Perbedaan Peranan Antara Jawara dan Kiyai

101

3. Perbedaan Peranan Antara Jawara dan Kiyai

Tabel 1 : Perbedaan Antara Jawara dan Kiyai Jawara Kiyai Ruang lingkup nilai perbedaan antara Kiyai dan Jawara dalam masyarakat Banten - Sebagai informal leader - Pemimpin Padepokan Paguron Silat - Pemain Debus - Penguasa preman Pasar - Jaro Lurah - Pendekar Banten, dan tergabung di dalam PPPSBBI - Sebagai informal leader - Pemimpin pesantren - Guru ngaji - Pemimpin upacara ritual keagamaan - Ahli hikmah Kepemimpinan dan Kharisma Jawara Setelah sebelumnya dibahas tentang peranan jawara pada masa kolonial, dan relasi hubungan yang terjalin antara kiyai dengan jawara. Maka pada bagian ini, akan dibahas pola kepemimpinan dan kharisma yang melekat pada seorang jawara. Sebagai elit sosial, jawara memiliki daya tarik tersendiri dikalangan masyarakat. Berbeda halnya dengan kebanyakaan 102 daerah-daerah lain di Indonesia, Banten memiliki jawara sebagai produk budaya lokal. Kepemimpinan jawara dalam masyarakat Banten sering dipandang sebagai kepemimpinan non formal, atau informal leader. Kartodirdjo sendiri menyebut dua element ini kiyai dan jawara, sebagai elit yang menembus batas-batas hirarki sosial masyarakat. 132 Pemimpin adalah elit dalam suatu kelompok, menjadi pemimpin dalam suatu kelompok kelompok adalah elit dari kelompok tersebut adalah. Menurut Lidlle, elit merupakan kelas sosial yang mendapat penilaian penghargaan tinggi dalam suatu, karena nilai-nilai yang mereka peroleh, sehingga akan mencapai kedudukan dominan dalam suatu kelompok tersebut. 133 Elit sendiri dapat diartikan, mereka yang mencapai puncak posisi institusi dalam masyarakat. Sedangkan nilai-nilai values tersebut dapat berbentuk kekuasaan, kehornatan, ataupun kekayaan. Eksistensi kepemimpinan bagi sebagaian jawara dalam masyarakat Banten, dapat berupa formal leader maupun informal leader. Seperti halnya yang dibahas dalam riset Hudaeri sebelumnya, bahwa ada sebagain jawara yang berperan sebagai jaro lurah dikalangan masyarakat desa, jabatan seperti ini merupakan jabatan yang formal sebagai pemimpin. Bahkan terdapat pula kalangan jawara yang beraktivitas sebagai pejabat pemerintah. Tetapi bagi masyarakat Banten, figure jawara dianggap sebagai informal leader dalam masyarakat. Besarnya peranan jawara dalam komunitas masyarakat Banten, terkait dengan latar belakang historis, dan tingkat religiusitas masyarakat lokal yang tinggi pada masa pemerintahan kolonial. Dimana Kiyai dan jawara berperan sebagai pemimpin perjuangan dalam melawan pihak kolonial. Sebagai pemimimpin dalam komunitas lokal, jawara memiliki daya tarik tersendiri 132 Maksud dari elit atau golongan yang menembus batas-batas hirarki sosial masyarakat disini adalah, golongan yang memiliki peranan signifikan dalam masyarakat Banten dan menjadi pemimpin masyarakat non formal, disinilah kapasitas kiyai dan jawara sebagai pemimpin lokal. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, 82-84. 133 William R. Liddle, Leadership and Culture in Indonesia Politics Sidney Allen and Urwin, 1996 65-67. 103 yakni sebagai pemimpin lokal yang memiliki aura kharismatis dan kewibawaan tersendiri. Peranan eksistensi mereka sebagai informal leader dalam masyarakat wong Banten, terkadang melebihi otoritas kepemimpinan pemerintahan yang resmi di daerah maupun dipusat. Kepemimpinan jawara sebagai elit sosial dalam masyarakat Banten, memiliki ciri khas yang berbeda, yakni kharisma yang dimiliki oleh para jawara. Tanpa kharisma, kepemimpinan jawara tidak berbeda jauh dengan model-model kepemimpinan lainya di indonesia. Kepemimpinan kharismatis inilah yang menjadikan jawara sebagi elit sosial dalam masyarakat wong Banten. Sedangkan otoritas kepemimpinan jawara berasal dari kepercayaan, dalam hal ini agama merupakan sumber otoritas kepemimpinan para jawara. