140
BAB V HADIS-HADIS SYI’AH DALAM KRITIK AL-QIFARI
Dalam bab ini akan dipaparkan hadis-hadis Syi’ah yang dinilai bermasalah oleh al-Qifari dan dinilai bertentangan dengan konsep
ajaran Islam secara utuh sebagaimana disepakati oleh jumhur ulama. Dalam bab ini pula akan dijelaskan argumen dan metodologi kritik al-
Qifari terhadap hadis-hadis Syi’ah serta analisa terkait hadis-hadis yang dikritisi.
5.1. Kritik Atas Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah Seputar Keotentikan al-Qur’an
A. Riwayat Tah}rif al-Qur’an
Dalam kajiannya, al-Qifari menilai bahwa Syi’ah
274
meyakini adanya penyimpangan dan pengurangan dalam al-Qur’an.
275
Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya beberapa redaksi hadis dalam kitab-
kitab standart hadis Syi’ah dan juga pernyataan ulama Syi’ah yang disinyalir mengandung makna
tah}rif, di antaranya: 1 Hadis riwayat al-Kulaini dalam al-Kafi yang berbunyi:
274
Dalam bahasan ini, al-Qifari cukup berhati-hati. Oleh sebab itu, beliau menulis judul untuk bahasan ini dengan redaksi
وأ ﺎﺼﻘﻧ ﷲا بﺎﺘﻛ ﻲﻓ نﺄﺑ لﻮﻘﺗ ﺔﻌﯿﺸﻟا ﻞھ اﺮﯿﯿﻐﺗ
؟ Apakah Syi’ah menyatakan adanya distorsi dalam al-Qur’an? Hal itu cukup
beralasan, karena dalam Syi’ah sendiri terdapat pengingkaran terhadap teks-teks yang mengandung makna distorsi tersebut,
275
Nashir Abdullah Al-Qifari, Us}ul madhhab al-Shi’ah Jizah: Dar al-Rid}a,
cet. III, 1998, juz I, 227, 243. Kesimpulan ini disampai-kan setelah memaparkan beberapa teks hadis yang diriwayatkan oleh beberapa ulama Syi’ah dalam karya-
karya mereka, dan juga pernyataan atau pendapat para ulama Ahlusunnah seperti Ihsan Ilahi Dhahir, Musa Jarullah, dan Rasyid Ridha yang menyatakan adanya teks-
teks yang mengandung makna ketidaksempurnaan al-Qur’an.
141
ﺃ -
ﻥﺃ ﻦﺴﳓ ﻻ ﻭ ،ﺎﻬﻌﻤﺴﻧ ﺎﻤﻛ ﺎﻧﺪﻨﻋ ﻲﻫ ﺲﻴﻟ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﰲ ﺕﺎﻳﻵﺍ ﻊﻤﺴﻧ ﺎﻧﺇ ﻢﻜﺌﻴﺠﻴﺴﻓ ﻢﺘﻤﻠﻌﺗ ﺎﻤﻛ ﺍﻭﺅﺮﻗﺍ ،ﻻ ﻝﺎﻘﻓ ؟ﰒﺄﻧ ﻞﻬﻓ ،ﻢﻜﻨﻋ ﺎﻨﻐﻠﺑ ﺎﻤﻛ ﺎﻫﺃﺮﻘﻧ
ﻢﻜﻤﻠﻌﻳ ﻦﻣ
.
276
ﺏ -
ﻼﺛﺃ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻝﺰﻧ ﺛﺎ
: ﺚﻠﺛ ﻭ ،ﻝﺎﺜﻣﺃ ﻭ ﻦﻨﺳ ﺚﻠﺛ ﻭ ،ﺎﻧﻭﺪﻋ ﰲ ﻭ ﺎﻨﻴﻓ ﺚﻠﺛ
ﻡﺎﻜﺣﺃ ﻭ ﺾﺋﺍﺮﻓ
.
277
ﺕ -
ﺎﻣ ﻰﻠﻋ ﺲﻴﻟ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻦﻣ ﺎﻓﻭﺮﺣ ﻊﻤﺘﺳﺃ ﺎﻧﺃ ﻭ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﰊﺃ ﻰﻠﻋ ﻞﺟﺭ ﺃﺮﻗ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻮﺑﺃ ﻝﺎﻘﻓ ،ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻫﺅﺮﻘﻳ
ﺀﺍﺮﻘﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﻦﻋ ﻒﻗ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺃﺮﻘﻳ ﺎﻤﻛ ﺃﺮﻗﺍ ،ﺓ
ﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺃﺮﻗ ﻢﺋﺎﻘﻟﺍ ﻡﺎﻗ ﺍﺫﺈﻓ ،ﻢﺋﺎﻘﻟﺍ ﻡﻮﻘﻳ ﱴﺣ ﻰﻠﻋ ﻞﺟ
ﺝﺮﺧﺃ ﻭ ﻩﺪﺣ ﻲﻠﻋ ﻪﺒﺘﻛ ﻱﺬﻟﺍ ﻒﺤﺼﳌﺍ
ﻠﻋ ﻪﺟﺮﺧﺃ ﻝﺎﻗ ﻭ ﻲ
ﻪﺒﺘﻛ ﻭ ﻪﻨﻣ ﻍﺮﻓ ﲔﺣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﱃﺇ ﻢﳍ ﻝﺎﻘﻓ
: ﻦﻣ ﻪﺘﻌﲨ ﺪﻗ ﻭ ﺪﻤﳏ ﻰﻠﻋ ﷲﺍ ﻪﻟﺰﻧﺃ ﺎﻤﻛ ﻞﺟ ﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺍﺬﻫ
ﺍﻮﻟﺎﻘﻓ ﲔﺣﻮﻠﻟﺍ :
،ﻪﻴﻓ ﺎﻨﻟ ﺔﺟﺎﺣ ﻻ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻪﻴﻓ ﻊﻣﺎﺟ ﻒﺤﺼﻣ ﺎﻧﺪﻨﻋ ﺍﺫ ﻮﻫ ﻢﻜﻣﻮﻳ ﺪﻌﺑ ﻪﻧﻭﺮﺗ ﺎﻣ ﷲﺍ ﻭ ﺎﻣﺃ ﻝﺎﻘﻓ
ﲔﺣ ﻢﻛﱪﺧﺃ ﻥﺃ ﻲﻠﻋ ﻥﺎﻛ ﺎﳕﺇ ،ﺍﺪﺑﺃ ﺍﺬﻫ ﻩﻭﺅﺮﻘﺘﻟ ﻪﺘﻌﲨ
.
278
ﺙ -
ﺮﺸﻋ ﺔﻌﺒﺳ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﺪﻤﳏ ﱃﺇ ﻞﻴﺋﺍﱪﺟ ﻪﺑ ﺀﺎﺟ ﻱﺬﻟﺍ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻥﺇ ﺔﻳﺁ ﻒﻟﺃ
.
279
2 Riwayat seputar ketidaksempurnaan al-Qur’an. Selain hadis, al-Qifari juga menyoroti beberapa ungkapan para
ulam Syi’ah dalam karya-karya mereka yang disinyalir mengandung makna
tah}rif dan distorsi dalam al-Qur’an. Analisis seputar masalah ini dapat diklasifikasikan dalam beberapa poin berikut:
276
Abu Ja’far Muh}ammad ibn Yaqqub al-Kulaini, Us}ul al-Kafi, kitab Fad}l al-
Qur’an, bab al-Nawadir, juz II, 583. Bairut: Dar al-Ta’aruf li-al-Mat}bu’at, 1411 H1990 M
277
Us}ul al-Kafi, kitab Fad}l al-Qur’an, bab al-Nawadir, juz II, 591. Selanjutnya terdapat beberapa riwayat senada dalam bab ini dengan nomor hadis 4, 16, dan 23,
278
Us}ul al-Kafi, kitab Fad}l al-Qur’an, bab al-Nawadir, juz II, 596.
279
Us}ul al-Kafi, kitab Fad}l al-Qur’an, bab al-Nawadir, juz II, 597.
142 a Riwayat yang redaksinya menyebutkan adanya mushaf
imam Ali. Riwayat seputar mushaf imam Ali, difahami oleh al-Qifari
sebagai mushaf pengganti al-Qur’an yang ada sekarang, dan dengan adanya mushaf ini berarti Syi’ah tidak mengakui keberadaan al-
Qur’an sebagai wahyu Allah yang otentik. Beliau juga mengatakan, jika seandainya mushaf tersebut benar ada, maka imam Ali ra. pasti
akan mengeluarkan-nya saat beliau menjadi khalifah, namun kenyataannya mushaf tersebut tidak pernah muncul pada masa
kekhilafahan beliau.
280
b Hadis-hadis yang redaksinya membawa kata “ tah}rif”
Terdapat beberapa riwayat yang redaksinya menggunakan kata “tah}rif”, seperti: perkataan Abdul A’la: saya mendengar imam Ja’far
berkata,
ﻪﻌﺿﺍﻮﻣ ﻦﻋ ﻞﺟ ﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﻡﻼﻛ ﻥﻮﻓﺮﳛ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟﺍ ﺏﺎﺤﺻﺃ
.
juga ucapan Ali ibn Suwaid sebagaimana diriwayatkan oleh al-Kulaini,
ﻩﻭﻟﺩﺒ ﻭ ﻩﻭﻓﺭﺤﻓ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻜ ﻰﻠﻋ ﺍﻭﻨﻤﺘﺅﺍ
c Adanya bacaan-bacaan ayat yang diduga berbeda dan disandarkan kepada para imam.
Terdapat beberapa riwayat yang mengindikasikan adanya perbedaan bacaan ayat berupa tambahan, seperti ayat:
281
282
Selain teks-teks di atas yang dikritisi oleh al-Qifari, terdapat pula beberapa riwayat yang senada dan terdapat di beberapa buku
karya ulama-ulama Syi’ah seperti al-Khu’i, bih}ar al-anwar , tafsir al-
‘Iyashi, dan tafsir al-s}afi. Menanggapi teks-teks ayat di atas, al-Qifari mengatakan, ‘jika
diamati, sesungguhnya Syi’ah telah malampaui batas dalam
280
Al-Qifari , Us}ul Madhhab al-Shi‘ah, juz I, 202-203.
281
Setelah ayat ini terdapat tambahan
ﻠﻋ ﺔﻴﻻﻭﺒ ﻲ
.
282
Setelah ayat ini terdapat tambahan
ﻪﺘﺭﻴﺭﺴ ﺀﻭﺴ ﻭ ﻪﻤﻠﻅﺒ
143 menisbat-kan ayat-ayat kepada para imam-imam mereka, bahkan
keyakinan adanya pemalsuan ayat terdapat lebih banyak pada ulama- ulama Syi’ah yang datang belakangan.
Di sisi lain, didapatkan pula pertentangan yang jelas dalam pernyataan ulama Syi’ah seputar keotentikan al-Qur’an, misalnya
pernyataan yang disampaikan oleh Ibn Babawaih al-Qummi 381 H, beliau mengatakan, ‘al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada
Rasulullah saw. persis seperti yang ada sekarang, tidak lebih dan tidak kurang.’ Sedangkan al-Mufid mengatakan, ‘banyak riwayat dari para
imam Syi’ah yang menginformasikan adanya perbedaan antara al- Qur’an yang sebenarnya dengan al-Qur’an yang –sekarang- telah
ditambah dan dikurangi.
283
Al-Qifari juga keberatan dengan riwayat Syi’ah yang menyebutkan bahwa al-Qur’an berisi tiga klasifikasi sebagaimana
disebutkan dalam teks di awal bab. Beliau mengatakan, bahwa dengan adanya riwayat tersebut, berarti ada dua pertiga dari ayat al-Qur’an
yang hilang.
B. Analisa Atas Kritik al-Qifari 1 Hadis-Hadis
Tah}rif al-Qur’an. Menanggapi pernyataan al-Qifari seputar keotentikan al-Qur’an,
setidaknya ada dua poin yang patut untuk dicermati, yaitu: pertama,
terkait dengan kualitas dan kredibilitas hadis-hadis yang dikritik, dan kedua, riwayat yang redaksinya mengandung makna distorsi dalam al-
Qur’an.
Poin pertama, terkait dengan kualitas hadis-hadis seputar al- Qur’an yang dikritik oleh al-Qifari, dapat dijelaskan secara global
sebagai berikut: a Al-Kulaini saat meriwayatkan hadis-hadis yang didiskusikan di atas, beliau meletakkannya di bab
al-nawadir yang tidak banyak terjadi, jarang, asing setelah beberapa bab tentang
keutamaan al-Qur’an. Artinya, sekalipun misalnya sanad hadis ini dinilai sempurna, namun masuk kategori hadis yang
s}hadh janggal dan
nadir jarang terjadi, karena substansinya bertentangan dengan nash ayat dan riwayat hadis yang shahih. b Al-Kulaini dalam
283
Abdullah Al-Qifari,
Us}ul Madhhab al-Shi‘ah, 218-219, Redaksi aslinya berbunyi:
ﻯﺪﳍﺍ ﺔﻤﺋﺃ ﻦﻋ ﺔﻀﻴﻔﺘﺴﻣ ﺕﺀﺎﺟ ﺪﻗ ﺭﺎﺒﺧﻷﺍ ﻥﺇ ﻣ
ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻟﺁ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﺪﻤﳏ ﻝﺁ ﻦ ﲔﻨﻋﺎﻄﻟﺍ ﺾﻌﺑ ﻪﺛﺪﺣﺃ ﺎﻣ ﻭ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻑﻼﺘﺧﺎﺑ
ﻓ ﻥﺎﺼﻘﻨﻟﺍ ﻭ ﻑﺬﳊﺍ ﻦﻣ ﻪﻴ
. ،ﺕﻻﺎﻘﳌﺍ ﻞﺋﺍﻭﺃ
80 .
144 pendahuluan kitabnya pada bab awal meriwayatkan hadis-hadis yang
berisi tentang keharusan merujuk kepada al-Qur’an saat seseorang mendapatkan riwayat-riwayat yang redaksinya bertentangan atau
berseberangan dengan al-Qur’an.
284
c Anjuran untuk berpegang pada riwayat-riwayat yang telah disepakati kebenarannya dan berusaha
untuk meninggalkan riwayat yang dirasa janggal.
285
d Mengembalikan kesesuain isinya pada redaksi al-Qur’an.
286
Dengan pencantuman riwayat-riwayat yang berisi anjuran untuk selalu berpegang pada redaksi yang otentik dan berkualitas,
setidaknya sikap itu mengindikasikan prinsip al-Kulaini terhadap keotentikan al-Qur’an.
Lebih rinci, dalam bahasan ini dapat diperjelas lagi melalui analisis sanad dari hadis yang diperselisihkan. a seandainya dikatakan
bahwa sanad hadis ini sempurna dan benar, namun redaksinya ternyata bertentangan dengan nash al-Qur’an yang secara jelas
menyatakan keterpeliharaannya dari segala bentuk perubahan, maka hadis itu patut untuk ditolak dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
b pada kenyataannya, riwayat-riwayat di atas redaksinya bertentangan dengan riwayat hadis-hadis lain dalam al-Kafi yang
284
Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Abdillah dalam al-Kafi juz I,
123 bab al-Akhdhu bi-al-Sunnah wa-Shawahid al-Kitab, yang berbunyi:
ﻝﺎﻘﻓ ﲎﲟ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﺐﻄﺧ :
ﺏﺎﺘﻛ ﻖﻓﺍﻮﻳ ﲏﻋ ﻢﻛﺀﺎﺟ ﺎﻣ ،ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃ ﻭ ،ﻪﺘﻠﻗ ﺎﻧﺄﻓ ﷲﺍ
ﻪﻠﻗﺃ ﻢﻠﻓ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﻒﻟﺎﳜ ﻢﻛﺀﺎﺟ ﺎﻣ
.
Hadis ini dalam pandangan Ahlusunnah dinilai sebagai hadis yang berstatus dha’if, bahkan maudhu’ palsu, namun kalangan Syi’ah memiliki argumen
tersendiri saat menerima riwayat ini sebagai riwayat yang maqbul.
285
Hadis diriwayatkan oleh Abu Abdillah dalam al-Kafi juz I, 123 bab al-
Akhdhu bi-al-Sunnah wa-Shawahid al-Kitab, yang berbunyi:
ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﻮﻗ ﻦﻣ ﻭﺃ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﻦﻣ ﺍﺪﻫﺎﺷ ﻪﻟ ﰎﺪﺟﻮﻓ ﺚﻳﺪﺣ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﺩﺭﻭ ﺍﺫﺇ –
ﻩﻮﻠﺒﻗﺎﻓ -
ﻭ ﻪﺑ ﱃﻭﺃ ﻪﺑ ﻢﻛﺀﺎﺟ ﻱﺬﻟﺎﻓ ﻻﺇ
.
286
Sebagaimana beberapa riwayat dari Abu Abdillah dalam
al-Kafi juz I, 123 bab al-Akhdhu bi-al-Sunnah wa-Shawahid al-Kitab, yang menyatakan:
ﻩﻭﺬﺨﻓ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﻖﻓﺍﻭ ﺎﻤﻓ ،ﺍﺭﻮﻧ ﺏﺍﻮﺻ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﻭ ﺔﻘﻴﻘﺣ ﻖﺣ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﻥﺇ ﺎﻣ ﻭ
ﻩﻮﻋﺪﻓ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﻒﻟﺎﺧ .
ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﰊﺃ ﻦﻋ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ :
ﻭ ،ﺔﻨﺴﻟﺍ ﻭ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﱃﺇ ﺩﻭﺩﺮﻣ ﺊﻴﺷ ﻞﻛ ﻑﺮﺧﺯ ﻮﻬﻓ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﻖﻓﺍﻮﻳ ﻻ ﺚﻳﺪﺣ ﻞﻛ
ﺏﺬﻛ ﻭ ﺲﻴﻟﺪﺗ ﻭ ﺮﻳﻭﺰﺗ ﻱﺃ
145 berstatus shahih.
287
c al-Kulaini dalam bab awal kitabnya, secara eksplisit telah menggambarkan metodologi dan proses penerimaan
hadis. Dalam hadis-hadis awal bab yang beliau riwayatkan, terdapat beberapa riwayat yang substansinya mengarah pada anjuran untuk
mengkonfirmasi semua riwayat kapada al-Qur’an. Jika didapatkan riwayat yang redaksinya bertentangan dengan al-Qur’an, maka
riwayat tersebut harus ditolak. Termasuk juga jika bertentangan dengan hadis yang shahih. d sebatas adanya riwayat-riwayat dengan
status
ahad dalam bab al-Nawadir, tidak selalu substansinya mengindikasikan keyakinan penyusunnya terhadap redaksi hadis-hadis
yang diriwayatkan.
288
e jika diteliti dari kualitas sanad, didapatkan bahwa sanad hadis pertama dan kedua berstatus dha’if, karena dalam
silsilah sanadnya terdapat Sahal ibn Ziyad yang dihukumi cacat oleh para ahli hadis Syi’ah seperti al-Najashi, beliau mengatakan, Sahal ibn
Ziyad dha’if dalam perkara hadis, tidak dapat diandalkan, bahkan Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Isa mengatakan bahwa dia adalah
pembohong.
289
Demikian pula keberadaan Muhammad ibn Sulaiman dalam sanad, yang dihukumi oleh para ahli hadis, di antaranya al-
Khu`i w. 1413 H sebagai perawi yang tidak boleh diambil riwayatnya
la yu’mal bihi.
290
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kedua hadis tersebut berstatus dha’if sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai sandaran, apalagi untuk mengatakan bahwa al- Qur’an telah mengalami distorsi.
287
Riwayat dari Muhammad ibn Ali al-Baqir dalam al-Kafi,juz I, 123, beliau berkata,
ﻭ ،ﻪﻧﻮﻋﺮﻳ ﻻ ﻭ ﻪﻧﻭﻭﺮﻳ ﻢﻬﻓ ،ﻩﺩﻭﺪﺣ ﺍﻮﻓﺮﺣ ﻭ ﻪﻓﻭﺮﺣ ﺍﻮﻣﺎﻗﺃ ﻥﺃ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻢﻫﺬﺒﻧ ﻦﻣ ﻥﺎﻛ ﻭ ﺔﻳﺎﻋﺮﻠﻟ ﻢﻬﻛﺮﺘﺑ ﻢﺰﳛ ﺀﺎﻤﻠﻌﻟﺍ ﻭ ﺔﻳﺍﻭﺮﻠﻟ ﻢﻬﻈﻔﺣ ﻢﻬﺒﺠﻌﻳ ﻝﺎﻬﳉﺍ
...
288
Peran perawi atau penyusun hadis adalah sebatas menyeleksi dan meriwayat-kan hadis, adapun istinbat hukum dan makna yang terkandung dalam
redaksi hadis berada pada pembaca, dan bisa saja istinbat itu hasilnya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas masing-masing. Riwayat-riwayat hadis dha’if dengan
keragaman maknanya sebagaimana terdapat dalam beberapa kitab hadis, baik dari kalangan Ahlusunnah maupun Syi’ah, tidaklah selalu mencerminkan madzhab para
penyusunnya. Ali Abdul Wahid Wafi, Baina al-Shi’ah wa-Ahlu al-Sunnah, h. 30-31. Pernyataan senada juga disampaikan oleh al-‘Amili, sebagaimana dikutip oleh Abu
al-Fad}l al-Islami dalam
Ma’a al-Qifari, 311,
289
,
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi Al-Najashi, Rijal al-Najashi Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418 H, 185.
290
Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu`i, Mu’jam Rijal al-H}adith Qum: t.tp,
1398 H, juz XVI, 129.
146 Dari aspek matan, sebenarnya redaksi hadis pertama
291
tidak mengindikasikan makna
tah}rif sebagaimana dikatakan al-Qifari. Maksud dari hadis tersebut ialah: anjuran atau perintah untuk
membaca al-Qur’an sebagaimana dibaca oleh banyak orang, dan menunjukkan bahwa apa yang ada pada banyak orang itu merupakan
al-Qur’an yang sempurna dan terjaga serta tidak terdapat penyelewengan.
Namun misalnya didapatkan teks tersebut dinilai bermasalah atau menyimpang, maka perlu kiranya untuk kembali pada stetmen al-
Kulaini sebagaimana terdapat pada awal muqaddimah kitabnya yang mengatakan, bahwa semua riwayat jika bertentangan dengan al-
Qur’an maka harus ditinggalkan dan kembali pada kebenaran redaksi al-Qur’an, serta berusaha untuk memahami beberapa riwayat yang
terdapat dalam al-Kafi yang menunjukkan sikap dan prinsip beliau terhadap keotentikan al-Qur’an.
292
Jika dipandang dari aspek sanad, keberadaan riwayat ini dalam al-Kafi banyak berbenturan dengan beberapa riwayat yang shahih.
Oleh sebab itu, para ulama menghukumi hadis ini sebagai hadis dha’if, karena adanya perawi yang dikenal sebagai pembohong, dan tidak
jujur, yaitu Sahl ibn Ziyad.
293
Point kedua, anggapan bahwa al-Qur’an telah mengalami disrorsi, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Jika kualitas sanad hadis ini untuk sementara diabaikan, maka sesungguhnya redaksi hadis ini tetap tidak mengindikasikan adanya
distorsi ataupun ayat yang hilang. Kesimpulan al-Qifari yang menyata-kan bahwa teks ini mengandung makna distorsi, tidak
didukung dengan proses
istidlal yang jelas. Dengan kata lain, kesimpulan itu dibangun hanya dengan memahami redaksi riwayat
tersebut secara tekstual dan parsial. Klasifikasi al-Qur’an yang disebutkan dalam hadis kedua
sebenarnya merupakan pembagian umum. Di mana pembagian dan klasifikasi itu mencakup dalam berbagai aspek isi al-Qur’an yang
291
ﰲ ﺕﺎﻳﻵﺍ ﻊﻤﺴﻧ ﺎﻧﺇ ﺎﻫﺃﺮﻘﻧ ﻥﺃ ﻦﺴﳓ ﻻ ﻭ ،ﺎﻬﻌﻤﺴﻧ ﺎﻤﻛ ﺎﻧﺪﻨﻋ ﻲﻫ ﺲﻴﻟ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ
ﻢﻜﻤﻠﻌﻳ ﻦﻣ ﻢﻜﺌﻴﺠﻴﺴﻓ ﻢﺘﻤﻠﻌﺗ ﺎﻤﻛ ﺍﻭﺅﺮﻗﺍ ،ﻻ ﻝﺎﻘﻓ ؟ﰒﺄﻧ ﻞﻬﻓ ،ﻢﻜﻨﻋ ﺎﻨﻐﻠﺑ ﺎﻤﻛ .
292
Lihat misalnya beberapa riwayat tersebut dalam Us}ul al-Kafi, juz I, 123 kitab fad}l al-‘Ilm bab al-Akhdhu bi al-Sunnah.
293
Abu al-Abbas Ah}mad ibn Ali ibn Ah}mad al-Asadi al-Kufi, Rijal al-Najashi
Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418 H, 185
147 meliputi tema halal haram, perang dan damai, permusuhan dan
kekerabatan, kepemimpinan dan kerakyatan, hukum dan sejarah serta tema-tema lain yang bisa dipeta-petakan sesuai isi dan substansi al-
Qur’an. Dan tiap mufassir bisa jadi memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga menimbulkan perbedaan dalam beristinbat untuk
menentukan klasifikasi dan pembagian ini sesuai kapasitas masing- masing.
Adapun hadis ketiga yang menginformasikan bahwa akan datang orang yang akan mengajarkan al-Qur’an ini dengan benar, bukan
berarti bahwa al-Qur’an yang ada sekarang kondisinya tidak benar, namun dalam pandangan Syi’ah bahwa maksud dari teks tersebut
adalah akan datang orang baca: al-Mahdi yang akan mengajarkan al- Qur’an sesuai dengan mushaf yang pernah ditulis oleh imam Ali, di
mana susunan dan kuantitasnya berbeda dengan al-Qur’an yang selama ini dibaca dan dihafal orang.
294
Adapun hadis keempat yang menginformasikan bahwa ayat al- Qur’an berisi 17000 ayat, memiliki beberapa penjelasan dari para
ulama Syi’ah Ithna‘ashariyah. Al-Sha‘rani menegaskan, bahwa kata “’
ashrah” dalam redaksi hadis di atas merupakan tambahan dari al- nasikh penulis atau al-rawi perawi. Sedangkan pada teks aslinya
berbunyi sab‘ata alaf ‘adadan taqriban sekitar tujuh ribu jumlahnya,
berarti terdapat kedeka-tan dengan al-Qur’an yang ada sekarang.
295
294
Fath{ullah al-Muh}ammadi, Salamat al-Qur’an min al-Tah{rif Teheran: Dar
Mush‘ir, 1424 H, 76-77.
