Pengaruh Budaya Minangkabau Terhadap Terbentuknya Pola Ruang Luar Di Kelurahan Tegal Sari Mandala III Kecamatan Medan Denai Kota Medan

(1)

KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

SUBUR PANJAITAN 077020012/AR

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH BUDAYA MINANGKABAU TERHADAP

TERBENTUKNYA POLA RUANG LUAR DI

KELURAHAN TEGAL SARI MANDALA III

KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Magister

Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

Subur Panjaitan 077020012/AR

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Pengaruh Budaya Minangkabau Terhadap Terbentuknya Pola Ruang Luar Di

Kelurahan Tegal Sari Mandala III Kecamatan Medan Denai

Kota Medan

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis yang diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2010

Subur Panjaitan 077020012/AR


(4)

Judul Tesis : PENGARUH BUDAYA MINANGKABAU TERHADAP TERBENTUKNYA POLA RUANG LUAR DI KELURAHAN TEGAL SARI MANDALA III KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Subur Panjaitan

Nomor Pokok : 077020012

Program Studi : Teknik Arsitektur

Menyetujui Komisi Pembimbing

(A/Prof. Julaihi Wahid, Dipl.Arch, B.Arch, M.Arch, PhD) (Beny O.Y Marpaung, ST, MT, PhD) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc, PhD) (Prof. Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal 25 Pebruari 2010

PANITIA PENGUJI

Ketua : A/Prof. Julaihi Wahid, Dip.Arch, B.Arch, M.Arch, PhD Anggota : 1. Beny O.Y Marpaung, ST, MT, PhD

2. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc, PhD 3. Salmina W. Ginting, ST, MT 4. Imam Faisal Pane, ST, MT


(6)

ABSTRAK

Merantau merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari etnis Minangkabau. Merantau bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka agar lebih baik dari sebelumnya. Kota Medan merupakan salah satu kota tujuan merantau dari etnis Minangkabau, tempat melakoni kehidupan yang baru berdampingan dengan etnis lain.

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang berbudaya dan sangat teguh memegang budayanya. Seiring dengan bergulirnya waktu, di tempat yang baru, keberadaan kehidupan budaya mereka mengalami perobahan. Perobahan ini terjadi akibat adanya persintuhan dengan budaya etnis lain maupun akibat kemajuan teknologi yang begitu pesat. Kemungkinan perkembangan budaya mereka sudah berbeda dengan budaya di tempat asal. Keadaan budaya baru ini akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya pola ruang luar yang ada di lingkungannya.

Pola ruang luar di permukiman yang baru, memiliki karakteristik berbentuk linier statis, linier dinamis dan bidang statis. Karakteristik pola ruang luar tersebut merupakan interpretasi perwujudan budaya etnis Minangkabau yang bermukim di tempat tersebut.

Penelitian ini memfokuskan kajian untuk menemukan budaya etnis Minangkabau di tempat asal maupun di tempat yang baru, menemukan sejarah masuknya pertama sekali masyarakat Minangkabau di lokasi penelitian dan untuk mengetahui pengaruh budaya Minangkabau terhadap terbentuknya pola ruang luar yang ada.

Kata Kunci: etnis Minangkabau, budaya, pola ruang luar


(7)

ABSTRACT

Leaving far away go to other region is an alternative to take for mostly Minangkabau community. Leaving a far is intended originally to improve one own living of life perhaps be better than before. Medan city is of destinations for them to live, there they want to stay and make struggle to fight and live together with other ethnics.

Minangkabau people is recognized as a community with own culture held and they practice upon the culture. Along with going time past, on the newly area, the existence of the culture they hold perhaps happen changes. The change taking place for there is assimilation with other ethnical cultures or somehow for available technology progress running past, indeed the existence of their cultures got differently with the original traditional to practice before. This newly condition shall produce a certain influence on the emerging an outer spaces pattern found with the environmental they held later.

The newly outer spaces pattern with that area, perhaps it has varies characteristic in static linear, dynamic linear and static matter, and such outer spaces pattern characteristics is seen an interpretation of forming own Minangkabau ethnic community with culture there on newly area.

This study focused its reseach on finding ethnical cultures as Minangkabau people practice there on the original region or newly place, even to find the history of Minangkabau first entering into the location of reseach and also to know the influence of Minangkabau culture on the forming of outer spaces pattern with available.

Keywords: Minangkabau ethnic, culture, outer spaces pattern


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali saya sampaikan ucapan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat, karunia dan ridha-Nya saya dapat menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini ijinkanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak A/Prof. Julaihi Wahid, Dipl.Arch, B.Arch, M.Arch, PhD, selaku Ketua Pembimbing dan Ibu Beny O.Y Marpaung, ST, MT, PhD, selaku Anggota Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesediaannya melowongkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran dan masukan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng, selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Teknik Arsitektur.

2. Ibu Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc, PhD, selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen-dosen pada Program Studi Magister Teknik Arsitektur, bidang kekhususan Manajemen Pembangunan Kota yang telah mendidik saya selama mengikuti pendidikan.