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa eksistensi jawara sangat berkaitan erat dengan agama Islam. Jawara sendiri muncul akibat akulturasi antara kebudayan lokal setempat dengan Islam. Interaksi kebudayaan inilah yang berhasil menciptakaan jawara sebagai produk lokal, dan elit sosial masyarakat Banten. Menurut Martin Van Bruinessen tingkat intensitas religiusitas masyarakat Banten terhadap Islam, diakui memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek historis dan sosial masyarakat, antara lain : 1. Banten merupakan salah satu wilayah kesultanan Islam di nusantara 2. Lembaga-lembaga seperti Tarekat dan Pesantren berkembang pesat diwilayah ini, demikian pula dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diterima oleh masyarakat. 3. Lembaga Qodi hukum syari’ah pada masa kesultanan, dijadikan sebagai hukum perdata dan pidana yang resmi bagi masyarakat Banten. 4. Kiyai dianggap sebagai pemimpin masyarakat lokal bahkan terkesan dikultuskan. 104 5. Jumlah masyarakat Banten yang pergi ke tanah suci Mekah lebih banyak jika di bandingkan dengan daerah-daerah lain di nusantara. 6. Segala aspek kehidupan upacara tradisi masyarakat diwarnai oleh ritual agama. 134 Dalam kehidupan sehari-hari, agama dijadikan acuan oleh masyarakat untuk menjawab persoalan problematika segala aspek kehidupan. Sebagai masyarakat yang berbasiskan agraria, persoalan gagal atau berhasilnya hasil pertanian juga mengacu kepada agama. Agama bagi masyarakat setempat adalah suatu sistem keyakinan dan upacara-upacara atau perbuatan-perbuatan untuk memperoleh kebaikan. Berkaitan dengan jawara, bahwa kekuatan magis supranatural merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kelompok jawara. Pengetahuan tentang kesaktian, magis, dan supranatural bersumber dari adanya keyakinan tentang kekuatan-kekuatan dan kemurahan-kemurahan Tuhan. Bagi masyarakat Banten Tuhan dianggap memiliki segala kekuatan dan memiliki segala kehendak. Kekuatan tersebut sebagian diberikan kepada ciptaannya selain manusia, sebab pada dasarnya manusia dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa. Istilah pemimpin dalam leader menurut Thomas Wren secara tradisional adalah seorang yang dengan jelas dibedakan dengan orang lain dalam hal kekuasaan, status dan pandangan. disamping itu ia membuat table bentuk kepemimpinan diantaranya memiliki karakter, pendirian, keberanian, kharisma dan integritas. 135 134 Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The Banten Paris: Archipel, 1995, 168-179. Penyebaran Islam di Banten telah berhasil masuk dan diterima oleh masyarakat lokal, kehadiran Islam sebagai agama dipegang kuat sebagai prinsip, bahkan muncul kearah fanatik keagamaan. Salah satu contoh, di wilayah Pandeglang, Rangkas dan sekitarnya tidak didapati gereja, ataupun tempat peribadatan selain Islam. Inilah semangat keberagamaan masyarakat Banten dalam memegang Islam, dan menolak eksistensi kehadiran agama lain selain Islam. 135 Tentang teori-teori leadership yang dianalisa oleh Thomas wren, meliputi beberapa kajian antara lain antropologi budaya dan pemahaman sosial 105 Tanda-tanda yang menunjukan kepemimpinan ini, hanya dimiliki oleh sebagian orang saja. Berdasarkan teori diatas, maka manusia diklasifikasikan kedalam dua bagian. Pertama golongan yang memimpin, dan hanya terdiri dari sebagian kecil saja yang terpilih. Kedua, golongan yang dipimpin, seperti kebanyakan lainnya. 136 Ciri-ciri diatas merupakan suatu persyaratan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin, walaupun demikian tidak berarti seorang pemimpin tidak berarti harus memenuhi semua persyaratan tersebut. Jika didalam kepemimpin terdapat prasyarat yang harus dipenuhi untuk menghadirkan seorang pemimpin. Maka terjadinya suatu kepemimpinan berdasarkan proses pemilihan tertentu. Oleh karena itu, kepemimpinan dapat diwujudkan melaui proses usaha-usaha tertentu demi meraih posisi kepemimpinan tersebut. Adapun, bentuk upaya usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih kepemimpinan, tergantung kepada kebudayaan dimana kepemimpinan tersebut berada. Kebudayaan merupakan unsur terpenting dalam proses penilaian dan penentuan kepemimpinan dalam suatu daerah. Kepemimpinan sendiri merupakan suatu integral keseluruhan dalam kebudayaan. 