78
BAB III AL-QIFARI DAN KONSEP PERIWAYATAN HADIS
PERSPEKTIF SYI’AH IMAMIYAH
Konsep periwayatan hadis di kalangan Syi’ah Imamiyah memiliki perbedaan yang sangat signifikan dibanding dengan proses
periwayatan hadis dalam ushul hadis Ahlusunnah. Perbedaan ini nampaknya tidak banyak disinggung oleh al-Qifari dalam kritik-
kritiknya terhadap hadis-hadis Syi’ah, sehingga sering kali terjadi pemaknaan yang berbeda dengan apa yang difahami oleh kalangan
Syi’ah sendiri sebagai pemilik teks. Dalam bab ini akan diuraikan konsep periwayatan hadis perspektif Syi’ah Imamiyah dan akan
dijelaskan pula secara sekilas titik-titik perbedaan dengan konsep yang terdapat dalam Ahlusunnah.
D. Konsep periwayatan hadis perspektif Syi’ah
Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah memiliki konsep periwayatan hadis tersendiri yang cenderung berbeda dengan konsep periwayatan hadis
yang terdapat dalam Ahlusunnah. Syi’ah Imamiyah dengan konsep kepemimpinannya yang eksklusif, golongan ini hanya menerima hadis
yang diriwayatkan dari para imam maksum.
84
Dalam proses periwayatan, kaum Syi’ah merupakan madzhab utama dalam Islam yang secara doktrinal berbeda dengan kalangan
ortodoks muslim.
85
Sumber hadis tidak sebatas bersumber dari ucapan atau perbuatan Nabi saw., tapi mencakup juga seluruh ucapan dan
prilaku para imam maksum dan juga ucapan-ucapan Fatimah binti Muhammad saw., karena mereka termasuk dalam
khit}ab ahl al-bait yang ditegaskan oleh wahyu.
86
Namun, konsep periwayatan hadis Syi’ah ini pada kenyataannya tidak banyak diangkat atau disinggung oleh al-Qifari dalam kritiknya,
84
Konsep ini berangkat dari doktrin yang didasarkan pada hadis thaqalain
bahwa para imam dari keluarga Nabi tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an, sehingga secara prerogratif menjadi pewaris sah dalam kepemimpinan umat dan
spiritual. Sayyid Muhammad Ridha Husain, Tadwin al-Sunnah al-Sharifah
Libanon: Dar al-Hadi, 1413 H, 119.
85
Fazlur Rahman, Islam Chicago, London: Chicago University of Chicago,
1979, 76.
86
QS. al-Ahzâb 33: 33.
79 sehingga terdapat banyak ketidaksesuaian antara teks yang difahami
oleh al-Qifari dengan makna yang diyakini oleh kalangan Syi’ah sebagai pemilik teks.
Untuk melihat lebih jelas konsep periwayatan hadis perspektif Syi’ah ini dapat dijabarkan dalam bentuk poin-poin berikut:
c. Sanad bersambung kepada imam yang maksum. 3 Konsep sanad bersambung
Pada umumnya, ulama hadis Syi’ah Imamiyah mengakui kriteria ketersambungan sanad sebagaimana dalam
us}ul h}adith sunni. Dalam pandangan Syi’ah, suatu hadis dapat dikategorikan shahih jika
memenuhi sejumlah kriteria, di antaranya adalah sanadnya bersambung.
Makna ketersambungan sanad di kalangan Syi’ah nampak berbeda dengan makna ketersambungan sanad dalam Ahlusunnah.
Perbedaan ini akan nampak jika dikaitkan dengan istilah muttas}il
musnad atau marfu’. Hadis marfu’ di kalangan Ahlusunnah adalah hadis yang bersambung hingga Nabi saw., namun di kalangan Syi’ah,
hadis yang marfu’ tidak saja yang berakhir kepada Nabi saw, namun
juga yang berakhir hingga salah seorang imam yang maksum, baik sanadnya bersambung
muttas}il maupun tidak munqat}i‘.
87
Hadis muttas}il dan musnad dalam terminologi Syi’ah memiliki
perbedaan umum dan khusus. Hadis muttas}il adalah hadis yang
bersambung, baik sampai kepada penutur yang maksum Nabi atau para imam atau penutur yang tidak maksum, sedangkan
musnad khusus untuk riwayat yang bersambung pada penutur yang maksum.
88
Dalam terminologi ini, kelompok Syi’ah memiliki argumen tersendiri. Imam dalam pandangan mereka memiliki otoritas dan
kewenangan pernyataan tegas nas}s} dari Allah melalui pesan
Rasulullah saw. sebagai penerus dan penyampai hukum-hukum agama. Hukum-hukum tersebut dapat diperoleh melalui ilham dari
Allah atau melalui perjumpaan dengan imam sebelumnya.
89
87
Husain ibn Abdul S}amad Al-’Amili, Wus}ul al-Akhyar ila Us}ul al-Akhbar
Qum: t.tp, 1401 H, 103
88
Ja’far al-Subh{ani, Us}ul al-H{adith wa Ah}kamuhu fi ‘Ilm al-Dirayah Qum:
Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418 H, 66-67
89
Muhammad Rid{a al-Muz{affar, Us}ul al-Figh fi Mabah}ith al-Alfaz} wa-al-
Mulazamat al-‘Aqliyah Qum: H{auzat al-’Ilmiyah, 1419 H, juz I, 63; dan ‘Aqaid al- Imamiyah, 60
80 Di sisi lain, para imam juga berstatus sebagai periwayat yang
menyampaikan hadis-hadis Nabi saw., dan apa yang bersumber dari mereka dapat dikategorikan sebagai sunnah. Para imam juga
mendapatkan wasiat ilmu turun temurun yang ditulis oleh imam Ali hasil dari apa yang didiktekan oleh Rasulullah saw.
90
Hal ini tercermin dalam ucapan imam Ja’far al-S{adiq:
ﻭ ﲔﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﻱﺪﺟ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﻱﺪﺟ ﺚﻳﺪﺣ ﰊﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﰊﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻲﺜﻳﺪﺣ ﲑﻣﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ ﲑﻣﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻦﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﻦﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﲔﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ
ﻞﺟ ﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﻝﻮﻗ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺚﻳﺪﺣ ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ
.
“Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis Husain, hadis Husain adalah
hadis Hasan, hadis Hasan adalah hadis amirul mukminin Ali, hadis amirul mukminin Ali adalah hadis Rasulullah, dan hadis Rasulullah
adalah firman dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
91
Kedudukan para imam dalam menyampaikan hadis setidaknya dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, para imam mendapat kewenangan otoritas dari Allah swt. –melalui lisan Nabi saw.- untuk
menyampaikan hukum-hukum aktual. Oleh sebab itu, mereka tidak menetapkan hukum kecuali dengan informasi aktual dari Allah swt.
