52
mengganggunya, maka ia tak segan-segan untuk melawannya sebagai seorang samurai. Selain itu, yang mengetahui bahwa dia
seorang samuarai hanya oleh seorang samurai. Begitu pula dengan eksistensi jawara yang bersih dan benar-benar jawara, ia
tidak akan mengatakan bahwa ia adalah seorang jawara, justru sebaliknya mereka para jawara sengaja menutupi identitas diri
mereka. Hanya seorang jawaralah yang dapat mengetahui bahwa ia seorang jawara.
Dibawah ini akan dibahas, tentang akar-akar yang mengkonstruk budaya kekerasan dalam kelompok jawara antara
lain,
1. Paguronan Padepokan Persilatan
Setelah mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah kekerasan yang turut membentuk karakter wong Banten, dan para jawara
sebagai entitas masyarakat lokal. Salah satu akar kekerasan dalam budaya jawara adalah paguronan padepokan persilatan, dari
paguron-paguron inilah para jawara dilahirkan. Budaya kekerasan yang dimiliki oleh jawara pada masyarakat Banten, jika didekati
dengan teori Miller yang menegaskan bahwa kelompok masyarakat yang menganut budaya kekerasan memiliki nilai-nilai
atau norma-norma yang mereka anut. Norma-norma tersebut yang menurut Miller antara lain, selalu mencari gara-gara, sifat
keberanian dan ketangguhan, memperdaya atau menipu, selalu bersenang-senang, dan yang terakhir adalah memiliki keyakinan
akan kekuatan besar.
65
Pada abad ke 17 M pada masa kolonial Belanda, sulit untuk memisahkan antara pesantren dengan paguronan silat. Pada
masa ini, setiap pesantren pasti mengajarkan ilmu silat dan magis. Berkembangnya silat dalam dunia pesantren, adalah salah satunya
bertujuan untuk memberikan keterampilan dalam berperang melawan pihak kolonial Belanda. Bahkan sampai saat ini ilmu-
ilmu silat, magis masih tetap dilestrarikan dan menjadi ciri khas pesantren-pesantren yang ada di Banten, khususnya pesantren
65
Walter B. Miller, Lower Class Culture at a Generating Milieu of Gang Delinquency, dalam Marvin E. Wolfgang eds, Sociology of Crime and
Deliquency New York : Jhon Wiely Sons, 1990 351.
53
Salafi tradisional.
66
Eksistensi pesantren memiliki kontribusi besar dalam melahirkan dan mencetak jawara yang memumpuni
dalam ilmu kesaktian dan magis. Sejarah ilmu persilatan di Banten sendiri memiliki akar
yang sangat panjang, bukan hanya dimulai pada masa penjajahan kolonial, melainkan lebih jauh dari itu. Di dalam serat centhini
disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah sekitar Gunung
Karang,
67
Pandeglang. Pada masa lalu tradisi persilatan nampaknya menjadi sebuah kebutuhan bagi individu tertentu
untuk mempertahankan kehidupan dirinya dan kelompoknya. Banten yang dikenal dengan daerah-daerah yang terpencil dan
sangat rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari pihak lain, tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik
yang baik. Hal inilah yang nampaknya mendorong setiap individu berusaha membekal dirinya dengan kemampuan bela diri dengan
belajar di padepokan persilatan.
Di dalam kalangan masyarakat Banten, terdapat salah satu prasayarat untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat,
yakni kemampuannya dalam menguasai ilmu silat, dan bertarung. Kemampuan seorang pemimpin dalam menguasai ilmu-ilmu
persilatan menjadi hal yang pokok. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi warga kelompok masyarakat tersebut dari serangan
pengganggu, maupun perampok. Seorang jawara yang terkenal dan ditakuti oleh lawan maupun kawan, hal ini dapat dipastikan
karena memiliki keunggulan dalam hal keberanian dan menaklukan lawan-lawannya. Di dalam lingkungan paguronan
padepokan persilatan inilah, para jawara di gembleng, diajarkan ilmu-ilmu beladiri. Peranan padepokan persilatan dalam
melahirkan jawara memiliki peranan signifikan, tidak hanya sebatas pelatihan ilmu-ilmu beladiri. Lebih dari itu, pembentukan
karakter dan penggemblengan sifat, watak dan mental jawara terbentuk dari padepokan persilatan.
66
Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug, 25 Oktober 2010.
67
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia Bandung : Mizan, 1999 25.