137 Kepemimpinan adalah suatu proses seseorang mempengaruhi orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan mengarahkan organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan koheren. Mereka yang memegang jabatan sebagai pemimpin menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya keyakinan, nilai- tentang kepemimpinan itu sendiri. George R. Goethals and Georgia. L.J. Sorenson, The Quest For General Theory Of Leadership Northampton: Edwar Elgar Publishing, 2006, 13. 136 Kartodirdjo, mengklasifikasikan kelompok tersebut, berdasarkan pemberontakan yang terjadi di Banten, dimana hanya sebagian kecillah kelompok yang berperan sebagai pemimpin. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 16. 137 Lebih jauh lagi Harvey mendefinisikan kepemimpinan leadership adalah bagian integral dari sisi kehidupan alami natural manusia, sedih, senang, bahagia dan lain sebagainya, dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan. Lihat Michael Harvey dalam, George R. Goethals and Georgia. L.J. Sorenson, The Quest For General Theory Of Leadership..., 39-41. 106 nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan ketrampilan. Jadi seorang pemimpin berbeda dari majikan, dan berbeda dari manajer. Seorang pemimpin menjadikan orang-orang ingin mencapai tujuan dan sasaran yang tinggi. Sedangkan seorang majikan memerintah orang-orang untuk menunaikan suatu tugas untuk mencapai tujuan. Di dalam kehidupan masyarakat Banten ada aturan-aturan yang disebut agama dan darigama. Agama adalah aturan-aturan yang dianggap sakral, sedangkan darigama dipandang sebagai suatu yang profan. Walaupun demikian, sesuatu yang profan dikalangan masyarakat Banten kadang kala sering dianggap suatu yang sakral, karena diselimuti oleh agama. Aturan-aturan agama adalah segala sesuatu yang harus diyakini, dipatuhi, dan ditakuti. Hal tersebut dipercaya dapat membawa kebahagiaan dalam kehidupan mayarakat. 138 Kehidupan manusia tidak hanya mengacu kepada aspek peraturan agama saja, melainkan disisi lain terdapat aturan yang bukan dari agama. Peraturan tersebut dinamakan darigama, yang ditaati pula oleh masyarakat Banten. Aturan-aturan darigama ini biasanya tidak bertentangan dengan agama. Sebaliknya peraturan agamapun tidak bertentangan dengan aturan darigama. Kedua aturan inilah yang biasa disebut oleh masyarakat Banten sebagai Tata Tentrem Kerta Raharja hidup makmur, aman dan tertib. Walupun kedua aturan itu berbeda sumbernya, namun keduanya bertujuan sama yakni ingin membahagiakan kehidupan manusia. Dalam pengajiannya Kiyai Nuralam mengatakan bahwa : “agama eta sumberna ti Pangeran koasa, umpami darigama teh ti pamarentah........ moal mantak pamarentah nyilakakeun rakyatna Jadi, kadua duana agama dan darigama 138 Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan Koersif Jawara Dalam Pembuatan Kebijakan Pemerintahan Di Daerah : Studi Kasus Di Wilayah X” Depok: Tesis, Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003, 75. 107 tujuana mah sami. Sami-sami ngabahagiaken urang sadayana”. 139 Agama itu sumbernya dari Tuhan, adapun darigama bersumber dari pemerintah...... tidak mungkin pemerintah ingin mencelakakan rakyatnya Jadi, kedua-duanya memiliki tujuan yang sama. Sama-sama ingin membahagiakan kita semua”. Para kiyai di Banten biasanya dekat dengan para penguasa, baik itu pejabat daerah maupun pusat. Terlebih lagi pada masa Orde baru, para kiyai dan jawara direkrut oleh pemerintah pusat dan dijadikan motor penggerak partai tertentu. Oleh karena itu, tidak heran jika para tokoh kiyai mendukung kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Kewenangan terhadap dua aturan tersebut melahirkan dua macam model kepemimpinan, pertama kepemimpinan agama kiyai dan kepemimpinan darigama pemerintah. Kiyai dan pemerintah inilah yang