Informasi terkait dengan hukum-hukum tersebut dapat diperoleh melalui dua cara: a ilham, sebagaimana Nabi saw. menerima hal yang
sama melalui wahyu; b perjumpaan dengan imam sebelumnya.
92
Kedua, para imam juga berstatus sebagai periwayat yang menyampaikan sunnah Nabi saw., dan karena itulah semua yang
mereka katakan dikategorikan hadis. Mereka adalah orang-orang yang meriwayatkan hadis atau sunnah secara berketurunan, dari anak,
bapak, kakek, hingga sampai kepada Rasulullah saw.
93
90
Al-‘Askari, Ma’alim al-Madrasatain, 321-322; Kashif al-Ghitha’, As}l al-
Shi’ah wa-Us}uluha, 134.
91
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Us}ul al-Kafi Bairut: Dar al-
Ta’aruf li-al-Mat}bu’at, 1411 H1990 M, 80.
92
Muhammad Rid}a al-Muz}affar, Us}ul al-Fiqh, juz. I, 63-64.
93
Lajnah Ta`lif- Muassasah al-Balagh, Ahl al-Bait: Maqamuhum,
Manhajuhum, Masaruhum Teheran: al-Majma’ al-‘Alami li-Ahl al-Bait, 1413 H1992 M, 84.
81 Golongan Syi’ah beranggapan bahwa mereka sejak awal telah
memelihara hadis melalui tulisan. Berawal dari anjuran Nabi saw. untuk menulis hadis yang kemudian dianggap sebagai perintah yang
sangat penting dan kemudian dilanjutkan oleh para imam. Ummu Salamah meriwayatkan:
Nabi meminta adim kulit domba yang sudah disamak untuk dibawa, dan pada saat itu Ali bersama Nabi saw., lalu beliau
mendiktekan begitu banyak hadis kepada Ali, sehingga kedua sisi kulit domba itu penuh dengan tulisan.
94
Dengan demikian, dapat difahami bahwa, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syi’ah selalu bersambung kepada Nabi
saw., dan dengan proses periwayatan semacam ini, menjadikan riwayat-riwayat mereka sebagai mata rantai yang berkesinambungan,
tidak ada pemisahan, serta tidak ada periwayat yang asing dan tidak dikenal, hingga berakhir pada Nabi saw.
95
4 Konsep dan pengertian imam yang maksum
Kata imam secara etimologi berarti seseorang yang diikuti. Dalam al-Qur’an, kata imam juga digunakan untuk melukiskan kitab-
kitab tertentu seperti al-Qur’an, kitab suci Musa,
96
dan kitab yang berisi catatan tentang urusan manusia.
97
Sedangkan imamah, kalangan
Syi’ah mendefinisikan dengan suatu jabatan ilahi yang mana Allah memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali menyangkut
hamba-hamba-Nya.
98
94
Abu Bakar Al-S}an’ani, Imla wa-al-Mustamli Bairut: Dar al-Fikr, 1409 H,
5.
95
Muassasah al-Balagh, Ahl al-Bait, 85.
96
QS. Hud 11:17
97
QS. Yasin 36:12
98
Kashif al-Ghita’, As}l al-Shi’ah wa-Us}uluha, 134. Syi’ah Imamiyah
memahami imamah Islamiyah sebagai sebuah fungsi intelektual dan politis yang
diberikan kepada person imam yang termasuk anggota keluarga Nabi saw. mereka juga menegaskan bahwa dia haruslah orang yang paling luas ilmu dan
pengetahuannya di antara orang-orang sezamannya, dan menolak kepemimpinan mafd}ul, karena mereka berargumen bahwa imam adalah pelindung hukum agama
yang mendorong orang untuk beribadah kepada Allah dan menjelaskan kepada mereka al-Qur’an dan Sunnah. Lihat Hasyim al- Musawi,
The Syia; Their Origin and Beliefs, terj. Ilyas Hasan Bairut: al-Ghadeer Center for Islamic Studies, 1996,
132-133.
82 Kalangan Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa seluruh imam
ahl al-bait memiliki sifat ‘is}mah seperti Nabi saw. dan para nabi yang
lain.
99
‘ Is}mah yang secara etimologi bermakna menahan, mencegah
atau juga proteksi diri,
100
oleh kalangan Syi’ah Imamiyah diartikan sebagai:
ﻭ ﺄﻄﳋﺍ ﻦﻣ ﺯﻮﳚ ﻻ ﺎﻤﻴﻓ ﻉﻮﻗﻮﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻧﻮﺼﻳ ﻡﻮﺼﻌﳌﺍ ﻥﺎﺴﻧﻹﺍ ﰲ ﺮﻣﺃ ﺔﻴﺼﻌﳌﺍ
.
101
Ibrahim al-Amin juga mendefinisikan dengan: suatu daya atau kekuatan jiwa yang menghalangi pemiliknya untuk terjatuh ke dalam
kemaksiatan dan kesalahan, sehingga secara aktual pemiliknya tidak pernah meninggalkan suatu kewajiban dan tidak pula melakukan suatu
yang diharamkan.
102
Dengan demikian, ‘ is}mah dapat difahami sebagai kualitas
batin akibat pengendalian diri yang memancar dari sumber keyakinan, ketaqwaan, dan wawasan keilmuan yang luas. Ia mampu menjamin
manusia untuk dapat melawan semua jenis dosa dan penyelewengan moral. Potensi dan karunia ini bersumber dari Allah yang diberikan
kepada hamba-hamba-Nya yang dinilai layak dan selalu berusaha untuk berpegang teguh kepada-Nya.
103
Shaykh Muhammad al-Qad}i memberikan semacam ilustrasi terkait dengan sifat ‘
is}mah yang dimiliki oleh para imam. Beliau mengatakan, bahwa perbedaan prilaku manusia antara perbuatan baik
dan buruk timbul karena perbedaan kualitas dan kuantitas pengetahuannya. Jika ada seseorang yang dengan rela melakukan
perbuatan yang nampak melelahkan, dapat dipastikan bahwa dia sadar dan tahu akan tujuan yang hendak dicapai di balik aktifitas itu.
Demikian pula saat seseorang dengan senang hati meninggalkan suatu perbuatan yang indah dan mubah bagi dia, bararti ada tujuan dan buah
99
Al-Muz}affar, ‘Aqaid al-Imamiyah, 91
100
Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muh}it} Bairut: Dar
Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, 1412 H1991 M, juz IV, 2 entri ﻢﺼﻋ
101
Muhammad Husain al-T{abat}aba`i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an Bairut:
Muassasah al ‘Alami, 1391 H, juz II, 144.
102
Shaykh Ibrahim al-Amin, Dirasat fi al-Imamiyah Qum: Mu`assasah
Ans}ariyan, 1416 H1996 M, 143; Ja’far al-Subh}ani, Buh}uth fi al-Milal wa-al-Nih}al
Qum: Lajnat Idarat al-H{auzat al-‘Ilmiyah, 1413 H, juz VI, 288.