295
Komentar ta‘liq Abu al-Hasan al-Sha’rani dalam Sharh{ Jami’ ‘ala al-
Kafi, Muhammad S}aleh al-Mazandarani Teheran: al-Maktabah al-Islamiyah, 1388 H, juz XI, 76. Kesalahan atau tambahan tersebut diketahui pula dari manuskrip al-
Kafi yang lain, sebagaimana manuskrip yang terdapat pada al-Faid{ al-Kashani yang juga mensyarahkan kitab al-Kafi dengan nama
al-Wafi. Dalam manuskrib beliau tertulis redaksinya:
ﺔﻌﺒﺳ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﺪﻤﳏ ﱃﺇ ﻞﻴﺋﺍﱪﺟ ﻪﺑ ﺀﺎﺟ ﻱﺬﻟﺍ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻥﺇ ﺔﻳﺃ ﻑﻻﺁ
. .
Teheran: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th, juz I, 49. Para ulama Syi’ah memandang, bahwa manuskrip
al-Kafi yang terdapat pada al-Kashani memiliki tingkat ketepatan yang lebih akurat
akthar ithqanan min ghairihi. Abi al-Hasan al- Sha’rani,
Sharh{ Jami’ al-Kafi, juz I, 2. Sekalipun redaksi hadis ini dinilai ada kesalahan, namun ada pula ulama Syi’ah yang berusaha memaknai hadis di atas
dengan mengatakan: “bisa jadi tambahan itu termasuk yang ditulis oleh imam Ali dalam mushafnya, atau telah terjadi perbedaan dalam menentukan penggalan ayat,
atau mungkin juga termasuk dari ayat-ayat yang telah dimansukhkan tilawahnya.” Komentar Muhammad Ja’far Syamsuddin, dalam
al-Kafi, juz II, 597 dengan mengutip dari al-Kashani,
al-Wafi, juz V, 274.
148 Al-Muh}ammadi menyatakan bahwa, “kita tidak bisa
mengatakan al-Qur’an yang ada sekarang telah mengalami distorsi hanya dengan perpegang pada riwayat ini, karena metode istinbat ini
bertentangan dengan metode manhaj para ulama dalam menetapkan
sebuah hukum. Metode mereka sudah sangat dikenal, di mana mereka tidak menetapkan hukum dengan menggunakan ungkapan yang
mubham samar dan tidak jelas, apalagi untuk permasalahan besar semacam ini. Lagi pula, bagaimana kita dapat berpegang dengan hadis
yang berstatus ahad ini untuk mengatakan bahwa al-Qur’an ayatnya telah hilang sebanyak sepuluh ribu? Dan dengan tidak ditemukannya
satu dalil pun yang shahih yang mendukung riwayat di atas, menunjukkan bahwa riwayat tersebut adalah riwayat yang maudhu’,
atau telah terjadi kesalahan dari parawi”.
296
Demikian pula dengan Imam al-T{abat}aba’i saat menafsirkan ayat 9 dari surat al-Hijr mengatakan, ‘sangkaan bahwa terdapat
kekurangan atau kelebihan dalam al-Qur’an yang beredar sekarang, tidak hanya bertentangan dengan kandungan ayat di atas, tetapi juga
bertentangan dengan sekian banyak argumentasi-argumentasi ilmiyah dan aqliyah’.
297
Terjadinya distorsi dalam al-Qur’an, juga terbantahkan dengan pernyataan al-Shaykh Abu Ja’far al-S{aduq, yang mengatakan:
“keyakinan kami adalah, bahwasannya al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah swt. kapada Nabi-Nya Muhammad saw. tetap terjaga
sebagaimana yang ada sekarang di tangan kaum muslimin, tidak kurang dan tidak lebih. Jika ada yang menuduh bahwa kami memiliki
keyakinan yang berbeda dari hal tersebut, sungguh dia telah dusta.
298
Teks-teks hadis dalam riwayat Syi’ah yang mengindikasikan adanya penambahan dalam al-Qur’an dapat difahami sebagai tafsiran
atau takwil dari ayat al-Qur’an dan bukan al-Qur’an itu sendiri yang bertambah.
299
296
Al-Muh}ammadi, Salamat al-Qur’an min al-Tah{rif, 88.
297
Muh{ammad H{usain al-T{abat}aba’i, Tafsir al-Mizan Teheran: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 1396 H, 109-110.
298
Abu Ja’far Muh{ammad ibn Ali ibn al-Husain al-S}aduq, al-I‘tiqadat Qum:
al-Alfiyah al-Shaykh al-Mufid, 1413 H, 84.
299
Jika diamati, didapatkan banyak sekali teks-teks dalam al-Kafi yang menunjukkan hal tesebut, Misalnya ayat:
149 Keyakinan
kelompok Syi’ah
Itsna’asyariyah terhadap
keotentikan al-Qur’an yang ada sekarang ditegaskan juga oleh Kashif al-Ghit}a’. Beliau berkata, “al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah
saw. tidak mengandung kekurangan, tidak juga perubahan, dan tidak pula terdapat penambahan. Atas dasar ini, maka kalangan Syi’ah
Imamiyah Itsna-’asyariyah sepakat, bahwa jika terdapat seseorang dari kalangan Syi’ah atau kelompok umat Islam lainnya berpendapat
ada kekurangan atau perubahan dalam al-Qur’an maka dia telah salah, berdasar firman Allah swt.:
‘Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya’. Adapun riwayat-riwayat yang diterima melalui jalur
periwayatan kami atau jalur periwayatan pihak lain, yang menginformasikan adanya pengurangan atau perubahan, maka
riwayat-riwayat itu
berstatus lemah,
bahkan shadh
ganjilbertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat dan riwayat-riwayat itu berstatus
ahad dan diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang benar dan tidak juga
pengamalan”.
300
Setelah ayat ini, terdapat tambahan yang berbunyi:
ﻪﺘﺭﻴﺭﺴ ﺀﻭﺴ ﻭ ﻪﻤﻠﻅﺒ ,
sebagian orang menduga bahwa ini adalah ayat yang ditambahkan, padahal itu adalah bagian dari tafsiran yang dijelaskan oleh imam Ali tentang proses kerusakan
yang terjadi di bumi. al-Kafi, juz VIII, 347, 488, nomor hadis 435. Lihat pula contoh lain pada bab
min al-tanzil fi al-wilayah, juz I, 479, Hadis-hadis ini bukanlah bukti akan adanya tambahan-tambahan dalam al-Qur’an, namun yang benar adalah
tambahan tersebut merupakan takwil dan tafsir ayat al-Qur’an. Sekalipun sebagian redaksinya menggunakan kata “
tanzil”, namun yang dimaksud adalah “tanzil” secara etimologi, dan bukan terminologi bahasa. Seperti dalam hadis riwayat al-
Darimi yang berbunyi:
ﻥﺎﻜ
ﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻰﻠﻋ ﻝﱰﻳ ﻞﻴﺋﱪﺟ ﺎﻤﻛ ﺔﻨﺴﻟﺎﺑ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ
ﻥﺃﺮﻘﻟﺎﺑ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﱰﻳ .
.
Demikian pula dengan redaksi hadis yang menggunakan kata “wahyu” namun yang dimaksud bukanlah wahyu qur’ani, tapi wahyu dengan makna
lain seperti, kalamullah al-Qudsi atau hadis, yang juga bersumber dari wahyu.
Fath{ullah al-Muh}ammadi, Salamat al-Qur’an min al-Tah{rif, 59-60.
300
Muh}ammad Husain Kashif al-Ghita’, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha,, 133.
150 Jauh sebelum Kashif al-Ghita’,
301
penafsir Syi’ah kenamaan, Abu ‘Ali al-Fad}il ibn al-Hasan al-T{abrisi 548 H1153 M telah
menguraikan dalam tafsirnya Majma’ al-Bayan sekian banyak
argumen yang membuktikan bahwa al-Qur’an yang beredar pada masanya dan yang terbaca dalam tafsir yang disusunnya, sepenuhnya
sama dengan yang beredar sekarang ini, tidak lebih dan tidak kurang, dan hal tersebut –menurutnya- telah menjadi ijma’kesepakatan para
ulama.
302
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: a riwayat-riwayat yang menginformasikan adanya perubahan, penambahan dan
pengurangan seputar al-Qur’an tidak diterima kebenarannya oleh kalangan Syi’ah Itsna’asyariyah, karena informasi itu berstatus dha’if.
b terdapat sekte minoritas dalam Syi’ah yang meyakini adanya distorsi dan perubahan tersebut, c untuk melihat pada keotentikan al-
Qur’an paling tepat adalah dengan berpegang pada informasi al- Qur’an dan riwayat yang disepakati keshahihannya.
2 Riwayat tentang ketidaksempurnaan al-Qur’an. a. Riwayat seputar mushaf imam Ali
Adanya riwayat yang menyebutkan bahwa imam Ali r.a. memiliki mushaf yang berbeda dengan mushaf yang ada sekarang
memanglah benar. Bahkan, riwayat yang menyebutkan hal itu tidak hanya terdapat dalam referensi Syi’ah, namun ditemukan pula dalam
referensi Ahlusunnah.
303
301
Sebagaimana dipaparkan oleh M. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, 138.
302
Abu ‘Ali al-Fad}il ibn al-Hasan al-T{abrisi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-
Qur’an Teheran: al-‘Irfan, t.th, Juz I, 15. Memang harus diakui bahwa, ada kelompok Syi’ah yang mengakui bahkan meyakini bahwa al-Qur’an yang ada
sekarang telah mengalami perubahan dalam bentuk pengurangan, namun kelompok itu bukan dari sekte Imamiyah atau Itsna’asyariyah ataupun Zaidiyah yang
merupakan sekte terbesar Syi’ah. Al-T{abrisi mengatakan, “ada sekelompok orang yang menganut pandangan kami Syi’ah dan sekelompok dari orang-orang awam
penganut paham
Hashawiyah satu kelompok yang hanya mengambil teks hadis sebagaimana bunyinya, tanpa seleksi atau upaya penakwilan yang dalam
pandangan kami Syi’ah Imamiyah sikap mereka itu bertentangan dengan pandangan tersebut.
303
Misalnya riwayat ibn Abd al-Bar dalam al-Isti‘ab fi ma‘rifat al-As}h}ab, 974
dari ibn Sirin berkata:
ﻢﻠﻋ ﻪﻴﻓ ﻥﺎﻜﻟ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻚﻟﺫ ﺐﻴﺻﺃ ﻮﻟ ﻭ ،ﻪﻠﻳﱰﺗ ﻰﻠﻋ ﺐﺘﻛ ﻪﻧﺃ ﲏﻐﻠﺑ .
. Demikian pula dengan ungkapan ibn al-Juzi al-Kilabi dalam
al-Tashil li-‘Ulum al-
151 Dalam referensi Syi’ah telah ditegaskan bahwa, mushaf imam
Ali tersebut bukanlah al-Qur’an sebagaimana yang ada sekarang, namun mushaf itu merupakan mushaf yang berisi tentang ayat al-
Qur’an, tafsir dan penjelasan dari al-Qur’an, dan bukan bermakna al- Qur’an sebagaimana yang ada di tangan umat Islam sekarang.
Al-Mufid mengatakan, beberapa hal yang tidak terdapat dalam al-Qur’an yang ada sekarang, terdapat dalam mushaf imam Ali yang
berupa takwil dan tafsir makna ayat, sekalipun itu tidak termasuk dalam wahyu Allah swt.
304
Dalam redaksi lain al-Mufid juga mengatakan, amirul mukminin Ali telah mengumpulkan al-Qur’an wahyu yang turun dari awal
hingga akhir, dan menyusunnya sesuai dengan yang semestinya, dengan mendahulukan ayat atau surat makiyah dari madaniyah, yang
mansukh dari yang memansukhkan, dan meletakkan sesuai dengan porsinya.
305
Tanzil, juz I, 4:
ﻦﻜﻟﻭ ﲑﺒﻛ ﻢﻠﻋ ﻪﻴﻓ ﻥﺎﻜﻟ ﻪﻔﺤﺼﻣ ﺪﺟﻭ ﻮﻟ ﻭ ،ﻪﻟﻭﺰﻧ ﺐﻴﺗﺮﺗ ﻰﻠﻋ ﻪﻌﻤﺠﻓ ﱂ
ﺪﺟﻮﻳ .
.
Al-Abyari berkata, diriwayatkan dari beberapa perawi, bahwa mushaf imam Ali ditulis dengan susunan sesuai proses turunnya wahyu, dan dengan mendahulukan
ayat yang mansukh dari ayat yang memansukhkan. lihat al-H{aqaiq al-Hamah h}aula
al-Qur’an al-Karim, Ja’far Murtad}a al-‘Amili, Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, t.th, 157-158. Demikian pula dengan ungkapan Tajudin Muhammad ibn Abdul
Karim al-Shahristani dalam tafsirnya Mafatih} al-Asrar wa-Mas}abih{ al-Anwar,
Bairut: t.tp, 1376 H juz I, 125. Dalam penjelasannya, al-Shahristani memaparkan mushaf imam Ali yang tersusun berdasarkan surat seperti yang terdapat dalam al-
Qur’an. Hanya saja, dalam mushaf imam Ali terdapat tambahan-tambahan yang berupa tafsir dan takwil ayat. Hal itu dapat difahami dari riwayat imam Ali yang
mengatakan:
ﺦﺳﺎﻨﻟﺍ ﻭ ﻪﺑﺎﺸﺘﳌﺍ ﻭ ﻢﻜﶈﺍ ﻭ ﻞﻳﻭﺄﺘﻟﺍ ﻭ ﻞﻳﱰﺘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻼﻤﺘﺸﻣ ﻼﻣﺎﻛ ﺏﺎﺘﻜﻟﺎﺑ ﻰﺗﺃ ﻑﺮﺣ ﻪﻨﻣ ﻂﻘﺴﻳ ﱂ ﺥﻮﺴﻨﳌﺍ ﻭ
.
Muhammad Muh}sin al-Kashani, tafsir al-S}afi
Teheran: Dar al-Murtad}a, 1405 H, 11.
304
Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Nu’man al-Mufid, Awail al-Maqalat wa-al-
Madhahib al-Mukhtara, Qum: al-Mu’tamar al-‘Alami, 1423 H, 93. Dari kutipan al- Mufid ini dapat difahami bahwa al-Qifari tidak jujur dalam mengutip. Beliau
memotong ungkapan al-Mufid yang menyatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang berbeda dengan mushaf imam Ali dari aspek takwil dan tafsir,
sebagaimana penulis cantumkan di atas, dan bukan dari aspek ayat yang diturunkan,. Lihar redaksi aslinya dalam
Awa’il al-Maqalat, 80.
305
Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Nu’man al-Mufid, Al-Masail al-Sirriyah
Qum: al-Mu’tamar al-‘Alami, 1413 H, 67
152 Shahrastani mengatakan, dalam mushaf imam Ali terdapat
redaksi inti matan dan juga catatan serta penjelasan h}awashi.
306
Ibn Sa’ad meriwayatkan, bahwa imam Ali mengatakan, aku bersumpah demi Allah, bahwa tidak satu ayatpun yang turun kecuali
aku tahu tentang apa turunnya, kepada siapa ayat tersebut turun dan di mana turunnya, dan tidak pula turun ayat, kecuali aku tahu kapan
turunnya, siang atau malam, di dataran atau di pegunungan.
307
Al-Sayyid al-Khu’i menambahkan, keberadan mushaf imam Ali yang berbeda dengan al-Qur’an, merupakan kenyataan yang tidak
perlu diragukan, karena para ulama menyepakati akan keberadaannya. Perbedaan mushaf dengan al-Qur’an amatlah nyata, di mana dalam
mushaf terdapat tambahan-tambahan di luar ayat, yang merupakan tafsiran dan takwilan dari ayat. Sekalipun dalam banyak redaksi
ulama, tambahan itu diungkapkan dengan kata “
tanzil”, namun yang dimaksud dengan kata itu adalah makna secara bahasa.
Dengan demikian dapat dipertegas bahwa, tafsir, takwil, dan tanzil yang melekat pada mushaf imam Ali merupakan tambahan
penjelasan dan bukan bagian dari ayat al-Qur’an sebagaimana difahami sementara orang dengan tanpa bertumpu pada dalil yang
jelas.
308
Dari beberapa pernyataan di atas dapat difahami bahwa, yang dimaksud dengan mushaf Ali adalah: a lembaran-lembaran yang
berisi tafsir ayat dan keterangan seputar wahyu yang turun dengan susunan yang berbeda dengan susunan al-Qur’an yang ada sekarang,
b mushaf imam Ali kapasitasnya bukan sebagai pengganti al-Qur’an,
306
Dalam Murtad}a al-‘Askari, al-Qur’an al-Karim wa-Riwayat al-
Madrasatain Qum: Danshakdah Us}ul al-Din, 1416 H, juz II, 398.
307
Muh}ammad ibn Sa’ad ibn Mani’, al-T{abaqat al-Kubra Bairut: Dar al-
Kutub, 1405 H, Juz II, 338.
308
Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu’i, al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an Teheran:
t.tp, 1364 H, 243. Al-Sayyid Murtad{a al-‘Askari juga menyinggung pendapat beberapa penulis Ahlusunnah yang mengklaim bahwa Syi’ah memiliki Mushaf
Fatimah yang isinya lebih komplit dari al-Qur’an. beliau menjelaskan bahwa pernyataan itu tidak benar, karena yang dimaksud dengan mushaf Fatimah adalah
kumpulan informasi-informasi yang didapatkan dari Nabi saw. dan ditulis dalam lembaran-lembaran yang isinya lebih banyak dan lebih tebal dari al-Qur’an yang
ada. Adapun penamaan mushaf tidak berarti identik dengan al-Qur’an, karena penggunaan kata ini sangat populer dan digunakan secara umum untuk menjelaskan
sebuah karya yang terkumpul dalam lembaran-lembaran. Bahkan kata “mushaf” sendiri tidak pernah digunakan oleh Allah swt. maupun Rasulullah saw. untuk
makna al-Qur’an,
Ma‘alim al-Madrasatain, juz II, 32.
153 namun sebagai penjelas maksud, atau merupakan tafsir dan takwil dari
ayat-ayat al-Qur’an, c tambahan-tambahan dalam mushaf imam Ali bukanlah bagian dari ayat, namun tafsiran dan takwilan ayat.
Dengan demikian, pernyataan al-Qifari yang mengatakan bahwa al-Qur’an yang asli berada di tangan al-Mahdi sebagai pewaris
terakhir dari imam Ali, dan Syi’ah memiliki al-Qur’an yang berbeda dengan al-Qur’an yang diyakini oleh umat Islam sekarang tidaklah
benar, karena kesimpulan al-Qifari itu berbeda dengan apa yang difahami oleh kalangan Syi’ah sendiri.
Adapun pertanyaan al-Qifari, mengapa imam Ali ra. tidak menge-luarkan mushaf tersebut saat beliau menjadi khalifah?
Permasalahannya sebenarnya bukan pada mengeluarkan atau tidak mengeluarkan, namun seandainya imam Ali tidak mengeluarkan pun,
hal itu tidak akan mengurangi kesempurnaan agama ini, karena mushar Ali pada hakikatnya adalah ayat al-Qur’an yang tersusun
berdasarkan urutan turunnya dan terdapat tafsir dan takwil ayatnya, tidak lebih dari itu. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa agama
ini tidak sempurna karena sebagian ayat-ayatnya tidak tersampaikan.
Dapat ditambahkan pula bahwa, keberadaan mushaf pada masa sahabat tidak hanya dimiliki oleh imam Ali saja. Para sahabat selain
imam Ali juga memiliki mushaf yang secara signifikan satu sama lain berbeda, dan memiliki ciri yang berbeda pula. Misalnya mushaf ibn
Mas’ud, mushaf abu Musa yang dinamakan dengan lubab al-‘Uqul, mushaf Ubai ibn Ka’ab dan mushaf ‘A’isyah
309
yang kesemuanya itu ditulis secara pribadi oleh sahabat dan memiliki catatan-catatan
tersendiri sebagai penjelas ayat. Muh{ammad Hadi Ma’rifat mengatakan, tidak lama setelah Nabi
saw wafat, beberapa senior sahabat mengumpulkan dan menyusun al- Qur’an dalam lembaran-lembara secara pribadi dan dengan karakter
penyusunan yang berbeda-beda lalu mereka namakan dengan mushaf.
310
b. Riwayat yang redaksinya membawa kata “ tah}rif”
309
Mushaf ‘Aisyah ini pernah diminta oleh utusan dari Iraq untuk ditukil dan ditulis agar sesuai dengan susunan yang sebenarnya. Hadis riwayat al-Bukhari kitab
fad}ail al-Qur’an bab ta’lif al-Qur’an.
310
Muh}ammad Hadi Ma’rifat, al-Tamhid fi ‘Ulum al-Qur’an Qum: t.tp, 1396
H, juz I, 308.
154 Keberadaan kata “
tah}rif” dalam beberapa riwayat sering memicu perselisihan bahkan perdebatan di kalangan para ulama. Terlebih jika
kosa kata itu disandarkan pada al-Qur’an. Namun jika dicermati, kata “
tah}rif” tidak selalu bermakna negatif sebagaimana difahami sementara orang. Tah}fif secara bahasa bisa berarti: condong
imalah, atau bergeser dari posisi
‘udul ‘an maud}i‘ihi. Sedangkan tah}rif al- kalam berarti: menjadikan ucapan itu mengandung pemaknaan ganda,
bergeser dari satu sisi makna ke sisi makna yang lain.
311
Secara global, penggunaan kata “ tah}rif” baik secara umum
maupun saat disandingkan dengan al-Qur’an, bisa dibagi menjadi dua: a
al-tah}rif al-ma‘nawi dan b al-tah}rif al-lafz}i. Yang dimaksud dengan
al-tah}rif al-ma‘nawi adalah terjadinya analisis atau kesimpulan serta penafsiran yang salah dan menyimpang dari maksud
yang sesungguhnya sebagaimana diinginkan penuturnya. Bentuk penyimpangan semacam ini sering ditemukan saat seseorang
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri telah menyinggung adanya prilaku semacam ini yang terjadi pada umat
terdahulu.
312
Adapun al-tah}rif al-lafz}i adalah, perbedaan atau
perubahan yang terjadi pada tata bahasa dan kaidah-kaidahnya serta adanya perbedaan bacaan dengan tambahan atau pengurangan huruf.
Perselisihan yang banyak terjadi seputar tah}rif bersumber dari
riwayat-riwayat yang redaksinya mengindikasikan makna tersebut, baik riwayat yang terdapat dalam referensi Syi’ah maupun referensi
311
Hasan al-Must}afawi, Al-Tah}qiq fi kalimat al-Qur’an al-Karim Teheran:
t.tp, 1360 H, Juz II, 197, entri
فﺮﺣ.
Contoh penggunaan kata tahrif misalnya:
ﻪﻌﺿﻮﻣ ﻦﻋ ﻪﺘﺟﺮﺧﺃ ﻱﺃ ﺊﻴﺸﻟﺍ ﺖﻓﺮﺣ
, yaitu mengalihkan atau menggeser sesuatu dari tempatnya.
312
Sebagaimana terdapat dalam surat an-Nisa’ 46.
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat- tempatnya [Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan
mengurangi]. Demikian juga dengan ayat 75 dari surat al-Baqarah:
….
lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.
155 Ahlusunnah.
313
Oleh sebab itu, metode yang tepat untuk memahami riwayat-riwayat hadis adalah dengan mencermati kualitas dan
substansi dari hadis tersebut. Apakah riwayat-riwayat yang menyebutkan adanya
tah}rif layak untuk diterima dan dijadikan dalil akan ketidaksempurnaan al-Qur’an atau tidak?
Kehujjahan riwayat dapat diterima jika redaksi dan substansinya tidak bertentangan dengan informasi al-Qur’an. Di sisi
lain, jika didapatkan dua riwayat yang satu berisi informasi tentang adanya distorsi dalam al-Qur’an dan riwayat lain menginformasikan
kesempurnaan al-Qur’an, maka cara yang paling tepat untuk mengetahui keshahihan dua riwayat tersebut adalah dengan
mengembalikan pada informasi al-Qur’an. Jika sejalan dengan informasi dan semangat al-Qur’an maka dihukumi maqbul, dan jika
bertentangan maka dihukumi tidak shahih atau tertolak. Terlebih lagi jika riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang
kualitasnya lebih kuat.
314
313
Kata “tah}rif” sering digunakan dalam makna tah}rif ma’nawi. Sebagaimana
ditemukan dalam beberapa riwayat yang redaksinya menggunakan kata tah}rif. misalnya perkataan Abdul A’la: saya mendengar imam Ja’far berkata,
ﺏﺎﺤﺻﺃ ﻪﻌﺿﺍﻮﻣ ﻦﻋ ﻞﺟ ﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﻡﻼﻛ ﻥﻮﻓﺮﳛ ﺔﻴﺑﺮﻌﻟﺍ
.
juga ucapan Ali ibn Suwaid sebagaimana diriwayatkan oleh al-Kulaini,
ﻮﻟﺪﺑ ﻭ ﻩﻮﻓﺮﺤﻓ ﷲﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﻰﻠﻋ ﺍﻮﻨﲤﺅﺍ
ﻩ .
.
Riwayat-riwayat ini dikomentari oleh al-Khui, bahwa yang dimaksud dengan kata “tah{rif” dalam teks di atas adalah penafsiran makna yang menyimpang dari yang
dimaksud sebenarnya, atau penyimpangan dari ketentuan hukum agama. Dengan demikian, makna kata tahrif ini jauh dari makna yang selama ini diperselisihkan,
yaitu terjadinya pemalsuan al-Qur’an. Abu al-Qasim al-Musawi al-Khui,
Bayan fi Tafsir al-Qur’an Teheran: al-Jil, 1374 H, 229.
314
Fath}ullah al-Muh}ammadi, Salamat al-Qur’an min al-Tah{rif Teheran: Dar
Mush’ir, 1424 H, 42. Anjuran untuk klarifikasi kepada al-Qur’an saat terjadi pertentangan berdasar pada ayat 59 dari surat al-Baqarah yang berbunyi:
‘…maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.‘ Selain berdasar
pada ayat, anjuran merujuk pada al-Qur’an bersumber dari hadis Nabi riwayat al- Darimi bab Ta’wil h}adith Rasulillah yang berbunyi:
156 Muhammad Jawad Mughniyah menegaskan, tidaklah tepat jika
ada yang mengklaim bahwa suatu madzhab memiliki faham-faham tertentu hanya dengan berpedoman pada pendapat individu penganut
madzhab tersebut.
315
c. Beberapa bacaan yang berbeda Adanya beberapa riwayat yang isinya disinyalir mengandung
bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan al-Qur’an yang ada sekarang, dapat dijelaskan bahwa,
pertama, riwayat-riwayat tersebut datang dengan proses periwayatan secara
ahad bahkan sebagiannya berstatus Shadhah, dan bertentangan dengan riwayat mutawatir yang disepakati
jumhur. Kedua, beberapa riwayat yang mengindikasikan perbedaan,
tidak lebih berupa perbedaan bacaan qiraat, baik yang berupa adanya
tambahan huruf atau harakat akibat perbedaan kaidah kebahasaan, dan perbedaan bacaan semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai
penyimpa-ngan terhadap teks wahyu sebagaimana diturunkan. Hal itu karena, sebagian teks ayat memang berpotensi untuk dapat dibaca
dengan versi bacaan yang berbeda.
