Antara Guru dengan Murid

90 dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang berupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan kesaktian dan menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian wanten, kawani secara fisik. Dengan keberaniannya tersebut, didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri persilatan dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian. Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian tersebut, maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Hal tersebut karena didukung dari keunggulan kepribadian mereka. Kedua elit tersebut dianggap, bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan masyarakat Banten.

1. Antara Guru dengan Murid

Menurut Hudaeri Pola relasi hubungan antara kiyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid seguru seelmu dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat tradisional seperti Banten ini, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk 91 melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. 119 Dalam studinya Tihami menegaskan, bahwasanya polarisasi hubungan antara jawara dengan kiyai, merupakan pola hubungan antara seorang murid dan seorang guru. Dimana posisi kiyai berperan sebagai guru dan jawara merupakan seorang murid. Dahulu kiyai memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tetapi, adapula diantara muridnya yang memiliki kecenderungan kearah perjuangan. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, seperti halnya fiqih, aqidah, tasawuf, tafsir ataupun hadist. Adapun kitab tafsir yang diajarkan para kiyai Banten antara lain, tafsir Muruhu Labib, karya Nawawi al- Bantani. 120 Akan tetapi disamping itu para kiyai, mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan. Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dalam mengolah kanuragan dan bernuansa magis disebut dengan jawara. 121 Dalam kultur tradisi budaya kejawaran bahwa seorang jawara harus patuh dan tunduk kepada kiyai, karena disini kiyai berperan sebagai tokoh guru dan orang tua yang membimbing anaknya jawara. Mungkin atas dasar tersebut, seorang pengurus 119 Wawancara dengan Hudaeri, Peneliti, dan akademisi Banten. Juni 2010. 120 Syekh Nawawi al-Bantani, Kitab Muruhu labib Tafsir Nawawi Semarang: Putra Semarang, 1992. 121 Menurut Tihami disinilah pada awal mula lahirnya seorang jawara Banten dalam kehidupan masyarakat Banten, dan sampai pada akhirnya menjadi kelas elit dalam masyarakat lokal. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992, 21. 92 persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodimnya pembantunya kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang, juwara iku tentrane kiyai jawara itu tentaranya kiyai. Oleh karena itu, dahulu jika pada masa kolonial posisi jawara merupakan pengawal para kiyai. Pada masa-masa sulit jawara banyak membantu peran para kiyai terutama dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan fisik, magis dan kharisma para jawara diperoleh langsung dari kiyai. Perolehan kesaktian kekuatan magis tersebut atas izin dan ridho dari kiyai setelah seorang jawara dianggap memumpuni untuk menerima trasform elmu kepadanya. Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kiyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos- mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan tersebut diantaranya, adalah izajah dan kawalat. Izajah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Izajah ini sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Pemberian izajah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu elmu yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah izajah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan 93 ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa izajah dari sang guru ilmu- ilmu magis itu tidak akan “manjur.” 122 Sedangkan, kawalat kualat atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu larangan tabu dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya. Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat bantuan material dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara, walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah. Pola hubungan tersebut antara seorang guru dan murid sampai saat ini terjalin, akan tetapi walaupun demikian terdapat sebagian kiyai yang melepas para jawara, hal ini dikarenakan telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para jawara dalam urusan politik. Lain halnya dengan Tihami, ia menegaskan pola hubungan tersebut akan terus terjalin, dan tidak akan terlepas. Hubungan antar murid dengan guru, merupakan unsur tradisi kultur dan kebudayaan yang tetap dijaga oleh para jawara, bahkan lebih dari itu hubungan emosional tersebut terjalin 122 Mohammad Hudaeri, Tasbih dan Golok, Studi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan penelitian Serang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002. Lihat pula Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan Koersif Jawara Dalam Pembuatan Kebijakan Pemerintahan Di Daerah: Studi Kasus Di Wilayah X” Depok: Tesis, Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003, 78. 94 layaknya antara anak dengan bapak. Oleh karena itu di dalam dunia jawara dikenal dengan “kuwalat” yakni pemahaman tentang seseorang akan tertimpa sial jika ia melawan guru atau orang tuanya. Pada posisi ini, kiyai sebagai guru berperan sebagai orang tua dari muridnya yakni para jawara. Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru dalam hal ini adalah kiyai, terutama yang menurunkan ilmu kesaktian atau magis, sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya kepala jawara itu dengan panggilan abah, yang artinya sama dengan bapak. Panggilan tersebut menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya. Kini relasi seguru-seilmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguruan-perguruan persilatan yang masih tetap bertahan sampai saat ini, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguruan memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Akar hubungan historis dan kultural inilah, yang terjalin antara kiyai dan jawara. Kutur dan kebudayaan tertentu dalam suatu kelompok, tercipta dari akulturasi ataupun suatu difussi antar kebudayaan. Dalam hal ini jawara merupakan produk dari kebudayaan lokal setempat, terciptanya jawara dalam konstruk budaya lokal sangat terkait dengan peran kiyai. Menurut Tihami kiyai lah yang memiliki peran andil dalam melahirkan jawara Banten, sampai diakuinya eksistensi jawara sebagai elit lokal dalam komunitas warga masyarakat wong Banten.

2. Sebagai Tentara Kiyai