103
Ali al-H{usaini al-Mailani, al-‘Is}mah Teheran: Markaz al-Abh}ath al- ‘Aqaidiyah, 1421 H, 13; al-Sharif al-Murtad}a,
Rasa`il al-Murtad}a Qum: Dar al- Quran al-Karim, 1405 H, juz III, 236.
83 yang hendak ia capai. Di sinilah peran pengetahuan dalam
membangun kualitas ketaqwaan tersebut, dan dengan proses semacam itu diharapkan dapat mengantarkan seseorang pada kedudukan yang
tinggi di sisi Allah swt.
104
Terdapat beberapa argumen yang diajukan oleh kelompok Syi’ah dalam rangka menopang doktrin kemaksuman para imam, di
antaranya ayat:
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
33:33 ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, wahai ahlu bait dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.’
Ayat di atas, menurut pemahaman kelompok Syi’ah memberikan informasi bahwa para imam berpredikat maksum.
105
Kata “
innama” dalam ayat di atas berfungsi sebagai pembatas h}as}r. Sehingga keinginan dan kehendak Allah untuk melakukan penyucian
dan pembersihan dosa itu hanya terbatas pada ahl al-bait, bukan pada
kelompok atau golongan yang lain.
106
Adapun kata al-rijs dalam ayat
tersebut secara umum mengandung makna kotoran, baik kotoran lahir atau batin, dapat juga bermakna sesuatu yang menjijikan, yang
dibenci atau dosa.
107
Namun, kata al-rijs dalam ayat ini lebih tepat
diartikan dengan kotoran lahiriyah al-madiyah al-z}ahiriyah dan juga
batin al-ma’nawiyah al-bat}iniyah yang berupa pelanggaran dan
dosa.
108
104
Muhammad al-Qad}i, al-‘Is}mah t.tt: Sitârah, 1417 H1997 M, 115-117.
105
Al-Subh}ani
, Buhuth fi al-Milal wa-al-Nih}al, juz VI, 288;
al-Sayyid al- Mar’ashi al-Najfi w. 1411 H,
Sharh} Ih}qaq al-H}aq wa-Izh}aq al-Bat}il Qum: Mansyurat Maktabat Ayatullah ‘Uz}mah Mar’ashi, t.th, juz. III, 358;
al-Shaykh Mufid,
Tas}h}ih} al-I’tiqadat al-Imamiyah Bairut: Dar al-Mufid, 1414 H, 127-128.
106
Al-T}abat}aba`i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz XVI, 309.
107
Ibn Manz}ur, Lisan al-‘Arab, entri
ﺮﺴﺟ; Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al- Muh}it}, juz II, 218, entri
ﺲﺟر; Fakhruddin Muhammad ibn Umar al-Razi, Tafsir Mafatih} al-Ghaib Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H1990 M, juz XXV,
181.
108
Muhammad al-Qad}i, al-‘Is}mah, 71; Abu al-Fad}l Shihabuddin al-Sayyid
Mahmud al-Alusi, Ruh} al-Ma’ani Bairut: Dar Ih}ya` al-Turath al-‘Arabi, t.th, juz
XXII, 12.
84 Sementara yang dimaksud dengan
Ahl al-Bait dalam ayat di atas menurut para ulama Syi’ah hanyalah lima orang, yaitu: Nabi
saw., Ali ibn abi Thalib, Fatimah, Hasan, dan Husain ibn Ali
109
dengan berdasar hadis yang diriwayatkan oleh ummu Salamah:
ﹶﺔﻤﻃﺎﹶﻓﻭ ﻲﻠﻋﻭ ﹺﻦﻴﺴﺤﹾﻟﺍﻭ ﹺﻦﺴﺤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻞﱠﻠﺟ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﱠﻥﹶﺃ ﻲﺘﻴﺑ ﹸﻞﻫﹶﺃ ِﺀﺎﹶﻟﺆﻫ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﹸﺛ ًﺀﺎﺴﻛ
ﺍﲑﹺﻬﹾﻄﺗ ﻢﻫﺮﻬﹶﻃﻭ ﺲﺟﺮﻟﺍ ﻢﻬﻨﻋ ﺐﻫﹾﺫﹶﺃ ﻲﺘﺻﺎﺧﻭ ﹴﺮﻴﺧ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻚﻧﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻢﻬﻌﻣ ﺎﻧﹶﺃﻭ ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ ﻡﹸﺃ ﺖﹶﻟﺎﹶﻘﹶﻓ
.
110
“Bahwasannya Nabi saw., menyelimuti Hasan, Husain, Ali, dan Fatimah dengan
kisa’ pakaiankain lalu berkata, ya Allah, mereka adalah
ahlu baiti keluargaku dan orang-orang dekatku, maka jauhkan mereka dari segala kotoran dan bersihkan mereka
sebersih-bersihnya. Ummu Salamah bertanya, apakah aku juga termasuk dari mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: engkau
dalam kebaikan.”
Argumen lain yang berupa hadis yang digunakan untuk mendukung status kemaksuman imam di antaranya:
ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺍﻮﱡﻠﻀﺗ ﻦﹶﻟ ﻪﹺﺑ ﻢﺗﹾﺬﺧﹶﺃ ﹾﻥﹺﺇ ﺎﻣ ﻢﹸﻜﻴﻓ ﺖﹾﻛﺮﺗ ﺪﹶﻗ ﻲﻧﹺﺇ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ ﻲﺘﻴﺑ ﹶﻞﻫﹶﺃ ﻲﺗﺮﺘﻋﻭ
. ﻪﺟﻮﹾﻟﺍ ﺍﹶﺬﻫ ﻦﻣ ﺐﻳﹺﺮﹶﻏ ﻦﺴﺣ ﹲﺚﻳﺪﺣ ﺍﹶﺬﻫﻭ ﹶﻝﺎﹶﻗ
.
ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺭﺬﳊﺍ ﺪﻴﻌﺳ ﰊﺃ ﻦﻋ ﻞﺒﻨﺣ ﻦﺑ ﺪﲪﺃ ﻭ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ
109
Muhammad al-Qad}i, al-‘Is}mah, 180; al-T}abat}aba`i, al-Mizan fi Tafsir al-
Qur’an, juz XVI, 312.
110
HR. al-Tirmidhi, kitab al-Manaqib ‘an-Rasulillah, bab ma ja`a fi fad}li Fat}imah bint Muhammad. Al-Tirmidhi mengatakan, hadis ini berstatus hasan
shahih. Dalam bab lain diriwayatkan pula dari Umar ibn abi Salamah, Anas ibn Malik, ‘Aisyah ra. dan yang lain. Menurut penilaian Fakhruddin al-Razi,
pengkhususan kaum Syi’ah dalam cakupan makna ahl al-bait hanya pada lima orang
tidaklah tepat, karena konteks ayat tidak sejalan dengan pembatasan ini. Hal itu dapat dilihat dari pengalihan
khitab muannath dialog untuk perempuan yang terdapat pada ayat sebelumnya dan berpindah dengan menggunakan
khitab mudhakkar dialog untuk laki-laki, tujuannya agar mereka laki dan perempuan
dapat masuk semua dalam khitab atau kata
ﺖﯿﺒﻟا ﻞھأ. Lihat Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih} al-Ghaib, juz XXV, 181, dan Muhammad Abdul Rahman ibn Abdul
Rahim al-Mubarakafuri, Tuh}fat al-Ah}wadhi Sharh} Sunan al-Tirmidhi Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H1990 M, juz. X, 195.