316
3. Pandangan al-Qifari terhadap kitab al-Kafi Dengan mengutip beberapa pernyataan ulama Syi’ah tentang
keutamaan kitab al-Kafi dan penyusunnya, al-Qifari mengatakan, al- Kafi merupakan kitab paling shahih tingkatannya di kalangan ulama-
ulama Rafidhah, karena penyusunnya selalu berusaha untuk tidak meriwayatkan hadis kecuali yang shahih, maka keberadaan riwayat-
ﻦﻋ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲﹺﺑﹶﺃ
... ﹺﻝﻮﺳﺭ ﻦﻋ ﹸﺙﺪﺣﹸﺃ ﻲﹺﻧﻮﻤﺘﻌﻤﺳ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﺙﺪﺣ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﹴﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﹶﻥﺎﹶﻜﹶﻓ
ﹺﺱﺎﻨﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﺎﻨﺴﺣ ﻭﹶﺃ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻛ ﻲﻓ ﻩﻭﺪﹺﺠﺗ ﻢﹶﻠﹶﻓ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺖﺑﹶﺬﹶﻛ ﺪﹶﻗ ﻲﻧﹶﺃ ﺍﻮﻤﹶﻠﻋﺎﹶﻓ
ﻪﻴﹶﻠﻋ .
Adapun pernyataan ‘Aisyah ra. dimana beliau menolak semua riwayat yang bertentangan dengan isi al-Qur’an, dan menilai riwayat sahabat sebagai
kesalahfahaman atau salah dengar jika substansi riwayatnya bertentangan dengan al- Qur’an Abu Rayyah,
Ad}wa’ ‘ala al-Sunnah al-Muh}ammadiyah, [Qum:t.tp, 1416 H], 430.
315
Muh}ammad Jawad Mughniyah, al-Syi’ah fi al-Mizan Bairut: Dar al-
Shuruq, cet. IV, 1399 H1979 M, 270.
316
Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Nu’man al-Mufid, al-Masail al-Sirriyah
Qum: al-Mu’tamar al-‘Alami, 1413 H, 78.
157 riwayat tentang tahrif al-Qur’an dalam al-Kafi menunjukkan
keyakinan penyusunnya akan hal tersebut.
317
Jika dicermati, akan didapatkan bahwa, penilaian al-Qifari terhadap al-Kafi amat persial. Beliau menilai bahwa semua hadis yang
terdapat kitab tersebut shahih dan merupakan kitab yang paling agung hanya berdasarkan pada pujian para ulama Syi’ah terhadap al-Kafi dan
punyusunnya.
Dalam hal ini, nampak bahwa al-Qifari tidak berusaha untuk memahami makna shahih dan pujian para ulama Syi’ah terhadap al-
Kafi. Padahal, sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa proses pengumpulan hadis-hadis dalam
al-Kafi, selain berangkat dari ijtihad penyusunnya, juga bertumpu pada sikap percaya
dan baik sangka pada sumber penuturnya perawi dari para imam. Sikap ini dilakukan karena beberapa alasan:
pertama, karena para periwayat hadis-hadis tersebut berdekatan masanya dengan para
imam; kedua, sikap dan kepribadian para perawi yang agung, yang
secara alami dapat menumbuhkan sikap percaya dan patuh dengan karya-karya mereka; dan
ketiga, keyakinan bahwa riwayat-riwayat akhbar tersebut bersumber dari para imam.
318
Dengan demikian, al-Kulaini dalam proses pengumpulan hadis secara teoritis kurang menaruh perhatian terhadap sanad dibanding
dengan matan atau isi hadis. Kadang al-Kulaini melaporkan hadis dengan sanad dari orang-oarang yang bukan langsung murid para
imam, bahkan ada juga yang bersal dari kalangan Zaidiyah,
ghulat dan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan keyakinan Syi’ah.
319
Oleh sebab itu, al-Hasan ibn Yusuf al-H{uli 648-726 H dan juga gurunya Ahmad ibn T{awus w. 693 H yang hidup di abad ke
tujuh Hijriyah mengkritik hadis-hadis dalam al-Kafi. Mereka menilai
bahwa hadis-hadis dalam al-Kafi adalah hasil ijtihad al-Kulaini, maka
dari itu untuk melihat kualitas dari hadis-hadis tersebut harus diuji melalui kaidah-kaidah keshahihan hadis yang berlaku.
317
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Shi’ah, 227-228. Lihat juga contoh pujian
ulama Syi’ah terhadap al-Kafi dalam sub bab Pandangan dan Penilaian ulama Syi’ah terhadap al-kutub al-arba‘ah.
318
Hasyim Ma’ruf al-Hasani, Dirasat fi al-H{adith wa-al-Muh}addithin
Bairut:Dar al-Ta’aruf, t.th, 133-134
319
Hasyim Ma’ruf al-H{asani, Dirasat fi al-H{adith wa-al-Muh}addithin, 137-
138
158 Dengan diberlakukannya kaidah keshahihan hadis dalam
al-Kafi, ditemukan bahwa tidak semua hadis dalam
al-Kafi yang berjumlah 16199 hadis itu shahih.
320
Setidaknya, para ulama Syi’ah membagi kualitas hadis-hadis
al-Kafi menjadi lima kategori, yaitu: 1 s}ah}ih}, berjumlah 5072; 2
h}asan, berjumlah 144; 3 muwaththaq, berjumlah 1128; 4
qawi, berjumlah 302; dan 5 d}a’if, berjumlah 9485. Namun, riwayat-riwayat
d}a’if lemah yang terdapat dalam al- Kafi bukan berarti bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak dapat
diamalkan apalagi dicampakkan, karena riwayat yang berkualitas d}a’if
karena faktor sanad bisa jadi dia shahih dari aspek matannya. Misalnya, riwayat-riwayat tersebut jika ditinjau dari aspek makna
sejalan dengan makna al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi yang lain. Atau, dari aspek keberadaan sumbernya, riwayat-riwayat tersebut
terdapat dalam
al-us}ul al-arba’miah, atau terdapat dalam salah satu kitab yang
mu’tabar, atau kandungan riwayat tersebut termasuk yang diamalkan oleh para ulama, sehingga menjadikan kualitasnya sejajar
dengan yang shahih.
321
Al-Kulaini sendiri, dalam proses pengumpulan hadis-hadis dalam
al-Kafi tidak mengklaim bahwa semua hadis dalam bukunya tersebut shahih. Namun, beliau berharap, apa yang dilakukan ini
sesuai dengan harapan yang diinginkan, yaitu mengumpulkan hadis- hadis yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan pegangan dalam
agama.
322
320
Banyak versi yang menyebutkan jumlah hadis dalam al-Kafi, dan satu
sama lain cenderung berbeda. Perbedaan ini bisa jadi dipicu oleh penggabungan beberapa sanad hadis yang terulang dengan satu matan. Penghitungan yang
dilakukan oleh Muhammad Ja’far Syamsuddin muh}aqqiq berjumlah 15176 sesuai
dengan penomeran yang terdapat dalam kitab al-Kafi cetakan Dar al-Ta’aruf li-al-
Mat}bu’at, Bairut. Namun Hasyim Ma’ruf al-Hasani lebih memilih angka 16199 sebagaimana pernyataan beberapa ulama Syi’ah. Lihat
muqaddimah dalam al-Kafi, 23, dan Abdul Rasul Abdul Hasan al-Ghifari,
al-Kafi wa-al-Kulaini Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1416 H 401. Muhammad Baqir Taqi al-Majlisi
berpendapat, bahwa jumlah hadis-hadis al-Kafi adalah 16121. Lihat Mirat al-Uqul
Teheran: t.tp, cet. III, 1363 H, juz II, 437. Jumlah hadis-hadis al-Kafi jauh lebih
banyak bila dibanding dengan jumlah hadis-hadis yang terdapat dalam al-kutub al-
sittah di kalangan Ahlusunnah. Lihat al-Sayyid Hasan al-S}adr, Ta`sis al-Shi’ah li- ‘Ulum al-Islam Qum: al-Amir, t.th., 288.
321
Hasyim Ma’ruf al-Hasani,
Dirasat fi al-H{adith wa-al-Muh}addithin, 136- 137
322
Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu`i, Mu’jam Rijal al-Hadith Qum: t.tp.,
1398 H, juz I, 88. Al-Kulaini, Muqaddimah Us}ul al-Kafi, 4-5.
159 Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam
al-Kafi ucapan para imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa, ada anggapan teologis, di mana para imam yang maksum memiliki otoritas dalam menyampaikan syariat yang
bersumber langsung dari Nabi saw. Oleh sebab itu, tidak heran jika surat-surat, khutbah dan lain-lain yang memiliki keterkaitan dengan
syariat didudukkan setara dengan hadis.
5.2. Hadis-Hadis ‘Adalah al-S{ah}abah
Permasalahan yang juga sering memicu kontraversi antara Sunnah dan Syi’ah adalah pandangan dua kelompok tersebut seputar
keadilan atau ke- adalah-an para sahabat. Nasir Al-Qifari menyoroti
permasalahan ini dan berusaha memaparkan pandangan dan sikap kelompok Syi’ah terhadap para sahabat. Dalam sub bahasan ini
peneliti akan mendiskripsikan kritik al-Qifari terhadap Syi’ah atas penolakan mereka terhadap stetmen Ahlusunnah yang menyatakan
bahwa para sahabat Nabi berstatus ‘
udul, lalu kritik ini akan ditindaklanjuti dengan analisa objektif atas kritik tersebut.
A. Kritik atas sikap Syi’ah terhadap sahabat Dengan mengutip beberapa redaksi hadis dari para imam Syi’ah
serta pernyataan para ulama Syi’ah, al-Qifari menyatakan bahwa kalangan Syi’ah menolak periwayatan Ahlusunnah,
323
bahkan mengutuk para sahabat Nabi kecuali beberapa orang, karena disinyalir
bahwa mereka telah merampas hak kepemimpinan dari khalifah yang sah baca: Ali ibn Abi Thalib pada saat itu.
324
Dengan sikap seperti ini menjadikan kredibilitas sahabat sebagai perawi hadis menjadi
diragukan dan berdampak pada ke-‘ adalah-an mereka.
Dengan berdalih pada ucapan Kashif al-Ghita’, al-Qifari juga mengatakan, bahwa madzhab Syi’ah hanya menerima riwayat yang
bersumber dari Ahlulbait, bukan yang lain. Mereka hanya menerima hadis yang diriwayatkan dari imam Ali saja, dan meninggalkan
riwayat-riwayat sahabat lain. Padahal, imam Ali saat berjumpa
323
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Syi’ah, juz I, 343. Beliau mengutip pernyataan
Muhammad Husain al-Kashif al-Ghita’ dalam As}l al-Syi‘ah wa Us{}uluha, 79 yang
mengatakan,
ﻞﻫﺃ ﻕﺮﻃ ﻦﻣ ﻢﳍ ﺢﺻ ﺎﻣ ﻻﺇ ﺔﻨﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﻥﻭﱪﺘﻌﻳ ﻻ ﺔﻌﻴﺸﻟﺍ ﻥﺇ ﺖﻴﺒﻟﺍ
...
324
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Syi‘ah, juz II, 717, 724-725.
160 dengan Rasulullah saw. ia masih kecil, apakah bisa menangkap semua
pesan Nabi saat itu? Terlebih lagi keberadaan Ali tidak selalu di sisi Nabi, karena beliau terkadang juga bepergian dan berperang, dan
meninggal-kan Ali bersama orang-orang yang lemah di Madinah, seperti pada waktu perang Tabuk.
Dengan demikian, dapat difahami bahwa imam Ali pada hakikat-nya tidak mampu mencakup semua pesan Nabi, oleh sebab itu
banyak juga riwayat-riwayat yang datang dari jalur istri-istri Nabi, khususnya
yang berkaitan
dengan masalah-masalah
kerumahtanggaan.
325
Kesimpulan dan pernyataan al-Qifari ini didasarkan juga pada: 1
Pernyataan beberapa ulama Sunnah seperti Ibn Taimiyah, Abdul Qahir al-Baghdadi, dan al-Qad}i Abdul Jabbar yang
menyatakan bahwa, dalam pandangan Syi’ah, siapa saja yang mengingkari kepemimpinan para imam dua belas maka ia telah
kufur.
326
2 Penolakan kalangan Syi’ah terhadap periwayatan sahabat,
menurut al-Qifari, karena munculnya bid’ah pertama al-bid’ah
al-ula yang dilakukan oleh Abdullah ibn Saba’. Dimana beliau menghembuskan informasi kepada semua orang bahwa Ali
adalah pewaris dan pengganti Rasulullah saw., namun para sahabat tidak merealisasikan hal tersebut.
3 Adanya beberapa riwayat dalam referensi Syi’ah yang
mengecam para sahabat, utamanya al-khulafa al-Rashidin.
327
325
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Syi‘ah, juz I, 344-345.
326
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Syi‘ah, juz II, 716. Ibn Taimiyah mengatakan,
bahwa kalangan Rafidah berpendapat bahwa orang-orang Muhajirin dan Anshor menyembunyikan nash yang sebenarnya terkait kepemimpinan Ali. Dengan
demikian mereka telah kafir kecuali beberapa orang saja, termasuk juga Abu Bakar dan Umar, mereka berdua tergolong munafik. Ah}mad ibn Abdul H}alim ibn
Taimiyah,
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah Riyad: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. juz IV, 128; Al-Baghdadi,
al-Farq baina al-Firaq, 38-39, Abdul Jabbar, Sharh} Us{ul al-Khamsah, 761.
327
Seperti riwayat Kulaini dari Abi Abdillah berkata,
ﺮﻓﺎﻛ ﻮﻬﻓ ﻪﻠﻫﺃ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻭ ﺔﻣﺎﻣﻹﺍ ﻰﻋﺩﺍ ﻦﻣ
Barang siapa mengaku dirinya sebagai pemimpin [imam] padahal dia tidak termasuk orang yang berhak menjadi pemimpin sungguh dia telah kafir. Dari Abi
Abdillah juga berkata,
161 B. Analisa Atas Kritik al-Qifari
Terkaitan dengan pernyataan para ulama Ahlusunnah yang dikutip oleh al-Qifari yang mengatakan bahwa Syi’ah menilai para
sahabat telah kufur dengan penolakan mereka terhadap kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dapat dijelaskan dalam analisa berikut:
1 Jika dicermati redaksi pernyataan para ulama yang dikutip oleh al-Qifari, didapatkan bahwa redaksi itu banyak ditujukan pada
kelompok al-Rafidhah dan bukan kepada Syi’ah Itsna’asyariyah.
328
ﻢﻴﻟﺃ ﺏﺍﺬﻋ ﻢﳍ ﻭ ﻢﻬﻴﻛﺰﻳ ﻻ ﻭ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﷲﺍ ﻢﻬﻤﻠﻜﻳ ﻻ ﺔﺛﻼﺛ :
ﷲﺍ ﻦﻣ ﺔﻣﺎﻣﺇ ﻰﻋﺩﺍ ﻦﻣ ﺎﺒﻴﺼﻧ ﻡﻼﺳﻹﺍ ﰲ ﺎﻤﳍ ﻥﺃ ﻢﻋﺯ ﻦﻣ ﻭ ،ﷲﺍ ﻦﻣ ﺎﻣﺎﻣﺇ ﺪﺤﺟ ﻦﻣ ﻭ ،ﻪﻟ ﺖﺴﻴﻟ
.
Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan juga tidak dibersihkan dosa-dosanya dan bagi mereka adzab yang pedih, yaitu:
orang yang mengaku dirinya sebagai imam pilihan Allah, padahal dia bukan termasuk yang demikian itu, lalu orang yang menentang imam yang sah, dan yang
ketiga, orang yang mengaku bahwa dia punya andil dalam Islam. Al-Kafi bab man
idda’a al-imamah wa laisa laha bi-ahlihi, juz I, 434. Riwayat di atas redaksinya memang tidak secaram langsung menyebut nama, namun pada beberapa riwayat
yang lain sudah mengarah pada orang-orang tertentu sebagaimana dimaksud dalam hadis di atas, yaitu para khulafa’ rasyidin. Lihat misalnya
Tafsir al-‘Iyashi, juz II, 116, 243, dan
Bih}ar al-Anwar, juz XXVII, 58.
328
Al-Rafidhah adalah salah satu sekte dalam Syi’ah. Rafidhah berasal dari kata
al-Rafd}, yang berarti menolak. Jika ditelusuri asal usul sekte al-Rafidhah ini, didapat-kan bahwa benih sekte ini muncul dari tentara Zaid ibn Ali ibn Husain ibn
Ali ibn Abi Thalib yang memisahkan diri dari pemimpinnya yaitu imam Zaid ibn Ali. Muhammad Murtad}a al-Zabidi mengatakan, Rafidhah adalah salah satu sekte
dalam Syi’ah. Dinamakan demikian karena mereka membaiat Zaid ibn Ali dan kemudian menuntut imam Zaid untuk lepas tangan dari dua khalifah pertama yaitu
Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, namun Zaid menolak, dan akhirnya mereka meninggalkan kepemimpinannya. Muhammad Murtad}a al-Zabidi,
Taj al-‘Arus, Mesir: al-Mat}ba’ah al-Khairiyah, 1306 H, juz V, 34.
Dalam Al-Mu’jam al-Wajiz
dikatakan, Rafidhah adalah satu sekte yang –dalam ajarannya- membolehkan untuk mengutuk sahabat. Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah,
al-Mu’jam al-Wajiz Kairo: Wizarah al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, 1994, 271. Abu Bakar ibn al-‘Arabi dalam
al- ‘Awas}im min al-Qawas}im
, 219 mengatakan, Rafidhah adalah satu sekte dalam
Syi’ah, dimana sekte ini telah melakukan perbuatan bid’ah besar yaitu merancang konspirasi
makidah busuk melawan khalifah ke tiga Utsman ibn ‘Affan dengan menyebarkan isu-isu bohong kepada masyarakat awam hingga berujung pada
terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan, dan gerakan ini dimotori oleh Abdullah ibn Saba’. Dari beberapa penjelasan para ulama ini, dapat disimpulkan bahwa, Rafidhah adalah
162 Ibn Taimiyah misalnya, beliau mengatakan:
ﻝﻮﻘﺗ ﺔﻀﻓﺍﺮﻟﺍ ﻥﺇ .
.
. ‘kelompok
al-Rafidhah menyatakan bahwa orang-orang Muhajirin dan Anshor telah menyembunyikan teksnash kepemimpinan Ali ibn Abi
Thalib…’
329
Demikian pula dengan Abdul Qahir al-Baghdadi, beliau jelas
membedakan antara
kelompok al-Rafidhah
dengan Itsna’asyariyah. Syi’ah memiliki sekian banyak sekte yang satu sama
lain memiliki perbedaan prinsip, bahkan tidak jarang satu sama lain saling mengkafirkan.
330
Adapun perkataan al-Qadhi Abdul Jabbar merupakan pernyataan seputar
imamah, dimana beliau mengatakan, Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwasannya kepemimpinan
imamah datang melalui nash yang jelas, barang siapa yang menolak maka ia
telah kufur. Syi’ah Imamiyah merasa keberatan dengan langkah penyamaan
semacam ini, karena dalam pandangan mereka setiap sekte dalam Syi’ah memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Prinsip
bagian dari tubuh besar Syi’ah al-juz’ min al-kul, satu sekte yang muncul dari
tentara yang membelot dan keluar dari pemimpin-nya.
329
Ahmad ibn Ali ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa Shaykh ibn Taimiyah
Bairut: Dar al-‘Arabiyyah, 1398 H, juz III, 356. Namun dalam penjelasan lain, seperti dalam
Majmu’ al-Rasail al-Kubra, bab al-furqan baina al-h}aq wa-al-bat}il, juz I, 27, beliau cenderung menyamakan antara Rafidhah, Sabaiyah dan Imamiyah.
Namun sikap jeneralisasi ini dapat sanggahan dari beberap penulis Syi’ah seperti Mah}mud Jabir dalam
al-Shi‘ah: al-Judhur wa-al-Budhur, al-Maktabah al- ‘Aqaidiyah, 22.
330
Dalam komunitas Syi’ah terdapat sekian banyak sekte, dan satu sama lain cenderung memiliki pandangan yang berbeda. Rafidhah adalah salah satu sekte
dalam tubuh besar Syi’ah. Demikian pula dengan Itsna’asyariyah yang merupakan sekte Syi’ah yang memiliki pengikut paling banyak dari sekte-sekte Syi’ah yang
ada. Abdul Qahir al-Baghdadi merinci sekte-sekte Syi’ah yang pernah ada dalam beberapa bagian, Beliau mengatakan, sekte Sabaiyah pengikut Abdullah ibn Saba’
adalah bagian dari sekte Rafidhah. Mereka melakukan bid’ah dengan mengagungkan imam Ali hingga ke tingkat ketuhanan. Rafidhah terpecah dalam empat sekte yaitu,
Zaidiyah, Imamiyah, Kisaiyah, dan Ghulat ekstrim, dan sekte yang terakhir ini tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu sekte dalam Islam, mereka satu sama
lain saling mengkafirkan. Sedangkan Imamiyah dan Zaidiyah mereka termasuk bagian dari sekte Islam. Imamiyah terpecah lagi menjadi lima belas golongan, satu
di antaranya adalah al-Kamiliyah yang merupakan kelompok paling ekstrim dalam mengecam sahabat. Itsna’asyariyah adalah bagian dari Imamiyah. Lihar
al-Farq baina al-Firaq, 15-17. Namun pendapat al-Baghdadi ini juga tidak serta merta
diterima oleh kalangan Syi’ah, utamanya saat mengatakan bahwa Imamiyah adalah pecahan dari al-Rafidhah. Ahmad al-Waili,
Hawiyat al-Tashayyu‘, 40.
163 kepemimpinan mereka berbeda, demikian pula dengan pandangan-
pandangan mereka terhadap para sahabat Nabi saw.
331
2 Terkait dengan sosok Abdullah ibn Saba’, terdapat beberapa pendapat dalam referensi Ahlusunnah yang menegaskan keberadaan
dan peran besarnya dalam membidani kelahiran Syi’ah. Dia dituding sebagai aktor intelektual di balik munculnya paham Syi’ah.
332
Namun keberadaan ibn Saba’ ini ditolak keras oleh kalangan Syi’ah,
khususnya keberadaan dan perannya dalam konspirasi politik dengan sahabat Nabi saw.
Al-Sayyid Murtad}a al-‘Askari
333
mengatakan, kisah dan peran ibn Saba’ yang berhasil menghasut kaum muslimin hingga berdampak
pada terbunuhnya khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, dan menyulut api perang antara kelompok Ali dan A’isyah hingga terjadi perang jamal
adalah cerita-cerita palsu yang penuh kebohongan
al-ust}urah al- maud}u’ah. Cerita palsu ini dihembuskan oleh Saif ibn ‘Amr al-
Tamimi w. 170 H yang kemudian tersebar dan diriwayatkan oleh para penulis sejarah.
334
Beberapa ulama Ahlusunnah, seperti Ibnu Hajar al-Asqollani juga mengingkari wujud Abdulah ibn Saba’. Beliau mengatakan,
331
Dalam madzhab Syi’ah terdapat beberapa sekte yang tidak hanya mencaci bahkan mengutuk para khalifah dan mayoritas sahabat keberadaan kelompok
gulat ekstrim ini sebenarnya telah ditentang dan dikecam oleh para imam Syi’ah, namun
sayang ada kelompok-kepompok tertentu yang selalu berupaya menghubung- hubungkan pandangan sekte ghulat ini dengan Syi’ah Imamiyah. Lihat Hashim al-
Musawi, The Shia, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, 72
332
Seperti Abu Bakar Ibn al-‘Arabi, al-‘Awas}im min al-Qawas}m fi Tah}qiq al-
S}uh}bah ba’da wafat al-Nabi Bairut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th, 219.
333
Ahadith Ummi al-Mukminin, 272 dalam As’ad Wah}id al-Qasim, H{aqiqah al-Shi’ah al-Ithna’ashariyah Qum: Barnamij al-Mu’jam al-‘Aqa’idi, 1422 H2001
M, 67-68
334
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh T}aha Husain, al-Fit}nah al-
Kubrah, 64, dan Kamil Mustafa al-Shaibi, al-S}ilah baina al-Tashayyu’ wa al- Tas}awwuf, 33. Quraish Shihab mengatakan, rasanya tidaklah logis seorang Yahudi
dapat mempengaruhi sahabat-sahabat Nabi saw. Tak dapat dibayangkan bahwa tokoh semacam sayyidina Ali ibn Abi T{alib, T{alh}ah, dan Zubair ra. –yang
pengetahuan, keikhlasan, dan kedekatan mereka kepada Nabi saw. sudah umum diketahui- dapat dikelabui oleh seorang Yahudi, sehingga upaya perdamaian mereka
gagal. Karena itu, banyak pakar baik Sunnah, lebih-lebih Syi’ah, yang menolak bukan saja peranan Abdullah ibn Saba’ yang demikian besar, tetapi wujud
pribadinya dalam kenyataan pun mereka sangsikan.
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, 65.
164 Berita-berita tentang Abdullah bin Saba dalam sejarah memang
terkenal, tetapi tidak satupun yang bernilai riwayat.”
335
Saif ibn ‘Amr, pembawa cerita ini, oleh para ulama dikenal sebagai perawi yang banyak dusta
kadhdhab dan dituduh sebagai Zindiq. Abu Daud mengatakan, dia adalah pendusta, riwayatnya tidak
berarti apa-apa. Ibn Abd al-Bar mengatakan, riwayat-riwayat Saif tidak dapat diterima
matruk, al-Nasa’i mengatakan, dia seorang yang dha’if, hadisnya tertolak, dan bukan orang yang jujur. Lebih dari
itu, kisah yang menyebutkan keterlibatan Abdullah ibn Siba’ di balik terbunuhnya khalifah Utsman ibn ‘Affan dan terjadinya perang jamal
merupakan kisah yang diriwayatkan dengan jalur
ahad, yaitu melalui Saif ibn ‘Amr saja, dan dari beliaulah riwayat ini dikutip oleh al-
T{abari, ibn ‘Asakir dan ibn Abi Bakar. Pada tahap berikutnya, para penulis sejarah banyak menukil riwayat ini dari al-T{abari.
336
3 Redaksi Syi’ah yang mengecam sahabat.
337
Tidak dipungkiri bahwa, dalam literatur Syi’ah Imamiyah terdapat redaksi yang bernada kritik bahkan cacian terhadap para
sahabat. Namun, patut disadari bahwa kritik dan cacian ini lebih berupa reaksi dari aksi yang terjadi saat itu.
338
335
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallani, Lisanul Mizan Siriya: Maktab al-
Mat}bu’at al-Islamiyah, 1423 H2002 M, 289.
336
Lihat As’ad Wah}id al-Qasim, H{aqiqah al-Shi’ah al-Ithna’ashariyah, Qum:
Barnamij al-Mu’jam al-‘Aqaidi, 1422 H2001 M, 67-68. Muh}ammad Jawad Mughniyah saat menjelaskan proses tersebarnya madzhab Syi’ah di kalangan
sahabat, beliau mengatakan, terdapat beberapa sahabat yang berjuang menyebarkan semangat cinta terhadap imam Ali ra. Mereka adalah ‘Ammar ibn Yasir di Mesir,
Abi Dzar al-Ghifari di Syam dan sekitarnya, Salman al-Farisi di kota-kota besar seputar Hijaz, Hudzaifah ibn al-Yaman, Ubai ibn Ka’ab dan Jabir ibn Abdullah di
Hijaz, sehingga terdapat ratusan sahabat menjadi Syi’ah Ali. Jika demikian adanya, bagaimana dapat dikatakan bahwa Syi’ah tersebar karena peran Abdullah ibn Saba’?
al-Syi’ah fi al-Mizan, 29.
