113
keturunan dan 4 sifat-sifat pribadi. Kiyai
mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya
keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik kesaktian.
149
Tanpa dukungan dari para kiyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Kharisma dan kepemimpinan para
jawara diperoleh langsung oleh kiyai.
BAB IV JAWARA DI MASA ORDE BARU
Pada bagian ini, penulis akan membahas bagaimana pola perkembangan yang terjadi dalam status sosial para jawara Banten.
Perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain politik, ekonomi dan status sosial. Perubahan signifikan yang berawal
dari peranan tradisional melebar kedalam cup yang lebih luas dan modern. Hal tersebut tercermin dari posisi dan peranan jawara dalam
masyarakat Banten saat ini. Sedangkan proses perkembangan dan perubahan tersebut dapat dilihat secara historis, bagaimana pola relasi
hubungan yang terjadi antara jawara dengan pemerintahan Orde Baru. Rezim pemerintahan Orde Baru merupakan masa pemberdayaan para
jawara. Selain itu, dominasi para jawara terhadap perekonomian di Banten merupakan ekses dari kedekatan jawara dengan pihak
pemerintah. Bahkan tidak hanya dominasi ekonomi yang dikuasai jawara, lembaga politik di Banten pada masa itu mulai dikuasai oleh
para jawara. A.
Relasi Hubungan Antara Jawara dan Pemerintahan Orde Baru
149
Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok, Studi tentang Kedudukan, Peran..., 34
114 Dominasi suatu kekuasaan politik disuatu daerah, tidak terlepas
dari bagaimana seseorang atau suatu komunitas tertentu dapat mengkooptasi dan mangakomodasi entitas lokal di daerahnya. Bahkan
lebih dari sekedar perekrutan, bagaimana suatu penguasa politik mampu menjadikan suatu entitas lokal tersebut ikut terlibat dan menjadi mesin
politiknya.
150
Nampaknya teori seperti ini dipraktekan oleh pemerintahan Orde Baru dalam memonitoring stabilitas kekuasaannya
disetiap daerah. Pembangunan pada sektor ekonomi tidak akan berjalan jika tidak tercapainya stabilitas keaman di suatu daerah maupun pusat.
Tidak terlepas dengan wilayah Banten, sebagai wilayah yang dinilai kuat dengan kultur budaya lokalnya. Strategi yang dijalankan Orde
Baru dalam memanfaatkan entitas komunitas masyarakat lokal telah terbukti berhasil. Hal ini ditandai dengan berkuasanya Orde Baru
selama kurang lebih 32 tahun.
151
Perkembangan sosial budaya dan politik di Banten tidak terlepas dari peranan pemerintahan pusat di Jakarta. Pada masa Orde Baru
Banten merupakan salah satu basis suara partai Golkar yang merupakan mesin politik pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya salah satu strategi
politik yang dijalankan oleh Orde Baru dalam meraih suara, antara lain melakukan pendekatan-pendekatan terhadap entitas-entitas sosial
budaya lokal yang ada di Banten.
152
Banten yang dikenal dengan kultur
150
Dari sudut pandang politik hal ini merupakan suatu hal yang lumrah, jika suatu penguasa politik merekrut dan memanfaatkan entitas komunitas
lokalnya menjadi motor penggerak politiknya. Bahkan menurut Lidlle, komunitas lokal yang direkrut oleh pihak Orde Baru akan terjalin relasi
hubungan dengan pemerintahan pusat, dan relasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru seperti bentuk prisma dimana Soeharto berada diposisi yang paling atas.
Lihat William R. Liddle, Leadership and culture in Indonesia Politics USA: Urwin press, 1996, 18-20.
151
Rezim Orde Baru tercatat 32 tahun lamanya berkuasa, gerakan mahasiswa telah berhasil menggulingkan rezim yang dikenal otoriter ini. Untuk
lebih jauh lihat, Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998 Pustaka Hidayah :
Bandung, 1999.
152
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap para tokoh masyarakat Banten, yakni yang dikenal dengan kiyai dan
jawara sebagai simbol dan entitas masyarakat Banten terus dijalin. Hubungan relasi ini terjalin dengan baik, dapat dilihat bagaimana pihak pemerintahan
Orde Baru menggandeng para kiyai-kiyai di Banten, dengan melakukan silturahmi kunjungan-kunjungan disetiap pondok pesantren di Banten. Bahkan
115 budaya Islamya, dilirik oleh Orde Baru sebagai salah satu cara dalam
mendompleng peraihan suara di wilayah ini. Sebelumnya telah dibahas pada bab ke dua, bahwa terdapat dua entitas yang menjadi kultur
kepemimpinan tradisional di Banten. Kedua entitas tersebut yakni kiyai dan jawara, mencerminkan tradisi masyarakat Banten yang kental
dengan keislamannya. Bahkan lebih dari itu, masyarakat lokal setempat sering menyebut kedua entitas ini sebagai simbol orang wong Banten.
153
Jawara yang dulunya dikonotasikan terlibat dalam dunia kejahatan dan kriminal, dalam perkembangannya di Banten tenyata
aktif dalam dunia politik dan bisnis. Akibat keterlibatannya tersebut, tidak sedikit para jawara aktif di partai politik, baik sebagai anggota
maupun sebagai pengurus, serta menjadi anggota dewan DPRD Provinsi, kabupaten, kota, bahkan ada yang menjadi anggota DPR
pusat. Menurut Lili Romli dalam sejumlah kebijaksanaan politik, pemerintahan Orde Baru melakukan reorganisasi dan refungsionalisasi,
baik pada tingkat suprastuktur politik maupun infrastuktur politik.
154
Termasuk dengan wilayah Banten, kebijakan serupa pun ditetapkan dengan mengakomodir entitas jawara salah satunya.
Kebijakan politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru terhadap daerah-daerah kekuasaanya, dimaksudkan sebagai usaha untuk
menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas keamanan politik
merupakan prasayarat terlaksananya pembangunan baik didaerah- daerah maupun dipusat.
Menurut pandangan rezim Orde Baru, pembangunan dapat terlaksana jika stabilitas politik telah tercapai. Orde Baru melihat bahwa
sumber kekacauan yang mengganggu stabilitas politik, antara lain adalah partai-partai politik. Oleh karena itu, Orde Baru melakukan
penyederhanaan jumlah partai politik yang berkembang saat itu. Tehitung pada tahun 1971 rezim Orde Baru membuat kebijakan tentang
bukan hanya di Banten saja, melainkan diwilayah-willayah daerah lainnya. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan Yogyakarta :
LKIS, 2004, 34.
153
Harian Banten, “Karakter Wong Banten”, 24, mei, 2003
154
Lili Romli, “Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten 2001-2006” Depok: Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, 2007, 193.
116 partai politik, sembilan partai politik yang ada PSII, NU, PNI, Parmusi,
Parkindo, Partai Katolik, Murba, IPKI, dan Perti dikelompokan atas dua kelompok. Kelompok tersebut antara lain yaitu: pertama, kelompok
materil-spirituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Murba, dan Parkindo; dan kedua, kelompok spirituil-materil yang terdiri dari
Parmusi, NU, Perti, dan PSII.
155
Pada dekade tahun 1973 rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan terhadap kedua kelompok partai tersebut kelompok partai
materil-spirituil dan spirituil materil untuk melakukan fusi. Mulai dari sinilah kebijakan tentang fusi partai dikenal, selama 25 tahun
pemerintahan Indonesia hanya mengizinkan tiga partai untuk berpolitik. Kelompok pertama, yang terdiri dari partai-partai Islam, tergabung
kedalam wadah Partai Persatuan Pembangunan PPP. Kelompok kedua, yang terdiri dari partai nasionalis dan Kristen, membentuk Partai
Demokrasi Indonesia PDI. Selanjutnya disusul dengan Golongan karya Golkar, yang memuat segala kelompok golongan baik
nasionalis, Islam, maupun Kristen.
156
Selain kebijakan-kebijakan dalam hal mengenai partai politik, Orde Baru pun melakukan serangkaian strategi kebijakan, antara lain,
dibentuknya aparat-aparat keamanan yang refresif disetiap daerah. Aparatur keamanan ini bertugas menjaga ketertiban dan mepertahankan
aturan politik dan stabilitas negara. Oleh karena itu, pada masa rezim Orde Baru kita mengenal badan-badan seperti Kopkamtib, BAKIN, dan
Opsus. Selanjutnya rezim ini melakukan proses depolitisasi massa, dimana massa diasingkan dari arena politik. Terakhir, kebijakan populer
yang digaungkan oleh rezim Orde Baru adalah, kebijakan asas tunggal Pancasila, dimana setiap organisasi-organisasi dan partai politik yang
155
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik Yogyakarta: Tiara Wacana,1999, 83.