85 ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah aku tinggalkan
bagi kalian suatu peninggalan, yang tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh padanya:
kitaballah dan ‘itrah ahlubaitku. diriwayatkan oleh al-Tirmidhi’ dari sahabat Jabir ibn Abdullah, dan
Ahmad ibn Hanbal dari sahabat abi Said al-Khudri
111
Dalam hadis di atas, Rasulullah saw., mensejajarkan antara al- Qur’an dengan ‘
itrah Ahlulbait. Sehingga menurut pandangan ulama Syi’ah, pensejajaran itu memiliki keterkaitan dan makna yang dalam,
yaitu sebagaimana al-Qur’an berstatus maksum dan terjaga dari segala kesalahan dan pertentangan, maka demikian pula dengan ahli bait
Nabi saw.
112
Selain berargumenkan nash, kalangan Syi’ah juga berargumen dengan logika, di antaranya argumen yang disampaikan oleh al-H{uli
w. 726 H yang teringkas dalam point berikut: a pengertian dari kata ‘imam’ telah mengandung makna ‘
is}mah, karena kata ‘imam’ secara etimologi berarti ‘yang diikuti’
al-mu`tam bihi. Jika mereka bisa melakukan salah dan dosa, berarti Allah membolehkan seseorang
untuk mengikuti imam yang salah, dan ini mustahil. Namun jika Allah tidak memerintahkan manusia untuk mengikutinya, maka sia-sia
penunjukan mereka sebagai imam. Dengan demikian, maka untuk dapat diterimanya syariat yang mereka sampaikan kepada manusia,
mengharuskan mereka untuk berstatus maksum; b Adanya para pemimpin yang dijadikan imam, namun ternyata mereka justru
dicela.
113
Kondisi ini, bisa menjadi penyebab dan sekaligus alasan bagi seseorang untuk tidak patuh kepada imam. Oleh karena itu, kepatuhan
111
Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, kitab al-Manaqib, bab Manaqib Ahl al-
Bait. Menurut beliau, hadis ini berstatus h}asan gharib, dan Ahmad ibn Hanbal dalam
musnad abi Said al-Khudri. Muslim dalam S}ah}ih}nya, kitâb Fad}ail al-S}ah}abah, bab
min Fad}ail Ali ibn abi T}alib juga meriwayatkan hadis senada dengan redaksi yang agak berbeda namun memilki substansi yang sama.
112
Al-Subh}ani, Buh}uth fi al-Milal, juz VI, 288. Ali Umar al-Habsyi, Dua
Pusaka Nabi saw., al-Qur’an dan Ahlulbait: Kajian Islam Otentik Pasca Kenabian Jakarta: Pustaka Zahra, 1423 H2002 M, 34.
113
sebagaimana firman Allah swt.dalam surat al-Baqarah [2]:44:
‘Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaktian, sedang kamu melupakan diri kewajiban mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab Taurat?
Maka tidaklah kamu berpikir?
’
86 terhadap imam bukan semata karena keimamahannya, namun karena
kemaksumannya, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengikutinya.
114
Shaykh Muhammad Rid}a al-Muz}affar juga mengajukan pandangannya, dengan mengatakan:
ﻭ ﻞﺋﺍﺫﺮﻟﺍ ﻊﻴﲨ ﻦﻣ ﺎﻣﻮﺼﻌﻣ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺃ ﺐﳚ ﱯﻨﻟﺎﻛ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﻥﺃ ﺪﻘﺘﻌﻧ ﺎﻤﻛ ،ﺍﻮﻬﺳ ﻭﺃ ﺍﺪﻤﻋ ﺕﻮﳌﺍ ﱃﺇ ﺔﻟﻮﻔﻄﻟﺍ ﻦﺳ ﻦﻣ ﻦﻄﺑ ﺎﻣ ﻭ ﺎﻬﻨﻣ ﺮﻬﻇ ﺎﻣ ﺶﺣﺍﻮﻔﻟﺍ
ﻭ ﻉﺮﺸﻟﺍ ﺔﻈﻔﺣ ﺔﻤﺋﻷﺍ ﻥﻷ ،ﻥﺎﻴﺴﻨﻟﺍ ﻭ ﺀﺎﻄﳋﺍ ﻭ ﻮﻬﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﺎﻣﻮﺼﻌﻣ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺃ ﺐﳚ
ﰲ ﻢﳍﺎﺣ ،ﻪﻴﻠﻋ ﻥﻮﻣﺍﻮﻘﻟﺍ ﺔﻤﺼﻌﺑ ﺪﻘﺘﻌﻧ ﻥﺃ ﺎﻧﺎﻀﺘﻗﺍ ﻱﺬﻟﺍ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﻭ ﱯﻨﻟﺍ ﻝﺎﺣ ﻚﻟﺫ
ﻕﺮﻓ ﻼﺑ ﺔﻤﺋﻷﺍ ﺔﻤﺼﻌﺑ ﺪﻘﺘﻌﻧ ﻥﺃ ﺎﻨﻴﻀﺘﻘﻳ ﻪﺴﻔﻧ ﻮﻫ ﺀﺎﻴﺒﻧﻷﺍ .
‘Kami percaya bahwa imam seperti nabi, harus terpelihara dari semua keburukan dan kekejian, yang lahir maupun yang batin, sejak
usia kanak-kanak sampai dengan kematian, dengan sengaja ataupun lupa. Dia juga harus terpelihara dari sifat lupa dan salah, karena para
imam adalah pemelihara syariat dan pelaksana ajaran agama, keadaan mereka dalam hal tersebut seperti keadaan nabi. Dalil yang mengantar
kami percaya terhadap keterpeliharaan nabi dari dosa dan kesalahan itu jugalah yang mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan para
imam, tanpa perbedaan.’
115
Doktrin kemaksuman para imam menurut al-Subh}ani tidaklah lebih agung jika dibandingkan dengan doktrin keadilan sahabat.
116
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh al-Zarkashi w. 794 H, predikat keadilan sahabat dalam pandangan ahlusunnah tidak berarti
bahwa mereka bersifat maksum terjaga dari semua kesalahan dan dosa. Sebab hal semacam ini tidak akan mungkin disandang kecuali
oleh orang yang dikarunia keistimewaan tersendiri oleh Allah swt.
