94
layaknya antara anak dengan bapak. Oleh karena itu di dalam dunia jawara dikenal dengan “kuwalat” yakni pemahaman tentang
seseorang akan tertimpa sial jika ia melawan guru atau orang tuanya. Pada posisi ini, kiyai sebagai guru berperan sebagai orang
tua dari muridnya yakni para jawara.
Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru dalam hal ini adalah kiyai, terutama yang menurunkan ilmu kesaktian atau
magis, sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya kepala jawara itu dengan panggilan
abah, yang artinya sama dengan bapak. Panggilan tersebut menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah
seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya. Kini relasi seguru-seilmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam
perguruan-perguruan persilatan yang masih tetap bertahan sampai saat ini, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu
perguruan memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain.
Akar hubungan historis dan kultural inilah, yang terjalin antara kiyai dan jawara. Kutur dan kebudayaan tertentu dalam
suatu kelompok, tercipta dari akulturasi ataupun suatu difussi antar kebudayaan. Dalam hal ini jawara merupakan produk dari
kebudayaan lokal setempat, terciptanya jawara dalam konstruk budaya lokal sangat terkait dengan peran kiyai. Menurut Tihami
kiyai lah yang memiliki peran andil dalam melahirkan jawara Banten, sampai diakuinya eksistensi jawara sebagai elit lokal
dalam komunitas warga masyarakat wong Banten.
2. Sebagai Tentara Kiyai
Menurut Ota Atsushi, pola relasi hubungan yang terjadi antara jawara dengan kiyai dimulai pada masa abad ke 19.
Dimana para jawara berperan sebagai tentara kiyai, atau khodim pembantu kiyai. Para kiyai sebagai elit masyarakat lokal
merupakan pemimpin dalam mengadakan pemberontakan terhadap pihak kolonial. Sebagai pemimpin pemberontak, kiyai
merekrut para jawara untuk dijadikan pion-pion mereka dalam
95
melawan pemerintahan kolonial
123
. Lebih dari itu, para jawara mematuhi secara penuh apa yang diperintahkan oleh para kiyai.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatas, bahwa disamping jawara sebagai tentara kiyai, jawara pun merupakan
murid dari kiyai. Rasa solidaritas dan intensitas kepatuhan yang tinggi terhadap kiyai sebagai pemimpin, mengkonstruk budaya
jawara sebagai khodim pembantu kiyai. Tanpa instruksi dari kiyai, jawara tidak akan melakukan tindakan apapun.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial
Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap
mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Faqih Najamuddin untuk
di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah
kolonial yang terlalu besar.
124
Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah,
muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak
jabatan Faqih Najamuddin dihapuskan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan
loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang
123
Atsushi selalu menyebut jawara dengan istilah”strong man”manusia kuat, sakti, yang ada di Banten. Setelah runtuhnya Kesultanan Banten, situasi
sosial masyarakat Banten berada dalam suasana kekacauan. Pemberontakan- pemberontakan selalu terjadi, oleh karena hal tersebut residen Banten
ditetapkan sebagai keresidenan yang sulit ditata dalam administrasi pemerintah kolonial. Para kiyai berperan sebagai pemimpin pemberontakan, segala
element masyarakat direkrut termasuk jawara strong man direkrut kedalam gerakan pemberontakan. Lihat Ota Atsushi, Change of Regim and Social
Dynamic in West..., 153-158.
124
Pada masa kekuasaan Kesultanan, sistem syariah lah yang digunakan sebagi hukum legimasi, bahkan ketika VOC datang jabatan Qodi tetap
digunakan. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The Banten Paris: Archipel, 1995, 171-172. Lihat pula
Muhammad Hudaeri : Tasbih dan golok, Studi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan penelitian Serang: Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002.
96
selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu.
Setelah penghapusan jabatan Faqih Najamuddin yang diberikan kepada para kiyai, pada tahun 1888 misalnya terjadi
pemberontakan hebat di Banten. Dimana KH. Wasyid memimpin pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial. Pemberontakan
tersebut yang kemudian dikenal dengan pemberontakan peetani Banten atau Geger Cilegon. Pemberontakan yang dilangsungkan
oleh kiyai Wasyid dibantu oleh para jawara, termasuk Konidin jawara yang paling disegani di Banten. Else Ensering,
mendeskripsikan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi Banten, baik peristiwa pemberontakan petani Banten,
pemberontakan komunis di Banten, merupakan pemberontakan yang dimotori oleh para kiyai dan jawara Banten.
125
Pemberontakan kiyai yang dibantu oleh para jawara sangat menarik jika dihubungkan dengan situasi, dan kondisi sosial
politik yang terjadi pada masyarakat Banten waktu itu. Menurut Kartodirdjo keterlibatan kiyai dan jawara dalam pemberontakan
pada masa kolonial, dipergunakan oleh para kalangan aristokrat saat itu yang memanipulasi isu-isu politik, ekonomi, dan budaya.
Tujuan tersebut demi kepentingan kekuasaan para kalangan aristokrat, yang pada saat itu sedang mengalami deprivasi
politik.
126
Pemanipulasian kekuatan kiyai dan para jawara, menimbulkan kerugian bagi pihak para kiyai dan jawara sendiri.
Pemberontakan yang dimotori oleh para ulama mengalami kegagalan, yang berakibat kepada pembuangan besar-besaran
para tokoh kiyai dan jawara yang terlibat dalam pemberontakan tersebut. Setidaknya terdapat 94 pemberontak yang terdiri dari
kiyai dan jawara yang dibuang oleh pihak kolonial. Diantaranya ada yang dibuang didaerah Sulawesi, Maluku, Ternate, Kupang,
Padang, dan daerah lainnya.