156
Selain itu pada masa ini pula menurut Din Syamsuddin, merupakan masa pengkondisian dimana terjadi depolitisasi terhadap umat Islam. Lihat M.
Din Syamsuddin, Islam dan Politik : Era Orde Baru Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, 43.
117 ada di Indonesia diwajibkan menggunakan asas tunggal Pancasila.
Pancasila merupakan harga mati sebagai asas tunggal negara ini.
157
Selain itu, proses-proses perekrutan yang dilakukan oleh pihak rezim Orde Baru dalam menarik simpati masyarakat Banten, salah satu
caranya adalah dengan melakukan pendekatan-pendekatan secara persuasif dan personal kepada para tokoh kiyai dan pimpinan pondok
pesanten di Banten. Dalam membangun dan menjalin hubungan relasi dengan para tokoh kiyai pemimpinan pesantren, bisanya pemerintahan
pusat mengirimkan seorang Menteri dengan agenda kunjungan kerja, atau hanya sekedar sowan silaturrahmi. Hal ini dapat dilihat dengan
sering hadirnya para Menteri terkait pada acara tertentu di setiap pondok pesantren. Tentunya bukan sekedar pondok pesantren
sembarang yang dikunjungi, melainkan pesantren atau kyai yang memiliki nama dan pengaruh signifikan dikalangan masyarakat Banten.
Akibat dari kedekatan relasi hubungan pemerintah dengan para kiyai Banten, timbul ekses dampak negatif terhadap para kiyai
dikalangan masyarakat lokal setempat. Dampak tersebut berakibat mulai terpinggirkannya image kewibawaan, dan peran kiyai dari mata
masyarakat. Masyarakat Banten memandang, bahwa hubungan yang terjalin erat antara kiyai dengan rezim Orde Baru merupakan sebagai
suatu hal yang negatif. Bagi masyarakat kiyai merupakan sosok yang independen, tidak terkontaminasi dengan pengaruh kekuasaan.
158
Ketika sosok kiyai berafiliasi dengan kekuasaan pemerintahan setempat, maka kedekatan tersebut akan selalu dicurigai oleh masyarakat lokal
setempat.
Selain mendekati para kiyai, rezim Orde Barupun melirik komunitas jawara sebagai entitas lokal yang memiliki peranan sosial
kepemimpinan tradisonal dalam masyarakat Banten. Jika komunitas kiyai dilirik sebagai mesin politik dalam domain religiusitas
kepemimpinan, maka jawara memiliki potensi dalam bidang keamanan, kepemimpinan, dan menjaga stabilitas politik di daerah tersebut.
Pemerintahan rezim Orde Baru tampaknya mengerti dan faham betul
157
Lili Romli, “Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten...,” 193.
158
Pengajian bersama dengan KH. Uci Turtusi, Tokoh Ulama Banten Syeikhul Islam Banten. Cilongok, September, 2010.
118 dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat Banten. Dimana bahwa
kekuatan yang cukup dominan di banten bukan hanya sekedar para kiyai melainkan jawarapun merupakan sumber kekuatan politik.
Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru inilah jawara direkrut sebagai gerakan underbownya rezim Orde Baru. Citra dan kredibilitas
jawara Banten sebagai tokoh pemimpin tradisional dan sekaligus bandit sosial yang erat dengan kultur premanisme menjadi salah satu faktor
utama mengapa jawara direkrut oleh rezim Orde Baru. Hubungan relasi yang terjalin antara Orde baru dengan komunitas jawara, dapat
dikatakan sebagai hubungan yang menguntungkan bagi dua belah pihak. Dengan diakomodirnya kelompok jawara oleh rezim Orde Baru,
telah memberikan perubahan yang signifikan dalam aspek ekonomi dan kekuasaan politik. Begitu pula dengan pemerintahan pusat, rezim Orde
Baru merasa diuntungkan, karena perolehan suara Golkar dan stabilitas keamanan terjamin oleh eksistensi jawara.
159
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, peran kepemimpinan jawara sebagai salah satu elit sosial di Banten cukup
signifikan. Dengan kekuatan magis, kesaktian dan instrument kekerasan, jawara sangat berpengaruh dikalangan masyarakat Banten.
Dalam konteks tersebut, tidak heran bila rezim Orde Baru kemudian mendekati jawara agar masuk kedalam organisasi partai Golkar. Orde
Baru menyadari betul bahwa komunitas jawara dapat mengendalikan kontrol sosial di daerah Banten. Oleh karena itu kooptasi dan politik
akomodasi terhadap jawara perlu dilakukan. Salah satu bentuknya adalah dengan cara melakukan pengorganisasian jawara, dan
meletakannya sebagai kepanjangan tangan partai pemerintah.
159
Kelompok jawara merupakan agen dari pemerintahan Orde Baru, menurut Nordholt Henk fungsi kelompok jawara ketika masa Orde Baru
berfungsi sebagai mesin politik dan kelompok Underbownnya pihak rezim Orde Baru dalam mendompleng peraihan suara di Banten. Selain berfungsi
sebagai mesin politik di Banten, biasanya dalam pemanfaatannya peranan jawara tidak hanya sebatas di wilayah Banten terkadang berfungsi dalam
menjaga stabilitas keamanan diwilayah Indonesia. Lihat Schulte Henk Nordholt, Greet Aren Van Klinken, Gerry Van Klinken, Renegotiating
Boundaries : Local Politics in Post-Suharto Indonesia Leiden : KITLV Press, 2007, 173-174.
119
Gambar 2.1, Masjid Agung Banten, symbol provinsi Banten
Pada tahun 1970, pihak Orde Baru melatar belakangi diadakannya kongres yang bertujuan mengorganisir potensi jawara dan
Ulama. Hasilnya adalah terbentuknya organisasi Satuan Karya Ulama yang dipimpin langsung KH. Mahmud. Setahun kemudian dibentuk
organisasi yang khusus menaungi jawara, maka pada tahun 1971 dibentuklah Satuan Karya jawara, yang dipimpin langsung oleh H.
Chasan Sohib. Pembentukan organisasi-organisasi ini dihadiri oleh para petinggi militer, pejabat Orde Baru, dan tokoh daerah setempat dan
nasional.
160
Peristiwa tersebut merupakan moment bersejarah bagi kelompok jawara Banten. Dengan berdirinya wadah yang memayungi
jawara, para jawara berhasil mengkonstruk kekuatan. Penggunaan istilah SATKAR jawara dalam nama organisasi,
memiliki citra yang negatif tentang arti jawara itu sendiri. Oleh karena itu pada tahun 1977, SATKAR jawara berganti nama menjadi PPPSBBI
Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia. Istilah pendekar dalam PPPSBBI, dipakai untuk merubah citra stigma
negatif yang melekat dalam istilah jawara itu sendiri. Walaupun demikian, istilah jawara tetap tidak tergantikan sebagai sebutan dan
160
Wawancara KH. Dadang Tokoh Ulama dan Pengusaha Banten, Tangerang, Agustus 2010. Lihat pula Anggaran Dasar dan Rumah Tangga
Organisasi PPPSBBI, Serang Banten, 1990.
120 istilah yang khas dalam masyarakat Banten.
161
Adapun eksistensi organisasi PPPSBBI lebih mirip dengan sekretariat bersama. Dengan
adanya organisasi ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya pendekar adalah jawara yang dikumpulkan dalam satu wadah. Sedangkan motto
organisasi ini adalah “bela diri, bela bangsa dan bela negara”.
Pengertian Bela diri disini dapat diartikan sebagai kemampuan jawara dalam untuk mempertahankan diri. Menurut Abdul Hamid
pengertian tentang mempertahankan diri, tidak hanya sebatas kemampuan pengolahan fisik dengan silat. Lebih dari itu, pengertian
survive disini memiliki kemampuan untuk menghidupi diri sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi jawaban mengapa sebagian besar dari
jawara tergabung kedalam wadah organisasi PPPSBBI ini adalah para pengusaha.
162
Para jawara pengusaha inilah yang kemudian menjadi penyokong dana dari segala aktivitas-aktivitas PPPSBBI.
Intervensi pihak rezim Orde Baru dalam melatar belakangi berdirinya PPPSBBI, merupakan salah satu kebijakan dalam
mengkooptasi para jawara. Dengan berdirinya organisasi tersebut, memudahkkan Orde Baru dalam mengendalikan situasi dan politik di
daerah Banten. Sampai saat ini PPPSBBI memiliki 26 cabang disetiap kepengurusan tingkat provinsi. H. Chassan Sohib merupakan tokoh
yang berpengaruh sampai saat ini dalam kelompok jawara, dengan
161
Dengan dibentuknya oganisasi jawara PPPSBBI, sturuktur kekuasaan jawara semakin terlihat jelas, bila dahulu jawara tersebar dan
mempunyai kekuasaan informal hanya sebatas model kepemimpinan tradisional, maka saat ini kekuasaan jawara mulai terpusat pada satu orang
pimpinan jawara yang diakui oleh pimpinan jawara lainnya. Wawancara dengan H. Khatib Mansur, Tokoh jawara Banten dan pengurus KADIN
Provinsi Banten, Serang, Desember 2010.