117
114
Al-H{uli, al-Alfain fi Imamah Amir al-Mu’minin ‘Ali, dalam Ahmad al-
Wa`ili, Huwiyat al-Tashayyu‘ Bairut: Muassasah Ahl al-Bait, cet. II, 1981 M, 145-
155.
115
Muhammad Rid}a al-Muz}affar, ‘Aqaid al-Imamiyah Kairo: Maktabat al-
Najah, 1381 H, 51.
116
Ja’far al-Subh}ani, al-I’tis}am bi-al-Kitab wa-al-Sunnah Teheran: Rabit}at
al-T}aqafah wa-al-‘Alaqat al-Islamiyah, 1417 H1996, 357.
117
Badruddin Muhammad ibn Abdillah al-Zarkashi, al-Bah}r al-Muhît} fi Us}ul
al-Fiqh Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa-al-Shu`un al-Islamiyah, 1409 H1988 M, juz
87 Sementara itu, al-S}abuni mengatakan, predikat maksum dalam
pandangan Sunni, tidaklah seperti yang difahami oleh kalangan Syi’ah. Predikat maksum hanya disandang oleh para nabi dan rasul
salawatullahi ‘alaihim. Setiap manusia, selain nabi dan rasul dapat melakukan kesalahan dan penyimpangan. Walaupun Allah swt. telah
memberikan penjagaan kepada para wali-Nya dari perbuatan dosa besar dan sekaligus melindungi mereka dari perbuatan nista, hal itu
tidak lebih sebagai karunia dan taufik serta perlindungan ilahi, bukan termasuk sifat maksum yang secara eksklusif diberikan kepada para
nabi dan rasul-Nya.
118
Beliau menambahkan:
ﻥﺎﻫﺮﺑ ﻻ ﻭ ﺎﳍ ﺔﺤﺻ ﻻ ﺹﺎﺨﺷﻷﺍ ﺾﻌﺑ ﺔﻤﺼﻌﺑ ﲔﻔﻟﺎﺨﳌﺍ ﺾﻌﺑ ﻯﻮﻋﺩ ﻭ ﺖﻧﺎﻛ ﺎﻤﻓ ،ﻡﻼﺣﺃ ﻭ ﻡﺎﻫﻭﺃ ﺩﺮﳎ ﻮﻫ ﺎﳕﺇ ﻭ ،ﺔﻨﺳ ﻭﺃ ﺏﺎﺘﻛ ﻦﻣ
ﺔﻤﺼﻌﻟﺍ ﻻﺇ ﺪﺣﻷ
ﲔﳌﺎﻌﻠﻟ ﺓﻭﺪﻘﻟﺍ ﻢﻬﻠﻌﺟ ﷲﺍ ﻥﻷ ﺀﺎﻴﺒﻧﻷﺍ
.
119
‘Klaim sebagian kelompok yang menyimpang atas kemaksuman beberapa individu tidaklah sah dan tidak didukung oleh
dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Hal itu, tidak lebih sekedar hayalan dan lamunan. Tidak ada seorang pun yang berpredikat
maksum selain para nabi dan rasul karena mereka telah diangkat oleh Allah swt. untuk menjadi teladan dan panutan bagi seluruh alam.’
Oleh karena itu, kalangan Sunni jelas-jelas menolak doktrin kemaksumam imam. Bahkan, ibn Taimiyah menuding bahwa doktrin
kemaksuman imam tidak akan keluar kecuali dari orang-orang yang melampaui batas dalam kebodohan.
120
Jika diamati lebih kritis, argumen yang diajukan oleh kalangan Sunni terkait doktrin keadilan sahabat dan argumen yang diajukan
oleh kalangan Syi’ah untuk menopang predikat kemaksuman imam pada dasarnya masih bersifat umum. Artinya, dalil-dalil yang diajukan
IV, 300. Lihat juga Ahmad Ali al-Imam, al-S}uh}bah wa-al-S}ah}abah, 48.
Muhammad ibn Alwi al-Maliki al-H{asani,
al-Manhal al-Lat}if fi Us}ul al-H{adith al-Sharif Bairut: Dar al-Fikr, cet. IV, 1402 H1982 M, 182.
118
Muhammad Ali al-S}abuni, al-Nubuwwat wa-al-Anbiya’
Saudi Arabia: t.p., 1400 H1980 M, 55-56.
119
Al-S}abuni, al-Nubuwwat wa-al-Anbiya`’, 86.
120
Abu al-Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah, Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyah Riyad}: Maktabat al-Riyad} al-Hadithah, 1406 H1986 M, juz II, 453.
88 untuk mendukung hal tersebut tidak secara langsung dan tegas
menunjuk keadilan dan kemaksuman mereka. Sehingga, argumen yang mereka tawarkan masih bersifat interpretatif dan oleh karenanya tidak
menutup kemungkinan timbulnya beda pendapat.
Predikat keadilan bagi sahabat misalnya, ditentang oleh kalangan Muktazilah, Syi’ah, dan Khawarij.
121
Sebagaimana doktrin kemaksuman imam juga tidak diterima oleh kalangan Khawarij,
temasuk imam Ali r.a. yang dinilai kafir karena menerima tahkim.
122
Ulama Sunni, secara tegas juga menolak doktrin kemaksuman imam. Namun sekali lagi, bahwa kalangan Syi’ah masih tetap berkeyakinan
penuh akan kemaksuman imam dengan berpegang teguh pada interpretasi teks-teks ayat dan hadis.
Dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, terdapat dua belas imam yang berasal dari garis keturunan Ahlulbait yang diyakini berpredikat
maksum, mereka adalah: 1. Abu al-Hasan Ali ibn abi Thalib, 23 SH-40 H, kemudian
putra dan keturunan beliau, 2. Abu Muhammad al-Hasan ibn Ali 2 - 50 H
3. Abu Abdillah al-Husain ibn Ali 3 - 61 H 4. Ali Zainal Abidin ibn Husain 38 – 95 H
5. Abu Ja’far Muhammad ibn Ali al-Baqir 57-114 H 6. Abu Abdullah Ja’far ibn Muhammad al-S}adiq 83-148 H
7. Abu Ibrahim Musa ibn Ja’far al-Kaz}}im 128-183 H 8. Abu al-Hasan Ali ibn Musa al-Rid}a 148-203 H
9. Abu Ja’far Muhammad ibn Ali al-Jawad 195-220 H 10. Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-Hadi 212-254 H
11. Abu Muhammad al-Hasan ibn Ali al-‘Askari 232-260 H
121
Kalangan Muktazilah berpendapat bahwa status keadilan sahabat hanya disandang oleh mereka yang tidak ikut memerangi Ali ibn abi Thalib. Sedangkan
Syi’ah berpendapat bahwa keadilan sahabat hanya disandang oleh beberapa sahabat saja. Khawarij berpendapat bahwa semua sahabat yang terlibat dalam konflik antara
Ali dan Aisyah tidak dapat menyandang predikat adil. Lihat ibn Kathir, Ikhtis}ar
‘Ulum al-H{adith dalam Ahmad Shakir, al-Ba’ith al-H{athith Sharh} Ikhtishar ‘Ulum al-H{adith, 257-258.
