mulai berdatanganya kapal-kapal dagang Belanda yang berlabuh di wilayah Jawa dan pelabuhan Karangantu,
Kesultanan Banten secara bertahap mengalami fase kemunduran. Perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost Indische
Compagnie VOC yang kemudian mendirikan markas besarnya di pantai utara Jayakarta berusaha melakukan monopoli
perdagangan dengan berbagai cara. Masuknya Belanda dalam teritori
Banten mengancam stabilitas keamanan dan
perekonomian Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada masa itu 1651-1672 M telah melakukan beberapa
kali konfrontasi penyerangan secara langsung ke Batavia, namun selalu mengalami kegagalan. Bahkan sebaliknya pihak kolonial
Belanda dapat mematahkan penyerangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dan menjebloskanya ke dalam penjara. Salah satu taktik
yang digunakan Belanda dalam menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, adalah dengan menggunakan taktik adu domba devide
et impera antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji. Dengan taktik tersebut Belanda berhasil menguasai wilayah
Banten.
47
Pada tahun 1808 M, atas instruksi dari Dandels Keraton Surosowan Kesultanan Banten dihancurkan oleh penguasa
kolonial Belanda. Banten dijadikan wilayah keresidenan dan Serang menjadi regentschap di bawah struktur pemerintahan
Hindia Belanda. Pusat pemerintahan Kesultanan Banten yang dahulu terletak di Surosowan di pindahkan ke Keraton Kaibon.
Pada masa ini dapat dikatakan Kesultanan tidak memiliki kekuasan dalam memerintah, dan menentukan kebijakan.
Dihapus dan berakhirnya Kesultanan Banten pada tahun 1816 M. berakibat kepada hancur dan ambruknya tatanan sosial
masyarakat. Selain itu tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga
46
Syeikh Muhammad Jamaluddin Qosim Addimsyiq, Mau’iz}atul Mu’minin min ihya’ulumuddin Beirut: Darunnafais, 1981, 40.
47
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten Serang: Saudara Serang, 1993,151-152.
43
menimbulkan perilaku kriminal di dalam kalangan pribumi.
48
Tidak hanya perilaku kriminal dan perampokan saja yang terjadi di masyarakat, lebih dari itu konflik antara pemerintah kolonial
Belanda berakibat kepada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Aneksasi
Kesultanan Banten oleh Deandles tersebut menimbulkan kebencian masyrakat terhadap pemerintah kolonial. Ingatan
masyarakat Banten tentang kejayaan Banten masa dahulu tetap hidup dalam pikiran masyarakat, oleh karena itu perlawanan
rakyat terhadap pihak kolonial Belanda tidak pernah padam. Hampir setiap dasa warsa terjadi pemberontakan rakyat yang
menuntut kebebasan dan dikembalikannya kekuasaan Kesultanan Banten.
Selain itu Kiyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang sebagai orang kafir yang telah
merebut kekuasaan dari tangan umat muslim. Lebih dari itu kebebasan beragama pun di batasi oleh pihak kolonial, pelarang
ibadah Haji menuju ke Mekah bagi warga Banten.
49
Intervensi pihak kolonial Belanda terhadap aspek agama, ditenggarai
menambah memperkeruh keadaan politik di Banten. Dengan kedudukan Kiyai sebagai tokoh pemimpin
masyarakat, para kiyai memiliki peranan penting dalam melangsungkan pemberontakan. Dukungan penuh mengalir dari
elit-elit sosial lainya, antara lain para Jawara, dan para bangsawan yang bersama-sama melakukan pemberontakan. Setidaknya
tercatat lebih dari 6 kali pemberontakan besar yang terjadi di Banten, mulai dari perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa,
pemberontakan pandeglang 1811 M peristiwa geger Cilegon
48
Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 Leiden Netherland:
Brill, 2006,153.
49
Penyebab terjadinya pelarang besar-besaran bagi warga Banten untuk melakukan ziarah ibadah Haji ke Mekah, dikarenakan sebagian para
penziarah melakukan hubungan jaringan dengan para pemberontak Banten di Mekah. Seperti halnya Syekh Nawawi Al Bantani yang bermukim di Mekah
yang terus memberikan dukungan spirit dan perintah jihad untuk melawan kolonial Belanda. Dampak ini membawa penyebaran ideology untuk
melakukan pemberontakan terhadap pihak kolonial. Ideology inilah yang di bawa oleh para penziarah Haji selepas pulang dari Mekah.
44
atau yang lebih dikenal dengan pemberontakan petani Banten 1888 M, Cikande Udik 1845 M, peristiwa Kolelet 1866 M,
pemberontakan Wakhia 1850 M, sampai kepada pemberontakan komunis di Banten 1926 M.