162
Organisasi PPPSBBI, atau yang lebih dikenal dengan sebutan jawara kelompok pasar memberikan keuntungan bagi para jawara, karena dengan
wadah inilah mereka bersatu dan membagi-bagikan proyek pemerintah kepada para jawara-jawara lainya. Hal inilah yang menjadikan para petinggi organisasi
ini menjadi jawara pengusaha. Lihat Abdul Hamid, Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten, dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki,
Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi Yogyakarta : CSEAS IRE Press, 2006, 49.
121 menduduki berbagai jabatan ketua Organisasi dan politik, termasuk
PPPSBBI.
163
Tokoh H. Chassan dianggap memiliki segenap ciri jawara yang ideal, walaupun tidak semua komunitas menganggap H. Chassan
sebagai orang yang bersih. Berlatar belakang dari pesantren, dikenal memiliki keberanian dan kekuatan yang menonjol dikalangan teman-
temannya dan belajar menjadi pengusaha sejak muda. Ia memiliki banyak posisi penting di wilayah Banten, sebagai pendiri dan Ketua
Umum Kamar Dagang dan Industri KADIN Banten, pendiri dan Ketua SATKAR Ulama Indonesia, pendiri Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, dan banyak posisi penting dalam organisasi lainya.
164
Pada masa rezim Orde Baru dan sampai saat ini, komunitas jawara sering
disebut sebagai jawara kelompok pasar. Sebutan ini dikarenakan tempat berkumpulnya para jawara di kantor H. Chassan Kadin Banten,
dikawasan pasar tradisional terbesar di Banten. Pasar itu sendiri merujuk kepada profesi para tokoh jawara yang bergerak dalam bidang
bisnis.
Kooptasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas jawara di Banten, tidak hanya sekedar untuk mengendalikan
mereka agar tidak melawan terhadap pemerintah. Lebih dari itu, jawara dipergunakan dalam upaya menjadikan komunitas ini sebagai mesin
politik untuk memenangkan Golkar.
165
Hubungan yang terjalin antara pihak pemerintah Orde baru dengan jawara, menciptakan akselerasi
yang menguntungkan keduanya. Disatu sisi, rezim Orde Baru memberikan keuntungan kepada para jawara dalam ekonomi dan
pengaruh kekuasaan. Sedangkan disisi lain, pihak pemerintahan Orde
163
Lihat, Buku Dokumen Panduan Sarasehan PPPSBBI di Jakarta, 15 Oktober 1990 dan lihat pula Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi
PPSBBI, Serang Banten, 1990.
164
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten Jakarta : Antara Pustaka Utama,
2000, 89.
165
Salah satu peran kelompok jawara dalam pentas perpolitikan diBanten adalah, berupaya mendompleng suara Partai Golkar, sebagai partai
pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu, menurut nara sumber jawara merupakan mesin politik Orde Baru. Wawancara dengan salah seorang anggota
Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.
122 Baru merasa diuntungkan oleh kehadiran jawara dalam
mempertahankan kekuasaan politik pemerintahan pusat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa Golkar adalah partai
bentukan pemerintahan yang merupakan mesin politik dan pengumpul suara. Melalui kedua entitas tersebut jawara dan kiyai dapat
diharapkan Golkar dapat keluar sebagai pemenang dalam setiap pemilu di Banten. Hasilnya sunguh luar biasa, sepanjang pemerintahan Orde
Baru, Golkar selalu keluar menjadi pemenang dalam setiap pemilu. Selain itu, kedekatan hubungan antara Orde Baru dengan jawara
membawa keuntungan yang besar bagi mobilitas jawara secara vertikal.
166
Jawara yang pada umumnya tidak memiliki pekerjaan yang tetap, terkecuali yang hanya berprofesi sebagai centeng-centeng
pengusaha. Namun berkat terjalinya hubungan kedekatan dengan pemerintahan Orde Baru baik dengan Golkar maupun militer, membuat
jawara mengalami mobilitas vertikal.
Mobilitas vertikal ini dapat dilihat dari aspek pekerjaan, penghasilan, dan kekuasan politik, dimana banyak para jawara yang
terjun kedalam dunia bisnis dan memiliki penghasilan besar. Dari aspek politik, kalangan jawara menduduki jabatan di pemerintahan, baik
sebagai anggota dewan maupun pejabat daerah. Strategi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, nampaknya berhasil menggalang kekuatan
kalangan jawara. Hampir tidak ada kalangan jawara di Banten yang tidak masuk menjadi pendukung Golkar. Bahkan pada Orde Baru ini,
tidak ada kalangan jawara yang aktif terlibat di PPP dan PDI, mereka semuanya mendukung dan masuk kedalam partai Golkar. Hal ini
dikarenakan sebagai pengusaha kelompok jawara, rezim Orde Baru dengan Golkarnya telah memberikan keuntungan terhadap komunitas
jawara. Dalam bidang sektor ekonomi jawara diberikan proyek-proyek pemerintah dan banyak dari mereka menjadi pengusaha. Pola pikir
pragmatis inilah yang melatar belakangi dukungan para jawara terhadap
166
Mobilitas vertikal yang dimaksud disini adalah mobilitas vertikal naik Social Climbing, dimana kelompok jawara dirempatkan kestruktur kelas
sosial yang lebih tinggi. Adapun faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adanya faktor politik, yang menjadi penggerak ke sektor ekonomi sehingga
kelas jawara terangkat. Lihat Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi : Klasik dan Modern terj, Robert MZ Lawang Jakarta : Gramedia Pustaka, 1986, 87.
123 rezim Orde Baru.
167
Kedekatan hubungan yang terjalin antara jawara dengan pemerintahan pusat lebih memberikan keuntungan,
dibandingkan berafilisasi dengan partai-partai Islam. Peranan Orde Baru dalam mengembangkan eksistensi jawara,
dianggap memiliki kontribusi besar dalam melahirkan jawara masa kini reformasi. Oleh karena itulah, rezim Orde Baru dianggap sebagai
masa pemberdayaan jawara. Hal ini dikarenakan pada masa inilah jawara mulai membangun konstruk kekuatan, yang terorganisir. Selain
itu, rezim Orde Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek ekonomi dan kekuasaan politik. Pada masa ini pula
jawara diberikan kemudahan dalam memperoleh akses jaringan networking ke pemerintahan pusat, pengusaha dan penguasa. Pada masa
ini jawara dianggap sebagai anak emas Orde Baru, karena hal demikian menguntungkan komunitas jawara.
168
Karena kontribusi Orde Baru-lah, jawara mendapatkan akses ekonomi, politik dan puncak status sosial
dikalangan masyarakat Banten. Keterlibatan jawara Banten dalam dunia bisnis di Banten dimulai
pada masa Orde Baru, yang kemudian menjadi patron penguasa ekonomi di Banten sampai saat ini. Mereka terjun ke dunia bisnis
umumnya bergerak dalam bidang kontraktor sebagai pemborong proyek jalan, pasar, gedung sekolah, dan prasarana pengairan. Adapun pelopor
terjunnya jawara kedalam aleansi bisnis adalah, H. Chassan yang
167
Pola pikir pragmatis tidak hanya dimiliki oleh kalangan komunitas kelompok jawara, banyak diantara golongan maupun kelompok yang
bersinggungan dengan politik dan kekuasaan cenderung berperilaku pragmatis, diantaranya para elit politik Muhammadiyah yang menurut Thaba telah
berpikir pragmatis ketika berhadapan dengan kekuasaan. Lihat Thaba dalam Haedar Nashir, Perilaku Politik Elit Muhammadiyah Yogyakarta : Terawang,
2000, 29.
168
Karena kedekatan komunitas jawara terhadap pemerintahan pusat, secara tidak langsung relasi hubungan tersebut menguntungkan kedua belah
pihak, kekuasaan Orde Baru dijaga oleh para jawara, dan jawara mendapatkan akses ekonomi dan kekuasaan lokal. Maka tidak heran jika
pada masa inilah, disebut dengan masa pemberdayaan jawara. Lihat Schulte Henk Nordholt, Geert Arend Van Klinken, Gerry Van Klinken,
Renegotiating Boundaries : Local Politics in Post-Suharto Indonesia Leiden : KITLV Press 2007.
124 dimulai pada awal Orde Baru, yakni permulaan Pelita I.