337
Dari Abi Abdillah berkata
, ﺮﻓﺎﻛ ﻮﻬﻓ ﻪﻠﻫﺃ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ ﻭ ﺔﻣﺎﻣﻹﺍ ﻰﻋﺩﺍ ﻦﻣ
Beliau juga berkata,
ﻡﻮﻳ ﷲﺍ ﻢﻬﻤﻠﻜﻳ ﻻ ﺔﺛﻼﺛ ﻢﻴﻟﺃ ﺏﺍﺬﻋ ﻢﳍ ﻭ ﻢﻬﻴﻛﺰﻳ ﻻ ﻭ ﺔﻣﺎﻴﻘﻟﺍ
: ﷲﺍ ﻦﻣ ﺔﻣﺎﻣﺇ ﻰﻋﺩﺍ ﻦﻣ
ﺎﺒﻴﺼﻧ ﻡﻼﺳﻹﺍ ﰲ ﺎﻤﳍ ﻥﺃ ﻢﻋﺯ ﻦﻣ ﻭ ،ﷲﺍ ﻦﻣ ﺎﻣﺎﻣﺇ ﺪﺤﺟ ﻦﻣ ﻭ ،ﻪﻟ ﺖﺴﻴﻟ
.
338
Perlu diingat, bahwa caci maki bukanlah bagian dari ajaran Syi’ah. Terdapat sekian banyak teks dalam al-Kafi, utamanya pada bab al-Sabb yang
redaksinya mengecam perbuatan caci maki. Adapun makian yang dilakukan oleh
165 Seorang yang berusaha untuk memahami kondisi tersebut
hendaknya mampu mendudukkan dirinya dalam situasi yang terjadi menjelang dan saat terjadinya caci maki itu.
339
Beberapa pakar menyebutkan, bahwa makian secara sistematis bermula pada saat pemerintahan Mu’awiyah, kemudian berpuncak
pada penguasa-penguasa Bani Umayyah sesudahnya, yang menempuh berbagai cara guna mempertahankan kekuasaan, termasuk
menggunakan penafsiran agama.
340
Abdul Halim Mahmud 1910-1978 M mengatakan, ‘ketika pemerintahan Mu’awiyah telah mantap setelah persetujuan yang
terjalin antara dia dengan al-Hasan putra Ali ibn Abi T{alib ra., Mu’awiyah menghendaki untuk memantapkan dalam benak
masyarakat bahwa kekuasaan pemerintahannya terhadap kaum muslimin adalah karena
qad}a‘dan qadar Ilahi. Maka ia menebarkan ide dan menganjurkan paham fatalisme. Dia dan penguasa-penguasa Bani
Umayyah sesudahnya menyebarkan ide ini dengan berbagai cara.’
341
Gambaran yang sama juga disampaikan oleh Ahmad al-Wa’ili, bahwa penindasan dan diskriminasi yang tidak mengenal belas kasih
sekelompok penganut Syi’ah, lebih dikarenakan oleh sikap emosional saat melihat aksi yang dilakukan oleh penguasa dinasti Bani Umayyah terhadap Ahlulbait.
339
Tidak dipungkiri memang, dalam sekte Imamiyah terdapat pula beberapa cacian yang tertuju pada orang-orang tertentu dari sahabat Nabi. Namun hal itu
terjadi karena kondisi pemerintahan saat itu yang dinilai tidak bijaksana dalam memperlaku-kan kelompok Ahlulbait. Pemerintahan Bani Umayah misalnya, para
pemimpin mereka saat berkuasa menganjurkan bahkan mewajibkan cacian dan kutukan terhadap sayidina Ali ra. di atas mimbar-mimbar Jum’at. “Tradisi” ini
berjalan hingga kurang lebih delapan puluh tahun hingga datang masa Umar ibn Abduk Aziz 681-720 M dan melarang para khatib melakukan caci maki itu serta
menggantinya dengan anjuran untuk melakukan kebajikan. Ahmad al-Waili, Huwiyat al-Tashayyu’, 42. Kekejaman yang dirasakan oleh kalangan Ahlulbait
ditambah dengan kekecewaan, bahkan frustasi mereka menghadapi kesemena- menaan penguasa, mengundang sebagian mereka melakukan caci maki danatau
membalasnya. M. Quraish Shihab,
Sunnah-Syi’ah, 163.
340
M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah, 162. Mahmud Jabir juga mengatakan, jika dikaji buku-buku sejarah akan didapatkan bahwa tidak satupun dari kalangan
Syi’ah yang mencaci para sahabat yang hidup pada masa Nabi saw. hingga masa al- khulafa’. Munculnya cacian diawali sejak masa dinasti Bani Umayyah yang
dilakukan oleh para penguasa. Mereka mewajibkan kutukan terhadap imam Ali di atas mimbar-mimbar jum’at. Mahmud Jabir,
Al-Syi’ah al-Judhur wa al-Budhur Qum: Barnamij al-Mu’jam al-‘Aqaidi, 1422 H2001M, 78.
341
Abdul H{alim Mah}mud, al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam 145-146.
166 terhadap kalangan Ahlulbait sudah sampai pada puncak batas
kemanusiaan.
342
Namun bukan berarti bahwa kondisi yang terjadi saat itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk melegalkan sikap caci maki ataupun
membenarkan pelakunya. Karena betapapun kondisinya, caci maki adalah perbuatan tercela, dan kedua belah pihak Ahlusunnah dan
Syi’ah tidak pernah berpendapat bahwa caci maki itu boleh.
Sebagai bukti bahwa caci maki tidak dibenarkan oleh kalangan Syi’ah, dan mereka mengecam pelakunya, dapat dilihat dalam al-Kafi
misalnya. Al-Kulaini meriwayatkan banyak hadis seputar tercelanya orang yang melakukan perbuatan caci maki.
343
Diakui memang, terdapat beberapa redaksi hadis atau riwayat yang bernada cacian, namun mayoritas riwayat itu patut dikaji ulang
sumber dan kualitasnya.
344
Jeneralisasi yang menyatakan bahwa kalangan Syi’ah bersikap anti pati pada mayoritas sahabat dan mencaci mereka tidaklah benar.
Para ulama Syi’ah seperti Kashif al-Ghit}a menyatakan, ‘kami tidak mengatakan bahwa mayoritas sahabat telah melanggar perintah Nabi
saw. dengan mengabaikan petunjuk beliau, sama sekali tidak Kita
342
Ahmad al-Waili, Huwiyat al-Shi’ah, 42-43. Penindasan, pembantaian, per-
lakuan semena-mena, larangan menerima bantuan dari baitul mal, diskriminasi dan ketidak adilan banyak menimpa kalangan Ahlulbait yang berada di Kufa dan kota-
kota lain pada masa pemerintahan Bani Umayah. Bentuk perlakuan Bani Umayah tersebut digambarkan dengan rinci oleh Muhammad ibn Jarir al-T{abari dalam
Tarikh al-Umam wa al-Muluk, juz VI, 344; dan Ali ibn H{usain al-Mas’udi, Muruj
al-Dhahab wa Ma‘adin al-Jauhar Bairut: Dar al-Fikr, cet. V, 1393 H, juz III, 12, 50.
343
Al-Kulaini, al-kafi, bab al-Sibab, hadis nomor 1-9, juz II, 344-346.
Demikian pula dengan literatur sunni, terdapat di dalamnya larangan untuk mencaci maki, seperti dalam shahih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab ma Yunha ‘an al-Sibab,
dan dalam shahih Muslim, kitab al-Iman, bab Qaulu al-Nabi Sibab Muslim fusuq.
344
Riwayat-riwayat itu sebagian besarnya terdapat dalam karya Muhammad Baqir al-Majlisi,
Bih}ar al-Anwar, juz XXX, 384, 399, XXXI, 63, LXIX, 137; Ahmad al-Rah}mani,
Jawahir al-Kalam, juz XXI, 347;, Muhammad Muhsin al-Kashani, Tafsir al-S}afi, juz I, 148; Ali Barwajardi, T{ara’iq al-Maqal, al-Shayikh al-Tat}rih}i,
Majma’ al-Bah}rain, juz I, 233. Kitab-kitab ini berisi ribuan riwayat yang bersumber dari para imam, dan kualitasnya bercampur antara yang maqbul dan yang mardud.
‘Abdul Qadir ‘Abdul S{amad mengatakan, kitab Bihar al-Anwar berisi riwayat- riwayat yang shahih dan tidak shahih, sebagaimana diakui oleh penyusunnya dalam
muqaddimahnya. Dan tujuan dari penyusunan kitab ini sebatas untuk menjaga riwayat-riwayat yang terdapat dalam lembaran-lembaran yang berserakan agar tidak
tercecer dan hilang.
Al-Rad ala Kitab Us}ul Madhhab al-Syi’ah al-Imamiyah, 90.
167 berlindung kepada Allah dari menduga mereka dengan dugaan-dugaan
yang jelek, sedang mereka itu adalah orang-orang terbaik di atas permukaan bumi ketika itu.’
345
Demikian pula dengan pernyataan Jawad Mughniyah yang mengatakan, Tuduhan bahwa Syi’ah memaki
sebagian sahabat, adalah sangkaan yang tidak benar.’
346
Adapun riwayat-riwayat dalam kitab al-Kafi yang dituding mengandung makna cacian, sebenarnya pemahamannya tidak seperti
itu. Dapat dijelaskan bahwa, riwayat yang dikritik al-Qifari bukanlah berisi cacian, namun ancaman. Ancaman bagi siapa saja yang
mangklaim bahwa dirinya adalah imam yang dipilih oleh Allah dengan nash.
347
Jika dikaji lebih jauh, justru yang terdapat dalam al-Kafi adalah riwayat-riwayat yang mengecam orang-orang yang melakukan caci
maki. Namun riwayat-riwayat ini tidak diambil oleh para pengkritik Syi’ah dari kalangan Ahlusunnah termasuk al-Qifari. Bahkan redaksi-
redaksi riwayat ini cenderung diabaikan, terbukti dengan tidak
345
Muh}ammad H{usain Kashif al-Ghita, As}l al-Shi’ah wa Us{uluha, 113.
Dengan demikian dapat difahami bahwa, jika terdapat riwayat-riwayat yang redaksinya mengecam tokoh-tokoh sababat atau ada sekelompok orang yang
mengutuk mereka maka sesungguhnya mereka itu tidak memahami benar tentang Syi’ah.
346
Al-Majalis al-Husainiyah, 145 dalam Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah, 167. Menurut Mahmud Jabir, bahwa munculnya caci maki di kalangan penganut Syi’ah
Imamiyah pada masa belakangan timbul akibat ketertindasan dan diskriminasi yang mereka alami dari pemerintah Bani Umayyah.
Al-Syi’ah al-Judhur wa al-Budhur, 24
.
347
Dari penelusuran peneliti dalam syarh al-Kafi terkait dengan riwayat ini, tidak didapatkan sedikitpun penjelasan yang mengarah pada makna cacian kepada
sahabat, atau kecaman pada para khalifah yang tiga. Karena yang dimaksud dengan kata “tiga” dalam riwayat itu adalah
li-al-jins kelompok atau golongan bukan li-al- ashkhas} individu, sehingga tidak tepat jika redaksi itu diarahkan pada para
khalifah yang tiga Abu Bakar, Umar, dan Usman, ra sebagaimana penafsiran al- Qifari. Lihat juga penjelasan al-Mazandarani dalam
Sharh} Us}ul al-Kafi juz VI, 454- 456. Kecaman dan kutukan terhadap para sahabat dan juga para khalifah banyak di
lakukan oleh kelompok al-Rafidhah. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, Rafidhah adalah salah satu sekte Syi’ah yang lepas tangan dari khalifah Abu Bakar,
Umar dan Utsman serta mayoritas sahabat. Mereka juga mencaci dan mengutuk para sahabat.
T{abaqat al-H{anabilah li-ibn Abi Ya‘la, juz I, 33, dalam Ali Muh}ammad al-S{allabi,
Fikr al-Khawarij wa al-Shi‘ah Aleksandria: Dar al-Iman, 2005 H, 407. Lihat juga penjelasan dan definisi ulama tentang al-Rafidhah dalam
Muhammad Murtad}a al-Zabidi, Taj al-‘Arus, juz V, 24; Abu al-Hasan al-Ash‘ari,
Maqalat al-Islamiyah, juz I, 16; Abu Bakar ibn al-‘Arabi, al-‘Awas}im wa al- Qawas}im, 219; dan ‘Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, 20.
168 ditemukannya riwayat-riwayat tersebut dalam kritik-kritik mereka.
348
Jika saja riwayat-riwayat itu diambil, bisa jadi para pengkritik tersebut akan lebih bijaksana dalam bersikap.
C. Dasar penolakan Syi’ah terhadap konsep ‘adalah sahabat.
Sikap penolakan Syi’ah terhadap riwayat-riwayat sahabat sebenarnya lebih terkait dengan fakta sejarah dan juga beberapa
redaksi ayat al-Qur’an yang dalam pandangan Syi’ah telah memberikan sinyal-sinyal akan kondisi pribadi mereka.
Pendapat dan prinsip Ahlusunnah terkait dengan keadilan sahabat memang amat berseberangan dengan kalangan Syi’ah.
Ahlusunnah –dengan berpegang pada redaksi al-Qur’an dan sunnah-
349
berpendapat bahwa semua sahabat berstatus ‘ udul.
350
Namun pendapat ini ditolak oleh kalangan Syi’ah yang juga berdalil dengan al-Qur’an dan sunnah. Mereka merasa keberatan
dengan jeneralisasi keadilan tersebut. Penolakan itu berdasar pada beberapa redaksi ayat dan juga sejarah yang dalam pandangan Syi’ah
348
Al-Kafi, bab as-sabb, juz II, 344-346, Dalam bab ini terdapat hadis-hadis yang redaksinya berisi ancaman dan kecaman bagi mereka yang mencaci ataupun
mengutuk sesama muslim. Lihat pula bab al-badha‘ berlisan keji, 311. Ada kesan bahwa dalam kritik Ahlusunnah terhadapa Syi’ah –mungkin juga Syi’ah terhadap
Ahlusunnah- cenderung mencari cela untuk menjatuhkan lawan dialognya.
349
Di antara dalil yang digunakan adalah surat al-Fath}, 18:
Dan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shahihnya kitab Fad}ail al-S}ah}abah, bab anna baqai al-nabi amanun li-as}h}abihi, beliau bersabda:
..... ﻲﹺﺑﺎﺤﺻﹶﺄﻟ ﹲﺔﻨﻣﹶﺃ ﺎﻧﹶﺃﻭ ﺪﻋﻮﺗ ﺎﻣ َﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﻰﺗﹶﺃ ﻡﻮﺠﻨﻟﺍ ﺖﺒﻫﹶﺫ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ِﺀﺎﻤﺴﻠﻟ ﹲﺔﻨﻣﹶﺃ ﻡﻮﺠﻨﻟﺍ
ﺖﺒﻫﹶﺫ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ﺎﻣ ﻲﺘﻣﹸﺃ ﻰﺗﹶﺃ ﻲﹺﺑﺎﺤﺻﹶﺃ ﺐﻫﹶﺫ ﺍﹶﺫﹺﺈﹶﻓ ﻲﺘﻣﹸﺄﻟ ﹲﺔﻨﻣﹶﺃ ﻲﹺﺑﺎﺤﺻﹶﺃﻭ ﹶﻥﻭﺪﻋﻮﻳ ﺎﻣ ﻲﹺﺑﺎﺤﺻﹶﺃ ﻰﺗﹶﺃ
ﹶﻥﻭﺪﻋﻮﻳ
350
Menurut Abdul Halim Mahmud, terdapat seratus ribu sahabat Nabi yang ikut bersama beliau ketika melakukan haji wada”. Sepuluh ribu di antara mereka
ditemukan biografinya dalam kitab-kitab sejarah dan ilmu hadis. Kesemua yang disebut itu, dalam pandangan Ahlusunnah memiliki predikat ‘
adalah. Sehingga diakui integritas kepribadiannya. Lihat Abdul Halim Mahmud,
al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967, 55.
169 ayat dan fakta tersebut mengindikasikan adanya cela dan
penyimpangan yang telah dilakukan oleh sebagian sahabat saat itu. Kalangan Syi’ah berpendapat, bahwa dalil yang digunakan
kalangan Ahlusunnah untuk menjustifikasi semua sahabat tidaklah tepat. Sebab pujian Allah dalam surat al-Fath}, 18 tidak tertuju kepada
pribadi-pribadi sahabat secara keseluruhan, tatapi tertuju kepada mereka secara kelompok.
351
Oleh sebab itu ulama Syi’ah seperti Ayatullah Makarim
352
membagi sahabat menjadi lima kelompok sesuai informasi al-Qur’an tentang karakter masyarakat saat itu: 1
al-T}ahirun wa al-S}alihun berhati bersih dan beramal shalih, yaitu mereka kelompok orang-
orang mukmin dan yang ikhlas dalam beramal.
353
2 al-Mudhnibun
min al-mu’minun golongan mukmin yang berdosa, yaitu orang-orang yang mukmin dan beramal shalih namun sesekali tergelincir ke dalam
pelanggaran dan dosa. 3 al-‘Us}ah orang-orang yang melakukan
kemaksiatan, yaitu golongan orang muslim yang sering melakukan kemaksiatan dan dosa.
354
4 al-Mutaz}ahirun bi-al-Islam muslim yang
belum sempurna keimanannnya, yaitu orang-orang yang telah mengaku Islam namun keimanan belum masuk ke hati mereka.
355
5 al-Munafiqun, yaitu golongan orang-orang munafik yang hidup
bersama komunitas muslim. Sebagian dari mereka sudah dikenal kepribadiannya dan sebagian lagi belum dikenal, dan mereka itu tidak
memiliki peran sama sekali dalam perjuangan Islam.
356
Keberatan kalangan Syi’ah atas jeneralisasi tersebut juga merujuk pada informasi al-Qur’an, di antaranya adalah ayat 101 dari
surat al-Taubah. Dalam pandangan Syi’ah, ayat ini menunjukkan kondisi
sebagian sahabat Nabi yang menyembunyikan karakter nifaq dalam hati mereka hingga Allah swt. menyingkap kedok dan tabir kepalsuan
mereka.
351
Makarim al-Shirazi, al-Shi’ah Shubuhat wa Rudud Qum: Sulaimanzadah,
1428 H, 47-48, 53. Pendapat senada juga disampaikan oleh Mahmud Abu Rayyah, Ad}wa’ ‘ala al-Sunnah al-Muh}ammadiyah Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th, 353-356
352
Makarim al-Shirazi, al-Shi’ah Shubuhat wa Rudud, 55-56. Lihat juga
pendapat Ali al-Husaini al-Mailani, al-S}ah}abah Qum: Markaz al-Abh}ath al-
‘Aqaidiyah, 1412 H, 32-32.
353
Seperti dalam surat al-Taubah, 100.
354
Seperti dalam surat al-Hujurat, 6
355
Seperti dalam surat al-Hujurat, 14
356
Seperti dalam surat al-Taubah, 101.
170 Namun dalam penafsiran Ahlusunnah, ayat ini sangat jelas
menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang munafik, yaitu orang-orang Baduwi yang berdiam di sekitar Madinah dan juga di
antara penduduk Madinah.
Lagi pula dalam terminologi Ahlusunnah sepakat mengatakan, bahwa orang-orang munafik, siapapun dia, tidak dapat dikategorikan
sebagai bagian dari sahabat.
357
1 Surat al-‘Imran 155:
Ayat di atas menggambarkan sikap sahabat saat berada dalam
peperangan, dimana mereka lari dari medan perang, padahal sikap itu masuk dalam kategori dosa besar. Al-T}abat}abai mengomentari ayat
ini dengan mengatakan, “ini adalah kelompok lain dari kalangan orang-orang mukmin, dan mereka bukan golongan munafiqin. Mereka
adalah kelompok yang tergoda oleh bisikan syetan dan mencari kepuasan diri.
358
Diakui memang bahwa hal itu terjadi pada beberapa sahabat yang meninggalkan medan perang saat perang Uhud 2 H, namun hal
tersebut tidak mengurangai kredibilitas sahabat sebagai perawi hadis. Apa yang dilakukan sahabat itu adalah manusiawi, terjadi karena
godaan syetan. Oleh sebab itu, pada ayat berikutnya Allah swt. memberikan toleransi atas kejadian tersebut dan memberikan
ampunan atas kesalahan yang telah terjadi saat itu dengan firman- Nya:
.
359
2 surat al-Hujurat 6
360
:
357
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Az}im, juz II, 506.
358
Al-T}abat}aba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz IX, 309-310.
359
Muh}ammad ibn Ah}mad al-Ans}ari al-T}abari, al-Jami’ li-Ah}kam al-Qur’an
Bairut: Dar Ih}ya’ al-Turath, 1405 H1985 M, juz IV, 243-244. Ibn Kathir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Az}im, juz I 555-556.
360
171 Ayat ini turun pada seorang sahabat yang bernama al-Walid ibn
‘Uqbah, saat diutus oleh Nabi saw. ke suku Bani al-Mus}t}aliq untuk menagih zakat, tidak lama kemudian dia kembali dan mengatakan
pada Nabi saw. bahwa Bani al-Mus}t}aliq menolak untuk memberikan zakat dan telah murtad, sehingga Nabi saw mengumpulkan para
sahabat dan bermaksud untuk memerangi mereka. Lalu turunlah ayat yang menjelas-kan bahwa al-Walid telah dusta dalam informasinya,
dan dia dijuluki oleh al-Qur’an dengan kata “fasik”.
361
Dalam pandangan sementara ulama Syi’ah, bahwa keberadaan orang fasik di kalangan sahabat membuktikan bahwa konsep
jeneralisasi terhadap keadilan semua sahabat tidaklah berlaku, karena orang yang fasik prilakunya tidak dapat dikatakan sebagai sosok yang
adil. Dengan demikian, konsep tersebut layak untuk ditinjau kembali.
362
3 Surat al-Taubah 58
363
: Dalam ayat ini digambarkan bahwa ada sahabat yang berpaling
dari Nabi saw. saat pembagian zakat dan menuduh bahwa beliau tidak adil dalam pembagian. Sikap semacam ini dinilai oleh kalangan Syi’ah
tidak layak dilakukan oleh seorang sahabat, apalagi jika prilaku itu ditujukan kepada Nabi saw.
Namun dalam penafsiran Ahlusunnah, yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah sahabat dalam terminologi Ahlusunnah, karena
361
Abi Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-T}usi, al-T}ibyan fi Tafsir al-Qur’an
Qum: Maktab al-I’lam al-Islami, 1409 H, juz IX, 343-344; Ibn Kathir, Tafsir al-
Qur’an al-‘Az}im, juz IV 266.
362
Makarim al-Shirazi, al-Shi’ah Shubuhat wa Rudud, 53-55.
363
172 makna dari
dhamir “hum” dalam ayat ini adalah orang-orang munafik, dan orang munafik tidak termasuk dalam golongan sahabat.
364
4 Surat al-Ahzab, 13
:
Dalam ayat ini disinggung adanya orang-orang yang enggan
melakukan peperangan dan berusaha mengendorkan semangat sebagian pasukan yang lain, padahal mereka itu adalah sahabat yang
diajak oleh Nabi untuk berperang.
365
Namun sekali lagi, bahwa pandangan ini tidak tepat jika dilihat dari sudut pandang Ahlusunnah, karena mereka pada hakikatnya
bukanlah sahabat, tapi orang-orang munafik sebagaimana jelas disebutkan dalam ayat sebelumnya.
366
Sudut pandang yang berbeda dalam memahami definisi sahabat memicu perdebatan dan polemik di antara Ahlusunnah dan Syi’ah.
Terlebih lagi jika masuk dalam stetmen keadilan sahabat dalam fersi Ahlusunnah.
Dalam pandangan peneliti, kelompok Syi’ah kurang jeli dalam memahami definisi adil bagi sahabat, dan ini memicu banyak
keberatan atas jeneralisasi keadilan sahabat tersebut. Mereka cenderung menyamakan antara makna
‘udul dan ‘is}mah. Sahabat yang berstatus adil tidak boleh melakukan kesalahan
dalam aktifitas keberagamaannya, apalagi melakukan perbuatan dosa. Pandangan semacam ini nampak jelas dari dalil dan argumen yang
364
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Az}im , juz II, 478-479. Muhammad ibn
Jarir al-T{abari memaparkan beberapa riwayat terkait sabab nuzul ayat ini, di antaranya riwayat dari Qatadah yang menginformasikan bahwa orang tersebut
adalah seorang Baduwi yang diragukan keikhlasan islamnya, ia menebarkan fitnah di kalangan umat Islam. Nabi saw. berpesan pada para sahabatnya agar berhati-hati
dari orang tersebut dan yang sekarakter dengannya.
Jami’ al-Bayan Bairut: Dar al- Fikr, 1415 H1995 M, Jux X, 201-202.
365
Makarim al-Shirazi, al-Shi’ah Shubuhat wa Rudud, 52.
366
Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan, juz XXI, 163-164; Ibn kathir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Az}im, III625. Mereka banu Haritsah, seorang bernama Aus ibn Qaid}i
173 dipaparkan oleh kalangan Syi’ah, baik yang bersumber dari al-Qur’an
maupun dari hadis dan sejarah.
367
Padahal dalam pandangan Ahlusunnah, keadilan sahabat bukan berarti bahwa mereka terbebas dari perbuatan salah dan dosa. Adil
bukan berarti maksum yang menjadikan seseorang terhindar sama sekali dari perbuatan salah dan dosa. Dalam kapasitas sahabat sebagai
manusia biasa, kesalahan dan dosa bisa saja terjadi, dan itu dapat dilihat dalam sejarah kehidupan mereka. Namun, hal itu dalam
pandangan Ahlusunnah tidak berdampak pada status keadilan mereka.
Must}afa al-Siba’i mengatakan, Ahlusunnah berpendapat bahwa seluruh sahabat Nabi, tanpa terkecuali, memiliki sifat
‘adalah, yakni memiliki integritas pribadi sehingga mereka tidak mungkin berbohong
dengan mengatasnamakan Nabi saw.
368
Ahmad Ali al-Imam menambahkan, keadilan sahabat yang disampaikan oleh ulama Ahlusunnah bukanlah berarti mereka
terhindar dari segala bentuk kesalahan dan dosa ma’s}um, namun
yang dimaksud adalah mereka terhindar dari perbuatan yang menjurus pada kefasikan dan dusta kepada Allah saw. dan Rasul-Nya saw.,
369
serta kiranya kita dapat menerima riwayat mereka tanpa proses seleksi yang ketat
min ghairi takallufi bah}thin atau mencari sebab- sebab keadilannya
al-bah}thu ‘an asbabi al-‘adalah, kecuali jika diketahui mereka melakukan pelanggaran yang menyebabkan
cacatnya moral irtikabu qadih}in, namun –alhamdulillah- hal itu tidak
terjadi.
