109
BAB IV AL-QIFARI DAN KONSEP PERIWAYATAN HADIS
PERSPEKTIF AHLUSUNNAH
Metodologi yang digunakan oleh al-Qifari dalam kritiknya terhadap hadis-hadis Syi’ah Imamiyah banyak bertumpu pada ushul
hadis Ahlusunnah. Demikian pula dengan analisis yang digunakan untuk menilai kualitas dan keakuratan data yang terdapat pada
sumber-sumber referensi Syi’ah, serta prosedur dalam menafsirkan redaksi-redaksi ulama Syi’ah banyak bepijak pada model kritik yang
dilakukan oleh para pendahulunya dari kalangan ulama Ahlusunnah seperti Ibn Taimiyah 661-728 H, Shah Abdul Aziz al-Dahlawi w.
1239 H dan Ihsan Ilahi Z}ahir 1360-1407 H.
176
Dalam bab ini akan dipaparkan metodologi ushul hadis Ahlu- sunnah sebagaimana digunakan oleh al-Qifari dalam mengkritisi
hadis-hadis Syi’ah Imamiyah.
A. Keaslian Sumber
Sistem untuk menguji keaslian sumber sudah pernah dilakukan oleh para sarjana hadis klasik, yaitu dengan melihat segi-segi fisik
dokumen. Sebagaimana disampaikan oleh ‘Azami, bahwa: ‘Dalam banyak kasus, kesalahan dan kebohongan masih
memungkinkan untuk ditemukan melalui data historis, pengecekan dokumen-dokumen, jenis kertas, dan tinta yang dipakai untuk
menulis. Proses ini telah diterapkan oleh para ahli hadis, hanya saja ia belum menjadi sebuah metode yang umum karena seseorang tidak
selamanya dapat mengungkapkan integritas moral ulama hadis dengan cara ini.’
177
Sementara itu, para kritikus hadis telah mengembangkan sebuah sistem terperinci untuk menguji keaslian hadis. Secara global,
sistem ini didasarkan pada: kredibilitas periwayatnya dan ketersambungan sanadnya.
176
Jika ditelusuri dalam disertasi al-Qifari, akan didapatkan sekian banyak stetmen yang ditukil dari ucapan dan penilaian ibn Taimiyah saat mengkritik Syi’ah
al-Rafidah.
177
M.M. ‘Azami, Stadies in Hadith Methodology Indianapolis: Islamic
Theacing Center, 1977, 59.
110 ‘Azami juga menandaskan bahwa penilaian akhir suatu
riwayat atas dasar keaslian, atau ketelitian dan keaslian sekaligus, oleh para kririkus hadis dianggap belum cukup, dan karenanya mereka
menghendaki 3 syarat tambahan: 1 semua periwayat dalam sanad mesti dikenal
thiqah terpercaya; 2 mata rantai periwayatan bersambung; dan 3 didukung oleh pernyataan dari bukti yang
positif.
178
Oleh karena itu, ketika meneliti sebuah manuskrip hadis yang penulisnya telah lama meninggal, maka untuk menetapkan apakah isi
kandungannya benar-benar milik penulis perlu ditempuh langkah- langkah berikut: 1 memeriksa riwayat hidup penulis. Dalam hal ini
fokus pemeriksaan bertumpu pada dua hal: a memastikan apakah penulis pernah menyusun karya dengan judul seperti yang ada dalam
manuskrip; dan b menyusun daftar nama dari seluruh murid penulis dan memastikan apakah periwayat pertama dalam manuskrip itu
termasuk di antara mereka; 2 meneliti biografi peneliti pertama, hal ini dilakukan dengan dua tujuan pula: a menetapkan apakah ia
seorang yang terpercaya; dan b menyusun daftar nama seluruh muridnya; dan 3 demikian seterusnya diadakan pemeriksaan terhadap
biografi seluruh periwayat dalam rangkaian sanad. Manuskrip yang diteliti benar-benar dapat dikatakan milik penulis jika dalam
pemeriksaan terbukti bahwa penulis pernah menyusun karya dengan judul seperti itu dan tiap-tiap periwayat dalam rangkaian sanad terdiri
atas orang-orang yang
thiqah serta mata rantai periwayatannya bersambung.