122
Muhammad Taqiy al-Hakim, Al-Ushul al-‘Amah li al-Fiqh al-Muqarin,
Bairut: Dsr al-Andalus, cet. II, 1997 M 153; Muhammad abu Zahrah, al-Madhahib
al-Islamiyah Mesir: al-Mat}ba’at al-Namuzajiyah, t.th, 276; Abdul Qahir ibn T}ahir al-Baghdadi,
al-Farq baina al-Firaq Bairut: Dar al-Jil, 1408 H1987 M, 56-57; al- Subh}ani,
Us}ul al-Hadith, 194-195.
89 12. Abu al-Qasim Muhammad ibn al-Hasan al-Mahdi 255 H,
lalu menghilang sebelum dewasa, dan diyakini akan muncul kembali sebagai imam Mahdi yang dinantikan.
123
d. ‘Adil dan D{abit}
3 Konsep dan Pengertian ‘A dil
Di kalangan Syi’ah, terdapat beberapa perbedaan pendapat seputar definisi
al-‘adalah. Definisi yang paling mashur disampaikan oleh al-Subh}ani, beliau mengatakan,
al-‘adalah ialah:
ﻡﺪﻋ ﻭ ﺮﺋﺎﺒﻜﻟﺍ ﺏﺎﻜﺗﺭﺍ ﻙﺮﺗ ﻭ ﻯﻮﻘﺘﻟﺍ ﺔﻣﺯﻼﻣ ﻰﻠﻋ ﺔﺜﻋﺎﺑ ﺔﺨﺳﺍﺭ ﺔﻴﺴﻔﻧ ﺔﻜﻠﻣ ﺓﺀﻭﺮﳌﺍ ﺕﺎﻴﻓﺎﻨﻣ ﺏﺎﻜﺗﺭﺍ ﻙﺮﺗ ﻭ ﺮﺋﺎﻐﺼﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺭﺍﺮﺻﻹﺍ
.
124
Al-‘adalah ialah: karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untuk senantiasa berada dalam orbit ketaqwaan
dengan meninggalkan dosa besar dan tidak banyak melakukan dosa kecil, serta menghindari perbuatan yang dapat merusak muruahnya.’
Demikian pula dengan definisi yang disampaikan oleh Hasan ibn Zainuddin, beliau mengatakan:
al-‘adalah ialah: tabiat atau potensi yang terdapat pada diri seseorang yang dapat mencegah dari
perbuatan dosa besar dan kecil atau sesuatu yang dapat menghilangkan muruah.
125
Ada beberapa kriteria yang disampaikan oleh kelompok Syi’ah bagi seorang perawi agar dapat dikatakan adil. Al-H{akim al-Naisaburi
w. 405 H yang disebut-sebut sebagai ulama Syi’ah juga memberikan kriteria keadilan perawi: 1 muslim; 2 tidak mengajak pada perbuatan
123
Imam Mahdi adalah gelar seorang tokoh yang dipercaya akan tampil menegakkan keadilan. Kepercayaan tentang akan adanya tokoh tersebut tidak
terbatas pada kelompok Syi’ah, tetapi juga pada sebagian besar Ahlusunnah. Memang terdapat hadis-hadis yang menginformasikan akan datangnya seorang yang
digelari al-Mahdi. Tetapi siapa orangnya dan apakah telah datang atau belum, dan seberapa kuat atau lemah hadis-hadis tersebut, maka itu antara lain yang
diperselisihkan. Lihat M. Quraish Shihab,
Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkan? Jakarta: Lentera Hati, cet. III, 1428 H2007 M, h. 127-128.
124
Al-Subhâniy, Ushûl al-Hadîts wa Ahkâmuhu, h. 118.
125
Jamaluddin abi Mans}ur al-Shaykh Hasan ibn Zainuddin,,
Ma’alim al-Din wa-Maladh al-Mujahidin Teheran: al-Maktabat al-Islamiyah, t.th., 201.
90 bid’ah; dan 3 tidak melakukan perbuatan maksiat yang dapat
menggugurkan keadilannya.
126
Keadilan seorang perawi dapat diketahui dari rekomendasi seorang imam atau pakar hadis yang memuji kredibilitasnya serta
ketersohoran kualitas keilmuan, kejujuran dan ketaqwaan perawi tersebut di kalangan masyarakat dan ulama.
127
Demikian pula di kalangan Syi’ah, keadilan perawi dapat diketahui dari rekomendasi
para pakar hadis yang memberikan sinyal-sinyal yang mudah difahami oleh masyarakat akan kredibilitas perawi tersebut, atau dengan
merujuk pada buku-buku perawi hadis
rijal al-h}adith yang ditulis oleh para pakar yang berisi pujian dan justifikasi
tazkiyah dari mereka.
128
Lebih lanjut, sekte Syi’ah Imamiyah memandang bahwa sahabat seperti halnya manusia biasa. Di antara mereka terdapat
kelompok yang patuh dengan ajaran agama, ada yang pembangkang, ada pula yang munafik dan ahli maksiat, bahkan ada pula yang hal
ikhwal mereka tidak diketahui
majhul al-h}al.
129
Oleh sebab itu, sikap Syi’ah terkait keadilan sahabat amat berseberangan dengan pendapat Ahlusunnah. Syiah menolak dengan
tegas jeneralisasi keadilan untuk semua sahabat.
130
Mereka membagi sahabat menjadi dua kelompok besar.
Pertama, para pengikut dan pengagum sayyidina Ali ra. dan
kedua, kelompok yang tidak memberikan dukungan kepada sayyidina Ali ra. atau dengan kata lain,
mereka tidak berkeberatan membaiat Sayyidina Abu Bakar ra.
131
126
Al-H{akim abi Abdillah Muhammad ibn Abdillah Al-Naisaburi, Kitab
Ma’rifat ‘Ulum al-H{adith Hayderabad: Dairat al-Ma’rifat al-Uthmaniyah, t.th, 53.
127
Humam Abdul Rahim Said, al-Fikr al-Manhaji ‘inda al-Muh}addithin
Katar: Dar al-Kutub al-Katariyah, 1408 H, 92; al-Suyut}i, Tadrib al-Rawi, juz I,
301; al-Subki,
Qa’idah fî al-Jarh} wa-al-Ta’dil, H{alb:
Dar al-Wa’yi, cet. II, 1978, juz. I, 10.
128
Al-Subh}ani, Kulliyat fi ‘Ilm al-Rijal, 36-37.
129
Asad H{aidar, al-Imam al-S}adiq wa-al-Madhahib al-Arba’ah Bairut: Dar
al-Kitab al-‘Arabi, 1409 H1979 M, jilid I, 591-592.