4. Keluarga tercinta, ayahanda H. Ismail Panjaitan, istriku Hj. Nilawaty SE, anak- anakku Muhammad Taufiq Panjaitan, Muhammad Iqbal Panjaitan, Luqmanul


(9)

Hakim Panjaitan dan Fakhrur Rozi Panjaitan, atas doa dan dorongan kalian semua serta keikhlasannya dapat menerima kekurangan perhatian saya selama mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Teknik Arsitektur di Universitas Sumatera Utara.

5. Sahabatku Ir. Nurmaidah, MT dan Syafiatun Siregar, ST, MT, yang telah banyak memberikan bantuan baik tenaga maupun saran serta buah pikiran

kepada saya selama dalam mengerjakan tesis ini.

6. Rekan-rekan Angkatan Tahun 2007, atas kebersamaan serta keihklasannya telah memberikan saran dan masukan kepada saya dalam penulisan tesis ini.

Akhirnya saya menyadari bahwa tesis ini masih banyak terdapat kekurangan disana sini dan dengan tangan terbuka saya mengharapkan kritik, saran serta masukan dari Bapak Ibu sekalian, demi sempurnanya tesis ini. Untuk itu semua saya ucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2010

Subur Panjaitan


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Subur Panjaitan Tempat/tanggal lahir : Sei Kepayang, 28 Mei 1954

Pekerjaan : Staf Pengajar Kopertis Wilayah I dpk pada Fakultas Teknik Universitas Amir Hamzah Medan

Alamat : Jalan Letda Sujono Gang Langsat No. 1 Medan

Pendidikan : - Tamat SR Negeri Sungai Kepayang Asahan Tahun 1968 - Tamat SMP Negeri Tanjung Balai Tahun 1971

- Tamat SMA Negeri Tanjung Balai Tahun 1974

- Tamat Sarjana Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara Tahun 1984

Isteri : Hj. Nilawaty, SE

Anak : 1. Muhammad Taufiq Panjaitan 2. Muhammad Iqbal Panjaitan 3. Luqmanul Hakim Panjaitan 4. Fakhrur Rozi Panjaitan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP...v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.4 Manfaat Penelitian ...3

1.5 Sistematika Penulisan ...3

1.6 Kerangka Pemikiran...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...7

2.1 Kebudayaan Minangkabau...7

2.2 Komunitas ...11

2.3 Peranan Sosial Budaya Terhadap Ruang Permukiman...12

2.4 Permukiman Etnis Minangkabau di Tempat Asal ...16


(12)

2.5 Tipologi Ruang Terbuka/Luar...18

2.5.1 Tipologi Ruang Statis...22

2.5.2 Tipologi Ruang Dinamis ...23

2.6 Pola Ruang Luar...23

BAB III LOKASI PENELITIAN...24

3.1 Keadaan Lokasi Penelitian...24

3.2 Sejarah Kedatangan Orang Minangkabau di Lokasi Penelitian...26

3.3 Sejarah Terbentuknya Lokasi Penelitian...30

3.3.1 Asal Mula Keberadaan Etnis Minangkabau di Lokasi Penelitian...30

3.3.2 Awal Keberadaan Rumah di Lokasi Penelitian ...31

3.3.3 Awal Keberadaan Jalan/Gang di Lokasi Penelitian ...33

3.4 Kondisi Permukiman di Lokasi Penelitian...34

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN...40

4.1 Metode Penelitian ...40

4.2 Pengumpulan Data Penelitian ...40

4.3 Data-data Yang Diperlukan ...41

4.4 Menentukan Jumlah Sampel Quesioner...43

4.5 Analisa Data ...45

BAB V ANALISA SITUASI BUDAYA ETNIS MINANGKABAU DI LINGKUNGAN IV KELURAHAN TEGAL SARI MANDALA III ...47

5.1 Umum...47


(13)

5.2 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan...47

5.3 Karakteristik Responden Menurut Jenis Pekerjaan...48

5.4 Karakteristik Responden Responden Menurut Lama Tinggal di Lokasi ...48

5.5 Karakteristik Responden Menurut Siapa Yang Tinggal Serumah ...49

5.6 Karakteristik Responden Menurut Status Kepemilikan Rumah ...50

5.7 Karakteristik Responden Menurut Bangunan Luar Rumah ...51

5.8 Karakteristik Responden Menurut Alasan Tinggal...54

5.9 Karakteristik Responden Menurut Fungsi Rumah...55

5.10 Karakteristik Responden Menurut Lokasi Tempat Bermain Anak ...56

5.11 Karakteristik Responden Menurut Fungsi Ruang Terbuka/Luar...57

5.12 Karakteristik Responden Menurut Kegiatan Sosial Budaya...59

5.13 Karakteristik Responden Menurut Tempat Interaksi Sosial ...61

5.14 Bentuk-Bentuk Pola Ruang Luar ...62

5.14.1 Pola Ruang Luar I ...64

5.14.2 Pola Ruang Luar II ...67

5.14.3 Pola Ruang Luar III...70

5.14.4 Pola Ruang Luar IV ...73

5.14.5 Pola Ruang Luar V...76

5.15 Analisa Pengaruh Budaya Terhadap Terbentuknya Pola Ruang Luar di Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan ...79

5.15.1 Hubungan Ruang Luar Rumah Dan Fungsi Rumah ...80


(14)