Sejarah kekerasan di Banten pun tidak selesai sampai disitu, pada tahun 1926 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
pimpinan dan anggota Partai Komunis Indonesia wilayah Banten. Pemberontakan tersebut tidak hanya melibatkan kelompok jawara
tetapi juga mendapat dukungan dari kelompok Kiyai Banten. akibat dari peristiwa pemberontakan tersebut, banyak dari tokoh-
tokoh Kiyai dan jawara Banten ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul. Berbagai macam pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi di atas, secara tidak langsung telah merekonstruk budaya kekerasan pada masyarakat Banten dan telah membentuk
budaya Banten sebagai pribadi watak yang kasar dan keras.
Pasca kemerdekaan Indonesia pada masa Orde Lama, wilayah Banten tidak lepas dari berbagai tindakan bernuansa
kekerasan, dimana terjadi pergolakan politik dan tindakan kekerasan. Konflik perebutan kekuasaan tersebut lebih dikenal
dengan penghianatan Dewan Rakyat. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1945 M, yang dipimpin oleh seorang tokoh Jawara Ce
Mamat, mereka menamakan gerakan mereka ini dengan sebuatan Gulkut atau Laskar Gutgut. Adapaun anggota dari laskar ini
terdiri dari para Jawara. Sedangkan kegiatan mereka antara lain mengintimidasi penduduk, merampas harta, membunuh penduduk
yang tidak sepaham, terutama keluarga pamong praja pejabat daerah.
50
Gerakan ini muncul karena ketidak sepakatan Dewan Rakyat dengan KH. Ahmad Khatib selaku Residen Banten saat
itu, yang ingin hendak mengangkatan kembali pejabat lama pada masa kolonial Belanda menjadi bawahannya pamong praja.
Mereka menuntut agar Residen Banten membatalkan keputusan tersebut, bahkan lebih dari itu Dewan Rakyat mengambil alih
kekuasaan di seluruh Keresidenan Banten. Melihat penculikan- penculikan pejabat dan pembunuhan serta perampokan harta yang
terus dilakukan oleh laskar Gulkut para Jawara. Maka KH. Ahamad Khatib selaku Residen Banten menginstruksikan kepada
50
Else Ensering, Banten in Times of Revolutions..., 151.
45
KH. Syam’un selaku pimpinan tertinggi TKR Tentara Keamanan Rakyat Banten, untuk menumpas pengkhianatan Dewan
Rakyat.
51
Perkembangan Banten yang tercatat dalam sejarah terjadi pada masa Reformasi, yakni sebuah perjuangan rakyat Banten
yang ingin membentuk administrasi pemerintahan sendiri dan memisahkan diri dari provinsi Jawa Barat. Perjuangan rakyat
tersebut membuahkan hasil dengan disahkannya Banten menjadi sebuah Provinsi pada tanggal 17 oktober tahun 2000. Jauh
sebelum disahkanya Banten menjadi provinsi, sebenarnya pada sekitar tahun 1967-1970an rakyat Banten telah memperjuangkan
agar Banten menjadi sebuah Provinsi lepas dari Jawa Barat, namun ada beberapa hal yang menghalanginya terpaksa tertunda.
Tepat ketika runtuhnya Orde Baru peluang tersebut digunakan oleh rakyat Banten terutama tokoh Jawara yang melibatkan diri
dalam proses pembentukan Provinsi Banten. Diantara tokoh- tokoh yang terlibat tersebut anatara lain; H. Uwes Qorny, Hasan
Alydrus, Chassan Sohib, Tryana Syam’un dan para tokoh jawara lainya.
52
Peristiwa kekerasan yang terjadi di Banten, tidak hanya terlepas pada tataran aspek politik semata-mata. Aspek agama pun
turut memberikan kontribusi atas memacu terjadinya peristiwa- peristiwa konflik kekerasan dalam kehidupan masyarakat Banten.
Sebut saja peristiwa pemberontakan-pemberontakan Geger Cilegon, Cikande udik, Wakhia, adalah pemberontakan yang di
latar belakangi oleh sensitifitas agama, perlawanan tersebut atas dorongan jihad terhadap kaum kafir Belanda. Peristiwa kekerasan
tidak hanya terhenti pada masa kemerdekaan dan revolusi, pada masa reformasi pun konflik kekerasan terus terjadi. Bahkan baru-
baru ini peristiwa Cikeusik yang terjadi pada hari minggu 06 Februari 2011,
53
secara tidak langsung telah menegaskan bahwa
51
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten..., 250-251. Lihat pula Else Ensering, Banten in Times Revolutions...,
153.
52
Agus Sutisna edit, Mengenang Hikayat, Merajut Bersama Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005, 8-11.
53
Kasus kekerasan yang terjadi di Cikeusik sempat menjadi headline di media-media massa baik cetak maupun telivisi, setidaknya terdapat tiga
korban tewas pada peristiwa tersebut. Ketiga korban tersebut berasal dari
46
budaya kekerasan di Banten terus diwariskan. Konflik kekerasan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang Banten, merupakan konflik
agama. Antara masyarakat lokal yang menolak kehadiran Ahmadiyah sebagai aliran sesat di Banten, khususnya Cikeusik
Pandeglang.
B. Konstruk Kekerasan