169
Politik kooptasi dan akomodasi jawara oleh penguasa Orde Baru tentu diikiti
pula dengan diberikannya berbagai kompensasi dan fasilitas kepada para jawara. Adapun bentuk kompensasi yang diberikan adalah adanya
proyek pembangunan pemerintah, terutama dalam bidang konstruksi. Pada tahun 1973 misalnya, perusahaan H. Chassan mendapatkan proyek
pembebasan lahan untuk PT. Krakatau Steel, pembangunan pasar Rau, proyek pembangunan jalan dan irigrasi.
170
Selanjutnya, segala pembangunan proyek dari pemerintahan provinsi Banten, hampir
seluruhnya dikuasai oleh perusahaan H. Chassan. Kelompok jawara
biasanya mengelak jika dikatakan
mendominasi perekonomian di Banten, khususnya ketika memenangkan tender proyek di pemerintah. Biasanya mereka beralih bahwa “proyek
pemerintahkan lewat tender dan terbuka untuk umum, jadi banyak perusahaan yang mengajukan proposal”.
171
Permasalahnnya adalah, pada prakteknya kelompok jawara sering menggunakan cara kekerasan
dan intimidasi demi mendapatkan proyek tersebut. H. Chassan sendiri sering disebut dengan Gubernur Jendral,
172
sebagai julukannya karena kemampuan dirinya dalam mengendalikan kekuasaan politik dan ekonomi di Banten. Bahkan saat ini, bidang
bisnis yang dimiliki oleh para jawara antara lain, di bidang konstruksi melalui PT. Sinar Ciomas Group. Di bidang pariwisata, ada PT. Bahtera
Banten Jaya yang memiliki pantai dan pulau di daerah selat sunda, juga tempat pemandian air hangat di Serang, di bidang properti terdapat PT.
Mustika Empat Lima, perusahaan ini membangun ruko dan kios modern di wilayah Banten. Langkah awal H. Chassan sebagai seorang
bisnisman, ternyata diikuti oleh jawara-jawara lainnya. Banyak kader
169
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten Jakarta : Antara Pustaka Utama,
2000, 94.
170
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 89.
171
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara Banten, Pengurus harian DPP PPPSBBI, Serang, Desember 2010.
172
Istilah Gubernur Jenderal sendiri adalah sebutan untuk penguasa tertinggi di Hindia Belanda, dimana masa pemerintahan kolonial Belanda
menguasai Indonesia. Gubernur Jenderal merupakan sosok pengusa tunggal yang kuat dan berpengaruh, pada hakikatnya H. Chassan-lah yang berperan
penuh atas pengaruh kebijakan politik di Banten.
125 jawara yang berterima kasih kepada beliau, yang telah mendidik mereka
menjadi pengusaha. Memang mulanya pada masa awal 1970-an, hanya ada seorang
tokoh jawara yang sukses menjadi pengusaha, yakni H. Kaking dan usahanya hanya sebatas bahan pangan sembako. Setelah itu disusul
oleh H. Chassan lain halnya dengan H. Kaking, lompatan bisnis luar biasa yang dialami oleh H. Chasan, dimulai dari pengusaha
penggilingan padi kemudian menjadi pemborong kontraktor, dan lain sebagainya.
173
Dengan demikian, usaha bisnis jawara yang dahulu hanya sebatas penggilingan padi, pada masa Orde Baru mengalami
lompatan yang begitu jauh. Dimulai pada rezim Orde Baru ini, bisnis para jawara memonopoli fasilitas proyek-proyek pemerintah di daerah
Banten.
Adanya fasilitas pemberian berbagai proyek yang diberikan Orde Baru membuat loyalitas jawara terhadap rezim Orde Baru amat kuat.
Loyalitas komunitas jawara terhadap pemerintahan Orde Baru tidak perlu disangsikan lagi. Ketika peristiwa 1998 gerakan demo mahasiswa
menentang kekuasaan dan kepemimpinan Suharto, yang berakhir pada jatuhnya rezim Orde Baru. Maka lain halnya dengan komunitas jawara
Banten, secara terang-terangan mereka menyatakan sikap mendukung penuh pemerintahan rezim Orde Baru. Pernyataan sikap ini diutarakan
langsung oleh H. Chassan Sohib, ketua umum dari PPPSBBI Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia dan SATKAR
Ulama Satuan Karya Ulama.
174
Pernyataan sikap yang disampaikan oleh Chassan Sohib kepada para wartawan, merupakan statment bahwa kelompok jawara terus
mendukung rezim pemerintahan Orde Baru. Hal ini dibuktikan ketika Harmoko pemerintahan Orde Baru meminta bantuan kepada para
jawara untuk mengirimkan pasukannya ke gedung DPRMPR RI, untuk mengamankan sidang paripurna DPRMPR, pada 14 Mei, 1998.
Menurut Kang Mamed, tercatat sekitar 90 lebih pasukan pendekar jawara PPPSBBI mengamankan sidang paripurna DPRMPR, pada
kerusuhan Mei 1998, pasukan ini diminta langsung oleh Pak Harmoko
173
Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 93.
174
Lihat Surat kabar Radar Banten, 12 Mei 1997.
126 ketika itu, sekaligus sebagai ketua MPR.
175
Kurang lebih 3 armada mobil bus yang membawa rombongan jawara, dalam mengamankan
sidang paripurna, dan menahan aksi para mahasiswa. Setelah pernyataan tersebut disampaikan oleh Chassan Sohib,
ternyata statment ini menyulut demo besar-besaran mahasiswa Banten. Gerakan mahasiswa Banten, menentang keras atas pernyataan sikap dari
kelompok PPPSBBI dan SATKAR Ulama yang dikomandoi oleh Chassan Sohib. Atas desakan dari mahasiswa, Chassan Sohib yang
biasa disebut dengan Gubernur Jendral, diminta untuk meralat kembali pernyataanya.
176
Dukungan dan loyalitas penuh komunitas jawara, membuktikan bahwa relasi hubungan yang terjalin antara rezim Orde
Baru sangat erat.
Gambar 2.2, Gerbang kota Serang
175
Pemerintahan rezim Orde Baru meminta kepada H. Chassan untuk mengamankan jalannya sidang DPRMPR, pada 14 mei 1998, dari demo
Mahasiswa. Seketika itu, pasukan jawara yang dikomandoi oleh H. Chassan PPPSBBI, mengirimkan empat armada bus dengan jumlah 90 sembilan puluh
jawara dikerahkan di gedung DPRMPR RI, untuk mengkawal jalannya sidang. Wawancara dengan Kang Mamed, tokoh jawara Banten, dan Pengurus Pusat
PPPSBBI. Posko PPPSBBI, Serang, Desember 2010.
176
Peristiwa pernyataan sikap yang disampaikan oleh H. Chassan, telah membuat mahasiswa asal Banten marah dan membanjuiri gedung DPRD
Kabupaten Serang, mereka meminta kelompok jawara yang dikomandoi oleh H. Chassan untuk meminta maaf dan meralat kembali pernyataannya. Lihat di
surat kabar Radar Banten, 12 Mei 1997.
127
2.3, Gambar pemandangan di Terminal Pakupatan
B. Orde Baru, Masa Pemberdayaan Jawara
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa relasi hubungan yang terjadi antara rezim Orde Baru dan jawara sangat harmonis, dimana jawara
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru. Selain itu hubungan yang terjalin antara keduanya saling menguntungkan, baik
dari pihak Orde Baru maupun kelompok jawara. Dapat dikatakan bahwa, masa kekuasan rezim Orde Baru merupakan masa transisi
entitas jawara di Banten. Selain itu Rezim Orde Baru, dianggap sebagai masa momentumnya para jawara Banten, karena pada masa inilah
konstruk jawara di bentuk secara terorganisir.
Kontribusi Orde Baru terhadap eksistensi jawara, dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam melahirkan jawara masa kini.
Oleh karena itu, rezim Orde Baru dianggap sebagai masa pemberdayaan jawara.
177
Diberdayakannya jawara oleh pihak pemerintahan Orde baru terkait dengan praktik politik kooptasi, dimana jawara dikooptasi dan
177
Orde Baru dianggap memiliki kontribusi besar dalam melahirkan jawara saat ini, dan memposisikan jawara kedalam struktur sosial kelas atas,
karena pada masa inilah kelompok jawara dikonstruk baik secara organsasi, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pada masa ini, dapat dikatakan
sebagai masa pemberdayaan jawara. Sedangkan menurut Hudaeri, kontribusi besar Orde Baru adalah mempersatukan para jawara kedalam wadah organsasi
yang berafiliasi dengan rezim Orde Baru. Wawancara dengan Hudaeri, akademisi IAIN SMH Serang, Juli 2010.
128 diakomodir oleh Orde Baru. Proses pemberdayaan tersebut dapat dilihat
bagaimana pemerintahan Orde Baru memfasilitasi jawara untuk membangun konstruk kekuatan yang terorganisir. Selain itu, rezim Orde
Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek ekonomi dan kekuasaan politik.