5.15.2 Hubungan Ruang Luar Rumah Dan Tempat Bermain Anak ...82

5.15.3 Hubungan Ruang Luar Rumah Dan Fungsi Ruang Luar ...84

BAB VI PENEMUAN...86

6.1 Keadaan Masyarakat Minangkabau di Tempat Asal ...86

6.2 Situasi Budaya Masyarakat Minangkabau di Lokasi Penelitian ...87

6.3 Pola Ruang Luar di Lokasi Penelitian yang didominasi Etnis Minangkabau ...92

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN...96

7.1 Kesimpulan ...96

7.2 Saran...98

DAFTAR PUSTAKA...99 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1 Crosstab Ruang Luar Rumah dan Fungsi Rumah ...80

5.2 Analisa Chi-Kuadrat Ruang Luar Rumah dan Fungsi Rumah...81

5.3 Crosstab Ruang Luar Rumah dan Tempat Bermain Anak...82

5.4 Analisa Chi-Kuadrat Ruang Luar Rumah dan Tempat Bermain Anak ...83

5.5 Crosstab Ruang Luar Rumah dan Fungsi Ruang Luar...84

5.6 Analisa Chi-Kuadrat Ruang Luar Rumah dan Fungsi Ruang Luar ...85

6.1 Permukiman dan Hubungannya dengan Budaya Minangkabau ...91

6.2 Pola Ruang Luar di Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Rumah...95


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Pemikiran...6

2.1 Ruang Sistem Tertutup Yang Linier ...21

2.2 Ruang Sistem Tertutup Yang Sentral...21

2.3 Ruang Sistem Terbuka Yang Sentral ...22

2.4 Ruang Sistem Terbuka Yang Linier...22

3.1 Peta Kota Medan dan Kecamatan Medan Denai...22

3.2 Peta Kelurahan Tegal Sari Mandala III dan Lingkungan IV ...26

3.3 Pajak Sentral Tahun 1930 ...27

3.4 Pusat Pasar ...28

3.5 Peta Kota Medan, Wilayah Kota Maksum, Wilayah Sukaramai dan Lokasi Penelitian ...29

3.6 Ibu Ramamah Tanjung...30

3.7 Bapak Zainuddin Tanjung...32

3.8 Sungai Sulang Saling ...33

3.9 Jalan/gang yang tidak lurus, lebar tidak seragam dan ke ujung semakin mengecil...34

3.10 Rumah yang langsung berbatasan dengan jalan/gang...34

3.11 Halaman rumah yang dibatasi pagar dengan jalan gang ...35

3.12 Halaman rumah yang menyatu dengan jalan/gang ...35

3.13 Lahan kosong di depan Masjid ...36

3.14 Jalan gang yang dilengkapi dengan drainase ...36

3.15 Jalan gang tanpa drainase...37


(17)

3.16 Tempat sirkulasi warga ...37

3.17 Tempat bersosialisasi sesama warga...37

3.18 Tempat bermain anak ...38

3.19 Tempat menjemur pakaian ...38

3.20 Pendidikan TK-MDA...38

3.21 Mushalla Taqwa ...38

3.22 Tembok berornamen yang melukiskan rumah adat Minangkabau ...39

3.23 Tanaman hias di depan rumah warga...39

5.1 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan...48

5.2 Karakteristik Responden Menurut Jenis Pekerjaan...48

5.3 Karakteristik Responden Menurut Lama Tinggal Di Lokasi...49

5.4 Karakteristik Responden Menurut Siapa Yang Tinggal Serumah ...49

5.5 Karakteristik Responden Menurut Status Kepemilikan Rumah ...51

5.6 Karakteristik Responden Menurut Bangunan Luar Rumah ...52

5.7 Pagar Sebagai Tempat Menjemur Pakaian ...52

5.8 Depan Rumah Yang Menyatu Dengan Gang...53

5.9 Teras Rumah Berfungsi Sebagai Tempat Berdagang ...53

5.10 Karakteristik Responden Menurut Alasan Tinggal...54

5.11 Karakteristik Responden Menurut Fungsi Rumah...55

5.12 Rumah Berfungsi Sebagai Tempat Home Industri Pembuatan Sepatu Dan Sandal ...56

5.13 Karakteristik Responden Menurut Tempat Bermain Anak...56

5.14 Anak-Anak Sedang Bermain...57

5.15 Karakteristik Responden Menurut Fungsi Ruang Luar ...57


(18)