54
Selain diajarkan seni bela diri di paguronan padepokan persilatan maupun dilingkungan pesantren, biasanya seseorang
murid yang kelak menjadi jawara akan dibekali ilmu-ilmu magis kanuragan untuk hidupnya kedepan. Pada masa Kesultanan
Ageng Tirtayasa 1651-1672 perkembangan padepokan paguronan silat dengan ilmu magisnya mulai berkembang di
daerah Banten. Setiap perguronan silat yang dipimpin oleh para Kiyai mengajarkan ilmu-ilmu magis, ziyad, putergilling,
kanuragan kepada para santri-santrinya, yang dikemudian hari disebut dengan jawara. Pemberian ilmu magis, Wafaq, Hizib dan
Jimat lainnya, bukan tidak beralasan, melainkan sebagai modal berperang bersama Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan pihak
kolonial Belanda.
68
Pada perkembangan selanjutnya, jawara yang telah selesai belajar di pesantren dan telah malang melintang dalam dunia
persilatan, pada masa tuanya biasanya sering mendirikan padepokan paguron persilatan sendiri. Maraknya pesantren dan
padepokan-padepokan persilatan di Banten terjadi pada abad ke 19 M, setelah dihapusnya kesultanan Banten oleh Daendles pada
tahun 1816 M. Perlu diketahui bahwa tidak semua padepokan persilatan di dalamnya adalah pesantren, tetapi setiap pesantren
pasti ada padepokan persilatan. Paguron atau padepokan persilatan yang didirikan oleh seorang jawara biasanya terletak
didekat tempat tinggalnya, hal tersebut dimaksudkan untuk mengajarkan ilmu-ilmu seni bela diri, dan magis kepada anak-
anak muda yang berada disekitar tempat tinggalnya. Dunia persilatan di Banten sangat erat kaitannya dengan Islam sebagai
agama.
69
Hal ini dikarenakan persilatan lahir dari akulturasi antara Islam dengan kebudayaan lokal setempat. Oleh karena itu,
paguronan padepokan persilatan di Banten berasaskan Islam. Selain itu, magis yang diperoleh para jawara bersumber dari
68
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia Bandung : Mizan, 1999 25,27.
69
Aliran-aliran silat yang berkembang pesat di Banten saat ini, dilahirkan oleh para Kiyai-Kiyai Banten, tidak heran jika ajaran-ajaran Islam
sangat terkait dengan ajaran silat. Hal tersebut dapat dilihat dari pertelekan Janji sumpah setia, aturan hukum dari setiap aliran-aliran persilatan di
Banten. Dalam pertelekan tersebut biasanya seorang murid harus terlebih dahulu membaca dua kalimat syahadat, dan mendalami ajaran-ajaran Islam.
55
Islam, walaupun pada perjalanannya ada sebagaian unsur-unsur animisme mewarnai magis tersebut. Dalam masyarakat Banten
sendiri, dikenal berbagai macam paguronan silat, seperti silat Terumbu, Bandrong, Jalak Rawi, Si Pecut, Paku Banten, TTKDH
dan lain sebagainya.
70
Setiap paguron padepokan persilatan ini, memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda. Di
bawah ini ada terdapat dua Paguronan padepokan persilatan yang memiliki pengaruh dalam aliran-aliran silat di Banten, antara lain
:
Silat Aliran Terumbu
Silat aliran Terumbu, merupakan salah satu aliran silat tertua dan asli Banten. Dari silat aliran inilah muncul paguron-
paguron persilatan lainnya, yang dikembangkan oleh para turunannya sepetihalnya, silat Bandrong, Jalak Rawi, Si Pecut dan
lain sebagainya. Silat aliran Terumbu sendiri dinisbatkan kepada Kiyai Terumbu dan ajaran-ajarannya, yang asli berasal dari
Kasemen, Serang. Kiyai Terumbu merupakan ulama besar Banten pada Abad 15 sebelum sultan Hasanudin menjadi sultan di
Kerajaan Banten dan pada masa tersebut kerjaan Banten belum menjadi kerajaan Islam dan beliau bermukim di suatu kampung,
yang mempunyai 5 orang, dan diantaranya bernama Abdul Fatah Kiyai Beji yang kemudian kelak mengajarkan silat Terumbu.
71
70
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPPSBBI, Serang Banten, 1990.
71
Wawancara dengan Abah Haji Cecep, salah satu guru silat aliran Terumbu, Serang 12 Desember 2010.