370
Jika dicermati lebih dalam, dapat disimpulkan bahwa dua sudut pandang yang cenderung berbeda ini nampaknya tidak mudah untuk
disatukan. Tiap kelompok memiliki argumen dan penafsiran sendiri- sendiri terhadap teks dan tragedi sejarah yang berlalu.
367
Lihat misalnya Hasan ibn Farh}an al-Maliki, al-S{uh}bah wa al-S}ah}abah,
Qum: Barnamij al-Mu’jam al-‘Aqaidi, 1422 H2001 M; Tim Markaz al-Risalah, al-
S}uh}bah fi al-Qur’an wa al-Sunnah wa al-Tarikh, Qum: Markaz al-Risalah, 1419 H, 22-23. Ahmad Husain Ya’qub,
Naz}ariyat ‘Adalah al-S}ah}abah Qum: Muassasah Ans}ariyah li-al-T{iba’ah wa al-Nashr, 1417 H1996 M, 72.
368
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tashri’ al-Islami, 125.
369
Ahmad Ali al-Imam, al-S}ah}bah wa al-S}a}h}bah t.tp, Risalah Silsilah
Tashiliyah, edisi ke- 214, 1427 H2006 M, 48; al-Suyut}i, Tadrib al-Rawi, juz II,
214-215.
370
Ibn al-Anbari dalam Muhammad ibn Alwi al-Maliki al-H{asani, al-Manhal
al-Lat}if fi Us}ul al-H{adith al-Sharif t.tp, cet. V, 1410 H1990 M, h. 185; ibn al- Anbari dalam al-Suyut}i,
Tadrib al-Rawi, juz II, h. 215.
174 Pendefinisian sahabat yang cenderung umum dan longgar di
kalangan Ahlusunnah tidak serta merta diterima oleh kalangan Syi’ah. Kelompok Syi’ah Ithna‘ashariyah cenderung selektif dan berhati-hati
dalam pendefinisian sahabat. Oleh sebab itu, mereka tidak memasukkan siapa pun yang mereka nilai telah melanggar norma-
norma agama.
Bahkan menurut mereka, kita tidak perlu menutup-nutupi atau mencarikan pembenaran atas kesalahan, apalagi kedurhakaan dan
penyimpangan orang-orang yang pernah hidup bersama Nabi saw., sekalipun mereka mengaku muslim.
371
Oleh sebab itu, setelah wafatnya Rasulullah saw., kalangan Ahlulbait baca: Syi’ah tidak mengambil hadis dari semua sahabat
sebagaimana Ahlusunnah. Al-‘Askari mengatakan, “pengikut- pengikut Ahlulbait tidak mengambil riwayat-riwayat yang berasal
dari orang-orang semacam Marwan, Abdullah ibn Zubair, yang keduanya telah memerangi Ali dalam perang Jamal, tidak juga
Mu’awiyah dan ‘Amr ibn ‘As} dimana keduanya telah memerangi Ali pada perang S{affain, dan tidak juga pada Dhul Khuwais}rah dan
Abdullah ibn Wahab yang keduanya telah memerangi beliau pada perang Nahrawan.”
372
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, ditemukan juga bahwa sikap keberatan terhadap jeneralisasi keadilan bagi semua sahabat sebagai-
mana disampaikan oleh kelompok Syi’ah, sebenarnya didapatkan juga dalam pendapat beberapa ulama Ahlusunnah. Al-Mazuri misalnya,
mengatakan bahwa “bukanlah yang dimaksud dengan keadilan sahabat itu mereka yang melihat Nabi sekejap atau sesekali
berkunjung atau berkumpul karena ada keperluan lalu menghilang, namun yang dimaksud dengan sahabat yang adil itu adalah mereka
yang kontinyu bersama Nabi, berjuang dan berkorban demi Nabi saw.”
373
371
Hasan ibn Farh}an al-Maliki, al-S{uh}bah wa al-S}ah}abah, 35.
372
Murtad{a al-‘Askari, Ma’alim al-Madrasatain Teheran: Muassasah al-
Bi’thah, 1405 H, juz II, 38-39.
373
Al-Mazuri dalam Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi,
juz II, 215-216. Namun, pendapat ini dinilai
gharib oleh al-‘Ala’i karena tidak sejalan dengan pendapat jumhur ulama Ahlusunnah. Selain al-Mazuri, terdapat pula pendapat-
pendapat lain seputar maksud dari definisi sahabat yang adil. Ada pendapat yang mengatakan, 1 bahwa sahabat semua adil kecuali mereka yang terlibat dalam
konflik internal, 2 semua sahabat adil kecuali setelah terjadinya pertikaian dalam tubuh sahabat, 3 semua sahabat adil kecuali yang memerangi kelompok Ali r.a., 4
175 Ibn al-Wazir dan al-Amir al-S{an’ani juga menjelaskan bahwa
jeneralisasi keadilan sahabat ini sebenarnya masih terdapat perkecualian, yaitu mereka yang disebutkan kefasikannya secara jelas
oleh nash. Hanya saja, secara umum jumlah itu amat sedikit sehingga perkecualian itu tidak banyak disinggung saat dikatakan bahwa semua
sahabat adil.
374
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendefinisian keadilan sahabat, secara umum masih terdapat silang pendapat di
antara para ulama, baik dalam kalangan Syi’ah maupun Ahlusunnah. Pendefinisian itu tidak lepas dari ijtihad dengan berdalih pada redaksi
ayat, hadis dan juga fakta sejarah. Dalam berdalih pun, satu sama lain memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memaknai teks dan
sejarah tersebut.
5.3 Hadis-Hadis Rukun Iman Rukun iman dalam pandangan Ahlusunnah berbeda dengan
rukun iman yang terdapat dalam mazhab Syi’ah Imamiyah dari aspek jumlah dan redaksinya. Rukun iman dalam pandangan Ahlusunnah
mencakup enam point, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir dan Takdir.
375
Sedangkan dalam pandangan Syi’ah.
semua sahabat adil kecuali yang terlibat dalam bunuh membunuh dalam konflik perang internal umat Islam saat itu. Semua pendapat ini terdapat dalam kelompok
Ahlusunnah, hanya saja pendapat-pendapat ini dinilai tidak tepat karena tidak sejalan dengan citra mulia sahabat, dan berdalih dengan
husnu al-z}an bahwa konflik dan pertikaian yang terjadi pada masa sahabat itu tidak lepas dari ijtihad, yang
benar dapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala. Lihat al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, juz II, 214. Pendapat ini dibantah keras oleh kalangan Syi’ah,
bagaimana dapat dikatakan ijtihad yang berpahala sedangkan konflik itu menelan banyak korban demi mempertahankan kedudukan dan mendapatkan kekuasaan?
Apakah mereka yang terlibat dalam perang hingga terbunuh ratusan bahkan ribuan nyawa sahabat dapat dikatakan berpahala karena salah dalam berijtihad? Akal yang
mana dapat menerima logika ini? Lihat antara lain Makarim al-Shirazi,
al-Shi’ah Shubuhat wa Rudud, 61-62.
374
Jalaluddin al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, juz II, 216
375
Rukun iman yang enam ini berdasar pada hadis riwayat imam al-Bukhari dari sahabat Umar ibn Khattab ra. yang menceritakan kedatangan seorang yang
tidak dikenal dan bertanya kepada Nabi saw. tentang Islam, Iman, dan Ihsan, serta kiamat beserta tanda-tandanya. Dalam menjawab pertanyaan tentang iman tersebut,
Nabi saw. menyebut enam poin di atas yaitu: iman kepada Allah, Malaikat, Kitab- kitab Suci, Rasul, Hari Kiamat, dan Takdir atau Qadha’ dan Qadar.
176 rukun iman bertumpu pada empat rukun, yaitu Tauhid Keesaan
Tuhan, Kenabian, Hari Kemudian al-ma’ad dan Imamah
376
Perbedaan ini mendapat sorotan dan kritik dari al-Qifari, terutama terkait dengan riwayat-riwayat seputar penjelasan dan
penjabaran dari rukun iman tersebut. Beberapa kritik beliau tersebut di antaranya:
1 Adanya kewajiban untuk meyakini imamah dalam Rukun Iman merupakan kesesatan dan kebatilan mazhab Syi’ah, dan ini merupakan
sikap mengada-ada dalam urusan agama.
377
sikap al-Qifari ini berdasar pada ucapan Muhammad Jawad al-‘Amili yang mengatakan, “Iman –
dalam pandangan kami- dapat terbentuk dengan adanya pengakuan terhadap dua belas imam.
378
Demkian pula dengan apa yang dikatakan oleh Amir Muhammad al-Quzwaini, “Barang siapa mengkufuri tidak
percaya dengan keimamahan Ali, maka sungguh telah gugur iman dan amalnya dari dirinya.
379
2 Iman terhadap kitab ternyata tidak hanya kepada al-Qur’an, tetapi juga iman kepada mushaf Fatimah.
380
376
Kashif al-Ghita`, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 210
377
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Shi‘ah, juz II, 574. Beliau mengatakan,
sesung-guhnya memasukkan masalah imamah dalam butir Rukun Iman merupakan salah satu bentuk kesesatan madzhab Syi’ah. Jika ditelusuri, didapatkan bahwa
kritik al-Qifari ini sebenarnya bersumber dari kritik ibn Taimiyah yang tertera dalam
Minhaj al-Sunnah, juz I, 20.
378
Muhammad Jawad al-‘Amili, Minhaj al-Karamah fi ma‘rifat al-Imamah
Qum: al-Hadiy, juz II, 80.
379
Amir Muhammad al-Quzwaini, al-Shi‘ah fi ‘Aqa’idihim wa Ah}kamihim ,
24.
380
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Shi’ah, juz II, 587. Dalam pengamatan al-
Qifari dikatakan, bahwa kalangan Syi’ah meyakini adanya mushaf Fatimah yang disinyalir mushaf itu turun kepada Fatimah setelah wafatnya Nabi saw., dan turun
layaknya wahyu. beliau bersandar pada riwayat al-Kulaini dalam al-Kafi, juz I, 296,
dan Bih}ar al-Anwar, juz XXVI, 44 yang berbunyi:
ﻦﻋ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﰊﺃ
... ﻝﺎﻗ ؟ﺔﻤﻃﺎﻓ ﻒﺤﺼﻣ ﺎﻣ ﻢﻬﻳﺭﺪﻳ ﺎﻣﻭ ،ﺔﻤﻃﺎﻓ ﻒﺤﺼﳌ ﺎﻧﺪﻨﻋ ﻥﺇ ﻭ
: ﺖﻠﻗ
: ﻝﺎﻗ ؟ﺔﻤﻃﺎﻓ ﻒﺤﺼﻣ ﺎﻣﻭ
: ﻦﻣ ﻪﻴﻓ ﺎﻣ ﷲﺍ ﻭ ،ﺕﺍﺮﻣ ﺙﻼﺛ ﺍﺬﻫ ﻢﻜﻧﺁﺮﻗ ﻞﺜﻣ ﻪﻴﻓ ﻒﺠﺼﻣ
ﻝﺎﻗ ،ﺪﺣﻭ ﻑﺮﺣ ﻢﻜﻧﺁﺮﻗ :
ﺖﻠﻗ :
ﻫ ﺬ
ﷲﺍ ﻭ ﺍ ﻝﺎﻗ ،ﻢﻠﻌﻟﺍ
: ﻢﻠﻌﻟ ﻪﻧﺇ
.
Demikian pula dengan kitab yang dimiliki oleh para imam yang berisi berbagai ilmu pengetahuan, baik yang dhahir maupun yang batin.
ﻪﻧﺃ ﺮﻔﻌﺟ ﰊﺃ ﻦﻋ ﻝﺎﻗ
: ﺀﺎﻴﺻﻭﻷﺍ ﲑﻏ ﻪﻨﻃﺎﺑ ﻭ ﻩﺮﻫﺎﻇ ﻪﻠﻛ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﻊﻴﲨ ﻩﺪﻨﻋ ﻥﺃ ﻲﻋﺪﻳ ﻥﺃ ﺪﺣﺃ ﻊﻴﻄﺘﺴﻳ ﺎﻣ
.
Al- Kafi, juz I, 283.
177 3 Dalam iman dengan hari akhir, terdapat kemungkaran-
kemungkaran seperti pemaknaan hari akhir dengan raj’ah, dan ketentuan hari akhir berada di tangan para imam.
381
Ini beberapa hal yang dikritisi oleh al-Qifari terkait dengan rukun iman dalam pandangan Syi’ah.
Memang diakui bahwa Rukun Iman dalam perspektif Syi’ah memiliki perbedaan dari sisi jumlah dan redaksinya. Namun bukan
berarti bahwa perbedaan atau pengurangan ini mengandung arti pengingkaran terhadap salah satu rukun yang tidak tertera dalam
redaksi Rukun Iman Syi’ah, sebagaimana Ahlusunnah juga tidak mengingkari kebenaran makna dari butir
al-‘Adl yang terdapat dalam rukun iman Syi’ah.
382
Lebih jauh al-Ghita` menjelaskan, bahwa agama pada dasarnya adalah keyakinan dan amal perbuatan yang berkisar pada: 1
pengetahuan atau keyakinan tentang Pencipta ma’rifat al-Khaliq, 2
pengetahuan atau keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan ma’rifat al-muballigh, 3 pengetahuan tentang peribadatan ma’rifat
ma ta’abbada bihi wa al-‘amal bihi, 4 melakukan kebajikan dan menolak keburukan
al-akhdhu bi al-fad}ilah wa rafd}u al-radhilah, dan 5 keyakinan dengan hari kiamat dan segala rinciannya
al-i’tiqad bi- al-ma’ad wa al-dainunah.
Adapun Islam dan Iman dalam pandangan beliau adalah sinonim, di mana kedua hal tersebut tercakup di dalamnya pengetahuan
‘ilm dan pengamalan
‘amal. Islam dan iman secara umum bertumpu pada tiga rukun yaitu:
Tauhid, Kenabian, dan Hari Kemudian. Jika seseorang mengingkari
381
Al-Qifari, Us}ul Madhhab al-Shi’ah, juz II, 629-630. Dalam bab ini,
terdapat beberapa riwayat yang dikutip oleh al-Qifari dari beberapa referensi Syi’ah tentang keutamaan dan fasilitas yang diberikan kepada para imam kelak hari
kiamat, seperti:
ﻀﻳ ،ﻡﺎﻣﻺﻟ ﺓﺮﺧﻷﺍ ﷲﺍ ﻦﻣ ﻚﻟﺫ ﻪﻟ ﺰﺋﺎﺟ ﺀﺎﺸﻳ ﻦﻣ ﱄﺇ ﺎﻬﻌﻓﺪﻳ ﻭ ﺀﺎﺸﻳ ﺚﻴﺣ ﺎﻬﻌ
.
382
Kashif al-Ghita, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 229. Dalam literatur Syi’ah,
peneliti mendapatkan perbedaan ulama dalam merumuskan rukun Iman. ada yang mengatakan tiga, empat ada pula yang mengatakan lima, yaitu: Tauhid, Nubuwah,
al-‘Adl, al-Ma‘ad, dan al-Imamah. Perbedaan itu dipicu oleh sudut pandang yang berbeda dalam merumuskan teks-teks ayat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang
iman. Emilia Remita,
Arba‘una Shubhah h}aula al-Shi‘ah t.tt. Ijabi: 2009, 43. Istilah iman sendiri sebenarnya tidak banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah.
Mereka cenderung menggunakan istilah ushuluddin atau ushul madzhab, bukan Rukun Iman atau Rukun Islam.
178 salah satu dari butir-butir ini maka dia bukan termasuk muslim dan
juga bukan mukmin.
383
Adapun secara khusus, Iman dan Islam bertumpu pada tiga butir di atas dan ditambah satu lagi yaitu
al-‘amal atau beramal dengan fondasi-fondasi yang atasnya Islam dibangun, yaitu: Shalat, Puasa,
Zakat, Haji, dan Jihad. Dengan demikian, semua ayat dalam al-Qur’an yang menyebut
butir-butir iman dengan redaksi iman kepada Allah, Rasul, dan Hari Akhir maksudnya adalah Iman dan Islam dengan makna umum.
Sedangkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang rincian amal shaleh, masuk dalam pengertian Iman dan Islam dengan makna khusus.
384
Dalam pandangan jumhur ulama, butir-butir Iman dan Islam sebagaimana disebut di atas, disepakati keberadaannya. Hanya saja,
kalangan Syi’ah menambahkan satu butir lagi yaitu keyakinan atau iman kepada imam
al-i’tiqad bi-al-imamah.
385
Namun menurut Jawad Mughniyah, keyakinan terhadap imamah bukanlah termasuk dalam dasar atau fondasi Islam
al-as}l min us}ul al- din. Sehingga, mereka yang megingkari atau tidak percaya dengan
butir imamah dalam rukun iman, dia tetap dikatakan sebagai muslim, hanya saja bukan muslim Syi’ah.
386
383
Muhammad Jawad Mughniyah mengistilahkan tiga butir itu dengan us}ul
al-din atau da‘a’im al-din tonggak atau fondasi agama, barang siapa yang mengingkari salah satu dari tiga tonggak tersebut maka dia bukan termasuk muslim,
bukan muslim sunni juga bukan muslim shi‘i. Lihat rinciannya dalam al-Shi‘ah fi al-
Mizan, 267.
384
Kashif al-Ghita, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 210-211, Syarif al-Murtad{a,
Nahj al-Balaghah, Bairut: Dar al-Kitab al-Libnani, 1387 H, juz III, 203
385
Yaitu keyakinan bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari
Tuhan mans}ab ilahi sebagaimana kenabian yang juga bersumber dari Tuhan.
Kashif al-Ghita, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 211. Adapun dalil serta argumen yang
dijadikan sebagai sandaran dalam masalah imamah dapat dilihat dalam sub bahasan tentang imamah dalam bab ini.
386
Beliau menjelaskan perbedaan antara us}ul al-din dasar-dasar agama dan
furu‘ al-din cabang agama. Dasar-dasar agama adalah sesuatu yang harus diyakini oleh setiap muslim, jika tidak, maka dia dinyatakan keluar dari agama. Demikian
pula dengan cabang agama, jika seseorang tahu bahwa itu adalah bagian dari ajaran agama, lalu diingkari maka dia dinyatakan keluar dari agama
ghairu muslim. Namun jika pengingkarannya itu bersumber dari ketidaktahuan, maka dia tetap
dikatakan sebagai muslim, selama dia yakin dengan kenabian. Nah, imamah bukan dari bagian
us}ul al-din dasar-dasar agama tapi bagian dari us{ul al-madhhab, sehingga jika ada yang mengingkari butir imamah, dia tatap dikatakan muslim,
hanya saja bukan muslim Syi’ah, karena muslim Syi’ah adalah mereka yang
179 Jika ditelusuri lebih lanjut, akan didapatkan bahwa, Syi’ah
Itsna’asyariyah tidak menyebut butir-butir kepercayaan kepada Malaikat, Kitab-Kitab, dan para Rasul -yang merupakan bagian dari
rukun iman dalam pandangan Ahlusunnah- sebagai ushuluddin. Demikian pula dengan Rukun Islam, Syiah tidak memasukkan
syahadat ke dalam bagian rukun Islam yang lima, namun menggantinya dengan jihad, yang itu tidak terdapat dalam Rukun
Islam yang diyakini Ahlusunnah.
Namun demikian, bukan berarti bahwa Syi’ah tidak percaya dengan wujud dan peran malaikat, demikian pula dengan iman kepada
Rasul dan kitab. M. Quraish Shihab mengatakan, mereka mempercayai hal-hal yang dinamai Rukun Iman oleh Ahlusunnah,
hanya saja mereka tidak menyebutnya secara eksplisit. Tidak disebutkannya butir-butir seperti iman kepada Malaikat dan Rasul
dalam Rukun Iman, hal itu karena dalam pandangan Syi’ah bahwa butir-butir itu sudah masuk dalam Rukun Iman yang kedua yaitu
keyakinan tentang yang menyampaikan dari Tuhan, dan masuk di dalamnya juga wahyu yang disampaikan kitab.
387
Demikian pula dengan butir-butir Rukun Iman yang tidak disebutkan dalam Rukun Iman Ahlusunnah seperti ibadah dan budi
pekerti bukan berarti Ahlusunnah tidak meyakini urgensi butir tersebut, namun mereka meletakkannya di tempat lain.
388
Demikian pula dengan butir al-‘adl, sekalipun butir ini tidak
terdapat dalam Rukun Iman Ahlusunnah, namun bukan berarti bahwa mereka tidak mempercayai dengan keadilan Allah.
Butir keadilan Tuhan al-‘adl sebenarnya bukan termasuk dalam
us}ul al-din, tapi lebih terkait dengan ushul mazhab. Tidak berdosa orang yang mengingkari keberadaannya dalam Rukun Iman dan juga
tidak berkurang kualitas keberagamaannya dalam Islam, selama dia
meyakini imamah sebagai salah satu usul madzhabnya. Jawad Mughniyah, al-Shi‘ah
fi al-Mizan, 268-269.
387
M. Quraish Shihab, Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan, 88.
388
Menurut Muhammad ibn Ali al-H{arithi w. 386 H, Rukun Iman dala Ahlusunnah bukan tiga atau enam, tapi tujuh. Dengan rincian enam butir
sebagaimana diyakini Ahlusunnah ditambah dengan satu butir lagi, yaitu iman dengan adanya sorga dan neraka. Ali ibn Ali ibn abi al-‘Iz al-Dimshaqi,
Sharh} al- ‘Aqidah al-T{ah}awiyah Bairut: Muassasah al-Risalah, 1408 H1988 M
180 yakin bahwa sifat itu merupakan salah satu sifat wajib bagi Allah
swt.
389
Ini beberapa pemahaman dan penjelasan seputar perbedaan yang terjadi antara Ahlusunnah dan Syi’ah dalam masalah Rukun Iman
yang terdapat dalam literatur Syi’ah. Adapun kritik al-Qifari terkait riwayat-riwayat Rukun Iman dapat dijelaskan sebagai berikut:
1 Terkait dengan tuduhan bahwa keyakinan terhadap imamah merupakan kesesatan dan kebatilan, nampaknya tidak tepat. Karena
telah dijelaskan bahwa iman kepada butir imamah dalam Rukun Iman bukan termasuk ushuluddin atau fondasi dan dasar agama, tapi lebih
merupakan usul madzhab. Bagi yang tidak mengimani butir ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap kualitas keimanan seseorang
dalam agama. Yang tidak mempercayai butir imamah berarti dia muslim Sunni, dan bagi yang mempercayai berarti dia muslim Syi’i,
tidak lebih dari itu.
2 Terkait dengan keimanan terhadap kitab, sudah dijelaskan pada sub sebelumnya, bahwa butir ini inklut di dalam iman kepada
utusan Allah. Adapun pernyataan yang mengatakan bahwa iman kepada kitab berarti iman kepada mushaf Fatimah, ini tidak tepat.
Beberapa riwayat dalam referensi Syi’ah menyebutkan bahwa maksud dari mushaf Fatimah adalah buku atau lembaran-lembaran yang di
dalamnya terdapat informasi-informasi agama dan hal-hal yang sedang dan akan terjadi
al-h}awadith al-kainah,
390
dan sebagian
389
Adanya pembahasan tentang keadilan Tuhan dalam ilmu kalam, lebih dipicu oleh perdebatan madzhab, antara Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah. Tiga
kelompok ini sepakat bahwa Allah bersifat adil, hanya saja mereka berselisih pendapat, apakah keadilan Allah itu bersumber dari logika atau syariat? Asy’ariyah
berpendapat bahwa keadilan Allah itu ditetapkan berdasarkan syariat, namun Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa sifat itu ditetapkan berdasarkan logika,
adapun syariat dalam hal ini berperan sebagai penegas dan pemberi petunjuk. Oleh sebab itu, Syi’ah dan Mu’tazilah –karena begitu urgennya sifat ini- mereka
menetapkannya dalam ushul mazhab mereka, dan tidak demikian dengan Ahlusunnah, sekalipun Ahlusunnah meyakini sifat keadilan Allah. Kashif al-Ghita,
As}l al-Shi‘ah wa Us}uluha, 229-230. Demikian pula dengan keyakinan Mu’tazilah dengan konsep
al-manzilah baina manzilatain yang termasuk dalam ushul madzhab Mu’tazilah, namun tidak diyakini oleh Ahlusunnah dan Syi’ah. Sebaliknya, Syi’ah
meyakini imamah sebagai ushul madzhab mereka, namun butir ini tidak diyakini oleh Ahlusunnah dan Mu’tazilah. Dengan demikian, menurut hemat peneliti, jika
permasalahan ini dapat difahami dengan benar dan bijak, maka tidak akan terjadi saling tuding apalagi saling menyalahkan dan menyesatkan.
390
Murtad}a al’Askari, Ma’alim al-Madrasatain, Juz II, 312.
181 riwayat menyebutkan bahwa di dalamnya juga terdapat prediksi
kejadian-kejadian yang akan datang.
391
Dalam riwayat lain juga ditegaskan, bahwa mushaf Fatimah bukankah al-Qur’an,
392
sekalipun menggunakan istilah “mushaf”. Dalam referensi Syi’ah dinyatakan bahwa mushaf ini berisi
percakapan Jibril dengan Fatimah al-Zahra’ yang di antaranya berisi berita gembira tentang kedudukan yang telah diperoleh ayahnya
setelah wafatnya, dan percakapan itu ditulis oleh imam Ali.
393
3 Demikian pula dengan beberapa riwayat yang menyinggung masalah raj’ah yang terjadi sebelum terjadinya kiamat.
394
Hal itu dapat dijelaskan bahwa, konsep raj’ah bukanlah bagian dari
ushuluddin, atau tidak sama tingkatnya dengan keyakinan akan datangnya hari kiamat itu sendiri, sekalipun banyak riwayat yang
391
Al-Kulaini, Us}ul al-Kafi, juz I, 295. Dalam halaman yang sama,
Muhammad Ja’far Syamsuddin, editor kitab al-Kafi mengomentari, bahwa mushaf Fatimah hanya berisi kabar berita
al-akhbar sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat yang lain.
392
Murtad}a al’Askari, Ma’alim al-Madrasatain, Juz II, 312
393
Al-Kulaini, Us}ul al-Kafi, juz I, 296; Muh}ammad ibn al-H}asan ibn Farukh
al-S}affar, Bas}a`ir al-Darajat al-Kubra fi Fad}ail Al Muh}ammad Teheran: al-Ah}madi,
1404 H, 160. Dari penelusuran peneliti atas riwayat-riwayat yang menyebutkan keberadaan mushaf Fatimah, didapatkan bahwa, kalangan Syi’ah memang benar
meyakini keberadaan mushaf tersebut sebagaimana disebutkan dalam riwayat- riwayat yang ada. Jika kalangan Ahlusunnah tidak mempercayai keberadaan
riwayat-riwayat ini dan merasa keberatan dengan keberadaannya, maka itu sah-sah saja sebagai bentuk kritik dan kebebasan berpendapat. Adapun kemungkinan bisa
terjadinya dialog antara sayyidah Fatimah dengan Jibril, kalangan Syi’ah berdalih dengan beberapa argumen, di antaranya ayat yang menceritakan dialog malaikat
dengan sayyidah Maryam, dan hadis tentang adanya orang-rang yang dapat diajak diolog
muhaddathin oleh malaikat. HR. al-Bukhari, kitab, Ahadith al-Anbiya`, bab Hadith al-Ghar; kitab al-Manaqib, bab Manaqib ‘Umar ibn al-Khattab; dan HR.