5.16 Jalan Gang Sebagai Tempat Bersosialisasi ...58

5.17 Pemanfaatan Ruang Luar Koridor Jalan Sebagai Tempat Pesta Perkawinan ...59

5.18 Karakteristik Responden Menurut Kegiatan Sosial Budaya...59

5.19 Persiapan Dalam Pelaksanaan Hajatan Perkawinan ...60

5.20 Karakteristik Responden Menurut Tempat Interaksi Sosial ...62

5.21 Pembagian Pola Ruang Luar Pada Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan...63

5.22 Pola Ruang Luar I ...64

5.23 Poto Situasi Pola Ruang Luar I ...65

5.24 Denah Tipikal Dan Potongan Pola Ruang Luar I...66

5.25 Pola Ruang Luar II ...67

5.26 Poto Situasi Pola Ruang Luar II...68

5.27 Denah Tipikal Dan Potongan Pola Ruang Luar II ...69

5.28 Pola Ruang Luar III...70

5.29 Poto Situasi Pola Ruang Luar III ...71

5.30 Denah Tipikal Dan Potongan Pola Ruang Luar III...72

5.31 Pola Ruang Luar IV ...73

5.32 Poto Situasi Pola Ruang Luar IV ...74

5.33 Denah Tipikal Dan Potongan Pola Ruang Luar IV...75

5.34 Pola Ruang Luar V...76

5.35 Poto Situasi Pola Ruang Luar V ...77

5.36 Denah Tipikal Dan Potongan Pola Ruang Luar V ...78


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Tabel Nilai-nilai Chi-Kuadarat ...102 2. Surat Keputusan Pengangkatan Komisi Pembimbing ...103 3. Surat Ijin Survey Studi dari Sekolah Pascasarjana Program Studi

Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara ...104 4. Surat Keterangan/Izin Penelitian dari Pemko Medan ...105 5. Surat Izin Penelitian Pemko Medan/Kecamatan Medan Denai ...106 6. Struktur Organisasi Pemerintahan Kelurahan Tegal Sari Mandala III,

Kecamatan Medan Denai ...107 7. Data Pegawai dan Kepala Lingkungan Kelurahan Tegal Sari

Mandala III, Kecamatan Medan Denai ...108


(20)

ABSTRAK

Merantau merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari etnis Minangkabau. Merantau bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka agar lebih baik dari sebelumnya. Kota Medan merupakan salah satu kota tujuan merantau dari etnis Minangkabau, tempat melakoni kehidupan yang baru berdampingan dengan etnis lain.

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang berbudaya dan sangat teguh memegang budayanya. Seiring dengan bergulirnya waktu, di tempat yang baru, keberadaan kehidupan budaya mereka mengalami perobahan. Perobahan ini terjadi akibat adanya persintuhan dengan budaya etnis lain maupun akibat kemajuan teknologi yang begitu pesat. Kemungkinan perkembangan budaya mereka sudah berbeda dengan budaya di tempat asal. Keadaan budaya baru ini akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya pola ruang luar yang ada di lingkungannya.

Pola ruang luar di permukiman yang baru, memiliki karakteristik berbentuk linier statis, linier dinamis dan bidang statis. Karakteristik pola ruang luar tersebut merupakan interpretasi perwujudan budaya etnis Minangkabau yang bermukim di tempat tersebut.

Penelitian ini memfokuskan kajian untuk menemukan budaya etnis Minangkabau di tempat asal maupun di tempat yang baru, menemukan sejarah masuknya pertama sekali masyarakat Minangkabau di lokasi penelitian dan untuk mengetahui pengaruh budaya Minangkabau terhadap terbentuknya pola ruang luar yang ada.

Kata Kunci: etnis Minangkabau, budaya, pola ruang luar


(21)

ABSTRACT

Leaving far away go to other region is an alternative to take for mostly Minangkabau community. Leaving a far is intended originally to improve one own living of life perhaps be better than before. Medan city is of destinations for them to live, there they want to stay and make struggle to fight and live together with other ethnics.

Minangkabau people is recognized as a community with own culture held and they practice upon the culture. Along with going time past, on the newly area, the existence of the culture they hold perhaps happen changes. The change taking place for there is assimilation with other ethnical cultures or somehow for available technology progress running past, indeed the existence of their cultures got differently with the original traditional to practice before. This newly condition shall produce a certain influence on the emerging an outer spaces pattern found with the environmental they held later.

The newly outer spaces pattern with that area, perhaps it has varies characteristic in static linear, dynamic linear and static matter, and such outer spaces pattern characteristics is seen an interpretation of forming own Minangkabau ethnic community with culture there on newly area.

This study focused its reseach on finding ethnical cultures as Minangkabau people practice there on the original region or newly place, even to find the history of Minangkabau first entering into the location of reseach and also to know the influence of Minangkabau culture on the forming of outer spaces pattern with available.

Keywords: Minangkabau ethnic, culture, outer spaces pattern


(22)

1.1 Latar Belakang

Merantau merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang Minangkabau sejak lama. Pada awalnya merantau didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal pedalaman Sumatera Barat tidak lagi memadai luasnya untuk menunjang kehidupan mereka. Kegiatan merantau etnis Minangkabau ini terus berlanjut bukan hanya ke wilayah Sumatera Barat tetapi menuju ke kota-kota besar terutama Batavia dan Sumatera, khususnya Jambi, Pekanbaru, Palembang dan Medan (Niam, 1982 dalam Nasution, 2002).