130
Makarim al-Sayrazi, al-Shi’ah Shubuhat wa-Rudud, terj. Ahmad
Muhammad al-Haraz Qum: Madrasah al-Imam Ali ibn ab T}alib, 1428 H, 40-41.
131
Kashif al-Ghit}a`, As}l al-Shi’ah wa-Us}uluha, 113. Namun secara umum
kelompok Syi’ah membagi orang-orang muslim yang bertemu dengan Nabi saw. menjadi tiga kelompok :
pertama, para pengikut dan pengagung sayyidina Ali ra., kedua, kelompok yang memusuhi dan memerangi sayyidina Ali ra., dan ketiga,
selain kelompok pertama dan kedua. Mereka adalah mayoritas kaum muslimin yang ada saat itu. Mereka itu kelompok yang tidak berkeberatan membaiat sayyidina
91 Keadilan sahabat yang ditawarkan oleh Ahlusunnah dengan
berbagai argumennya disanggah oleh kelompok Syi’ah dengan mengetengahkan beberapa argumen qur’ani yang menurut interpretasi
mereka ayat-ayat tersebut mengindikasikan ketidaklayakan sahabat untuk menyandang gelar
‘udul. Ahmad Husain Ya’qu
b dalam hal ini berkomentar:
ﺔﻨﺴﻟﺍ ﰲ ﺓﺩﺭﺍﻮﻟﺍ ﺹﻮﺼﻨﻟﺍ ﻊﻣ ﺽﺭﺎﻌﺘﺗ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟﺍ ﻞﻛ ﺔﻟﺍﺪﻋ ﺔﻳﺮﻈﻧ ﻥﺃ ﺎﻨﻳﺃﺭ ﻭ ﺔﻌﻃﺎﻘﻟﺍ ﺔﻴﻋﺮﺸﻟﺍ ﺹﻮﺼﻨﻟﺍ ﻊﻣ ﺽﺭﺎﻌﺘﺗ ﻭ ،ﺔﻳﺮﻳﺮﻘﺘﻟﺍ ﻭ ﺔﻴﻠﻌﻔﻟﺍ ﻭ ﺔﻴﻟﻮﻘﻟﺍ ﺓﺮﻬﻄﳌﺍ
ﻭ ﺀﺎﻴﺷﻷﺍ ﻖﻄﻨﻣ ﻊﻣ ﻭ ،ﺓﺎﻴﳊﺍ ﻦﻣ ﺔﻳﺎﻐﻟﺍ ﻊﻣ ﺽﺎﻌﺘﺗ ﻞﺑ ،ﱘﺮﻜﻟﺍ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﰲ ﺓﺩﺭﺍﻮﻟﺍ
ﺡﻭﺮﻟﺍ ﻡﻼﺳﻺﻟ ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ
.
132
‘Menurut kami, bahwa pandangan tentang keadilan seluruh sahabat adalah bertentangan dengan nash-nash yang terdapat dalam
sunnah Nabi saw., berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan, dan bertentangan dengan tujuan kehidupan, logika, dan ruh universal
ajaran Islam.’ Terdapat beberapa argumen
naqli maupun aqli yang diajukan oleh para ulama hadis Syi’ah terkait keadilan sahabat. Dalil-dalil itu
sekaligus menolak argumen yang disampaikan oleh Ahlusunnah. Dalil-dalil tersebut di antaranya:
ﺔﺒﻭﺘﻟﺍ
9 :
101
‘Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan juga di antara penduduk Madinah.
Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu Muhammad tidak mengetahui mereka, tetapi Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti
Abu Bakar ra. Hanya saja para ulama Shi’ah Ithna’ashariyah tidak memasukkan
kelompok ke dua dalam pengertian sahabat. Lihat Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah
Bergandengan Tangan Mungkinkan?, 148-149.
132
Ahmad H{usain Ya’qub, Naz}ariyah ‘Adalah al-S}ah}abah Qum: Muassasah
Ans}ariyah li-al-T}iba’ah wa-al-Nashr, 1417 H1996 M, 72.
92 mereka akan kami siksa dua kali, kemudian mereka akan
dikembalikan kepada azab yang besar.’
‘Di antara mereka orang-orang munafik ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: Nabi mempercayai semua apa yang
didengarnya. Katakanlah: Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin,
dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu. dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab
yang pedih
.’
‘Orang-orang Arab Badwi itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum
yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, dan Allah Maha me- ngetahui lagi Maha Bijaksana.’
‘Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.’
Selain ayat, mereka juga mengajukan beberapa argumen yang bersumber dari hadis, di antaranya:
a Hadis riwayat Abu Hurairah ra. yang berbunyi:
93
ﹾﻠﹸﻘﹶﻓ ﻢﹸﻠﻫ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﻢﹺﻬﹺﻨﻴﺑﻭ ﻲﹺﻨﻴﺑ ﻦﻣ ﹲﻞﺟﺭ ﺝﺮﺧ ﻢﻬﺘﹾﻓﺮﻋ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻰﺘﺣ ﹲﺓﺮﻣﺯ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻢﺋﺎﹶﻗ ﺎﻧﹶﺃ ﺎﻨﻴﺑ ﺖ
ﻰﹶﻠﻋ ﻙﺪﻌﺑ ﺍﻭﺪﺗﺭﺍ ﻢﻬﻧﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﻬﻧﹾﺄﺷ ﺎﻣﻭ ﺖﹾﻠﹸﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻳﹶﺃ ﻢﻫﹺﺭﺎﺑﺩﹶﺃ
ﺖﹾﻠﹸﻗ ﻢﹸﻠﻫ ﹶﻝﺎﹶﻘﹶﻓ ﻢﹺﻬﹺﻨﻴﺑﻭ ﻲﹺﻨﻴﺑ ﻦﻣ ﹲﻞﺟﺭ ﺝﺮﺧ ﻢﻬﺘﹾﻓﺮﻋ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻰﺘﺣ ﹲﺓﺮﻣﺯ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻢﹸﺛ ﻯﺮﹶﻘﻬﹶﻘﹾﻟﺍ
ﹾﻟﺍ ﻢﻫﹺﺭﺎﺑﺩﹶﺃ ﻰﹶﻠﻋ ﻙﺪﻌﺑ ﺍﻭﺪﺗﺭﺍ ﻢﻬﻧﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﻬﻧﹾﺄﺷ ﺎﻣ ﺖﹾﻠﹸﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﹺﺭﺎﻨﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻦﻳﹶﺃ ﻯﺮﹶﻘﻬﹶﻘ
ﹺﻢﻌﻨﻟﺍ ﹺﻞﻤﻫ ﹸﻞﹾﺜﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻢﻬﻨﻣ ﺺﹸﻠﺨﻳ ﻩﺍﺭﹸﺃ ﺎﹶﻠﹶﻓ
.