Muslim, kitab Fad}ail al-S{ah}abah, bab min Fad}ail ‘Umar.
394
Raj’ah dalam pandangan Syi’ah adalah: proses dimana Allah membangkitkan sekelompok orang yang tinggi kualitas keimanannya sebelum hari
kiamat, dan juga membangkitkan sekelompok orang yang telah mencapai puncak kebejatan dengan tujuan agar mereka dapat merasakan kenikmatan hidup penuh
dengan kedamaian bersama imam Mahdi, dan bagi orang-orang yang bejat mereka akan menerima sangsi kesengsaraan di dunia sebelum sangsi akhirat. Markaz al-
Risalah,
al-Raj’ah Qum: Satarah, 1418 H, 14. Contoh riwayat tentang raj‘ah disebutkan dalam
Bih}ar al-Anwar, bab raj‘ah, juz 53, 43:
ﻢﻬﻌﻴﲨ ﺩﺭ ﻻﺇ ﻻﻮﺳﺭ ﻻﻭ ﺎﻴﺒﻧ ﷲﺍ ﺚﻌﺒﻳ ﱂ ﰊﺃ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻱﺪﻳ ﲔﺑ ﺍﻮﻠﺗﺎﻘﻳ ﱴﺣ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﱃﺇ
ﺐﻟﺎﻃ .
182 menyinggung hal tersebut dalam referensi Syi’ah, sehingga, jika ada
yang mengingkari terjadinya raj’ah tidak akan berpengaruh terhadap kualitas keberagamaannya.
Ini serupa dengan kepercayaan tentang akan kembalinya Isa as. ke pentas bumi ini, yang dipercaya oleh banyak ulama Ahlusunnah.
Yang percaya atau tidak percaya tentang akan turunnya Isa menjelang kiamat bukan sesuatu yang mencederai akidah Islam seseorang.
395
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan Rukun Iman antara Ahlusunnah dan Syi’ah tidak menyentuh dasar-dasar
keyakinan dan ushuluddin, namun lebih terkait dengan rincian aplikasi dari keyakinan tersebut dan ushul madzhab.
Tidak didapatkannya beberapa butir rukun iman sebagaimana terdapat dalam rukun iman Ahlusunnah, bukan berarti bahwa Syi’ah
mengingkari butir-butir iman yang terdapat dalam rukun iman Ahlusunnah, namun dalam penilaian Syi’ah butir-butir tersebut sudah
tercakup dalam butir yang lain.
5.4 Hadis-Hadis Imamah Imamah dalam pandangan Syi’ah memiliki kedudukan yang
amat tinggi dan sakral. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya pembahasan yang menyinggung masalah ini, baik dulu maupun
sekarang.
396
Keyakinan terhadap imamah merupakan ciri yang amat menonjol yang melekat pada kelompok Syi’ah. Bahkan, sebagaimana
395
M. Quraish Shihab, Sunnah Syi’ah Bergandengan Tangan, 187.
396
Dalam penelusuran peneliti, didapatkan ratusan karya dari ulama-ulama Syi’ah yang menulis tentang tema ini, baik yang secara langsung menggunakan kata
“ imamah” dalam judul karya mereka, seperti al-Imamah wa Ahl al-Bait, karya
Muhammad Bayuni Mahran, al-Imamah; tilka al-H{aqiqah al-Qur’aniyah, al- Zuhair
al-Bait}ar , al-Imamah wa al-Tabs}irah, ibn Babawaih al-Qummi, al-Imamah wa al-
Qiyadah, Ahmad ‘Izzuddin, maupun karya-karya yang tidak menggunakan kata itu dalam judulnya, namun terdapat pembahasan tentang tema tersebut, seperti
Ayat al- Wilayah, Sayyid Ali al-Mailani, Awail al-Maqalat, al-Shayikh al-Mufid, al-Iman wa
al-Kufr, Ja’far al-Subh{ani, dan al-‘Aqaid al-Islamiyah, Markaz al-Must}afa. Hal ini ternyata diakui juga oleh Kashif al-Ghita dalam
As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 224, beliau mengatakan, sungguh banyak ulama yang telah menulis karya-karya tentang
wasiat imamah dari abad pertama hingga abad ke empat.
183 dikatakan oleh Abdul Halim Mahmud, ciri dan identitas ini menjadi
pembeda antara Syi’ah dengan kelompok lain seperti Ahlusunnah.
397
Syi’ah menjadikan keyakinan terhadap Imamah masuk dalam bagian dari fondasi keislaman
as}l min us}u al-din,
398
bahkan keimanan dan kekufuran seseorang dapat diukur dari aspek ini.
399
Karena perbedaan inilah al-Qifari menyoroti Syi’ah dengan memaparkan beberapa pandangan Syi’ah terhadap konsep Imamah
kemudian mengkritik dengan beberapa argumen, baik dari aspek nash ayat atau riwayat hadis yang digunakan oleh kelompok Syi’ah
maupun dalil logika yang dijadikan sebagai pijakan.
Adapun kritik al-Qifari dalam masalah ini meliputi: 1 Awal mula munculnya konsep Imamah. Dalam kritiknya, al-
Qifari mengatakan, bahwa pencetus pertama konsep imamah dalam Syi’ah adalah Abdullah ibn Saba’.
400
Hal itu didasarkan pada pernyataan al-Shahristani w. 548 H yang mengatakan, bahwa ibn
Saba’ adalah orang pertama yang mencanangkan adanya wasiat pengganti Rasulullah saw. yang ditujukan kepada Ali ibn Abi
Thalib.
401
2 Jabatan imamah yang diyakini oleh kalangan Syi’ah bersumber dari
nas} ilahi, yaitu satu jabatan dimana Allah memilih berdasarkan
397
Abdul Halim Mahmud, al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, 119. Hal ini diakui
juga oleh Kashif al-Ghita, beliau mengatakan, masalah imamah merupakan karakteristik yang hanya didapatkan dalam kalangan Syi’ah, dan keyakinan dengan
konsep ini yang pada gilirannya membedakan antara komunitas Syi’ah dengan sekte atau kelompok lainnya.
As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 221,
398
Najmuddin Ja’far ibn al-Hasan al-Hulli, al-Maslak fi Us{ul al-Din
Mashhad: Majma’ al-Buh{uth al-Islamiyah, 1414 H, 189; As’ad Wah}id al-Qasim, Azmat al-Khilafah wa al-Imamah Libanon: Markaz al-Ghadir, 1418 H1997 M, 35;
Kashif al-Ghit}a, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 58; Muhammad ibn Abdul Karim Al-
Shahristani, al-Milal wa al-Nih{al, juz I, 145.
399
Al-Kulaini, Us{ul al-Kafi, kitab al-iman wa al-kufr, bab da‘a’im al-Islam,
juz II, 22; Muhammad ibn Nu’man al-‘Akbari al-Baghdadi, al-I’tiqadat Qum: Dar
al-Mufid, cet. II, 1414 H, 94. Sebagian ulama Syi’ah berpendapat bahwa imamah masuk dalam kategori ushul madzhab, bukan ushuluddin. Lihat sub bab Rukun Iman
dalam disertasi ini.
400
Al-Qifari, Us{ul Madhhab al-Shi’ah, juz II, 654.
401
Muhammad ibn Abdul Karim al-Shahristani, al-Milal wa al-Nih{al, juz I,
177.
184 pengetahuan-Nya yang azali menyangkut hamba-hamba-Nya, tidaklah
beda dengan kedudukan dan jabatan kenabian.
402
3 Kedudukan seorang imam yang disejajarkan dengan kedudukan para nabi, bahkan melebihi kedudukan para nabi.
403
4 Keyakinan Syi’ah bahwa para imam berstatus maksum, padahal kemaksuman hanya diberikan oleh Allah swt. kepada para
utusan-utusan-Nya yaitu para nabi dan rasul. Beberapa kritik yang disampaikan oleh al-Qifari ini, tidak
semua-nya dapat diterima oleh kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna’asyariyah. Kalangan Syi’ah memiliki penjelasan-penjelasan
tersendiri yang cenderung eksklusif seputar konsep imamah dan cenderung berbeda dengan apa yang difahami oleh al-Qifari.
Sekalipun dalam beberapa sisi, peneliti mendapatkan kebenaran berpihak pada apa yang telah disampaikan oleh al-Qifari.
Berikut ini beberapa penjelasan ulama-ulama Syi’ah Imamiyah seputar konsep imamah.
A. Abdullah ibn Saba’ dan slogan wasiat Nabi saw. Terkait dengan kritikan bahwa ibn Saba’ adalah orang pertama
yang menghembuskan adanya wasiat Rasulullah saw. kepada Ali ibn Abi Thalib terkait kepemimpinan pengganti Rasulullah saw. dibantah
oleh kalangan Syi’ah.
As’ad Wah}id al-Qasim mengatakan, bagaimana dapat dikatakan bahwa ibn Saba’ adalah orang yang menebarkan isu wasiat
kepemimpinan kepada Ali ra., padahal didapatkan dalam banyak riwayat yang shahih bahwa wasiat itu benar ada dan datang dari
Rasulullah saw.
Lagi pula, bagaimana dapat dipercaya bahwa sekian banyak sahabat Nabi dapat tertipu oleh kelicikan ibn Saba’ dalam masalah
besar yaitu kepemimpinan pengganti Nabi?
404
Beliau menambahkan, bahwa wasiat –kepemimpinan imam Ali sebagai pengganti Rasulullah saw. secara langsung- itu memang benar
402
Kesimpulan ini diambil dari beberapa referensi Syi’ah yang menginformasi-kan hal tersebut, seperti pernyataan Kashif al-Ghit}a dalam
As}l al- Shi’ah wa Us}uluha, 58, yang berbunyi:
،
ﺓﻮﺒﻨﻟﺎﻛ ﻲﳍﺇ ﺐﺼﻨﻣ ﻲﻫ
. al-Kulaini,
Us{ul al- Kafi, juz II, 24.
403
Al-Kulaini, al-Kafi, juz I, 255, dan Kashif al-Ghit}a. As}l a;-Syi’ah, 58.
404
As’ad Wah}id al-Qasim, Azmat al-Khilafah wa al-Imamah, 68
185 ada dan bersumber dari nash ilahi yang mengisyaratkan akan
kepemimpinan dan khalifah pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat.
405
Demikian pula dengan yang dinyatakan oleh al-Hulli 648-736 H, bahwa untuk menentukan imam harus bersumber dari dua hal,
nash dari Allah atau wasiat dari Nabi. Hal itu karena seorang imam haruslah sosok yang maksum, dan kemaksuman merupakan masalah
batin yang tidak diketahui kecuali oleh Allah swt.
406
Syekh Muh{ammad Rid{a al-Muz{affar 1322-1396 H menambahkan bahwa dalam keyakinan kelompok Syi’ah, imamah dan
kenabian diangkat dan ditentukan dengan nash yang bersumber dari Allah swt. dan disampaikan melalui Nabi-Nya atau imam yang sudah
diangkat melalui nash jika hendak menunjuk imam yang akan bertugas menjadi penggantinya.
407
B. Status Pengangkatan dan Penunjukan Imam. Kalangan Syi’ah saat mengatakan bahwa pengangkatan dan
penunjukan imam dilakukan melalui nash ilahi.
408
Mereka meyakini bahwa dalam al-Qur’an dan juga hadis terdapat sekian banyak
informasi yang menunjukkan pengangkatan imam sebagai pengganti dan penerus misi kenabian.
409
Dan nash-nash tersebut mengarah kepada Ali ibn Abi thalib dan berlanjut kepemimpinannya pada anak
keturunannya dari kalangan ahlulbait, dan tidak akan pernah keluar dari lingkaran Ahlulbait.
410
Di antara nash-nash tersebut adalah: a
Firman Allah QS. al-Maidah [5]: 55, yang berbunyi:
405
As’ad Wah}id al-Qasim, Azmat al-Khilafah wa al-Imamah, 35
406
Al-Hasan ibn Yusuf al-Mut}ahhar al-Hulli, Nahj al-Haq wa Kashf al-S}idq
Qum: Dar al-Hijrah, t.th, 168.
407
Muh{ammad Rid{a al-Muz{affar, al-‘Aqaid al-Imamiyah, 60.
408
Al-Sharif al-Murtad}a, al-Shafi fi-al-Imamah Teheran: Muassasah al-
S}adiq, cet. II, 1410 H, 141.
409
As’ad Wah}id al-Qasim mengatakan bahwa pangkat imamah adalah pangkat dan kedudukan yang bersumber dari Tuhan
al-mans}ab al-ilahi dan para imam bertugas sebagai penerus misi kenabian
istimraran li-al-nubuwwah, kecuali yang terkait dengan wahyu.
Azmat al-Khilafah wa al-Imamah, 34.
410
Muh{ammad H{usain Kashif al-Ghita, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 134.
186 Dalam pandangan Syi’ah, ayat ini turun berkenaan dengan imam
Ali ibn Abi Thalib. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa imam Ali saat shalat bersedekah sebuah cincin, dan disaksikan oleh segenap
sahabat.
411
Kalangan Syi’ah memberikan beberapa argumen terkait kesepakatan mereka yang menyatakan bahwa ayat di atas tertuju pada
Ali ibn Abi Thalib dan sebagai bukti bahwa beliau adalah imam pengganti Rasulullah saw. Argumen-argumen itu di antaranya:
pertama, berkaitan dengan sabab nuzul ayat, dimana disebut dalam beberapa riwayat bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan imam
Ali.
Kedua, penggunaan kata ‘wali’ dalam ayat mengandung makna ‘yang paling utama dan paling berhak’.
Ketiga, penggunaan adat al- h}as}r ‘ﺎﻤﻨﺇ’ menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah mereka yang
disebut dalam ayat, dan bukan bersifat umum, dan untuk tujuan khusus. Jika yang dimaksud adalah mereka orang-orang mukmin
secara umum dan untuk makna dukungan saling membantu dalam masalah agama secara luas, maka penggunaan
adat al-h}as}r dalam ayat tidak akan memberikan manfaat apapun.
412
Adapun penggunaan lafad jama’, karena khitab di sini bertujuan untuk pengagungan
ta’z}im.
413
b Firman Allah yang berbunyi:
414
Dalam tafsiran Syi’ah, ayat ini turun sesaat setelah Rasulullah selesai melaksanakan haji wada’ bersama para sahabat, atau tepatnya
di satu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir. Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw. mencanangkan di hadapan halayak bahwa siapa
saja yang mengakui bahwa beliau adalah pemimpin maka sudah
411
Muhammad ibn Mas’ud ibn ‘Iyash Al-Salami, al-Tafsir al-‘Iyashi, juz I,
328-329; al-T{usi, al-T}ibyan fi Tafsir al-Qur’an, juz III, 558-559. Kalangan Syi’ah
mengklaim bahwa Ahlusunnah sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan imam Ali ibn Abi Thalib.
412
Yang dimaksud dengan dukungan dan tujuan umum dalam masalah- masalah agama sebagaimana terdapat dalam surat al-Taubah: 72.
‘Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.’
413
Al-T{usi, al-T}ibyan fi Tafsir al-Qur’an, juz III, 558-561
414
QS. Al-Maidah: 67.
187 sepatutnya untuk mengakui juga bahwa Ali adalah pemimpin setelah
kepergiannya.
415
Al-‘Iyashi w. 320 H mengatakan, ayat ini turun saat beliau saw. berada di Ghadir Khum setelah menyelesaikan haji wada’. Saat
itu Rasulullah saw. merasa ragu dan khawatir untuk menyampaikan pesan kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib sebagai pengganti beliau
berikutnya. Lalu turunlah ayat ini memotifasi beliau untuk tegas menyampaikan apa yang semestinya disampaikan, dan tidak perlu
menghiraukan reaksi orang akan hal tersebut.
416
Hadis Ghodir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah saw. ini mengandung beberapa tujuan,
pertama, hendak mengingatkan dan sekaligus berpesan pada umatnya akan satu hal penting setelah
kepergian beliau, yaitu masa depan umatnya; kedua, dalam
pendahuluan khutbahnya, beliau mengingatkan akan pondasi keimanan yang terkait dengan tauhid, nubuwah, hari akhir dan
hubungan al-Qur’an dengan ahlulbait; ketiga, penggunaan kata
“maula” mengindikasikan makna yang amat dalam dan tinggi dari makna ketulusan, kecintaan dan persaudaraan;
keempat, yang juga menunjukkan keagungan pesan ini adalah bahwasannya Allah swt.
menurunkan ayat yang begitu agung setelah Rasulullah selesai menyampaikan khutbahnya, dan ayat itu adalah:
.
417
Dan disusul kemudian dengan firman Allah yang berisi perintah untuk patuh kepada Allah, Rasulullah, dan ulul amri, yang dalam hal
415
Hadis tentang kisah Ghadir Khum diriwayatkan oleh imam al-Tirmidhi dalam sunannya kitab al-Manaqib, bab Manaqib Ali ibn Abi T{alib, dengan status
h}asan gharib, dan imam Ahmad ibn Hanbal dalam musnadnya bab musnad Ali ibn Abi T{alib, dengan redaksi,
ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ
ﻰﹶﻠﺑ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻟﺎﹺﺑ ﻰﹶﻟﻭﹶﺃ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺲﻴﹶﻟﹶﺃ ﻢﺧ ﹺﺮﻳﺪﹶﻏ ﻡﻮﻳ ﻪﻨﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﻲﻠﻌﻟ ﻦﻣ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ
ﻩﺍﺩﺎﻋ ﻦﻣ ﺩﺎﻋﻭ ﻩﺎﹶﻟﺍﻭ ﻦﻣ ﹺﻝﺍﻭ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻩﺎﹶﻟﻮﻣ ﻲﻠﻌﹶﻓ ﻩﺎﹶﻟﻮﻣ ﺖﻨﹸﻛ .
ﺓﺩﺎﻳﺰﺑ ﺔﻳﺍﻭﺭ ﰲ ﻭ :
ﻪﹶﻟﹶﺬﺧ ﻦﻣ ﹾﻝﹸﺬﺧﺍﻭ ﻩﺮﺼﻧ ﻦﻣ ﺮﺼﻧﺍﻭ .
416
Muhammad ibn Mas’ud ibn ‘Iyash al-Salami, al-Tafsir al-‘Iyashi
Teheran: al-Maktabah al-‘Ilmiyah al-Islamiyah, 2005, juz II, 332.
417
QS. al Maidah [5]: 4.
188 ini ditafsirkan sebagai imam Ali dengan berdasar pada riwayat dari
imam Ja’far al-Shadiq.
418
Adapun ayat itu adalah:
. 419
c Hadis riwayat imam Muslim yang berbunyi:
ﹾﻥﹶﺃ ﻚﺷﻮﻳ ﺮﺸﺑ ﺎﻧﹶﺃ ﺎﻤﻧﹺﺈﹶﻓ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﹺﻦﻴﹶﻠﹶﻘﹶﺛ ﻢﹸﻜﻴﻓ ﻙﹺﺭﺎﺗ ﺎﻧﹶﺃﻭ ﺐﻴﹺﺟﹸﺄﹶﻓ ﻲﺑﺭ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﻲﺗﹾﺄﻳ
ﻲﺘﻴﺑ ﹸﻞﻫﹶﺃﻭ ﻪﹺﺑ ﺍﻮﹸﻜِﺴﻤﺘﺳﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹺﺏﺎﺘﻜﹺﺑ ﺍﻭﹸﺬﺨﹶﻓ ﺭﻮﻨﻟﺍﻭ ﻯﺪﻬﹾﻟﺍ ﻪﻴﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺎﻤﻬﹸﻟﻭﹶﺃ .
420
Dalam hadis ini Rasulullah saw. mensejajarkan antara kitab Allah al-Qur’an dengan Ahlulbait. Hal ini mengindikasikan bahwa
al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah swt. sebagai petunjuk bagi manusia membutuhkan penjelas yang mampu menjelaskan semua
makna yang tekandung dalam al-Qur’an. Penjelas itu selain Nabi saw. juga para imam Ahlulbait yang mewarisi Rasulullah saw. dalam
misinya.
421
418
Imam Ja’far al-Shadiq saat ditanya tentang ayat 55 dari surat an-Nisa’, beliau menjawab, bahwa ayat itu turun untuk Ali ibn Abi Thalib, al-Hasan, dan al-
Husain. Dipertegas lagi dengan riwayat dari Abi Ja’far yang menyatakan bahwa surat al-Ahzab, 6, turun untuk menjelaskan status
imamah kepemimpinan yang akan berlanjut pada keturunan al-Husain. Al-Kulaini, Us}ul al-Kafi. juz I, 342-344.
419
QS. an- Nisa’ [4]: 59.
420
HR. Muslim dalam kitab fad{ail al-S{ah}abah, bab min fad{ail ‘Ali ibn Abi T{alib. Hadis ini juga diriwayatkan oleh imam al-Tirmidhi dalam kitab al-Manaqib,
bab Manaqib ahl al-bait dengan redaksi kitaballah wa ‘it}rati. Sedangkan dalam
riwayat imam Malik dalam Muwat}t}a’ dengan redaksi kitaballah wa sunnata
nabiyyihi.
421
As’ad Wah}id al-Qasim, Azmat al-Khilafah wa al-Imamah, 42-43. Terdapat
silang pendapat tentang siapa itu Ahlulbait. Dalam pemahaman Syi’ah, Ahlulbait hanya terbatas pada empat orang, yaitu Ali ibn Abi Thalib, Fatimah binti
Muhammad, serta kedua putranya, Hasan dan Husain. Pembatasan ini berdasar pada beberapa riwayat hadis, di antaranya riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa
Rasulullah saw. mendekap Hasan, Husain, Fatimah dan Ali dalam satu pakaian
kisa’ lalu mengatakan, mereka ini adalah ahlubaitku. HR. Muslim dalam kitab fad{ail al-s{ah}abah, bab fad}ail ahlubait al-Nabi. Dan juga kisah
mubahalah dalam surat al-‘Imran: 61. Ahlusunnah lebih bersikap terbuka dalam mamaknai Ahlulbait.
Mereka memasukkan istri-istri Nabi, keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far, dan Abbas sebagai Ahlulbait. Ali ibn Ali al-H{anafi,
Sharh} al’Aqidah al-T{ahawiyah, Taif: Maktabah al- Muayyid, 1401 H.
Sedangkan Syi’ah nampak lebih eksklusif, mereka hanya mengakui Ali dan keturunannya sebagai Ahlulbait. S}alih} al-Wardani,
‘Aqa`id al- Sunnah wa al-Shi’ah: al-Taqarub wa al-Taba’ud Bairut: al-Ghadir, 1491 H1999
M, 145.
189 d Riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw.
mensejajarkan Ali ibn Abi Thalib dengan kedudukan Nabi Harun as. Hal itu terjadi saat perang Khandaq, di mana Rasulullah meminta Ali
untuk tinggal di Madinah sedangkan beliau bersama sahabat yang lain berangkat perang. Perintah ini dirasa berat oleh imam Ali karena
harus tinggal di Madinah bersama kaum perempuan dan anak-anak. Memehami kegelisahan Ali tersebut Rasulullah saw. mengatakan,
“kedudukanmu dihadapanku seperti kedudukan Harun dihadapan Musa.
422
Dalam pemahaman Syi’ah, hadis di atas mengandung makna yang dalam, yaitu sebagai informasi bahwa imam Ali memiliki
kedudukan seperti kedudukan Nabi Harun, hanya saja beliau bukan nabi.
Adapun makna yang terkandung dalam kedudukan ini adalah: Pertama, Nabi Harun statusnya sebagai saudara Nabi Musa as.,
demikian juga Ali, telah dipersaudarakan oleh Nabi dengan dirinya sendiri pada saat Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin
dengan Anshar, dan beliau saw. mengatakan “engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu”.
423
Kedua, Nabi Harun statusnya sebagai wazir dan patner bagi Nabi Musa. Demikian pula dengan Ali yang pernah diminta oleh Nabi
saw. untuk memeluk Islam dan menjadi patner dan pembelanya saat awal perintah dakwah, dan Ali pun menyatakan siap dengan tanggung
jawab tersebut.
424
Ketiga. Dalam kehidupan Nabi Musa, Nabi Harun memiliki kelebihan dan keutamaan dibanding orang-orang Bani Israil yang lain.
Jadi, bukan saja karena beliau bersaudara, namun lebih dikarenakan keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh Nabi Harun sebagaimana
tercermin dari ungkapan Nabi Musa saat bermunajat memohon kepada Allah swt. untuk diberi seorang pendamping dalam
422
HR. al-Bukhari dalam shahihnya kitab al-Maghazi, bab ghazwat Tabuk dengan redaksi:
ﺨﺘﺳﺍﻭ ﻙﻮﺒﺗ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﺝﺮﺧ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹶﺃ ﻲﻓ ﻲﹺﻨﹸﻔﱢﻠﺨﺗﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﺎﻴﻠﻋ ﻒﹶﻠ
ﹺﺒﻧ ﺲﻴﹶﻟ ﻪﻧﹶﺃ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻰﺳﻮﻣ ﻦﻣ ﹶﻥﻭﺭﺎﻫ ﺔﹶﻟﹺﺰﻨﻤﹺﺑ ﻲﻨﻣ ﹶﻥﻮﹸﻜﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻰﺿﺮﺗ ﺎﹶﻟﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ِﺀﺎﺴﻨﻟﺍﻭ ﻥﺎﻴﺒﺼﻟﺍ ﻱﺪﻌﺑ ﻲ
.
423
HR. al-Tirmidhi dalam sunannya kitab al-Manaqib, bab Managib Ali ibn Abi T{alib.
424
Muh{ammad Ibn Jarir al-T{abari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk Bairut:
Muassasat al-A’lami li-almat}bu’at, t.th , juz II, 62-63.
190 menjalankan misi dakwahnya dan sekaligus menjadi wakil saat beliau
tidak berada di sekitar kaumnya. Demikian pula dengan imam Ali ibn Abi Thalib, sudah sepatutnya menyandang keutamaan-keutamaan
sebagaimana disandang oleh Nabi Harun as. sehingga Rasulullah saw. memilih dan menjadikan dia sebagai wakil dan penggantinya saat
beliau tidak ada.
e Sanjungan Rasulullah saw. terhadap Ali ibn Abi Thalib, saat mengatakan “
Ana madinat al-‘ilm wa Ali babuha”.
425
Dari kapasitas keilmuan dan pengetahuan, Ali ra. cukup dikenal di kalangan sahabat
sebagai sosok yang memiliki intelektualitas yang tinggi. Tidak sedikit sahabat yang datang dan merujuk kepadanya untuk bertanya masalah-
masalah yang terjadi di seputar mereka atau mengharap solusi atas problem-problem yang terjadi.