Etnis Minangkabau datang ke kota Medan bertujuan untuk meningkatkan keadaan kehidupan mereka agar lebih baik dari yang sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu mereka dapat memiliki lahan sebagai pertapakan rumah melalui proses jual beli dari etnis lain. Pada saat mereka membeli tanah tersebut dari etnis lain, keadaan tanah masih dalam keadaan kosong. Mereka membangun tempat tinggalnya berdasarkan pemikiran mereka, dengan tujuan sebagai tempat perlindungan diri sendiri beserta keluarga. Mereka membangun rumahnya dengan memilih letak sesuai dengan keinginannya, apakah disudut, dipinggir atau di tengah kaplingan tanahnya. Adanya pertambahan penduduk baik secara alamiah maupun adanya pendatang baru (urbanisasi) yang terus menerus, menyebabkan adanya penambahan bangunan dan sub devisi bangunan baru mengakibatkan permukiman yang semula masih renggang menjadi padat.


(23)

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang berbudaya dan merupakan salah satu masyarakat yang masih berpegang teguh kepada budaya mereka. Dengan berkembangnya waktu, keberadaan kehidupan budaya mereka mengalami perobahan. Hal ini dapat terjadi karena adanya persintuhan dengan budaya etnis lain maupun pengaruh kemajuan teknologi yang begitu pesat. Kemungkinan perkembangan budaya mereka sudah berbeda dengan budaya yang mereka anut di kampung halamannya. Keadaan budaya yang baru, yang dialami oleh etnis Minangkabau di daerah baru di kota Medan ternyata memberi pengaruh terhadap pola ruang luar di permukiman mereka di Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan.

Pola ruang luar di permukiman yang baru ini ternyata memiliki karakteristik seperti bentuk yang linier statis, linier dinamis dan bidang statis. Karakteristik bentuk ruang luar tersebut, merupakan interpretasi perwujudan budaya dari etnis Minangkabau yang menempatinya.

Hal-hal yang disampaikan diatas adalah yang menjadi latar belakang mengapa penelitian ini perlu dilakukan.

1.2Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang disampaikan diatas, permasalahan yang menjadi topik kajian dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh budaya etnis Minangkabau terhadap terbentuknya ruang luar di lokasi penelitian.


(24)

1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menemukan pengaruh budaya etnis Minangkabau terhadap terbentuknya ruang luar di lokasi penelitian.

2. Untuk menemukan bentuk pola ruang luar pada lokasi penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

1. Akademis, sebagai acuan dalam pengembangan teori-teori tentang permukiman yang tumbuh dan berkembang sebagai perwujudan budaya penghuninya.

2. Pemerintah, sebagai bahan acuan dalam penataan permukiman dengan menampilkan wujud budaya sebagai cerminan masyarakat penghuninya dan dapat menjadi landmark kota.

1.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam tesis ini yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini akan diuraikan mengenai fenomena yang menjadi latar belakang pengambilan kasus, perumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran dan sistematika penulisan.


(25)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada sub bab awal kajian teori akan diuraikan mengenai kebudayaan Minangkabau, komunitas, peranan sosial budaya terhadap ruang permukiman dan permukiman etnis Minangkabau di tempat asal.

Pada sub bab berikutnya menguraikan mengenai tipologi ruang terbuka dan pola ruang luar.

BAB III. LOKASI PENELITIAN

Bab III berisi kompilasi data, baik data lokasi penelitian yakni Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, sejarah awal masuknya orang Minangkabau di lokasi penelitian dan sejarah terbentuknya lokasi penelitian. Pada bab ini disajikan juga keberadaan kondisi permukiman serta sarana yang ada di lokasi penelitian.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Bab IV berisi tentang metode yang digunakan serta cara pengumpulan data-data penelitian yang diperlukan. Selanjutnya penentuan data-data yang digunakan dan analisanya.

BAB V SITUASI BUDAYA ETNIS MINANGKABAU DI LINGKUNGAN IV, KELURAHAN TEGAL SARI MANDALA III, KECAMATAN MEDAN DENAI, KOTA MEDAN

Pada bab V ini merupakan rangkuman serta pengolahan data-data yang diperoleh dari jawaban hasil penyebaran quesioner kepada beberapa orang responden yang ditetapkan sebagai sumber data dalam penelitian. Data-data ini dianalisa secara kualitatif dan menghubungkannya dengan kajian teori yang


(26)

dilakukan sebelumnya maupun terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Untuk menguatkan analisa kualitatif diatas, dilakukan juga analisa kuantitatif yaitu untuk mengetahui hubungan antara ruang luar dengan fungsi rumah, tempat bermain anak dan fungsi ruang luar.

BAB VI PENEMUAN

Bab VI berisi temuan yang diperoleh dari kajian yang dilakukan pada bab sebelumnya. Penemuan yang diperoleh adalah:

1. Keadaan masyarakat Minangkabau di tempat asal.

2. Situasi budaya masyarakat etnis Minangkabau di lokasi penelitian. 3. Pola ruang luar di lokasi penelitian yang di dominasi etnis

Minangkabau.

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

Tesis ini diakhiri dengan kesimpulan dan saran, yang menguraikan hasil temuan yakni menyangkut budaya, baik di tempat asal maupun di lokasi penelitian dan keberadaan pola ruang luarnya serta saran-saran menyangkut kajian penelitian yang dilakukan.