125
Dalam kasus pemberontakan di Banten, kiyai tidak berperan sendiri sebagai tokoh sentral pemberontakan. Setidaknya terdapat dua tokoh, pertama
kiyai dan kedua sebagian para Bangsawan, yakni keturunan Sultan Banten. Sedangkan posisi jawara hanya hanya sebagai tentara ataupun pion ketika
menghadapi pihak kolonial. Lihat, Else Ensering, Banten in Times of ..., 132- 143.
126
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 450-452.
97
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan
dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat
diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang memiliki
pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan
dalam penguasaan ilmu pengetahuan agama dan sekuler, kesaktian dan keturunannya.
Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat kokolot, guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru
ilmu “hikmah” ilmu ghaib dan sebagai mubaligh. Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga
pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan
terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi,
127
peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih
mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten
peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro kepala desa atau lurah, guru ilmu silat dan ilmu
“batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan.
Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama,
namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat
127
Dhofier menyebutkan nilai-nilai spiritual yang ikut membentuk bangunan kehidupan spiritual kiyaiai selain zuh{ud yang merupakan
pandangan keagamaan dari tasawuf Islam yang secara luas diamalkan oleh para kiyaiai, adalah wiro’i menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang,
makruh dan yang tidak jelas boleh tidaknya, khusyu’perasaan dekat dan selalu ingat kepada Tuhan, tawakkal percaya penuh kepada kebijaksanaan
Allah, sabar, tawaddlu’ rendah hati, ikhlash dan shiddiq selalu jujur dan bertindak yangsebenarnya. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,
Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai Jakarta: LP3ES, 1985, 165.
98
diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa
lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.
Pada tahun 1945 dimana Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, pada saat itu kekuasaan kresidenan Banten
langsung dipegang sepenuhnya oleh para kiyai. KH. Achmad Khatib menjabat sebagai residen Banten, dan KH. Syam’un
menjabat sebagai kepala BKR Badan Keamanan Rakyat, pimpinan tertinggi militer dengan pangkat kolonel
128
. Begitu pula dengan struktur dibawahnya, para Bupati, Wedana, Camat,
Kepolisian dan Lurah semua diserahkan kepada para kiyai. Sementara itu peran jawara terlihat sebagai pendamping kiyai,
sekaligus pendamping pemerintah dalam menjaga stabilitas keamanan masyarakat Banten.
129
Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, kiyai dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan
informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah kiyai karena memandang para kiyai sebagai sosok yang disegani. Berbeda
halnya dengan kedudukan kiyai, pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah
melebihi kedudukan para kiyai. Namun diantara ketiganya, kiyai dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini. Keduanya
diibaratkan bagai dua sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara dianggap sebagai “khodam”
nya para kiyai. Karena dari para kiyailah sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah
128
Jika dibandingkan dengan masa sekarang BKR Badan Keamanan Rakyat, setara dengan TNI Tentara Nasional Indonesia. Sedangkan posisi
jabatan KH. Syam’un sama halnya dengan Pangdam Panglima Daerah Militer Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
129
Pola hubungan relasi yang teradi antara jawara dengan kiyai pada masa perjuangan dan kemerdekaan, dapat diartikan sebagai tentara kiyai
ataupun pendamping kiyai. Lihat Else Ensering, Banten in Times of Revolution Paris: Archipel, 1995, 148-157. Lihat pula, Ahmad Abrori, “Perilaku Politik
Jawara Banten Dalam Proses Politik di Banten” Depok: Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, 2003, 63.
99
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para kiyai dan jawara”.
130
Penjelasan di atas tentang peran yang dimainkan oleh kiyai dan jawara serta relasi hubungan yang dibangun oleh kedua
menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda
dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kiyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial
keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. Kiyai dan jawara
merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Kiyai mewakili kepemimpinan dalam
bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan
kekuatan fisik kesaktian.
Pola hubungan relasi tentang peran-peran yang dimainkan oleh kiyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh
keduanya, menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut, bahwa kedua kelompok elit lokal tersebut memiliki kultur yang
berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kiyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial
keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten.
Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kiyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber
kekuatan magis. Sebagai tokoh, kiyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara, Tanpa dukungan dari
para kiyai, para jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan kepentingan kiyai terhadap jawara adalah
bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta ilmu kesaktian dan magis dari kiyai, ia akan memberikan
sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kiyai
130
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara Jakarta: LP3ES, 2003, 129.
100
dipandang sebagai penebus “berkah” kiyai yang telah diberikan kepadanya.
Salah satu hubungan relasi tradisional yang dibangun kelompok kiyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan
hubungan kedekatan emosional yang dalam. Oleh karena itu, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik
melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren
atau perguruan.
Ketika membina relasi hubungannya dengan sesama subkultur, kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup
kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga
kontradiktif. Jawara membutuhkan ilmu dari kiyai, sebaliknya kiyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat bantuan
material dari jawara. Akan tetapi, banyak juga kiyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering
mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang
dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan
sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat
penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi
131
saat ini. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional
masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai
pribadi yang dimiliki masing-masing kelompok.
131
Sumber-sumber ekonomi yang dimaksudkan disini adalah, dominasi para jawara Banten dalam memainkan perananya sebagai patron ekonomi di
wilayah Banten. Setidaknya pada saat ini para jawara telah menguasai perekonomian diwilayah Banten, lain halnya dengan para kiyai yang
peranannya redup dalam aspek politik dan ekonomi.
101
3. Perbedaan Peranan Antara Jawara dan Kiyai