Transisi perubahan dalam artian peranannya, dahulu hanya berfungsi sebagai peranan tradisional, namun saat ini bergeser ke arah
yang lebih modern, terorganisir dan mengalami mobilitas vertikal. Telah disinggung sebelumnya, bahwa mobilitas vertikal yang dialami
oleh para jawara dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain, aspek pekerjaan, penghasilan, dan kekuasan politik, dimana banyak para
jawara yang terjun kedalam dunia bisnis dan memiliki penghasilan besar. Dari aspek politik, kalangan jawara menduduki jabatan di
pemerintahan, baik sebagai anggota dewan maupun pejabat daerah.
Proses pemberdayaan jawara yang dilakukan pihak Orde Baru, memang telah diskema secara rapih dan sistematis. Jawara Banten
memang selalu dikonotasikan secara negatif, baik dari sebagian masyarakat lokal maupun luar. Stigma negatif sebagai kelompok yang
selalu menggunakan otot, kekerasan, dan premanisme, dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru. Dahulu jika komunitas jawara tersebar dimana-
mana tanpa adanya wadah persatuan, ketika diakomodir oleh rezim Orde baru semua berubah, jawara mulai disatukan dengan sebuah
organisasi. Hubungan kekerabatan dalam tubuh jawara memang sangat erat dan kental, walaupun tidak ada kaitannya dengan ikatan darah,
ikatan satu paguron atau padepokan, dan primordial kedaerahan akan menyatukan mereka dalam satu keluarga.
Ditambah lagi dengan hadirnya organisasi yang menyatukan para jawara, akan mengakomodir potensi-potensi yang dimiliki para jawara
Banten. Intervensi pihak pemerintahan Orde Baru terhadap komunitas jawara Banten, merupakan sebuah fase sejarah dalam perkembangan
dunia kejawaraan di ujung barat pulau jawa ini.
178
Dahulu jika jawara
178
Transisi perkembangan peranan dan pengaruh dalam dunia jawara dapat diklasifikasikan dengan fase-fase dalam sejarah, dimulai dari pada masa
tradisional dimana jawara dilahirkan dan berafiliasi dengan para kiyai, selanjutnya kelompok jawara hanya berperan sebagai informal leader,
129 hanya mengenal perolehan kekuasan hanya sebatas desa,
perkampungan, atau pasar tradisional. Maka lain halnya dengan sekarang, cup jawara dalam aspek politik kekuasaan menjadi lebih luas.
Proses diberdayakannya jawara, tidak terlepas dengan potensi-potensi jawara itu sendiri sebagai entitas lokal, maupun sumber power. Jika
dilihat dari individu-individu tokoh jawara, maka sulit dipahami bagaimana seorang yang tidak memiliki latar belakang akademis dapat
menjadi dan menduduki jabatan bupati, bagaimana seorang jawara dapat memanage sebuah perusahaan dan pemerintahan yang besar dan
luas.
Potensi-potensi yang dimiliki jawara Banten tidak hanya sekedar modal keberanian dan kesaktian. Melainkan lebih dari itu, jawara
memiliki kemampuan dalam memimpin masyarakat maupun institusi kepemerintahan maupun swasta. Mayoritas kalangan tokoh jawara tidak
memiliki latar belakang akademis yang memumpuni, tapi realitanya banyak kalangan jawara yang memegang jabatan dipemerintahan dan
menjadi anggota dewan. Contoh kasus, ketika Jayabaya bisa menjadi Bupati lebak, padahal ia hanya mengenyam lulusaan SD. Selain itu,
tokoh jawara H. Chassan Sohib, ia hanya memiliki latar belakang pesantren salaf, dan tidak pernah mengeyam pendidikan formal hanya
sebatas Ver Volk Sekolah Rakyat, tetapi ia menajabat berbagai institusi, dari ketua dewan pembina Golkar, ketua KADIN, GAPENSI,
dan lain sebagainya.
Realita diatas, membuktikan bahwa Orde Baru telah berhasil dalam membina dan memberdayakan jawara dalam aspek kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik di Banten. Bagi komunitas jawara, pendidikan akademis bukanlah suatu keharusan yang dimiliki olehnya,
tapi justru potensi nilai-nilai kultur budaya kejawaraanlah yang harus dimiliki dan tetap dijaga. Bahkan menurut pandangan kelompok jawara
pemimpin tradisional dalam kalangan masyarakat Banten, selanjutnya mengalami perubahan dan bergeser dengan berafiliasi dengan pihak
pemerintahan pada masa Orde Baru. Bahkan hingga saat ini, cup domain wilayah otoritas jawara tidak hanya berfungsi sebagai informal leader lebih
dari itu, justru jawaralah yang saat ini mengendalikan perpolitikan dan akses ekonomi di Banten.
130
“orang pintar itu belum tentu pantes jadi pemimpin, mau dia punya gelar Profesor, Doktor ke Malahan orang-orang pinter yang jadi Gubernur,
Bupati malah korupsi, terus daerahnya ga aman, ada saja kerusuhan dan ga becus jaga ketertiban dan keamanan.... beda sama jawara yang jadi Bupati,
dia ga bakal korupsi, soalnya sebelum jadi Bupati jawara itu sudah kaya duluan dengan menjadi pengusaha, ditambah lagi didaerahnya ga pernah
terjadi kekaucauan”.
179
Peranan dan kotribusi Orde Baru dinilai penting dalam melihat perkembangan jawara Banten, dimulai dengan kebijakan-kebijakan
politiknya terhadap partai-partai Islam yang berkembang di Banten, akhirnya berdampak dengan diikutsertakannya jawara dalam panggung
politik. Dengan cara seperti inilah kekuatan basis partai Islam, yang saat itu diusung oleh PPP dapat ditekan. Manuver yang dilakukan oleh rezim
Orde baru dengan mengkooptasi jawara kedalam partai Golkar, berhasil menandingi kekuatan PPP di Banten. Sebelumnya telah diketahui
bahwa Banten merupakan basis kekuatan Islam tradisional, dimana para kiyai dianggap sebagai pemimpin informal dan memiliki massa
pendukung. Khawatir akan hal tersebut, maka rezim Orde Baru segera melakukan pendekatan dengan para kiyai dan jawara Banten.
Dalam prosesnya tidak semua kiyai dapat diakomodir untuk masuk dan menjadi mesin politik Golkar. Lain halnya dengan
komunitas kelompok jawara, komunitas ini dapat diakomodir dan dikooptasi sepenuhnya oleh rezim pemerintahan Orde Baru, dan masuk
kedalam mesin partai politik Golkar. Adapun konsekuensi yang ditanggung oleh rezim Orde Baru adalah, adanya bergaining
kesepakatan antara pihak Orde Baru dengan kelompok jawara, salah satunya adalah diberikannya akses lahan perekonomian Banten terhadap
kelompok jawara.
180
Rezim Orde Baru memahami betul, bahwa jawara merupakan komunitas yang tidak memiliki jelas lahan pekerjaan,
kebanyakan dari mereka tersebar sebagai Lurah, preman-preman pasar,
179
Wawancara dengan Kang Mamed, tokoh jawara Banten, dan Pengurus Pusat PPPSBBI. Posko PPPSBBI, Serang, Desember 2010.
180
Wawancara dengan Hudaeri, akademisi IAIN SMH Serang, Juli 2010.
131 terminal, kepala keamanan pasar dan pelabuhan. Oleh karena itu,
pendekatan yang dilakukan Orde Baru terhadap kelompok jawara ialah dengan memberikan proyek-proyek pemerintah dalam bidang
konstruksi pembangunan sarana prasarana, jalan, dan bangunan dikelola oleh para jawara.
Adapun proses diberdayakannya jawara oleh Orde Baru dimulai dengan mengumpulkan dan mempersatukan jawara Banten.
181
Dengan mempersatukan semua element jawara Banten dalam suatu wadah,
dinilai efektif untuk memobilisasi jawara dan dukungannya terhadap Orde Baru. Dibentuknya organisai lembaga kemasyarakatan yang
mewadahi jawara, akan memberikan citra positif dimata masyarakat Banten. Selain itu, wadah organisasi yang didomplengi jawara pun
menjadi gerakan underbownnya pemerintahan rezim Orde Baru. Intervensi rezim pemerintahan Orde Baru terhadap organisasi-
organisasi yang dibentuk oleh para jawara, secara langsung mendidik para jawara utuk turut serta belajar berpolitik, khususnya politik praktis.