(27)

1.6 Kerangka Pemikiran

BAB II

Latar Belakang

Masyarakat Minangkabau datang ke kota Medan bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Seiring bergulirnya waktu, di tempat yang baru ini, mereka hidup dengan perkembangan budaya baru yang berbeda dengan budaya sewaktu berada di tempat asal. Perobahan ini terjadi karena adanya persintuhan dengan budaya lain maupun karena kemajuan teknologi. Budaya yang baru ternyata memberi pengaruh terhadap pola ruang luar di permukimannya.

Masalah Penelitian

Apakah ada pengaruh budaya etnis Minangkabau terhadap terbentuknya ruang luar di lokasi penelitian

Kajian Literatur

1. Kebudayaan Minangkabau 2. Komunitas

3. Peranan Sosial Budaya Terhadap Ruang Permukiman 4. Permukiman Etnis Minangkabau di Tempat Asal 5. Tipologi Ruang Terbuka/Luar

6. Pola Ruang Luar

Lokasi Penelitian

Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, berbatasan: - Sebelah Utara : Jalan Denai - Sebelah Selatan : Jalan Rawa - Sebelah Barat : Lingkungan III - Sebelah Timur : Lingkungan VIII

Analisa

1. Keberadaan masyarakat Minangkabau yang berada di lokasi

penelitian

2. Pengaruh budaya masyarakat Minangkabau terhadap pola ruang

luar di lokasi permukiman

Penemuan

1. Keadaan masyarakat Minangkabau di tempat asal

2. Situasi budaya masyarakat Minangkabau di lokasi penelitian 3. Pola Ruang luar yang ada di lokasi penelitian yang didominasi etnis Minangkabau

Tujuan Penelitian

1.Menemukan pengaruh budaya etnis Minangkabau terhadap terbentuknya ruang luar di

lokasi penelitian

2. Menemukan bentuk pola ruang luar pada lokasi penelitian

Kesimpulan


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kebudayaan Minangkabau

Menurut Rapoport (1969) dalam Nuraini (2004) bahwa kebudayaan adalah merupakan suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan hidup, tata nilai, gaya hidup dan aktivitas yang bersifat konkrit. Aktivitas ini secara langsung akan mempengaruhi wadah, yakni lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di dalam permukiman.

Dengan demikian sebagai wujud fisik, kebudayaan merupakan hasil kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Hal ini seperti apa yang dinyatakan Rapoport (1969) dalam Nuraini (2004) bahwa budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk, sedang faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua.

Sementara Koentjaraningrat (1979) dalam Asri (2004) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan melalui proses belajar.

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor dan sebagainya. Hal ini terjadi karena kebudayaan tersebut


(29)

diselimuti nilai-nilai moral, dimana sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dimiliki oleh setiap manusia.

Berdasrkan beberapa pengertian dari kebudayaan yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan dari hakekat kebudayaan tersebut yaitu:

1. Kebudayaan tersebut hanya dimiliki oleh masyarakat manusia.

2. Kebudayaan tidak diturunkan secara biologis, melainkan diperoleh melalui proses belajar.

3. Kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Koentjaraningrat (1979), mencoba mendefinisikan wujud dari kebudayaan, dimana wujud dari kebudayaan dapat dibagi dalam 3 bentuk yaitu:

1. Wujud budaya sebagai hasil kumpulan pendapat, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, peraturan, prinsip.

2. Wujud kebudayaan sebagai hasil kumpulan kegiatan dan kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan hadir dalam berbagai benda hasil karya manusia yang sering disebut dengan kebudayaan materi.

Yang kesemuanya itu merupakan wujud dari rasa, kemampuan berpikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan pada manusia serta kehendak untuk hidup sempurna, mulia dan bahagia yang menimbulkan kehidupan beragama dan berkesusilaan.


(30)

Masing-masing wujud budaya saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Kebudayaaan ideal yang mengatur pola aktivitas manusia akhirnya akan menghasilkan kebudayaan fisik dan demikian juga sebaliknya kebudayaan fisik akan membentuk lingkungan tertentu yang akan mempengaruhi pola aktivitas manusia dan cara berpikirnya (Koentjaraningrat, 1990 dalam Nuraini, 2004).

Demikian halnya dengan kebudayaan Minangkabau, ianya berkaitan dengan alam pikiran, adat istiadat, perilaku dan kebiasaan masyarakatnya. Demikian juga dengan ciptaan hasil kebudayaan fisiknya. Hasil kebudayaan fisik Minangkabau merupakan perwujudan perilaku, pemikiran masyarakat Minangkabau.

Ada beberapa macam wujud budaya Minangkabau antara lain: 1. Adat istiadat masyarakat Minangkabau.

2. Kekeluargaan dan kekerabatan. 3. Kesastraan.

4. Kebiasaan dalam membina rumah serta cara permukiman masyarakat Minangkabau.

Wujud budaya berupa sistem kekeluargaan dan kekerabatan, dimana masyarakat Minangkabau menganut sistem kekeluargaan berdasarkan garis keturunan dari ibu (matrilineal). Menurut Ali Akbar Navis (1984) dalam Asri (2004), budaya seperti ini akibat kebiasaan yang terjadi apabila lelaki meninggalkan isterinya dan pergi dalam waktu yang lama (migrasi). Hal ini


(31)

menyebabkan kaum perempuan dan garis keturunan garis ibu yang mengatur hidup dan menguasai harta perserikatan mereka.