426
f Di antara tanda keimanan seseorang adalah cinta kepada Ali ibn Abi Thalib. Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa imam Ali
pernah menyatakan,
ﺎﹶﻟﻭ ﻦﻣﺆﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻚﺒﺤﻳ ﺎﹶﻟ ﻪﻧﹶﺃ ﻲﹶﻟﹺﺇ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲﻣﹸﺄﹾﻟﺍ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﺪﻬﻌﹶﻟ ﻪﻧﹺﺇ ِﻖﻓﺎﻨﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻚﻀﻐﺒﻳ
.
“Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menyatakan kepadaku bahwa, orang yang mencintaimu berarti mukmin, dan tidaklah membencimu
kecuali munafik”. C. Kedudukan Imam Sejajar Dengan Kedudukan Nabi.
Dalam pandangan Syi’ah bahwa kedudukan imam disejajarkan dengan kedudukan nabi. Keduanya sama-sama bersumber dari nash
ilahi, hanya saja berbeda dari aspek status.
427
Syekh al-Mufid mengatakan, kita harus yakin bahwa Allah swt. tidak menciptakan manusia yang lebih utama dari Rasulullah saw. dan
para imam. Mereka sama-sama mendapat mukjizat, ucapan mereka adalah ucapan Allah, perintah dan larangan mereka sama dengan
425
Muh}ammad ibn Abdullah al-H{akim Al-Naisaburi, al-Mustadrak ’ala al-
S{ah}ih}ain Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1427 H2006 M, juz IV, 70-75.
426
Khalifah Umar ibn al-Khattab pernah hendak merajam seorang perempuan gila yang berzina, namun dicegah oleh Ali sembari mengingatkannya akan hadis
Nabi saw. bahwa seseorang tidak dikenai hukuman jika saat melakukan itu dalam keadaan tidak sadar tidur, atau belum baligh atau gila. HR. Abi Daud, kitab al-
Hu}dud, bab fi al-majnun yasriq. Banyaknya solusi yang diberikan oleh imam Ali pada masa kekhilafaan Umar ibn Khattab sehingga khalifah Umar mengatakan,
“andai saja bukan karena Ali, niscaya aku akan binasa”. Riwayat ini dicantumkan oleh ibn Hajar dalam
al-s}awa’iq al-Muh}riqah, 107
427
Muhammad Rid}a al-Muz}affar, ‘Aqa`id al-Imamiyah, 60
191 perintah dan larangan Allah, patuh kepada mereka berarti patuh
kepada Allah, dan melanggar perintah mereka berarti melanggar perintah Allah.
428
D. Para Imam Berstatus Maksum Kalangan Syi’ah meyakini bahwa para imam sekalipun mereka
bukan nabi, namun mereka menyandang status maksum layaknya seorang nabi yang terhindar dari segala bentuk kesalahan. Hal itu
karena imam memiliki fungsi seperti nabi., menggantikan Nabi saw. dalam memberi petunjuk pada umat, mengantar mereka pada jalan
yang benar, yang akan menyampaikan pada keselamatan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.
429
Imam juga memiliki peran dalam menafsirkan al-Qur’an, menjelaskan secara rinci hukum-hukum syariat yang tertuang dalam
al-Qur’an, menjaga keotentikan ajaran agama dari berbagai bentuk penyimpangan, dan mereka memiliki wewenang penuh dalam
mengatur agama demi untuk kemaslahatan umat.
430
Melihat peran yang begitu kompleks yang disandang oleh para imam, maka tidak bisa tidak mereka harus berstatus maksum, tidak
boleh salah apalagi pernah melakukan kemaksiatan, karena mereka akan menjadi panutan dan suri tauladan bagi umat.
431
428
Muhammad ibn Nu’man al-‘Askari al-Baghdadi, al-I’tiqadat, 92-93.
429
Abu Ali al-Fad}l ibn al-Hasan al-T{abarsi, Majma’ al-Bayan, juz III, 114-
115.
430
Ja’far al-Subh}ani, Rasail wa Maqalat Qum: Barnamij al-Mu’jam al-
‘Aqaidi, 1422 H2001 M, 50-51.
431
As’ad Wah}id al-Qasim, Azmat al-Khilafah wa al-Imamah, 34-35. Patut
diketahui, bahwa banyak riwayat yang menyebutkan kedudukan dan derajat para imam, namun mayoritas riwayat-riwayat tersebut kualitasnya dhai’f bahkan
maudhu’ dalam pandangan Syi’ah Imamiyah. Ayatullah Khumaini mengatakan, orang-orang yang menyanjung para imam dengan sanjungan yang berlebih-lebihan,
mengkultuskan kepribadian mereka serta memberikan wewenang-wewenang layaknya seorang nabi atau bahkan bersifat seperti Tuhan, maka sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang sesat, najis dan kafir. Ayatullah Khumaini,
al-T{aharah, juz. III, 339. Pendapat semacam ini banyak juga diungkapkan oleh para ulama
Syi’ah, seperti al-Khu’i, dalam al-Tanqih} fi Sharh} al-‘Urwah al-Wuthqa, juz, II, 73,
dan al-H{ulli, Tah}rir al-Ah}kam, juz. I, 171,
dan juga Muhammad Jawad Mughniyah yang mengatakan, mereka yang kelewat batas dalam menyanjung seseorang hingga
batas kenabian atau ketuhanan, sesungguhnya dia bukanlah golongan Syi’ah, bahkan dia telah kufur dan keluar dari Islam.
Al-Shi’ah fi al-Mizan,32.
192 Itu beberapa argumen naqli dan aqli yang digunakan oleh
kalangan Syi’ah imamiyah dalam mendukung dan menguatkan pendapat mereka seputar imamah, fungsi dan kedudukan para iman.
Namun, pendapat dan argumen Syi’ah ini banyak disanggah dan diperdebatkan oleh kalangan Ahlusunnah. Khususnya terkait dengan
kualitas hadis-hadis yang digunakan sebagai hujjah dan juga penafsiran terhadap ayat-ayat yang diklaim sebagai bukti wasiat
kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya sebagai pengganti Rasulullah saw.
Dalam penelusuran peneliti, didapatkan bahwa argumen yang digunakan oleh kalangan Syi’ah terkait masalah
imamah di atas, memiliki penjelasan dan keterangan yang cenderung berbeda dengan
Ahlusunnah. Adapun penjelasan-penjelasan tersebut di antaranya adalah:
a Terkait dengan surat al-Maidah 55, Ahlusunnah tidak
sependapat dengan klaim kalangan Syi’ah yang menyebutkan bahwa Ahlusunnah sepakat dengan sebab turunnya ayat tersebut terkait
dengan kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib.
Dalam referensi Ahlusunnah, seperti al-kutub al-sittah atau
tis’ah tidak didapatkan satu riwayatpun yang menyebutkan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan imam Ali, bahkan sebaliknya,
riwayat tersebut dinyatakan dha’if, tidak jelas asal-usulnya karena dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak dikenal
majhul.
432
Ibn Katsir menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Ubadah ibn Shamit yang berlepas tangan dari persekutuan
dengan orang-orang Yahudi dan memilih Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin sebagai penolong dan pemimpin.
433
b Ayat di atas akan nampak jelas makna dan maksudnya dengan melihat ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Pada ayat-ayat
sebelumnya dijelaskan bahwa tidak dibenarkan seorang mukmin menjadikan orang-orang Yahudi sebagai pemimpin. Demikian pula
dengan ayat sesudahnya yang masih berbicara seputar tema kemitraan dengan kalangan Yahudi dan Nasrani. Jelasnya, ayat-ayat ini berisi
432
Abu al-‘Abbas Taqiyuddin Ah{mad ibn Abdul H{alim Ibn Taimiyah,, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah Riyad{: Maktabat al-Riyad{ al-H{adithah, 1406
H1986 M, juz IV, 5.
433
Abu al-Fida’ Ismail Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Az}im Riyad{: Dar al-
Salam, cet. II, 1418 H1998 M, juz II, 98-99.
193 larangan menjadikan orang-orang non muslim sebagai mitra dan
penolong dalam urusan agama.
434
c Al-Alusi 1217-1270 H menambahkan, bahwa pujian
Allah swt. terhadap amalan hambanya bisa berkaitan dengan hal-hal yang wajib, dan bisa juga terkait dengan hal yang sunnah. Jika saja
bersedekah saat seseorang dalam posisi shalat itu baik, niscaya Nabi akan melakukan dan bahkan akan menganjurkan. Namun tidak satu
riwayat pun yang menganjurkan kita untuk bersedekah saat shalat, bahkan sebaliknya, perbuatan itu dikhawatirkan dapat merusak
kekhusyuan shalat.
435
d Adapun kata wali dalam ayat
ﻢﻜﻴﻟﻭ ﺎﳕﺇ
tidak tepat jika dimaknai dengan “pemimpin” karena tidak selaras dengan potongan
ayat sebelumnya
ﻪﻟﻮﺳﺭ ﻭ ﷲﺍ ﻢﻜﻴﻟﻭ ﺎﳕﺇ
. Allah swt. bukan pemimpin bagi hamba-hamba-Nya, bukan amirul mukminin, tapi Pencipta dan
Penguasa serta Pemilik mereka.
436
Sehingga makna yang tepat dan sejalan dengan konteks ayat adalah bahwasannya Allah dan Rasul-
Nya serta orang-orang mukmin paling layak untuk dijadikan penolong dan yang dicintai.
437
e Demikian pula dengan hadis-hadis yang diklaim sebagai dalil kepemimpinan imam Ali setelah Nabi saw. yang antara lain hadis
Ghadir Khum. Hadis ini dalam referensi Ashlusunnah diperdebatkan keotentikannya.
438
Bahkan dinilai oleh mayoritas ulama dalam
434
Fakhruddin Muh}ammad ibn Umar Al-Razi, Tafsir Mafatih} al-Ghaib
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H1990 M, juz XII, 24-25
435
Abu al-Fad{l Shihabuddin al-Sayyid Mah}mud al-Alusi,. Ruh} al-Ma‘ani
Bairut: Dar Ih{ya` al-Turath al-‘Arabi, t.th, juz VI, 168.
436
Terdapat perbedaan antara kata
ﻮﻟﺍ ﺔﻳﻻ
dengan fathah wawu dan
ﹺﻮﻟﺍ ﺔﻳﻻ
dengan kasrah wawu. Kata al-Walayah mengandung makna penolong atau yang
mencintai, atau anonim dari al-‘adawah permusuhan, dan makna inilah yang
dimaksud oleh ayat, dan isim-nya adalah muwalli dan wali. Sedangkan al-wilayah,
bermakna kepemimpinan, dan isim-nya adalah wali dan mutawalli. Abu Hamid
Muhammad al-Muqaddasi, Risalah fi-al-Rad ‘ala al-Rafid}ah India: al-Dar al-
Salafiyah, 1403 H, 220-221.
437
Al-Razi, Tafsir Mafatih} al-Ghaib, juz XII, 24.
438
Dalam referensi Ahlusunnah, hadis ini diriwayatkan oleh imam al- Tirmidhi, dalam kitab al-Manaqib, bab Manaqib Ali ibn Abi T{alib dengan redaksi
ﻩﻻﻮﻣ ﻲﻠﻌﻓ ﻩﻻﻮﻣ ﺖﻨﻛ ﻦﻣ
. Dan hanya dengan matan ini yang redaksinya disepakati. Adapun tambahan kata
ﻱﺪﻌﺑ ﻦﻣ
atau
ﻩﺍﺩﺎﻋ ﻦﻣ ﺩﺎﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻩﺎﹶﻟﺍﻭ ﻦﻣ ﹺﻝﺍﻭ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ
194 sanadnya
terdapat tambahan-tambahan
yang diragukan
keotentikannya.
439
Selain dari aspek sanad, hadis ini dalam matannya tidak mengandung makna penunjukan Ali sebagai pengganti Nabi
saw. Sebab ungkapan
ﻩﻻﻮﻣ ﻲﻠﻌﻓ ﻩﻻﻮﻣ ﺖﻨﻛ ﻦﻣ
diucapkan oleh Rasulullah saw. saat terdengar banyak keluhan dan sikap kurang
simpatik beberapa sahabat terhadap Ali saat diutus ke Yaman, sehingga beliau saw. menegaskan kedudukan, kecintaan dan
kedekatan beliau dengan imam Ali.
440
Maka siapa saja yang mengaku mencintai dan mengakui kedudukan Nabi saw. maka sudah sepatutnya
untuk mencintai dan mengakui kedekatan dan kedudukan tersebut terhadapa Ali.
441
f Hadis thaqalain yang berisi anjuran dan perintah untuk selalu
berpegang teguh dengan al-Qur’an dan Ahlulbait keluarga Nabi, bukan merupakan sinyal akan kekhalifahan imam Ali secara langsung
setelah wafatnya Rasululllah saw., tapi itu merupakan hadis-hadis yang terkait dengan fadhilah ahlulbait. Pesan khusus yang berisi
dipertanyakan kebenaran-nya. Dalam tiap sanadnya terdapat perawi yang disangsikan kredibilatasnya. Seperti ja’far ibn Sulaiman, dinilai sangat condong ke
Syi’ah ghalin fi al-Tashayyu’, bahkan dikenal sering mencaci Mu’awiyah dan
prihatin terhadap Ali. Shihabuddin Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallani, Tahdhib
al-Tahdhib Bairut: Dar al-Fikr, 1404 H1984 M, juz II, 81-82. Demikian pula dengan beberapa perawi yang terdapat dalam riwayat-riwayat lain seperti dalam
musnad imam Ahmad ibn Hanbal. Para perawi tersebut selain condong ke Syi’ah sebagian yang lain juga ada yang dha’if dan tidak dikenal
majhul.
439
Muhammad Abdul Rahman ibn Abdul Rahim al-Mubarakafuri, Tuhfat al-
Ah{wadhi bi-Sharh{ Jami’ al-Tirmidhi Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1410 H1990 M, juz X, 144-145. Abi al-Ma‘ali Mah}mud Shukri al-Alusi 1272-1342 H
mengatakan, hadis ini sebagian teksnya mutawatir, sebagiannya shahih tapi tidak mutawatir, sebagiannya dha’if, dan sebagiannya lagi munkar. Adapun lafadh yang
mutawatir adalah
ﻩﻻﻮﻣ ﻰﻠﻌﻓ ﻩﻻﻮﻣ ﺖﻨﻛ ﻦﻣ .
tidak kurang dari lima puluh sahabat yang mendengar hadis ini dari Nabi saw. Adapun lafadh yang shahih namun tidak
mutawatir adalah
ﻩﺍﺩﺎﻋ ﻦﻣ ﺩﺎﻋ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﻩﺎﹶﻟﺍﻭ ﻦﻣ ﹺﻝﺍﻭ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ
” adapun yang dha’if, lafadh
ﻩﺮﺼﻧ ﻦﻣ ﺮﺼﻧﺍﻭ
dan yang munkar adalah sisa teks dari riwayat tersebut. Lihat penjelasan lebih rincinya pada
S{abb al-‘Adhab ‘ala man Sabb al-As}h}ab Riyad: Ad}wa’ al-Salaf, t.th, 351-352.
440
Abu Muhammad Abdul Malik ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyah wa
Akhbar al-Khulafa` Bairut: Dar al-Jil, 1975, juz II, 603
441
Shah Abdul Aziz Ghulam H{akim al-Dahlawi, al-Tuh}fah al-ithna
‘Ashariyah, Baghdad: Maktabah al-Auqaf, 1979
195 anjuran untuk berprilaku baik dengan Ahlulbait, menghargai hak-hak
mereka, mencintai dan menauladani kepribadian mereka.
442
Hadis senada juga didapatkan dalam referensi Ahlusunnah seperti
ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻌﹶﻓ ﺔﻨﺳﻭ ﻲﺘﻨﺴﹺﺑ
ﺬﹺﺟﺍﻮﻨﻟﺎﹺﺑ ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ ﺍﻮﻀﻋﻭ ﺎﻬﹺﺑ ﺍﻮﹸﻜﺴﻤﺗ ﻦﻳﺪﺷﺍﺮﻟﺍ ﲔﻳﺪﻬﻤﹾﻟﺍ ِﺀﺎﹶﻔﹶﻠﺨﹾﻟﺍ
443
maka berpegang dengan hadis thaqalain untuk dijadikan hujjah atas
kepemimpinan Ahlulbait Ali dan keturunannya serta sebagai satu- satunya sumber informasi agama tidaklah tepat.
444
g Hadis yang mensejajarkan kedudukan Nabi saw. dengan imam Ali sebagaimana kedudukan Musa dan Harun as. dijelaskan oleh
ulama Ahlusunnah dengan penjelasan yang berbeda dengan apa yang difahami dan diyakini oleh Syi’ah.
445
Ibn Hazm 384-456 H mengatakan, hadis ini tidak mengindikasikan adanya keutamaan imam Ali yang melebihi sahabat
lain, dan juga bukan merupakan penunjukan imam Ali untuk menjadi imam atau pengganti setelah Rasulullah saw.
446
Hadis ini diucapkan oleh Rasulullah saw. saat imam Ali merasa keberatan untuk menjadi
“penunggu” di Madinah bersama para wanita dan anak-anak.
447
Dengan kondisi itu, beliau saw. ingin menjelaskan bahwa itu adalah pilihan dan ketentuan sebagaimana Musa menunjuk Harun untuk
442
Al- Mubarakafuri, Tuhfat al-Ah{wadhi bi-Sharh{ Jami’ al-Tirmidhi, juz X,
196.
443
HR. Abu Daud, kitab al-Sunnah, bab fi Luzum al-Sunnah, dan al-Tirmidhi, kitab al-‘Ilm, bab ma Ja`a fi al-Akhdhi bi-al-Sunnah. Beliau mengatakan bahwa
hadis ini hasan shahih.
444
Al-Dahlawi, al-Tuh}fah al-ithna ‘Ashariyah, 174. Dinyatakan tidak tepat
karena terdapat hadis-hadis lain yang memiliki makna senada dengan hadis thaqalain. Jika hadis hadis thaqalain bermakna keharusan mengambil informasi
agama dari Ahlulbait dan bukan yang lain, berarti hadis-hadis lain juga memiliki makna yang sama yaitu hak untuk menjadi sumber informasi agama. Misalnya hadis
HR. Tirmidhi:
ﺮﻤﻋﻭ ﹴﺮﹾﻜﺑ ﻲﹺﺑﹶﺃ ﻱﺪﻌﺑ ﻦﻣ ﹺﻦﻳﹶﺬﱠﻠﻟﺎﹺﺑ ﺍﻭﺪﺘﹾﻗﺍ .
445
Hadis ini diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi bab Ghazwat Tabuk, dan Muslim kitab Fad{ail al-S}ah{abah, bab Fad{ail ‘Ali ibn Abi T{alib.
446
Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn H{azm, al-Fas}l fi al-Milal wa al-Ahwa`
wa al-Nih{al Bairut: Dar al-Jil, 1405 H, juz IV, 159-160.
447
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-‘Asqallani, Fath{ al-Bari Sharh{ S}ah{ih{ al-
Bukhari Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1410 H1989 M, juz VII, 93; Abu
Zakariya Yahya ibn Sharf al-Nawawi, S}ah{ih{ Muslim bi-Sharh{ al-Nawawi Bairut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H1990 M, juz XV, 174.
196 tinggal bersama kaumnya saat diperintahkan Allah swt. untuk
bermunajat kepada-Nya.
448
Di sisi lain, Rasulullah saw. juga pernah mempermisalkan kedudukan Abi Bakar dengan Nabi Ibrahim dan Isa, serta Umar ibn al-
Khaththab dengan Nabi Nuh dan Musa.
449
Namun bukan berarti bahwa mereka memiliki kedudukan seperti para Nabi.
450
h Hadis ‘ ana madinat al-‘ilm…’ yang substansinya berisi
sanjungan atas kesempurnaan ilmu dan intelektualitas imam Ali ternyata didapatkan dalam referensi Ahlusunnah sebagai hadis yang
cacat ma‘lul. Al-Sakhawi 902 H mengatakan, hadis ini
diriwayatkan dari banyak jalan, hanya saja sanad-sanadnya lemah dan redaksinya rapuh
rakikah.
451
i Adapun hadis anna Aliyan la yuh}ibbuhu illa mu’min wa la
yubghid}uhu illa munafiq, memiliki sanad yang hasan dan shahih,
452
hanya saja hadis dengan redaksi pujian seperti ini juga diucapkan oleh Nabi kepada sahabat atau golongan lain. Seperti ucapan beliau kepada
kalangan Anshar dengan redaksi:
448
Al-Dahlawi, al-Tuh}fah al-ithna ‘Ashariyah, 163. Mah}mud Shukri al-Alusi,
S{abb al-‘Adhab ‘ala man Sabb al-As}h}ab, 342-343.
449
Ahmad ibn Hanbal al-Shaibani, al-Musnad Bairut: Dar al-Da’wah, 1412
H, juz, I, 383; al-Tirmidhi, kitab al-Jihad
450
Abu Abdullah Muhammad al-Dhahabi, Al-Muntaqa min Minhaj al-I‘tidal
India: al-Salafiah, t.th, 243.
451
Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Tirmidhi, dan beliau mengatakan bahwa hadis ini munkar, al-Bukhari mengatakan, jalurnya tidak ada yang shahih, al-
Khatib dalam Tarikhnya mengatakan, hadis ini tidak jelas asal usulnya dan mengandung kedustaan, ibn al-Jauzi mengategorikan sebagai hadis
maud}u’ palsu. Muhammad Abdul Rahman al-Sakhawi,
al-Maqas}id al-H{asanah, Bairut: Dar al- Kutub al-‘Arabi, 1405 H1985 M, 170; Ali ibn Muhammad ibn ‘Iraq al-Kanani,
Tanzih al-Shari’ah al-Marfu’ah Bairut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, cet. II, 1401 H1981 M, juz I, 378. Melihat banyaknya hadis-hadis seputar keutamaan imam Ali,
Ibn al-Jauzi mengatakan, hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan imam Ali sebenarnya banyak yang berkualitas shahih, hanya saja kalangan Syi’ah tidak puas
dengan riwayat-riwayat tersebut sehingga mereka menambahkan riwayat-riwayat yang lemah lagi
maudhu’. Abu al-Farj Abdul Rahman ibn al-Jauzi, al-Maud{u‘at Bairut: Dar al-Fikr, cet. II, 1403 H, juz I, 338.
452
Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, kitab al-Manaqib, bab manaqib Ali.
197
ﺐﺤﻳ ﺎﹶﻟ ﺭﺎﺼﻧﻷﺍ
ﻬﻀﻐﺒﻳ ﺎﹶﻟﻭ ﻦﻣﺆﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻦﻣﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﺒﺣﹶﺃ ﻢﻬﺒﺣﹶﺃ ﻦﻣ ﻖﻓﺎﻨﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻢ
ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻀﻐﺑﹶﺃ ﻢﻬﻀﻐﺑﹶﺃ
.
453
Dengan demikian hadis ini bukan merupakan khususiyah yang hanya dimiliki oleh imam Ali, namun merupakan pujian dan
keutamaan yang berlaku juga untuk sahabat-sahabat lain.
454
Dari penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti seputar imamah dan hadis-hadis terkait, dapat disimpulkan bahwa kritik al-
Qifari tentang tema imamah dan kedudukannya bisa jadi benar. Dimana Syi’ah Imamiyah meyakini adanya nash ilahi yang berisi
penunjukan imam secara jelas, dan imam bersifat maksum serta mendapat informasi ilahi sebagaimana para nabi.
455
Dalam menjelaskan masalah imamah, kalangan Syi’ah banyak berargumen dengan riwayat-riwayat yang terdapat dalam referensi
Ahlusunnah, dan sebagian besarnya dinilai lemah bahkan maudhu’
oleh ulama Ahlusunnah.
456
453
HR. Bukhari, kitab al-Manaqib bab H{ubbu al-Ans}ar, dan Muslim kitab al- Iman, bab al-Dalil ‘ala anna h{ubba al-Ans}ar wa ‘Ali min al-Iman.
454
Hadis ini mengandung makna anjuran untuk selalu menyadari keutamaan , jasa dan perjuangan kaum Anshar dalam membela Islam dengan mengorbankan jiwa
dan raga mereka. Demikian pula dengan jasa dan perjuangan imam Ali serta kedekatan dan kecintaan beliau terhadap Nabi saw. Al-Nawawi dalam
Sharh{ Muslim kitab al-Iman bab al-Dalil ‘ala anna h{ubba al-Ans}ar wa ‘Ali min al-Iman.
455
Muhammad Jawad Mughniyah dalam masalah imamah, kedudukan dan sifat-sifatnya memiliki pendapat tersendiri dan nampak lebih netral. Beliau
mengatakan, bahwa kalangan Syi’ah memang meyakini bahwa terdapat nash atau wasiat penunjukan imam Ali sebagai pengganti Rasulullah saw. Namun harus
diketahui, bahwa mereka yang berlebih-lebihan dalam mensifati Ali bukanlah dari golongan Syia’ah dan bukan juga orang yang mengerti tentang Syi’ah. Madzhab
Syi’ah berangkat dari ajaran Islam, maka siapa saja yang memberikan sifat ketuhanan atau kenabian kepada seseorang, siapapun orangnya, maka dia bukan
seorang muslim.
Al-Shi’ah fi al-Mizan, 32.
456
Ibn Khuldun mengatakan, “teks-teks yang dinukil dan ditakwilkan oleh kalangan Syi’ah sesuai dengan pemahaman madzhab mereka tidak pernah dikenal
oleh para ulama syariat. Mayoritas teks-teks tersebut berstatus maudhu’ palsu,
atau perawinya tertuduh mat}’un dan jalur periwayatannya bermasalah serta jauh
dari penakwilan makna yang benar”. Abdul Rahman ibn Muhammad ibn Khuldun, Muqaddimah ibn Khuldun Kairo: Dar al-Nahd}ah, t.th, juz II, 527.
198 Demikian pula saat berargumen dengan ayat, terdapat nuansa
pemaksaan dalam menakwilkan atau menafsirkan ayat sesuai dengan prinsip dan idiologi Syi’ah.
457
Namun, dari beberapa referensi Syi’ah Imamiyah yang telah dikaji, peneliti mendapatkan beberapa ulama Syi’ah kontemporer
memiliki pendangan yang cenderung toleran dalam masalah khilafah. Mereka mengakui jabatan dan jasa para khalifah sebelum Ali ibn Abi
Thalib, sekalipun mereka meyakini bahwa yang terakhir disebut, itu yang lebih berhak.
458
Pandangan dan pendapat yang cenderung berbeda ini bisa jadi merupakan perkembangan pemikiran dalam kalangan ulama Syi’ah
Imamiyah.
459
Mereka tidak sependapat dengan pandangan-pandangan yang sinis, mencaci dan menghujat para khalifah.