menjadi pemimpin, karena memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan kebanyakan orang lainya. Salah satu kelebihan kiyai yakni memiliki pengetahuan dalam mengolah ilmu kesaktian magis, dan mentranfromnya kepada orang yang memerlukanya. Kemampuan seperti inilah, yang menjadikan salah satu faktor pendukung kiyai menjadi pemimpin dalam masyarakat Banten. Masyarakat Banten memiliki kepercayaan tentang keberadaan kehidupan magis, sebagian diantaranya adalah elmu kesaktian. Elmu kesaktian atau yang lebih dikenal dengan kedigjayaan biasanya meliputi kemampuan untuk meemancarkan kharisma, kewibawaan, bahkan ditakuti. Lebih dari itu, kemampuan magispun meliputi tenaga dalam, ilmu kebal dari senjata tajam, brajamusti, ziyad, dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu magis kesaktian seperti inilah yang banyak dibutuhkan dan dimiliki oleh para jawara. Jawara yang dikategorikan memiliki kemampuan seperti diatas, ditenggarai cukup banyak. Namun demikian tidak semua jawara dapat menjadi pemimpin, kecuali 139 Hasil ceramah pengajian yang disampaikan oleh KH. Nuralam tokoh ulama di Masjid Baetussa’adah, Kp. Kadu, Curug, Mei 2010. 108 jika ia menduduki jabatan formal, baik dipedesaan ataupun diranah politik. Disamping itu, tokoh jawara dipandang sebagai pemimpin jika ia menjadi pengusaha. 140 Akhir-akhir ini banyak diantara jawara yang beralih profesi menjadi enterpreneur. Kekuatan supranatural magis, dan kesaktian para jawara bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Kesaktian magis tersebut dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti halnya jimat, rajah dan benda pusaka lainnya. Tanpa keahlian dalam mengolah kesaktian magis, jawara tidak memiliki otoritas kepemipinan dikalangan masyarakat. Dengan magis dan kesaktianlah, jawara mampu berperan sebagai pemimpin. Karena salah satu peran yang dimainkan jawara dalam peranan tradisional yakni sebagai jaro lurah, yang memiliki tangggung jawab memelihara stabilitas keamanan di desa. Kharisma sendiri adalah gejala sosial yang terdapat ketika kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Sedangkan yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan kekuatan gaib merupakan unsur integral dalam gejala kharisma. Kharisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial. Gejala kharisma pada umumnya muncul pada waktu krisis, waktu perang atau pada waktu kebudayaan saling bertentangan, terutama disebabkan masalah akulturasi. Kharisma selalu menyebabkan perubahan sosial, dan akan memunculkan sebuah konflik antar pihak. 141 Situasi masyarakat sebelum kharisma tidak pernah sama setelah kharisma. 140 Menjadi pengusaha dan beralih dibidang bisnis tidak menghilangkan identitas dan kharisma jawara sebagai pemimpin lokal. Justru sebaliknya, penguasaanya terhadap aspek perekonomian menjadikan jawara lebih memiliki otoritas kekuasaan dan berpengaruh. Disamping itu kharisma jawara sebagai pemimpin lokal, menjadi lebih desegani. Lihat Abdul Hadi, dalam Okamoto Masaakiyai dan Abdur Rozakiyai, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi Yogyakarta: CSEAS IRE Press, 2006, 76. 141 Konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak benar-benar merasa puas dengan posisinya dan menganggap pihak lain mengancam posisinya tersebut. Kharisma dapat dikatan sebagai salah satu instrument terciptanya konflik 109 Dari segi kemunculannya, kharisma yang disematkan pada seorang pemimpin itu terkandung pada persepsi rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, dapat didefinisikan kembali tanpa keluar dari maksud Weber yang hakiki, sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk mendapatkan kehormatan, ketaatan serta kehebatan terhadap dirinya sebagai sumber dari kekuasaan tersebut. Dan apa yang dilakukan pemimpin kharismatik guna memaksakan kekuasaannya terhadap mereka yang dipimpin olehnya, serta bagaimana dilaksanakannya. Dan hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kharisma itu berlaku melalui persepsi pengikutnya sehingga kedudukan Kharisma dapat berbeda atas pemimpin lainnya. Jhon Potts menegaskan bahwa Weber lah yang telah membuat teori-teori baru tentang kharisma ataupun kepemimpinan kharisma itu sendiri. Lebih jauh lagi, Weber telah membagi dan mengklasifikasi model-model kepemimpinan kharismatik. 