Manusia adalah makhluk sosial, sebagai makhluk sosial salah satu cirinya adalah berinteraksi antar sesama. Masyarakat adalah merupakan salah satu contoh bentuk interaksi yang terjadi dalam kehidupan manusia. Menurut Koentjaraningrat (1971), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dalam suatu sistem adat istiadat tertentu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Ciri-ciri masyarakat sendiri adalah:

1. Kesatuan antar individu (gabungan dari beberapa individu). 2. Menempati suatu wilayah tertentu.

3. Terdapat sistem yang berlaku dan telah disepakati bersama. 4. Terdapat interaksi antar sesama.

Masyarakat Minangkabau sangat menonjol dalam hal asas kegotong royongannya. Hampir semua hal dalam kehidupannya selalu di lakukan dengan bergotong royong, baik dalam usaha agraris, karya seni dan kerajinan, membangunan rumah (rumah adat) dan permukimannya. Hal ini dapat dilihat bagaimana masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan, mereka akan menerapkan kebiasaan (budaya) ”saling mengangkat” dalam arti orang yang telah lama tinggal dan secara ekonomi mulai mapan, mereka bersedia menampung dan membiayai keluarga yang datang merantau untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik. Atau mereka akan berusaha mengajak keluarga mereka dari kampung halamannya agar dapat mengikuti jejak mereka dalam berbagai usaha dengan


(32)

bantuan biaya mereka sampai keluarga yang baru datang tersebut dapat hidup mandiri.

Kebiasaan saling mengangkat berakar dalam 2 (dua) hal yaitu:

1. Persepsi atau pandangan yang dibentuk oleh adat, khususnya menyangkut persepsi tentang keluarga sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan yang para anggotanya mempunyai kewajiban untuk saling membantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar, namun meluas sampai pada ikatan-ikatan sesuku, sekampung halaman, atau sesama orang Minangkabau.

2. Kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem matrilineal orang- orang Minangkabau. Pada sistem tersebut saudara laki-laki dari ibu (mamak)

berkewajiban untuk bertanggaung jawab terhadap nasib dan masa depan anak-anak dari saudara perempuannya atau kemenakannya.

2.2 Komunitas

Komunitas adalah sekelompok manusia yang saling memiliki keterkaitan fisik dan non fisik, ruang dan non ruang. Kelompok manusia yang bermukim pada suatu tempat atau ruang belumlah merupakan komunitas jika tidak ada keterikatan hubungan diantara mereka yang dapat terjadi secara sosial, budaya maupun ekonomi. Salah satu ciri komunitas adalah adanya kegiatan yang disepakati dan dilakukan secara bersama diantara komunitas tersebut.

Menurut Tetuko (2001) dalam Nurmaidah (2006) bahwa komunitas memiliki makna dalam tiga hal yaitu:


(33)

2. Suatu kelompok yang mempunyai sifat sama.

3. Suatu kelompok yang dibatasi oleh identitas budaya yang sama dan dibentuk dengan hubungan sosial yang kental.

Menurut Cohen (1989) dalam Sativa (2005) bahwa di dalam sebuah komunitas anggotanya mempunyai sesuatu yang secara bersama membedakan mereka dengan kelompok manusia lainnya. Oleh karena itu perbedaan karakter menjadi penting untuk membedakan komunitas antara satu dengan lainnya. Lebih lanjut batas (boundary) menjadi penting untuk menunjukkan identitas sebuah komunitas. Akan tetapi dalam hal ini batas tidak selalu harus berupa fisik seperti pagar, sungai atau batas wilayah, dapat juga batas tersebut berupa ras, bahasa, religi atau merupakan konsep /makna/simbol yang telah melekat pada komunitas tertentu.

2.3 Peranan Sosial Budaya Terhadap Ruang Permukiman

Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan dirancang semata-mata untuk memudahkan dan mendukung setiap kegiatan atau aktifitas yang akan dilakukannya. Permukiman merupakan gambaran dari hidup secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah bagian dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan bahwa rumah adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman sebagai jaringan pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu, permukiman merupakan serangkaian hubungan antara benda dengan benda, benda dengan manusia dan manusia dengan manusia.

Permukiman sebagai suatu tempat terjadinya interaksi dalam masyarakat, tentunya memiliki karakteristik yang khas dari masing-masing masyarakat yang


(34)

ada didalamnya. Hal tersebut sangat bergantung pada faktor-faktor pendukungnya, baik dari sosio-kultural masyarakat, maupun dari bentuk adaptasi terhadap lingkungan di sekitar permukiman dan sejarah kawasan yang pernah muncul, sebagai awal terbentuknya suatu permukiman. Sistem sosial dan budaya memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan tata ruang permukiman. Keadaan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Rapoport (1990) dalam Citrayati dkk (2008), bahwa terbentuknya lingkungan pemukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting atau rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Sedangkan rona lingkungan akan saling berpengaruh dengan lingkungan fisik yang terbentuk oleh kondisi lokasi, kelompok masyarakat dengan sosial budaya (Rapoport,1969 dalam

Ardian http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=29827&catid=23&). Masyarakat dalam menempati wilayah permukimannya, tentunya ada

beberapa kebutuhan utama yang diharapkan didalamnya. Menurut Sujarto (1977) dalam Citrayati dkk (2008) ada tiga kebutuhan utama masyarakat di dalam permukimannya yaitu:

1. Suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari alam sekitarnya.

2. Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah guna menjamin eksistensi kehidupan.