457
Dalam karya Abu al-Fad}l al-Islami, peneliti mendapatkan tidak kurang dari 200 ayat yang diklaim turun berkaitan dengan imamah, wilayah atau wasiat
kepada Ali dan keturunannya sebagai khalifah dan penerus misi nubuwah, kesucian Ahlulbait, dan keutamaan Syi’ah atau mereka yang mendukung dan mengikuti
imam Ali. Bahkan Rajab al-Bursi mengklaim ada 500 ayat yang turun berkenaan dengan imam Ali. Rajab al-Bursi,
Khumsu Mi’ah Ayah nazalat fi Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi T}alib, terj. Muhdhar Assegaf, Lima Ratus ayat untuk Ali bin Abi Thalib
Jakarta: Cahaya, 2006. Padahal dalam pengamatan peneliti, ayat-ayat tersebut
bersifat umum dan sama sekali tidak bersentuhan dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Mereka cenderung berdalih dengan riwayat dan bukan dengan
ayat. Lihat misalnya Abu al-Fad}l al-Islami, Ma’a al-Duktur al-Qifari fi Us}ul
Madhhabihi Qum: Sulaimanzadah, 1428 H, 267-300; al-Hasan ibn Yusuf al- Mut}ahhar al-H{ulli,
Nahj al-Haq wa Kashf al-S}idq Qum: Dar al-Hijrah, t.th, 172- 212; dan Bahauddin Ali ibn Abdul Karim al-Najfi,
Muntaghab al-Anwar al-Mud}iah Qum: Muassasah al-Imam al-Hadi, 1420 H, 21-40. Namun sekali lagi, Syi’ah
memiliki alasan dan argumen untuk hal ini. Peneliti mendapatkan dalam tafsir al-
Mizan satu kaidah yang –untuk sementara ini- tidak didapatkan dalam kaidah Ahlusunnah, yaitu
al-jaryu wa al-tat}biq yang merupakan satu kaidah keselarasan dan ketepatan dalam mentakwilkan ayat al-Qur’an
. Contoh misalnya, kata “al- mukminun”, sekalipun dalam bentuk jama’ tapi –dengan kaidah al-jaryu wa al-
tat}biq- bisa dimaknai bahwa yang dimaksud adalah imam Ali, dengan takwil, bahwa orang yang paling sempurna keimanannya dan dapat dijadikan contoh yang selaras
mewakili komunitas orang-orang mukmin adalah imam Ali. ra. Al-T{abat}abai, al-
Mizan, juz I, h. 44-45.
458
Lihat misalnya Sharafuddin al-Musawi, al-Fus}u al-Muhimmah fi Ta`lif al-
Ummah, 153; Muh}ammad Jawad al-Mughniyah, al-Shi’ah wa al-H{akimun Bairut: Maktabah al-Ahliyah, cet. II, 1962 M, 23; dan Muh}ammad H{usain Kashif al-Ghita`,
As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 129.
459
M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan, 122.
199 Peneliti mencoba memberikan analisis, bahwa bisa jadi keadaan
sosiologis dan kondisi psikologis saat itu, banyak mempengaruhi pendapat-pendapat ulama salaf Syi’ah yang cenderung keras dalam
menyikapi khilafah dan imamah.
460
5.5 Hadis-Hadis Taqiyah Konsep taqiyah dalam terminologi Ahlusunnah tidak jauh
berbeda dengan apa yang difahami oleh kalangan Syi’ah Imamiyah.
461
Keduanya berdalih dengan ayat al-Qur’an dan sabab nuzul ayat.
462
Namun dalam tataran aplikasi, kelonggaran-kelonggaran dan toleransi terasa lebih kental dalam komunitas Syi’ah.
Hal itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya banyak riwayat dalam literatur Syi’ah yang redaksinya mengindikasikan hal tersebut,
dan fakta inilah yang banyak dikritisi oleh al-Qifari.
463
460
Analisis ini bertolak dari realita sejarah, dimana komunitas Ahlulbait mengalami banyak cobaan, seperti diskriminasi, ketertindasan, ketidakadilan dan
perla-kuan yang semena-mena dari pemerintah saat itu.
461
Muhammad Jawad Mughniyah mendefinisikan taqiyah dengan: ucapan atau perbuatan yang berbeda dengan apa yang diyakini dalam hati untuk tujuan
melindungi diri, harta atau kehormatan dari sesuatu yang membahayakan. Al-Shi’ah
fi al-Mizan, 48; dalam definisi al-Mufid dikatakan, bahwa taqiyah adalah: menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan di hadapan penentang yang
dikhawatirkan akan memberikan bahaya dalam agama atau dalam urusan dunia. Awa`il al-Maqalat, 261. Adapun ibn Hajar mendefinisikannya dengan: sikap
waspada terhadap orang lain saat hendak menampakkan keyakinan atau kebenaran yang terdapat dalam hati.
Fath{ al-Bari, juz XII, 388. Adapun dari aspek hukum, berdasar pada beberapa ayat, antara lain: QS. al-Imran: 28, al-Nahl: 106. Abu Bakar
Ahmad ibn Ali al-Razi al-Jas}s}as} mengatakan, dibolehkan bertaqiyah di hadapan orang lain jika dikhawatirkan hilangnya jiwa nyawa atau berakibat cacatnya
anggota badan. Ini pendapat yang tepat dan yang dianut oleh jumhur. Tafsir Ah{kam
al-Qur’an Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H1994 M, juz II. 12.
462
Dalil yang menunjukkan legalitas taqiyah adalah surat al-Imran, 28:
.
dan QS. al-Nahl, 106:
.
463
Setidaknya terdapat kurang lebih 30 riwayat yang redaksinya menjelaskan dan mengatur bagaimana praktek taqiyah dijalankan dalam madzhab Syi’ah
Imamiyah.
200 Dalam kritiknya, al-Qifari memaparkan beberapa riwayat serta
pernyataan dari ulama-ulama Syi’ah tentang taqiyah yang dinilai bahwa sinyalemen-sinyalemen riwayat itu menunjukkan adanya
prakrek taqiyah yang amat longgar dan nyaris tanpa batas,
464
padahal dalam pandangan Ahlusunnah, taqiyah merupakan
rukhshah dispensasi, yang hanya boleh digunakan saat jiwa benar-benar
terancam, dan atau saat berhadapan dengan orang-orang kafir.
465
Adapun beberapa riwayat dan pernyataan Syi’ah tersebut di antaranya adalah:
a Adanya riwayat yang menyebutkan bahwa kedudukan Taqiyah memiliki hukum wajib layaknya shalat dan kewajiban-kewajiban yang
lain. Hal itu dinyatakan oleh ibn Babawaih bahwa, melaksanakan taqiyah hukumnya adalah wajib, barang siapa meninggalkan taqiyah
maka hukumnya sama dengan orang yang meninggalkan shalat.
466
Demikian pula dengan riwayat yang menginformasikan bahwa kualitas keberagamaan seseorang dapat diukur dengan sejauh mana
kemampuan-nya dalam melakukan taqiyah,
467
serta riwayat yang menyatakan bahwa meninggalkan taqiyah merupakan kesalahan dan
dosa yang tak terampuni.
468
464
Al-Qifari, Us}ul Madhhab Shi‘ah, juz II, 808. Beliau juga mengatakan,
bahwa Syi’ah dengan konsep taqiyah yang begitu longgar dan nyaris tanpa batas, menjadikan mereka lebih buruk dari pada orang-orang munafik. Sebab orang-orang
munafik saat ia menyembunyikan sesuatu dalam hatinya, dia yakin bahwa perbuatannya itu salah, namun kalangan Syi’ah sebaliknya, dia merasa benar saat
mampu menyembunyikan sesuatu dalam hatinya.
Us}ul Madhhab Shi‘ah, juz II, 805.
465
Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al-T{abari, Tafsir Jami’ al-Bayan Kairo:
Must}afa al-Babi al-H{alabi, 1388 H, juz VI, 316; Abu Abdullah Muh}ammad ibn Ah}mad al-Ans{ari al-Qurt}ubi,
al-Jami’ li-Ah}kam al-Qur’an Kairo: Da al-Kitab al- ‘Arabi, 1387 H, juz IV, 57
466
Muh{ammad ibn Ali ibn al-Husain ibn Babawaih al-Qummi, al-I‘tiqadat fi
din al-Imamiyah, 144. Beliau mengatakan:
ﺔﻟﱰﲟ ﺎﻬﻛﺮﺗ ﻦﻣ ﺔﺒﺟﺍﻭ ﺎﺃ ﺔﻴﻘﺘﻟﺍ ﰲ ﺎﻧﺩﺎﻘﺘﻋﺍ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻙﺮﺗ ﻦﻣ
.
.
Didukung pula oleh beberapa riwayat yang terdapat dalam Jami’ al-
Akhbar, Bih{ar al-Anwar, dan wasail al-Shi’ah.
467
Al-Kulaini, Us}ul al-Kafi, Juz II, 220. Dengan redaksi:
ﻪﻟ ﺔﻴﻘﺗ ﻻ ﻦﳌ ﻦﻳﺩ ﻻ
.
468
Muh{ammad ibn al-H{usain al-H{ur al-‘Amili, Wasail al-Shi‘ah ila Tah{s}il
Masa’il al-Shari‘ah Bairut: Dar Ih{ya` al-Turath al-‘Arabi, 1403 H, juz XI, 474, dan Bih}ar al-Anwar, dengan redaksi:
201 b Kajayaan agama terletak pada wujud dan tegaknya taqiyah.
Seperti ungkapan Abu Abdullah: Kalian berada dalam agama, barang
siapa menyembunyikannya maka Allah akan memuliakannya, dan barang siapa menyebarkannya mengungkap maka Allah akan
menghinakannya.
469
c Pemberlakuan taqiyah yang cenderung longgar ini, dinilai oleh al-Qifari bahwa taqiyah dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja,
dan tanpa terikat oleh situasi dan kondisi. Hal ini didasarkan pada pernyataan ibn Babawaih yang mengatakan, bahwa taqiyah hukumnya
wajib dan tidak akan diangkat dihapuskan hingga datangnya imam al-Mahdi. Dalam kesempatan lain beliau mengatakan, taqiyah berlaku
hingga waktu yang telah ditentukan
yaumun ma’lum, barang siapa meninggalkan taqiyah sebelum datangnya imam Mahdi maka ia bukan
termasuk golongan kami.
470
Ini beberapa kritik al-Qifari seputar taqiyah dan aplikasinya dalam pandangan Syi’ah Imamiyah.
Terkait dengan riwayat-riwayat di atas, jika ditinjau dari aspek matan dan sanadnya didapatkan bahwa kualitasnya dapat
dikategorikan sebagai riwayat yang maqbul. Hal itu dapat dibuktikan dengan tidak dipermasalahkannya perawi dan matan riwayat tersebut
oleh al-Mazandarani 1081 H sebagai pensyarah al-Kafi.
471
Namun jika dicermati, akan didapatkan bahwa riwayat-riwayat yang dikritik oleh al-Qifari sebenarnya merupakan riwayat yang
memiliki penjelasan tersendiri dalam pemahaman Syi’ah, dan riwayat-
ﲔﺒﻧﺫ ﻼﺧ ﺎﻣ ،ﺓﺮﺧﻵﺍ ﻭ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﰲ ﻪﻨﻣ ﺮﻬﻈﻳ ﺐﻧﺫ ﻞﻛ ﻦﻣﺆﳌﺍ ﷲﺍ ﺮﻔﻐﻳ :
ﻭ ﺔﻴﻘﺘﻟﺍ ﻙﺮﺗ ﻥﺍﻮﺧﻹﺍ ﻕﻮﻘﺣ ﻊﻴﻴﻀﺗ
.
469
Al-Kulaini, Us}ul al-Kafi, Juz II, 225. Terdapat riwayat lain dengan
redaksi:
ﻪﻟ ﺔﻴﻘﺗ ﻻ ﻦﳌ ﻥﺎﳝﺇ ﻻ ﻪﻧﺈﻓ ،ﺔﻴﻘﺘﻟﺎﺑ ﻩﻮﺒﺠﺣﺎﻓ ،ﻢﻜﻨﻳﺩ ﻰﻠﻋ ﺍﻮﻘﺗﺍ
.
470
Ibn Babawaih al-Qummi, al-I’tiqadat fi din al-Imamiyah, 144-115; Wasail
al-Shi’ah, juz XI, 465; dan Bih}ar al-Anwar, juz LXXV, 412.
471
Muhammad S}alih} al-Mazandarani, Sharh} Us}ul al-Kafi Qum: Branamij al-
Mu’jam, al-H{auzah al-‘Ilmiyah, edisi III, 1421 H2001 M, juz IX, 118. Terdapat 23 hadis atau riwayat tentang taqiyah dalam kitab al-Kafi, bab al-Taqiyah dan al-
Kitman, namun tidak satu hadispun yang dinilai lemah atau cacat oleh al- Mazandarani, namun bukan berarti semua hadis tentang taqiyah itu shahih dan
benar, justru sebaliknya, tidak sedikit hadis-hadis yang menerangkan keutamaan taqiyah yang berstatus dhaif bahkan maudhu’. Seperti riwayat-riwayat yang
terdapat dalam Bihar al-Anwar, Tafsir Imam al-‘Askari, dan Kifayat al-Athar.
202 riwayat tersebut tidak serta merta dapat difahami secara tekstual. Di
sisi lain, al-Qifari tidak menyinggung sedikitpun fakta sejarah atau mungkin mencoba untuk mencari faktor pemicu mengapa terdapat
kelonggaran-kelonggaran
dalam komunitas
Syi’ah dalam
mempraktekkan konsep taqiyah. Terkait dengan konsep taqiyah ini, para ulama Syi’ah telah
memberikan beberapa penjelasan yang mungkin penjelasan ini tidak dikutip atau mungkin juga sengaja tidak dikutip oleh al-Qifari.
Adapun penjelasan tersebut adalah:
a Aplikasi taqiyah yang cenderung longgar dalam komunitas Syi’ah, tidak lepas dari faktor sejarah yang amat mempengaruhi hal
tersebut. Kashif al-Ghit}a` mengatakan, pada masa pemerintahan Mu’awiyah, komunitas Syi’ah mengalami penindasan dan
diskriminasi yang luar biasa. Pembantaian terhadap keluarga Ahlulbait baca: Syi’ah Ali merajalela. Kondisi amat mencekam,
ketakutan menghantui sanak saudara dan keluarga mereka, terlebih setelah masuk masa pemerintahan Abasiyah. Kondisi semakin tidak
kondusif, sehingga memaksa penganut Syi’ah untuk menyembunyikan jati diri mereka dengan bertaqiyah agar kebenaran yang mereka yakini
dapat tetap langgeng terjaga dan sekaligus terhindar dari ancaman dan tekanan pemerintah saat itu.
472
b Riwayat yang menginformasikan tentang kualitas keberagamaan seseorang yang dinyatakan bahwa tidak beragama
seseorang jika tidak bertaqiyah, dapat difahami bahwa, maksud riwayat tersebut bukan menafikan keimanan, namun menjelaskan
472
Kashif al-Ghit}a, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 207, 214, 314-316. Jika
dicermati lebih dalam, akan didapatkan bahwa, redaksi-redaksi tentang taqiyah yang terdapat dalam referensi Syi’ah, banyak bersinggungan dengan kondisi
pemerintahan saat itu. Salah satu contoh misalnya, hadis riwayat al-Kulaini, diriwayatkan bahwa imam Ja’far al-Sadiq mengatakan: “lindungilah agama kalian
dan tutupilah dengan bertaqiah…. Seandainya orang-orang mengetahui apa yang ada di benak kalian dari rasa cinta kalian terhadap Ahlulbait niscaya mereka akan
mencaci maki dan menghujat kalian.”
Us}ul al-Kafi, kitab al-Iman wa al-Kufr, bab al-Taqiyah, juz II, 220-221. Dalam riwayat ini nampak jelas bahwa pesan untuk
bertaqiyah didorong oleh faktor ketakutan dan kekhawatiran terhadap sikap pemerintah saat itu yang tidak simpatik terhadap pengikut Ahlulbait dan Syi’ah Ali.
Demikian pula dengan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim yang berisi gambaran bagaimana kecaman dan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah Bani
Umayyah terhadap pengikut Ali. Mereka diintimidasi dan dipaksa untuk mencaci dan memaki Ali ibn Abi Thalib.
S}ah}ih} Muslim, kitab al-Fad}ail, bab Fad}ail Ali ibn Abi T{alib.
203 tentang ketidaksempurnaan iman seseorang jika tidak bertaqiyah.
473
Ketidaksempurnaan ini berdasar pada adanya ancaman dan dampak yang ditimbulkan dari lawan atau penguasa yang diktator terhadap
kelompok yang lemah.
474
c Adapun riwayat yang menjelaskan keutamaan taqiyah dan juga riwayat yang mengindikasikan adanya hukum wajib untuk
melakukan taqiyah layaknya hukum wajibnya shalat, dapat dijelaskan bahwa, hukum melakukan taqiyah itu bertingkat-tingkat bergantung
pada situasi dan kondisi. Kashif al-Ghita menerangkan, bahwa hukum melakukan taqiyah ada tiga:
pertama, wajib, jika dengan meninggalkan taqiyah dapat menyebabkan hilangnya nyawa orang
lain; kedua, rukhs}ah dispensasi, jika dampak meninggalkan taqiyah
hanya akan menimpa dirinya sendiri; dan ketiga, haram, jika dengan
bertaqiyah justru akan menghidupkan kemungkaran dan memarakkan kebatilan.
475
Dengan menggunakan metode seperti dijelaskan di atas, kita dapat memahami hadis-hadis taqiyah yang lain sebagaimana
disebutkan dalam beberapa referensi Syi’ah seperti al-Kafi dan yang lainnya.
476
473
Al-Mazandarani, Sharh} Us}ul al-Kafi, juz IX, 125.
474
Kasus seperti ini dapat dijelaskan dengan contoh riwayat dalam al-Kafi yang menyebutkan bahwa imam al-Baqir pernah ditanya tentang pendapatnya
terkait sikap dua orang yang diintimidasi untuk mengecam imam Ali. Yang satu mengecam, lalu dibebaskan, dan yang seorang lagi tidak mengecam lalu dibunuh.
Beliau menjawab, yang bertama adalah orang yang mengerti tentang masalah agama maksudnya ajaran agama tentang taqiyah, dan yang kedua adalah orang yang tidak
sabar untuk masuk sorga.
Al-Kafi, juz II, 224. Artinya, terdapat tingkatan dalam keimanan seseorang. Keimanan itu dapat dinyatakan hilang jika dampak
keterusterangan itu mengakibatkan terbunuhnya atau tertindasnya orang lain. Al- Mazandarani,
Sharh} Us}ul al-Kafi, juz IX, 126.
475
Kashif al-Ghit}a, As}l al-Shi’ah wa Us}uluha, 316. Al-Mazandarani membagi
hukum bertaqiyah menjadi lima, wajib, haram, jaiz, mubah, dan mustahab, bergantung pada situasi dan dampak yang akan ditimbulkan.
Sharh} Us}ul al-Kafi, juz IX, 126.
476
Teks-teks riwayat dalam al-Kafi akan sulit difahami makna dan maksudnya jika tidak dibantu dengan merujuk pada kitab-kitab sarah yang
menjelaskan maksud dari riwayat-riwayat tersebut. Tidak dipungkiri bahwa terminologi taqiyah dalam literatur Syi’ah terdapat silang pendapat. Namun, mereka
sepakat bahwa taqiyah tidak diperbolehkan jika mengakibatkan rusaknya sendi- sendi Islam atau meruntuhkan pilar-pilar agama, dan tidak pula diperkenankan jika
berdampak pada tertumpahnya darah orang lain. Taqiyah diizinkan bagai mereka
204 Praktek taqiyah dalam komunitas Syi’ah tidak selonggar yang
difahami sementara orang. Para ulama Syi’ah kontemporer memberikan beberapa penjelasan terkait praktek taqiyah. Muh}ammad
Rid}a al-Muz}affar w. 1337 H misalnya, beliau mengatakan, “Taqiyah memiliki ketentuan-ketentuan hukum dari sisi wajibnya, sesuai
dengan kondisi dan situasi kekhawatiran dan mudaratnya. Taqiyah tidaklah wajib dalam semua keadaan, bahkan bisa menjadi haram jika
praktek taqiyah mengakibatkan terbunuhnya jiwa yang harus dilindungi, atau tersebarnya kebathilan, perusakan agama dan
penyesatan kaum muslimin. Bukan juga makna taqiyah menjadikan agama dan hukum-hukumnya dirahasiakan dan tidak boleh disebarkan
kepada siapa yang tidak menganutnya”.
477
Imam Khumaini juga mengatakan, “Tidaklah wajar berpegang dengan taqiyah menyangkut segala sesuatu yang kecil dan yang besar.
Taqiyah disyariatkan untuk melindungi jiwa sendiri dan jiwa orang lain. Seorang yang berada dalam cengkeraman para penguasa, dan dia
dipaksa untuk masuk dan ikut dalam kelompoknya, maka dia wajib menghindar walaupun hal itu mengancam jiwanya, kecuali jika
masuknya dalam bentuk formalitas dan untuk kemenangan yang hakiki buat Islam dan kaum muslimin, baru dia boleh bertaqiyah.
478
Muhammad ‘Imarah, seorang tokoh intelektual sunni mengatakan, yang tercela dari praktek taqiyah adalah jika ia beralih
menjadi kemunafikan, atau sikap permanen yang harus selalu diambil. Adapun selain itu, maka kami tidak percaya bahwa orang-orang yang
bukan Syi’ah dan memiliki sikap objektif dalam pemikirannya akan
yang terancam jiwanya, atau keluarga dan kerabatnya. Muh}ammad ibn Ibrahim al- Shairazi,
Sharh} Us}ul al-Kafi Teheran: Maktabah al-Mah}mudi, 1391 H, 378.
477
Muh}ammad Rid}a al-Muz}affar, Aqa`id Imamiyah Kairo: Maktabat al- Najah, 1381 H, 73
478
Ayatullah Ruh}ullah Khumaini, al-Hukumah al-Islamiyah Kairo: t.tp.,
1979, 115. Dalam penjelasannya, Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi memberikan komentar tentang hikmah diberlakukannya taqiyah. Beliau mengatakan, anggaplah
bahwa setiap muslim diwajibkan untuk mengorbankan jiwanya demi membentengi agama dari ancaman musuh. Jika ini terjadi, maka kepada siapa lagi panji agama
akan diserahkan? Siapa lagi yang akan memperjuangkan ajaran agama, jika semua telah gugur akibat keengganan bersiasat? Karena itu Allah membenarkan
pengorbanan jiwa, tetapi pada saat yang sama Allah juga membenarkan taqiyah demi masa depan akidah dan demi memelihara ajaran agama agar dapat disampaikan
dan diterima oleh generasi berikut. Muhammad Mutawalli al-Sha‘rawi,
Tafsir al- Sha‘rawi Kairo: Dar Akhbar al-Yaum, 1991, juz III, 141
205 menolak taqiyah, apalagi ada ulama-ulama Syi’ah belakangan ini yang
mempersempit ruang gerak taqiyah.
479
Hal ini pula yang ditegaskan oleh al-Subh}ani, bahwa komunitas Syi’ah Itsna’asyariyah tidak bertaqiyah sebagaimana digambarkan
atau bahkan dituduhkan orang selama ini. Lebih jelas beliau mengatakan, komunitas Syi’ah tidak bertaqiyah sedikitpun dalam
seminar-seminar yang dilakukan, demikian pula dengan buku-buku dan selebaran yang ditulis. Maka sungguh telah mengada-ada orang
yang menuduhkan Syi’ah seperti itu. Syi’ah Imamiyah terbuka dalam menjelaskan keyakinannya dengan berbagai cara dan sarana. Terlebih
dengan banyak-nya buku yang tersebar dan berdirinya negara Iran, maka tidak ada alasan untuk bertaqiyah.
480
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya taqiyah digunakan sebagai tameng dan pelindung jiwa, darah dan
kehormatan dari penindasan dan kesemena-menaan. Aplikasi taqiyah lebih banyak didorong oleh faktor situasi dan kondisi. Taqiyah dengan
tujuan seperti ini disepakati tidak hanya oleh kalangan Syi’ah tapi juga oleh Ahlusunnah.
481
Adapun penolakan yang terjadi, lebih dikarenakan oleh praktek dan aplikasi taqiyah yang dinilai oleh
sementara ulama menyerupai kebohongan dan penipuan. Kritik al-Qifari dalam bahasan ini nampak kurang objektif,
karena didapatkan bahwa beliau hanya menukil riwayat-riwayat
479
Muh}ammad ‘Imarah, Tayyarat al-Fikr al-Islami Kairo: Dar al-Shuruq,
1991, 219-220.
480
Ja‘far al-Subh}ani, Rasail wa Maqalat Qum: Barnamij al-Mu’jam al-
‘Aqaidi, 1422 H, 36
481
Shamsuddin Muh}ammad ibn Ah}mad al-Sarkhasi, al-Mabsut} Bairut: Dar
al-Ma‘rifah, 1398 H1978 M, juz XXIV, 48. Dalam fiqih Hanafi, ternyata ditemukan juga, bahwa banyak kondisi yang dapat dilakukan di dalamnya taqiyah.
Seperti saat ada pemaksaan dari satu pihak dengan dibarengi ancaman, untuk makan saat puasa, pemaksaan meninggalkan shalat, memakan bangkai, dan lain sebagainya
dari prilaku berpura-pura mengikuti kehendak dan kemauan mereka. Semua ini, sebagaimana dikatakan oleh ibn Najim al-Hanafi masuk dalam kategori kaidah:
ﺍﺫﺇ ﺎﻤﻬﻔﺧﺃ ﺏﺎﻜﺗﺭﺎﺑ ﺍﺭﺮﺿ ﺎﻤﻬﻤﻈﻋﺃ ﻲﻋﻭﺭ ﻥﺎﺗﺪﺴﻔﻣ ﺖﺿﺭﺎﻌﺗ
. Zain al-‘Abidin ibn Ibrahim ibn Najim,
al-Ashbah wa al-Naz}air ‘ala Madhhab Abi H{anifah al-Nu’man Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1405 H1985 M, 89. Bahkan dalam madzhab Syafi’i,
sebagaimana dikatakan oleh al-Razi, bahwa keadaan yang dilakukan oleh kaum Muslim jika menyerupai keadaan kaum Muslim ketika menghadapi kaum musyrikin,
maka saat itu dibenarkan bertaqiyah. Fakhruddin al-Razi, Mafatih} al-Ghaib, juz
VIII, 15.
206 dalam referensi Syi’ah tanpa klarifikasi pada referensi lain yang
menjelaskan makna dan maksud dari riwayat-riwayar tersebut. Di sisi lain, beliau juga tidak menukil pendapat-pendapat
penulis-penulis klasik dan kontemporer Syi’ah yang menjelaskan faktor pemicu mengapa terdapat pesan-pesan untuk melakukan
taqiyah dalam ajaran Syi’ah.
Al-Qifari juga terkesan menutup mata dengan ketertindasan yang dialami oleh Ahlulbait, bahkan tidak sedikitpun beliau
mengkritik pemerintahan saat itu dinasti-dinasti Umayyah dan Abasiyah yang melakukan diskriminasi terhadap Syi’ah Ali, sehingga
memaksa mereka untuk berlindung di bawah konsep taqiyah.
207 .
208
BAB VI PENUTUP