142 Proses ini secara umum dapat dikatakan sebagai suatu interaksi antara pemimpin dengan pengikutnya. Di dalam interaksi itu terdapat suatu integritas bahwa ketika pemimpin itu mengungkapkan maka pengikutnya menerima tentang pengenalan dirinya sebagi pemimpin dan tentang pendapatnya mengenai dunia mereka yang sebenarnya, dan bagaimana semestinya dunia itu. Adapun hal yang perlu ditekankan pada pemimpin kharismatik adalah kepemimpinan nasional yang mampu menggandeng semua kelompok, golongan, etnis, suku, agama dan siapapun saja untuk mendapatkan kesetiaan. Dalam hal ini analisis Weber tentang Kharisma, adalah suatu kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang dengan mana dia dibedakan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang tersebut. Lihat Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Sung Hee Kiyaim, Social Conflict Escalation, Stalemate, and Setllement USA: McGraw-Hill, 1994. 142 Akar mula sejarah tentang pemahaman kharisma itu sendiri dimulai pada munculnya kebudayaan Yunai dan Yahudi, dimana kepemimpinan para elit-elit tersebut dianggap memiliki kekuatan adikodrati, baik sang penguasa ataupun kaum agamawan. Weber sendiri menciptakan teori-teori tentang kharisma berdasarkan studinya pada umat Kristen Protestan, dimana para pendeta dianggap memiliki nilai-nilai kharismatik. Lihat Jhon Potts, A History of Charisma New York: Palgrave Macmillan, 2009, 106-107. 110 yang memperoleh anugerah kekuasaan adikodrati, adimanusiawi, atau setidak-tidaknya kekuatan atau kualitas yang sangat luar biasa 143 . Kekuatannya sedemikian rupa sehingga tidak terjangkau oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai berasal dari khayangan atau sebagai teladan dan atas dasar itu individu tersebut diperlakukan sebagai seorang pemimpin. Bagi Weber kharisma memainkan dua peranan yang sangat menonjol dalam kehidupan. Sebagai hal yang luar biasa, kharisma merupakan sumber kegoncangan dan pembaharuan, karena itu merupakan unsur strategis dalam perubahan sosial. 144 Salah variabel yang representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh para jawara di Banten. Jawara merupakan pemimpin kharismatik dalam lingkup budaya lokal masyarakat Banten. Bagi Weber salah satu bentuk kewibawaan kepemimpinan adalah charismatic authority, kekuasaan ataupun kepemimpinan kharismatik yang didukung oleh kekuatan luar biasa. Kekuatan luar biasa inilah yang ia sebut dengan kekuatan adi kodrati, yang kadang kala ditandai dengan kekuatan magis. Dari sudut pandang inilah kepemimpinan kharismatis jawara tidak terlepas dari otoritas kekuatan magis yang mereka miliki. Kekuatan dalam mengolah ilmu kesaktian magis merupakan kemampuan yang membedakannya dengan orang kebanyakan. Dalam kepemimpinan jawara yang berperan sebagai jaro, kerap kali memerlukan ilmu kesaktian magis. Kemampuan magis diperlukan oleh seorang jaro, karena terkait dengan tugas yang ia emban untuk menjaga desa dari segala gangguan keamanan. Kemampuan seperti inilah yang mengkonstruk para jawara menjadi pemimpin yang penuh dengan wibawa dan kharisma, 143 Diskusi Weber mengenai pengesahan kekuasaan dimulai dari sini, sosiologi politik Weber banyak menganalisi mengenai struktur sosial dan perubahan sosial, khususnya tentang masyarakat tradisional yang menjadikan kharisma sebagai legitimasi. Lihat Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte Hingga Parsons Bandung: Rosdakarya, 2006, 280. 144 Pandangan Weber tentang legitimasi penguasa kharismatik tergantung pada keyakiyainan suatu masyarakat, dan hal tersebut terjadi pada masyarakat tradisional. Lihat Max Weber, The Hand Book of Sociology, Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan Yogyakarta: IRCiSoD, 2006, 65. 