133
‘Saat aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan seorang laki-laki muncul di antara kami. Laki-laki itu
berkata, “ayo” aku bertanya, “hendak kemana?” Ia menjawab, ke neraka, demi Allah” Aku bertanya, “ada apa dengan mereka?” Ia
menjawab, “mereka telah berbalik setelah engkau wafat.” Dan aku tidak melihat keikhlasan di wajah mereka, mereka berjalan seperti
kerombolan onta tanpa gembala.’ HR. al-Bukhari b Hadis riwayat Asma` binti Abi Bakar yang menyebutkan:
ﺏﺭ ﺎﻳ ﹸﻝﻮﹸﻗﹶﺄﹶﻓ ﻲﹺﻧﻭﺩ ﺱﺎﻧ ﹸﺬﺧﺆﻴﺳﻭ ﻢﹸﻜﻨﻣ ﻲﹶﻠﻋ ﺩﹺﺮﻳ ﻦﻣ ﺮﹸﻈﻧﹶﺃ ﻰﺘﺣ ﹺﺽﻮﺤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﻲﻧﹺﺇ ﺍﻮﹸﻠﻤﻋ ﺎﻣ ﺕﺮﻌﺷ ﹾﻞﻫ ﹸﻝﺎﹶﻘﻴﹶﻓ ﻲﺘﻣﹸﺃ ﻦﻣﻭ ﻲﻨﻣ
ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻥﻮﻌﹺﺟﺮﻳ ﺍﻮﺣﹺﺮﺑ ﺎﻣ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﻙﺪﻌﺑ ﻢﹺﻬﹺﺑﺎﹶﻘﻋﹶﺃ
.
ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ
.
134
‘Tatkala berada di haudh, tiba-tiba aku melihat ada di antara kamu yang mengingkari dan mengikuti selainku. Aku bertanya,
“Ya Allah, mereka bagian dari umatku?” Tiba-tiba terdengar suara seseorang, “apakah engkau mengetahui apa yang mereka lakukan
sesudahmu? Demi Allah mereka terus mengingkarimu.” HR. al- Bukhari
c Fakta sejarah yang terjadi pada masa sahabat seperti perang
jamal dan
s}affain
misalnya, juga dapat dijadikan sebagai bukti bahwa para sahabat terlibat dalam pertikaian sengit yang berujung
pada terbunuhnya banyak nyawa. Argumen-argumen di atas sering digunakan oleh kelompok
Syi’ah untuk menolak keadilan sahabat yang ditawarkan Ahlusunnah. Namun, Ahlusunnah juga memiliki interpretasi tersendiri yang
133
HR. al-Bukhari, kitab al-Riqaq bab fi al-H{awd}, hadis no. 6099.
134
HR. al-Bukhari, kitab al-Riqaq bab fi al-H{awd}, hadis no. 6104
94 berbeda dengan interpretasi Syi’ah dalam memahami teks-teks al-
Qur’an dan hadis di atas.
135
4 Konsep dan Pengertian D{abit}
Secara etimologi, d}abt} bisa berarti cekatan, kokoh, menjaga
atau menghafal dengan kuat.
136
Pengertian d}abt} dalam ushul hadis
Syi’ah tidak berbeda dengan definisi d}abt} sebagaimana difahami oleh
Ahlusunnah. Ulama Syi’ah mendefinisikan
d}abt} dengan: kekuatan hafalan, tidak pelupa dalam meriwayatkan hadis. Seorang perawi yang
memiliki predikat d}abt} adalah orang yang cekatan, hafal dengan
hadis-hadis yang ia riwayatkan, jika proses periwayatannya melalui hafalan, dan mampu menjaga tulisannya dari berbagai bentuk
berubahan, jika ia meriwayatkan melalui hasil tulisannya.
137
Namun, syarat d}abt} bagi seorang perawi nampaknya masih
diperselisihkan keberadaannya di kalangan ulama hadis Syi’ah. Al- Shaykh Husain ibn Abdul Shamad al-‘Amili misalnya, memandang
bahwa d}abt} merupakan salah satu syarat keshahihan hadis. Beliau
mendefinisikan hadis shahih dengan: hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dari kalangan
imamiyah, memiliki sifat d}abt} dari perawi yang juga d}abt} hingga
sampai pada imam yang maksum dan tidak terdapat kejanggalan s}udhudh atau cacat ‘illah.
138
Pendapat ini didukung oleh Hasan al- ‘Amili, di mana beliau menegaskan bahwa
d}abt} merupakan syarat untuk keshahihan hadis ahad.
139
Bagi mereka yang tidak menyebutkan keberadaan d}abt} sebagai
syarat dalam definisi hadis shahih, bukan berarti d}abt} tidak penting
135
Dalam penafsiran Ahlusunnah, terdapat penjelasan yang berbeda terkait dengan ayat-ayat yang digunakan oleh Syi’ah sebagai argumen untuk menafikan
keadilan sahabat. Dalam pandangan Ahlusunnah, ayat-ayat tersebut lebih terkait dengan orang-orang munafik, dan orang munafik bukan termasuk dalam kategori
sahabat. Lihat misalnya ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Az}im; al-Fakr al-Razi,
Mafatih} al-Ghaib; lihat juga penjelasan Azami dalam Manhaj al-Naqd, 110-113; Abu Shuhbah,
Difa’ ‘an al-Sunnah, 91.
136
Jamaluddin abi Fad}l Muhammad ibn Makram ibn Manz}ur, Lisan al-‘Arab
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H2003 M, fas}l al-d}a` al-mu’jamah, juz VII, 384.
137
Al-Subh}ani, Us}ul al-H{adith, 135.
138
Husain ibn Abdul S{amad al-‘Amili, Was}l al-Akhyar ila Us}ul al-Akhbar,
93.
139
Hasan al-‘Amili, Muntaqa al-Jiman, juz I, 5
95 atau tidak dibutuhkan keberadaannya. Namun, mereka berpendapat
bahwa syarat d}abt} sebenarnya sudah inklut di dalam syarat ‘adalah
ﻥﺃ ﺔﻟﺍﺪﻌﻟﺍ ﻡﺯﺍﻮﻟ ﻦﻣ ﻂﺒﻀﻟﺍ
. Seorang perawi yang menyandang status adil, secara otomatis dia adalah seorang yang
d}abit} dengan riwayat-riwayat yang dibawanya
. Maka penyebutan kata“d}abt}” dalam definisi merupakan penyebutan yang sia-sia
ﺍﻭﻐﻟ , atau bisa juga penyebutan
kata itu dimaksudkan sebagai penegas ﺩﻴﻜﺄﺘ
dan bukan sebagai syarat.
Bagi yang berpendapat bahwa d}abt} merupakan syarat dan
berbeda dengan ‘adalah menegaskan, bahwa pencantuman syarat
tersebut untuk menjamin dari kemungkinan terjadinya kelalaian atau kelupaan yang terjadi pada perawi secara tidak sengaja yang
dikhawatirkan dapat berdampak pada kesempurnaan hadis.
140
E. Diskripsi dan analisis kitab-kitab hadis mu‘tamad di kalangan