Pemerintahan Orde Baru menempatkan tokoh-tokoh jawara untuk menduduki kursi anggota DPRMPR RI pada masa Orde Baru. Sebut
saja, Eki Syahrudin, Tryana Syam’un, Irsyad Juweli, dan lain sebaginya, mereka merupakan sebagian kecil, tokoh jawara yang pernah
menduduki kursi anggota Dewan DPRMPR RI untuk wilayah Banten.
Adapun upaya yang diusahakan oleh rezim Orde Baru dalam memberdayakan jawara antara lain, membentuk organisasi-orgaisasi
massa yang langsung berada di bawah tangan para jawara. Antara lain, membentuk Satuan Karya Jawara 1970, yang kemudian diganti menjadi
PPPSBBI Persatuan Pendekar Persilatan Seni dan Budaya Banten
181
Proses untuk mempersatukan jawara dalam satu wadah organisasi tidak begitu sulit dilakukan oleh rezim Orde Baru, cukup dengan merekrut H.
Chassan Sohib sebagai tokoh jawara dan mengintruksikanya untuk mengumpulkan dan mempersatukan semua jawara Banten kedalam organisasi
Satuan Karya Jawara, lalu nama tersebut diganti dengan PPPSBBI. Hasilnya H. Chassan berhasil mempersatukan semua jawara Banten, sebagai ketua jawara
Banten H. Chassan mengintruksikan kepada seluruh jawara untuk mendukung sepenuhnya terhadap pemerintahan Orde Baru. Wawancara dengan, H. Khatib
Mansur, Tokoh jawara Banten dan pengurus KADIN provinsi Banten, Serang, Desember 2010.
132 Indonesia pada tahun 1973, membentuk Satuan Karya Ulama 1970,
membentuk angkatan 45, membentuk GAPENSI. Organisasi ini dipimpin langsung oleh tokoh jawara H. Chassan, adapun diantara
organisasi yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan jawara adalah PPPSBBI. Organisasi PPPSBBI dianggap memiliki
peranan sentral dalam usaha mengembangkan dan memberdayakan jawara, hal ini dikarenakan organisasi ini menaungi semua kalangan
jawara. Seperti halnya telah dijelaskan sebelumnya bahwa PPPSBBI merupakan Sekber Sekertariat Bersama para jawara, semua jawara
berkumpul diorganisasi ini, baik dari kalangan pengusaha, pejabat pemerintahan, dan jawara ilmu hikmah.
Pihak Orde Baru memahami bahwa komunitas kelompok jawara belum memumpuni benar dalam hal keorganisasian, dan
pemahamannya tentang perpolitikan. Oleh karena itu, intervensi Orde Baru dalam mengkonstruk jawara terlihat jelas dalam organisasi ini.
Kedekatan jawara dengan pihak militer sangat jelas, bagaimana militer membimbing PPPSBBI dalam mengadakan latihan silat dan
berorganinsasi. Sedangkan, tahapan yang dipergunakan oleh rezim Orde Baru dalam mengembangkan dan memberdayakan jawara di panggung
politik dan aspek kehidupan masyarakat Banten, dapat klasifikasikan kedalam dua tahapan. Pertama, dibentuknya organisasi PPPSBBI dan
disusul dengan masuknya jawara kedalam Satkar Ulama. Kedua, mengempisnya peranan Ulama dan munculnya peranan jawara. Untuk
lebih lanjut, klasifikasi tahapan tersebut akan dibahas secara lebih mendetail dibawah ini.
C. Masuknya Jawara Kedalam Satkar Ulama Banten
Salah satu tahapan dan upaya yang digunakan oleh rezim Orde Baru dalam memberdayakan potensi jawara adalah, dibentuknya
Organsasi PPPSBBI dan masuknya jawara kedalam Satkar Ulama. Sebelumnya telah diketahui, bahwa Satkar Ulama berada dibawah
naungan rezim Orde Baru dengan partai Golkarnya. Lebih tepatnya Satkar Ulama merupakan salah satu eksponen partai Golkar. Satkar
133 Ulama sendiri terbentuk pada tahun 1970, dimasa awal permulaan Orde
Baru.
182
Awal berdiri Satkar Ulama dimulai pada masa Pelita I, dimana Orde Baru dengan Kombakti Siliwanginya sedang melaksanakan
pembangunan jalan antara Karangantu, Malingping dan jalan Ciomas, yang dikerjakan oleh tahanan politik PKI dengan pengawalan dari
Korem Maulana Yusuf. Pada saat itulah, pemerintahan Orde baru memfasilitasi perkumpulan musyawarah Ulama-ulama Banten di Batu
Kuwung. Ketika musyawarah itulah, pak Harto dengan pejabat pemerintahan Orde Baru lainya, meminta restu kepada para kiyai
Banten untuk menjalankan Pelita I. Semua Ulama kharismatik yang ada di Banten berkumpul semua, seperti KH. Mahmud, KH. Abdul Halim
dan Ulama-Ulama pejuang lainnya. Pada perkumpulan musyawarah Ulama itulah, mulai dibentuk untuk pertama kalinya organisasi Satkar
Ulama yang diketuai langsung oleh KH. Mahmud, dengan tugas mengawal para Ulama.
183
KH. Mahmud sendiri merupakan sosok kiyai yang kharismatis pada masa tersebut. Tidak heran jika kalangan
pemerintah, militer, maupun jawara dalam memutuskan persoalan selalu berkonsultasi terlebih dahulu kepadanya.
Berawal dari perkumpulan musyawarah antar Ulama Se-Banten tersebutlah, Ulama dan jawara berada dalam pengaruh rezim Orde Baru.
Indikasi dari hal ini antara lain didirikannya Satuan Karya Ulama pada tahun 1970, hasil dari musyawarah para Ulama, dimana terdapat
intervensi Militer dan Orde Baru, yang menjadi eksponen partai Golkar pada masa awal pembentukannya. Setahun setelahnya, yakni tahun
1971 mulai didirikan organisasi yang menaungi jawara yakni, Satuan Karya Jawara. Sementara itu, KH. Mahmud tetap ditunjuk menjabat
sebagai Ketua Satkar Ulama, sedangkan H. Chassan Sohib ditunjuk sebagai Ketua Satkar Jawara. Di karenakan nama jawara memiliki citra
negatif dalam pandangan umum masyarakat, maka pada tahun 1977
182
Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985.
183
Lihat lebih lanjut, Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985.
134 Satkar Jawara diganti nama menjadi Persatuan Pendekar Persilatan Seni
dan Budaya Banten Indonesia PPPSBBI.
184
Perlu diketahui, bahwa kedua tokoh ini sama-sama berasal dari daerah Ciomas. Daerah Ciomas dikenal sebagai salah satu daerah pusat
jawara, karena daerah ini banyak melahirkan tokoh-tokoh jawara. Pada masa awal pembentukan Satkar Ulama itulah, jawara mulai masuk dan
memiliki peran, terlebih lagi kedua tokoh tersebut berasal dari Ciomas yang dikenal dengan pusat jawara. Selain itu, perlu diketahui menurut
Kang Mamed bahwa sebagian jawara-pun berprofesi sebagai kiyai, oleh karena itu ada yang dikenal sebagai jawara kiyai.
185
Masuknya jawara kedalam Satkar Ulama, membentuk organisasi ini sebagai eksponen
partai Golkar. Perlu diingat bahwa jawaralah yang memfasilitasi dibentuknya Satkar Ulama, bahkan H. Chassan sendiri merupakan
termasuk salah satu pendiri Satkar Ulama. Selain itu, beliau berperan aktif menghubungkan antara rezim Orde Baru dengan pihak Ulama.
Tidak begitu sulit bagi kelompok jawara untuk masuk kedalam Satkar Ulama, karena sebagian jawara-pun berprofesi sebagai kiyai.
Dengan dibentuknya Satkar Ulama dan Satkar Jawara, maka tujuan Orde Baru untuk mengkooptasi kedua kelompok pemimpin
informal di Banten-pun tercapai. Melalui kedua Organisasi tersebut baik para kiyai dan jawara, dapat dikendalikan dalam satu tangan. Ulama
dikendalikan melalui Satkar Ulama, ditambah dengan adanya para jawara dalam organisasi tersebut. Sedangkan para jawara dikendalikan
melalui Satkar Jawara, yang kemudian diubah menjadi PPPSBBI.
Perubahan nama organisasi tersebut hanya untuk bertujuan kamuflase agar citra negatif jawara tidak melekat di PPPSBBI, sebagai
organisasi pendekar. Kelompok jawara memiliki pandangan bahwa
184
Banyak para peneliti yang keliru tentang awal lahirnya PPPSBBI sebagai organisasi yang menaungi jawara Banten, hal ini dikarenakan data
yang meereka peroleh tidak akurat. Pandangan mereka tentang tahun 1971 merupakan tahun didirikanya PPPSBBI adalah suatu kekeliruan. Tahun 1971
merupakan tahun berdirinya Satkar Jawara, sedangkan PPPSBBI sendiri berdiri pada tahun 1977 atas persetujuan 48 kiyai termasuk KH. Mahmud dan KH.