56
Gambar 1.1, Saat latihan Duel, dalam sesi latihan silat
Gambar 1.2, Silat aliran Trumbu sedang melakukan latihan pada malam hari
Julukan Kiyai Beji sendiri, diperoleh karena beliau berhati besi atau beji yang membangkang pada kompeni dan tidak mau
diusir oleh penjajah kompeni Belanda dari tanah kampung terumbu Banten. Masyarakat dan keturunan Kiyai Terumbu
diajari ilmu silat dari anak – anak hingga dewasa untuk melawan penjajahan Belanda hingga sekarang silat ini turun temurun masih
terjaga kelestariannya di kampung Terumbu, Kasemen serang. Pada keturunan ke 4 atau cicit dari H. Agus anak ke 4 dari Kiyai
Zunedil Qubro bin Kiyai Terumbu yaitu H. Mad Sidiq mewarisi ilmu silat Bandrong dan memiliki istri di Pulo Ampel Bojonegara
– Serang. Selain itu, ia mengembangkan aliran silat ini ke daerah
57
Cilegon dan sekitarnya untuk melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Sedangkan M. Idris mewarisi ilmu silat terumbu dan
beliau bermukim di kampung terumbu. Dalam pengembangannya aliran silat ini berkembang di daerah serang dan sekitarnya untuk
melawan penjajahan Belanda dan Jepang.
72
Silat aliran terumbu dikategorikan sebagai salah satu silat aliran tertua di Banten, karena faktor kemunculannya yang
berbarengan dengan berdirinya Kesultanan Banten Girang. Pada perkembangan selanjutnya Silat Aliran Terumbu melahirkan
aliran silat baru yakni silat Paku Banten. Silat Paku Banten inilah yang kemudian dikembangkan hanya dalam lingkungan keraton
kasultanan, dari silat Paku Banten mulai muncul tradisi permainan Debus Banten. Silat Aliran Trumbu ini, merupakan
salah satu persilatan yang disegani oleh kalang jawara Banten. Padepokan paguron persilatan ini memiliki peranan signifikan
dalam kalangan masyarakat Banten.
Silat Aliran TTKDH
Silat aliran Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir, merupakan aliran silat yang bukan berasal dari daerah Banten atau silat yang
bukan asli Banten. Melainkan silat aliran penca Cimande yang dikembangkan oleh Mbah Buyah seorang jawara Banten asal
Lebak. Walupun demikian pada perkembangan selanjutnya, organisasi silat TTKDH bekembang pesat dan memiliki peran
signifikan dalam aliran-aliran silat di daerah Banten. Banyak dari kalangan-kalangan jawara Banten yang terlahir dari paguronan
silat TTKDH. Silat penca Cimande sendiri adalah silat yang asli berasal dari daerah tatar tanah Sunda yakni daerah Cianjur Jawa
Barat. Aliran silat Cimande ini didirikan oleh Mbah Khoir, pada abad ke 18 M sekitar tahun 1812-an. Selanjutnya silat aliran ini
dikembangkan oleh Mbah Buyah, seorang tokoh Jawara Banten asal Lebak. Mbah Buyah sendiri berguru kepada Mbah Muin
72
Wawancara dengan Zaenuddin Rojei, Ketua Silat Terumbu, Serang 12 Desember 2010.
58
seorang guru silat Cimande di desa Djeruk Hilir, daerah Karawang.
73
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1951 untuk pertamakalinya Embah Buyah mendirikan paguron Cimade di
daerah Lampung, yang kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir. Embah Buyah memberi nama paguronnya di
dasari tanda bakti beliau kepada pendiri dan guru penca beliau. Dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah Khaer mendapatkan
ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande. Kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama
tempat Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang
sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKDH yang disebut pertalekan Cimande. Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulis
bagi murid sekaligus penjaga nama baik bagi TTKDH itu sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke Kampung Oteng di
Lebak Banten dan mendirikan paguron TTKDH di sana.
74
Sejak didirikan pada tahun 1953, TTKDH wilayah Kabupaten Lebak
terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini.
Meskipun kini sulit untuk menemukan padepokan yang menyediakan tempat tinggal untuk para murid yang sedang
mendalami ilmu silat, tetapi nampaknya dahulu padepokan terletak di suatu daerah tempat terpencil, yang didalamnya
terdapat tempat tinggal sang guru dengan para muridnya. Sehingga para murid dapat memfokuskan seluruh perhatiannya
untuk mendalami ilmu silat, magis, kanuragan dan kesaktian dari gurunya. Pada saat ini, ketika arus modernisasi dialami oleh
masyarakat Banten sudah tidak ada lagi padepokan yang khusus didalamnya terdapat tempat tinggal untuk muridnya. Kini sebuah
padepokan biasanya terletak di dekat rumah atau tempat tinggal jawara sang guru. Tidak ada bangunan khusus tempat tinggal para
73
Dokumen ADART Pertalekan Silat Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir, Serang, 1997.
74
Dokumen ADART Pertalekan Silat Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir, Serang, 1997.
59
murid persilatan. Untuk latihan silat biasanya pada tanah lapang yang tidak jauh dari kediaman sang guru. Latihan biasanya
dilaksanakan pada malam hari, meskipun itu bukan hal yang mutlak. Kadang juga pada hal-hal tertentu dilakukan pada pagi
haru atau siang hari.