Al-Khatib al-Baqhdadi dalam sebuah usahanya telah berhasil membuktikan kepalsuan riwayat sebuah dokumen yang diajukan oleh
kalangan Yahudi dengan mengecek keberadaan dua orang saksi yang tercantum dalam dokumen, dalam hal ini Mu’awiyah dan Sa’ad ibn
Mu’adh yang ternyata hal itu bertentangan dengan fakta sejarah. Alasannya karena Mu’awiyah belum masuk Islam pada saat dokumen
itu ditulis, sedangkan Sa’ad justru telah meninggal dunia.
Berdasarkan contoh yang dipaparkan di muka, jelaslah bahwa pengujian terhadap keaslian sumber atau dokumen hadis dengan cara
mengidentifikasi pembuat dokumen, waktu dan tempat penulisan dokumen, atau unsur-unsur lain yang relevan memang sudah pernah
dilakukan oleh sarjana hadis. Hanya saja, hal itu kurang umum
178
M.M. ‘Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, terj.
Sohirin Solihin et al. Jakarta: Gema Insani Press, 2005, 190.
111 dilakukan oleh mereka. Boleh jadi karena kurang lazimnya hal itu
dilakukan sehingga al-jawâbi menilai bahwa pengujian keaslian sumber dengan cara melacak identitas pengarang
mu’allif, menentukan waktu ataupun tempat penulisan, tidak berlaku dalam
kasus hadis. Alasannya adalah karena ketiga hal itu telah diketahui secara umum. Sudah jelas bahwa yang menjadi pengarang
mu’allif hadis adalah Nabi saw.
179
Barangkali al-Jawabi dalam konteks ini kurang komprehensif dalam menatap sebuah persoalan. Kalau mau mengkaji lebih jauh,
persoalan yang ada tampaknya tidak sesederhana itu. Bagaimanapun para peneliti suatu saat memang perlu melakukan uji eksternal
terhadap keaslian dokumen-dokumen hadis yang umumnya sudah tua sebagaimana yang pernah dilakukan oleh al Baghdadi, Azami,
Hamidullah, dan lainnya.
Hanya saja, dalam uji eksternal itu tidak cukup dengan hanya memeriksa jenis kertas dan tinta, identitas pengarang, waktu dan
tempat penulisan, tetapi perlu juga meneliti kredibilitas periwayat dan mata rantai periwayatannya. Lebih lanjut, dalam mata rantai
periwayatan dokumen itu sendiri masih harus diuji ketersambungan sanadnya dengan cara menganalisis berbagai metode dan lambang
periwayatan
T}uruq al-tah}ammul wa-siyagh al ada’ yang digunakan dalam proses periwayatan. Selain itu, kredibilitas masing-masing
periwayat juga harus diuji untuk mengetahui apakah periwayatannya dapat diterima atau tidak.
Kaidah-kaidah dan prosedur pengecekan riwayat seperti ini sangat populer di kalangan Ahlusunnah. Namun didapatkan, al-Qifari
tidak banyak menggunakan kaidah ini saat menilai riwayat-riwayat Syi’ah. Padahal, kaidah-kaidah semacam ini terdapat juga dalam ushul
hadis Syi’ah.
180
Diabaikannya beberapa prosedur dan pengecekan semacam ini, mengakibatkan kesalahfahaman dalam menilai hadis-hadis Syi’ah.
Diakui atau tidak, bahwa di dalam kitab al-Kafi sendiri terdapat
179
Muh}ammad T{ahir al-Jawabi, Juhud al-Muh}addithin fi Naqd Matn al-
H{adith al-Nabawi al-Sharif t.t.: Muassasah Abdul Karim, t.th, 495
180
Riwayat-riwayat dalam al-Kafi misalnya, ditulis oleh al-Kulaini dengan memperhatikan beberapa langkah:
pertama, karena para periwayat hadis-hadis tersebut berdekatan masanya dengan para imam;
kedua, sikap dan kepribadian para perawi yang agung, yang secara alami dapat menumbuhkan sikap percaya dan patuh
dengan karya-karya mereka; dan ketiga, keyakinan bahwa riwayat-riwayat akhbar
tersebut bersumber dari para imam.
112 sekian banyak hadis dha’if, namun al-Qifari nampaknya tidak dengan
tegas untuk mengakuinya.
181
B. Keshahihan Sumber