Syatro’i dan tokoh jawara Banten, yang diresmikan di Masjid Agung Banten. Lihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPSBBI, Serang Banten,
1990.
185
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.
135 nama pendekar lebih positif dibandingkan dengan jawara, padahal pada
prakteknya pendekar dengan jawara tidak ada bedanya, kekerasan dan intimidasi selalu digunakan untuk meraih suatu tujuan terterntu.
Selanjutnya, hubungan keduanya antara pihak rezim Orde Baru yang dimotori oleh partai Golkar dengan jawara dan Ulama semakin dekat.
Hal ini ditandai dengan Musyawarah Nasional Satkar Ulama pada bulan juli 1985 di Bogor, dengan memasukan seksi kepemudaan dan pendekar
jawara dalam susunan kepengurusan Golkar.
186
D. Mengempisnya Peranan Ulama dan Munculnya Jawara
Perkembangan jawara Banten dalam aspek sosial politik, tidak terlepas kaitanya dengan eksistensi para Ulama atau kiyai di Banten.
Telah dibahas sebelumnya dalam bab terdahulu, bahwa para kiyai memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Banten. Termasuk dalam urusan aspek politik dan kepemimpinan di Banten, para kiyai diposisikan dalam urutan pertama setelah runtuhnya
sistem Kesultanan di Banten. Selanjutnya, jawara ditempatkan dalam stratifikasi lapisan kedua setelah para kiyai. Pada masa klasik, lalu
disusul dengan masa penjajahan, sampai dengan Orde Lama peranan dan pengaruh kiyai tetap tidak tergantikan sebagai informal leader di
Banten.
187
Bahkan pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, para tokoh kiyai menjabat sebagai Bupati, panglima militer, dan jabatan
berpengaruh lainnya. Namun saat ini keadan telah berubah, terjadi suatu pergeseran
peta politik di Banten, pengaruh kiyai di Banten mulai tersingkirkan. Realita kenyataan yang terjadi di Banten mulai berubah dan bergeser,
peranan dan pengaruh kiyai dalam aspek kekuasan politik tidak sehebat dulu lagi. Perubahan atmosfer politik di Banten mulai berubah,
pengaruh dan peranan kiyai telah bergeser, jika dahulu berperan sebagi
186
Lihat lebih lanjut, Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985.
187
Martin Van Bruinessen : Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The Banten. Paris: Archipel, 1995,168. Lihat pula, Ota
Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 Leiden Netherland: Brill, 2006,
67.
136 pemimpin politik, saat ini bergeser dan ditempatkan hanya seputar
mengurusi bidang keagamaan saja. Sedangkan untuk urusan politik dan kekuasaan, saat ini muncul kelompok komunitas jawara yang lebih
dominan menguasai peta perpolitikan di Banten.
Pergeseran peran ulama serta mobilitas vertikal para jawara, merupakan suatu fenomena dalam perkembangan jawara dan
masyarakat lokal di Banten. Perubahan ini hanya dapat dilihat dari aspek historis, bagaimana proses perubahan dan perkembangan itu
berjalan dan berproses. Fenomena tersebut merupakan hasil dari intervensi rezim Orde Baru terhadap situasi dan kondisi perpolitikan di
Banten.
Orde Baru memiliki peran signifikan, terhadap mengempisnya peranan Ulama dan munculnya jawara dalam aspek perpolitikan di
Banten. Padahal pada masa awal lahirnya rezim Orde Baru, kelompok Ulama-lah yang didekati untuk ikut dan bergabung dengan Orde Baru.
Walaupun pada proses pendekatannya berjalan sangat alot antara pihak Orde Baru dengan kelompok Ulama. Setidaknya dibutuhkan tiga kali
pertemuan untuk mencapai kata sepakat diantara kedua pihak, bahkan Presiden Suharto-pun turun langsung pada pertemuan yang ketiga
kalinya. Terkesan lambat dan alotnya proses tersebut, dikarenakan pihak ulama awalnya tidak ingin bergabung dengan Golkar.
188
Melihat lambatnya proses kooptasi ulama tersebut, jelas bahwa peranan dan posisi para Ulama di Banten memiliki nilai yang sinifikan
dalam masyarakat Banten. Namun seiring berjalannya proses pembangunan dan situasi perpolitikan di Banten, terjadi pergeseran
peran. Para kiyai secara sistematis termarjinalkan dengan kebijakan alienasi Islam politik oleh rezim Orde Baru yang dimanifestasikan lewat
partai Golkar. Saat itulah kelompok jawara memperoleh dan mengalami penguatan sistem politik dari rezim Orde Baru, dan muncul sebagai
pemimpin masyarakat yang memiliki kekuasaan dan berpengaruh kuat secara politik. Sedangkan para kiyai secara sistematis eksistensinya
dipinggirkan ke wilayah periferial dan bersikap apatis, oleh skema yang dijalankan Orde Baru.
188
Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin diketahui identitas namanya, November 2010.
137 Salah satu dampak dari kebijakan yang dilakukan Orde Baru,
antara lain membuat kekuatan Islam politik termarjinalisasikan, termasuk dengan Banten. Telah diketahui bersama bahwa salah satu
tujuan Orde Baru, ingin memarjinalkan kekuatan Islam poltik dari percaturan politik nasional. Marjinalisasi terhadap kekuatan Islam
politik ini, dikarenakan Orde Baru memiliki anggapan bahwa Islam politik sebagai suatu ancaman yang harus dipinggirkan dari pentas
politik nasional. Di antara kebijakan Orde baru yang berusaha memarjinalkan Islam politik, antara lain melarang menghidupkan
kembali partai Masyumi dan kembalinya pemimpin Masyumi dalam dunia politik, fusi partai-partai Islam, sampai kepada pelarangan Islam
sebagai asas partai dan organisasi massa Islam.
189
Dengan kebijakan seperti itu, salah satu dampaknya adalah terpinggirkannya peran kiyai. Walaupun demikian, para kiyai tetap
berpegang teguh kepada prinsip Islam politik, walaupun dalam geraknya telah dibatasi, bahkan diisolir oleh Orde Baru dari umatnya.
Berbarengan dengan itu, Orde Baru mendekati para kiyai untuk bergabung dengan dengan Golkar.
190
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam konteks pendekatan ini Orde Baru membentuk
Satkar Ulama sebagai salah satu sayap organisasi untuk menampung para Ulama ataupun kiyai di Golkar. Untuk pertama kalinya Satkar
Ulama di bentuk di Banten, selanjutnya kebijakan membentuk Satkar Ulama-pun diterapkan di daerah-daerah lainya. Pada masa awal Orde
Baru, peta politik di Banten masih dikuasai oleh partai-partai Islam, Masyumi dan NU menjadi kekuatan dominan di Banten. Dengan
kebijakan depolitisasi, Orde Baru berhasil mengubah peta kekuatan politik di Banten sehingga menjadi wilayah pendukung Golkar. Strategi
usaha politik Orde Baru untuk mengubah kondisi itu adalah dengan memanfaatkan dan mempolitisasi peran kiyai.
Dengan demikian, pada era 1980-an, pengaruh Ulama dalam proses perpolitikan sedikit demi sedikit mulai menyusut. Disamping
karena adanya kebijakan alienasi Islam politik oleh rezim Orde Baru, salah satu mengempisnya peran Ulama dimata masyarakat karena
adanya faktor konflik intern dikalangan Ulama Banten. Konflik antara
189
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik..., 87-89.
190
M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., 56-57.
138 kiyai ini berasal dari permasalahan siapa yang akan melanjutkan
kepemimpinan KH. Syam’un di pondok pesantren Alkhaeriyah, Serang. KH. Syam’un merupakan tokoh Ulama Banten yang berkharisma
dihormati oleh masyarakat Banten, dan pernah menjabat panglima tinggi militer 1945, lalu diangkat sebagai Bupati Serang 1945-1949.
191
Konflik yang berkepanjangan ini, setidaknya menurunkan kharisma dan kewibawaan para kiyai dimata masyarakat Banten.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa Satkar Ulama memiliki peran untuk menghadapi kiyai di Banten. Akibat kebijakan
seperti itu, para kiyai pondok pesantren, ormas Islam di Banten banyak yang bergabung dengan Golkar, diantaranya Matha’ul Anwar di
Pandeglang dan Alkhaeriyah di Serang. Dengan bergabungnya para kiyai ke Golkar, tentu saja mereka menjadi bagian dari mesin politik
Golkar. Bergabungnya para kiyai kedalam Satkar Ulama, menghasilkan dampak yang negatif bagi para kiyai itu sendiri karena mereka dianggap
sebagai agen pemerintah.