111 disamping hal tersebut terdapat kelompok kiyai yang juga memiliki wibawa dan kharisma dalam pandangan masyarakat lokal. Terdapat sejumlah peraturan-peraturan yang berakar pada agama Islam, yang memperkokoh eksistensi jawara sebagai pemimpin kharismatik dalam pandangan masyarakat Banten. Peraturan-peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai bakti jawara terhadap kiyai, dimana kiyai sebagai guru dan orang tua bagi para jawara. Peraturan-peraturan yang dipatuhi oleh jawara sendiri antara lain, pebakti, izajah dan kawalat. 145 Salah satu tokoh jawara yang memiliki kharisma dan disegani oleh masyarakat Banten pada masa kini adalah, H. Tb Chasan Sohib seorang jawara yang kharismatik dalam pandangan masyarakat lokal. Ia memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Dalam bidang politik pun, pengaruh tokoh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakili gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Lalu terpilih menjadi Gubernur pada periode 2006- 2011, ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Atut Chosiyah sebagai gubernur Propinsi Banten karena didukung oleh para tokoh jawara. Kepemimpinan kharismatik H. Tb Chasan Sohib, tidak hanya diakui oleh sekitar masyarakat Banten saja. Lebih dari itu, pemerintah pusat pada masa Orde baru pun mengakui hal yang demikian. 146 145 Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan Koersif Jawara...,” 65. 146 Peranan kepemimpinan H. Chasan Sohib sebagai jawara yang kharismatis yang telah berhasil mengakomodir para jawara Banten dibawah kekuasaannya, sulit untuk ditandingi, bahkan terkesan sulit mencari pengganti dirinya sepeninggalanya nanti. Banyak rumor yang beredar jika Chasan Sohib, maka dominasi keluarga H. Chasan Sohib dalam hal aspek politk akan redup. Hal ini ditengarai oleh munculnya konflik-konflik antar jawara, dalam segi kepemimpinan. telah meniggal Lebih jauh lihat Mansur Khatib, Profil Haji 112 Istilah ‘pemimpin kharismatik’ kini bermakna semakin meluas namun disertai dengan pemerosotan arti yang terkandung. Weber mengambil istilah kharisma dari perbendaharaan kata pada permulaan pengembangan agama Kristen guna menunjuk satu dari tiga jenis kekuasaan authority. Sedangkan menurut Jhon Potts, Weber membedakan kekuasaaan authority kharismatik kedalam tiga klasifikasi antara lain: 1. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada estabilished pada kesucian tradisi kuno. 2. Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum legal yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan- peraturan untuk mengeluarkan perintah. 3. Kekuasaan kharismatik yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut dicontoh dan dari ketertiban atas kekuasaannya. 147 Kekuasaan kharismatik menurut Weber, berbeda dengan kedua hal lainnya karena bersifat tidak mantap stable. Dengan penjabaran kharismatik adalah kemampuan untuk mengobarkan semangat dan mempertahankan loyalitas dan pengabdian terhadapnya secara pribadi diluar dari jabatan dan kedudukannya. Kharismatik dianggap memiliki sesuatu yang luar biasa, memimpin dengan bukan cara yang lazim dari suatu yang telah dikenal. Kharismatik mampu mematahkan hal terdahulu, menciptakan hal-hal baru yang bersifat revolusioner dan tumbuh dalam keadaan serumit apapun. 148 Jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: 1 pengetahuan baik tentang agama dan masalah keduniawiansekuler atau kedua-duanya, 2, kesaktian, 3, Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000. 147 Jhon Potts, A History of Charisma..., 121-126. 148 Max Weber, The Hand Book of Sociology..., 65. 113 keturunan dan 4 sifat-sifat pribadi. Kiyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik kesaktian. 149 Tanpa dukungan dari para kiyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Kharisma dan kepemimpinan para jawara diperoleh langsung oleh kiyai.

BAB IV JAWARA DI MASA ORDE BARU