Keberhasilan seorang murid dalam menguasai jurus-jurus silat sangat tergantung dengan ketekunannya saat mendalami
latihan, karena biasanya sang guru silat hanya memberikan contoh-contoh gerakan silat yang mesti diikuti oleh seorang
murid. Guru silat atau Abah hanya memperhatikan para muridnya ketika sedang mengulang-ulang gerakan, dan sesekali
memperbaiki kesalahan gerakan dari sang murid. Dalam mendalami ilmu silat, biasanya Abah tidak akan melanjutkan
jurus tingkatan ilmu silat selanjutnya kepada sang murid, terkecuali murid tersebut telah berhasil sepenuhnya menguasai
jurus-jurus tersebut.
Adapun untuk mendaftarkan diri menjadi murid dari suatu paguronan padepokan silat, tidak diperlukan kriteria yang khusus,
yang diperlukan hanyalah tekad, kesabaran, dan kesungguhan dalam mempelajari ilmu-ilmu silat. Paguronan silat di Banten
biasanya tidak mematok bayaran kepada para murid, hanya saja para murid memberikan sumbangan sukarela seikhlasnya. Jika
paguronan-paguronan yang berada disekitar pedesaan biasanya memberikan sumbangan sukarela berupa padi, jagung, dan bahan
pangan lainnya, itupun ketika musim panen tiba.
75
Adapun paguronan padepokan yang terletak di daerah kota, sumbangan
sukarela tersebut berupa jumlah uang, tanpa ditentukan nominalnya. Apabila seorang murid telah berhasil menguasai
semua jurus-jurus yang diajarkan di padepokan silat tersebut, maka ia akan menerima izajah dari sang guru Abah.
Izajah disini bukan berbentuk secarik keretas, melainkan ucapan mantra-mantra dari sang guru dengan memegang tangan
sang murid, dan ucapan tersebut mesti diikuti oleh muridnya.
76
Biasanya proses izajah dan transform ilmu-ilmu magis tersebut
75
Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten” Depok: Tesis, FISIP Universitas Indonesia,2002 58, 59.
76
Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug, 25 Oktober 2010.
60
berlangsung pada malam hari. Jika hal demikian telah terlaksana, maka murid tersebut telah “di isi batinna” dan “Kataekan”.
Bekal ilmu magis dan batin yang diberikan oleh guru kepada muridnya, merupakan ciri khas dari padepokan persilatan yang
ada di Banten. Ilmu-ilmu magis yang didapati oleh sang murid merupakan bekal kelak dalam menempuh perjalanan hidupnya.
Oleh karena itu tidak heran jika para murid yang telah selesai dalam menempuh ilmu silat di Banten dalam keseharian mereka
sering menggunakan ilmu-ilmu magis dan kesaktian tersebut. Dengan memiliki kemampuan silat, magis dan pengolah ilmu
batin tersebut, maka mereka kelak dikenal dengan sebutan jawara.
Seorang jawara yang terkenal biasanya memiliki kemapuan silat dan ilmu batin atau magis di atas rata-rata. Maksud di atas
rata-rata disini adalah memiliki kesaktian yang luar biasa dan mengungguli jawara-jawara yang lainnya. Memiliki kemampuan
dalam memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti kebal dari senjata tajam, dapat
berubah wujud, dapat mengusir jin, dapat mengobati penyakit dan lain sebagainya. Menurut Atu Karomah Kemampuan seorang
jawara dalam mengolah ilmu batin ataupun magis tersebut, menjadikannya sebagai jawara yang sakti dan disegani oleh orang
lain.
77
Paguronan padepokan persiatan memiliki peranan signifikan, dalam proses penggemblengan karakter dan watak
seorang jawara. Pada padepokan persilatan inilah akar budaya kekerasan mereka peroleh, perlu diketahui bahwa dalam proses
latihan, sesekali mendapatkan ujian-ujian khusus untuk naik ketingkat selanjutnya. Ujian tersebut berupa penempaan fisik, dan
diadakannya “duel” pertarungan, antara sesama murid.
Pertarungan ataupun duel antar sesama murid merupakan suatu hal yang biasa dan lumrah dalam padepokan persilatan,
pertarungan ini merupakan uji kemampuan sejauh mana murid tersebut menguasai jurus-jurus, baik dengan tangan kosong
maupun dengan golok. Oleh karena itu, pertarungan dan kemampuan bela diri dalam dunia padepokan persilatan,
merupakan konstruk akar-akar budaya kekerasan dalam budaya jawara Banten. Tidak heran jika para jawara memiliki watak dan
perilaku yang keras, hal ini dikarenakan paguron sebagai salah atu
77
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan..., 55.
61
akar-akar budaya kekerasan, yang telah membentuk jati diri para jawara Banten.
2. Permainan Debus Banten