Akses dari kedekatan hubungan antara rezim Orde Baru dengan para kiyai, adalah menurunnya citra dan peran kiyai di mata ummat,
bersamaan dengan itu posisi dan peran kiyai semakin termarginalkan. Bahkan tidak akibatnya tidak sedikit dari mereka yang dijauhi dengan
sendirinya dan ditinggalkan oleh ummat, dalam hal ini masyarakat Banten. Walaupun demikian, tidak semua Ulama memihak dan
mendukung Orde Baru, mereka tetap netral, karena sikap mereka yang netral inilah para kiyai ini tetap disegani dan dihormati oleh ummat.
Sebut saja misalnya KH. Abuya Dimyati Cidahu alm, KH. Cecep Bustomi alm, dan KH. Uci Qurtusi Cilongok. Para kiyai ini
dianggap sebagai kiyai yang netral dan tidak memihak partai manapun, sehingga mereka tetap dihormati dan disegani oleh ummat, bahkan
mereka memiliki pengaruh yang kuat. KH. Abuya Dimyati dikenal oleh sebagian masyarakat sebagai Waliyullah, bahkan kediaman beliau
pernah didatangi oleh semua Presiden Republik Indonesia, dari mulai Soekarno-Gusdur
192
. Walaupun semua Presiden pernah
191
Else Ensering, Banten in Times of Revolution Paris : Archipel, 1995, 150.
192
Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin diketahui identitas namanya, November 2010.
139 menyambanginya hanya untuk sekedar minta restu, tapi perlakuannya
tetap sama, tidak ada perbedaan antara Presiden dengan rakyat biasa.
193
Namun proses pemarginalisasian Ulama yang paling jelas adalah, karena adanya intervensi rezim Orde Baru untuk menempatkan peran
Ulama lebih pada urusan keagamaan saja. Sejak saat itu, unsur militer Orde Baru mulai mendominasi di tingkat pemerintahan Banten. Mulai
tahun 1967 misalnya, Bupati Serang dijabat dari Militer dan DPRDnya sampai tahun 1987, diketuai oleh Militer.
194
Dengan kata lain, Orde Baru secara sistematis telah berhasil mengempiskan peranan Ulama
dalam aspek politik pemerintahan dimata masyarakat Banten. Adapun peranan jawara malah semakin kuat posisinya dalam
kancah politik lokal, karena kedekatannya dengan rezim Orde Baru. Hubungan relasi kedekatan tersebut, merupakan politik akomodasi dan
kooptasi Orde Baru terhadap jawara. Salah satu upaya untuk membendung kekuatan politik kiyai, rezim Orde Baru mengkooptasi
dan memanfaatkan eksistensi jawara. Dengan kebijakan politiknya, Orde Baru berhasil membelokan akses kekuasaan politik dari kiyai
beralih ke kelompok jawara. Berhubungan dengan kebijakan elienasi Islam politiknya, Orde Baru menilai bahwa jawara lebih kooperatif
dibandingkan dengan Ulama, selain itu Islam politik merupakan ancaman bagi pentas politik nasional. Kelompok jawara dinilai lebih
kooperatif dibandingkan dengan kiyai, dikarenakan kelompok jawara lebih pragmatis dibandingkan dengan para ulama yang tetap memegang
teguh prinsip.
195
Singkatnya, kelompok jawara lebih mudah untuk dibayar dan menjadi rekanan Orde Baru.
193
Perlakuan yang diberaikan oleh KH. Abuya Dimyati terhadap para pejabat dan para Presiden disamakan dengan rakyat biasa, bahkan ada diantara
Presiden yang rela menunggu beliau seharian. Biasanya Abuya Dimyati tidak ingin ditemui oleh siapa-pun jika beliau sedang mengajar dan berzikir,
termasuk dengan Presiden sekalipun, dan jika bertemu dengan beliu biasanya singkat, hanya menanyakan maksud dan tujuannya lalu memberikan do’a
dengan air putih. Wawancara dengan KH. Dadang, Tokoh Ulama dan Pengusaha Banten, Tangerang, Agustus 2010.
194
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.
195
Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir,
Oktober 2010.
140 Selain itu, hubungan kedekatan antara jawara dengan Orde Baru
dikarenakan berbagai hal, misalnya jawara juga melatih militer untuk mendalami ilmu persilatan, atau para jawara pernah ikut terjun langsung
ke daerah-daerah konflik seperti, Papua Irian Jaya saat itu, Aceh, Ambon, dan Timor-timor. Bahkan lebih dari itu, kelompok jawarapun
dapat membantu karir seorang anggota militer, dari Letnan misalnya menjadi Kapten. H. Chasan misalnya, merupakan tokoh sentral jawara
yang memiliki hubungan yang erat dengan para Jenderal, diantaranya, Surono, Sudarsono, Prabowo Subiyanto, Basofi Sudirman dan lain
sebagainya. Bahkan lebih dari itu, Probowo sendiri sudah dianggap menjadi anaknya, begitupun sebaliknya H. Chassan dianggap sebagai
bapak oleh Prabowo.
196
Jika dilihat dari kronologis kedekatan jawara dengan Orde Baru dalam hal ini militer, dapat dilihat ketika proses terjadinya
kesepakatan antara Ulama dan Jawara Banten dengan rezim pemerintahan Orde Baru. Kelompok jawaralah yang ditunjuk oleh
Jenderal Surono, yang saat itu menjabat Pangkowilhan Jawa-Madura untuk membantu pelaksanaan kesepakatan musyawarah tersebut.
Tempat pertemuannya tersebut difasilitasi oleh kelompok jawara
197
, di tempat wisata pemandian air hangat Batu Kuwung milik H. Chassan,
ketua jawara. Kelompok jawara sendiripun mengakui bahwa Orde Baru, Militer, Polri, merupakan mitra kerja mereka dalam hal menjaga
stabilitas keamanan.
Intervensi yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Orde Baru terhadap perpolitikan di Banten, meletakan kelompok jawara sebagai
kelompok yang mendominasi kekuasaan di Banten. Bahkan lebih dari itu, aspek ekonomi-pun dikuasai oleh mereka. Walupun demikian,
196
Dalam biografi profilnya, H. Chassan memiliki kedekatan secara emosional dengan para petinggi militer, para anggota militer secara langsung di
didik berlatih ilmu silat, maka secara tidak langsung proses tersebut dalam dunia kejawaraan, disebut dengan hubungan antara murid dengan guru.
Walaupun demikian, kelompok jawara menolak jika hubungan tersebut disebut dengan hubungan antara murid dan guru, mereka lebih senag disebut hubungan
anak dengan bapak, atau dengan hubungan dengan Sahabat. Wawancara dengan H. Khatib Mansur, salah satu jawara Banten, pengurus KADIN
Provinsi, Serang, Desember 2010.
197
Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.
141 secara kultur jawara memang masih setia terhadap kiyai sebagai
pemegang pengaruh moral, tetapi kebutuhan materi tidak mengharuskan jawara untuk patuh lagi terhadap kiyai. Kelompok jawara yang pada
umumnya lebih pragmatis dibandingkan dengan kiyai, dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk upaya memobilisasi dukungan massa dan
rekayasa politik Orde Baru untuk melakukan penetrasi di Banten.
Hubungan yang terjadi antara kiyai dengan para jawara secara kultural tetap tidak berubah. Para jawara tetap memegang teguh nilai-
nilai tradisi budaya dan kultur jawara, sebagai murid kiyai. Secara politik rezim Orde Baru mengkonfrontir antara kelompok kiyai dengan
jawara, tetapi karena sebagian kiyai telah masuk kedalam Satkar Ulama dan menjadi eksponen Golkar, hal tersebut dapat dihindarkan.
Sebaliknya konflik itu sendiri terjadi di internal para kiyai Banten itu sendiri. Surutnya peranan kiyai dalam bidang kekuasaan dan politik,
membuka peluang bagi para jawara untuk menempati posisi tersebut, hasilnya pentas politik di Banten dapat dikuasai oleh kelompok jawara.
Dominasi jawara atas proses sosial politik di Banten, membuka peluang bagi mereka untuk lebih banyak berperan dalam berbagai bidang.
Dimulai dari dominasi aspek politik, kemudian disusul aspek ekonomi dengan banyaknya tokoh jawara yang menjadi pengusaha, hanya
sebagian kecil yang berkiprah menjadi kiyai.
Proses perkembangan jawara Banten pada masa rezim Orde Baru, merupakan kunci terjadinya perubahan mobilitas vertikal dalam
kelompok jawara. Diantara salah satunya, menyusutnya peranan Ulama dalam hal kekuasaan di Banten. Singkatnya, kelompok jawara yang
mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Banten, merupakan hasil dari bentukan Orde Baru.
BAB V JAWARA BANTEN DAN ERA REFORMASI