(35)

Dalam pembentukan permukiman atau rumah kekerabatan dapat menjadi faktor penentu, karena sangat terkait dengan sebuah bentuk ikatan sosial, aturan-aturan yang bernuansa budaya dan religi dan juga adanya kegiatan yang bersifat ekonomi (Lowi dalam Mulyati, 1995). Hubungan antara kekerabatan dalam aspek sosial-kultural dan permukiman sebagai perwujudan fisiknya, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Kelompok kekerabatan mempengaruhi lokasi dan tata lahan/rumah sesuai dengan prinsip yang dianut.

2. Peran sosial antara kekerabatan mempengaruhi terbentuknya ruang-ruang yang menjadi sarana interaksi antara kerabat.

Perubahan budaya berpengaruh terhadap rumah dan lingkungannya. Bentuk perubahan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh, tetapi tergantung kepada elemen rumah dan lingkungannya dalam sistem budaya. Hal ini mengakibatkan ada elemen-elemen yang tidak berubah dan ada elemen yang berubah mengikuti perkembangan zaman (Rapoport, 1983 dalam Nuraini, 2004). Selanjutnya Rapoport (1969) dalam Nuraini (2004), mengemukakan bahwa sesuai dengan kondisinya masyarakat tidak pernah diam, tetapi akan selalu berubah dan berkembang. Sesuatu yang dihasilkan manusia terbentuk karena latar belakang sosial budaya atau kondisi sosial manusianya. Tradisi perubahan yang terjadi selama ini karena masyarakat tertarik pada kesinambungan dan keotentikan sehingga manusia cenderung mengabaikan perubahan dan ambiguitas.

Sementara itu, adanya proses kesinambungan dan perubahan adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama. Pada


(36)

hakikatnya, kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia dalam suatu proses pembaharuan terus menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik (Papageorgiu, 1971 dalam Nuraini, 2004).

Permukiman merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat melakukan kegiatan yang menopang kehidupan penghuninya dan merupakan wadah hidup bersama dalam menjalani suatu proses bermukim. Dalam menjalani proses tersebut, tentunya terjadi hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam sekitar dan demikian juga hubungan antara manusia dengan sang pencipta-Nya. Karena itu, permukiman merupakan cermin dari pengaruh aspek sosial budaya masyarakatnya, faktor sejarah kepenghunian, konsep lokasi, etika dan religius pemukimnya (Nuryanti dalam Mulyati, 1995).

Permukiman selain merupakan kebutuhan dasar manusia juga mempunyai fungsi yang strategis dalam perannya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi yang akan datang serta mengaktualisasikan jati diri. Perwujudan kesejahteraan rakyat dapat ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat melalui pemenuhan kebutuhan papannya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Koentjaraningrat dalam Mulyati (1995), permukiman memiliki bentuk yang khas sesuai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakatnya, diantaranya berupa sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendidikan serta teknologi yang akan memberikan kontribusi fisik pada lingkungannya.


(37)

2.4 Permukiman Etnis Minangkabau di Tempat Asal

Menyangkut rumah sebagai tempat bernaung bagi masyarakat Minangkabau, pengaruh budaya dan adat istiadat sebagai perwujudannya memberikan kontribusi terhadap pola pembagian dan pembentukan ruang, baik ruang dalam maupun ruang luar. Rumah gadang adalah rumah tradisional yang merupakan hasil kebudayaan dari suku Minangkabau. Keberadaan rumah adat dalam hal ini rumah gadang adalah perkembangan lebih lanjut dari rumah biasa menjadi rumah khas seperti rumah raja, rumah ibadat dan sebagainya. Perkembangan langsung itu sebagai akibat dari pada kepandaian (keahlian) membuat rumah biasa ke rumah khas (Djauhari Suminta,1975 dalam Asri, 2004).

Rumah Gadang bukan hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian luar dan dalamnya mengandung arti dan makna tersendiri yang secara keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Pada ruang luar rumah gadang dalam hal ini halaman, ada satu elemen pengikat yakni rangkiang dan pandam kuburan. Rangkiang berfungsi sebagai menyimpan hasil panen padi. Adanya rangkiang ini memberikan identitas bagi pemilik rumah gadang. Ada beraneka ragam bentuk dan ukuran rangkiang. Masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, seperti rangkiang untuk menyimpan padi yang dipergunakan sehari-hari, rangkiang guna menyimpan padi untuk perhelatan dan rangkiang yang berguna menyimpan padi untuk dijual.


(38)

Sementara pandam kuburan di ruang luar rumah gadang merupakan pernyataan klaim atas tanah yang mereka miliki.

Selain rangkiang dan pandam kuburan, pada bagian luar rumah gadang ada juga yang disebut ruang komunal yakni ruang yang keberadaannya diantara jarak rumah yang saling berhadapan atau halaman depan. Dari pengelompokan rumah gadang yang saling berhadapan, jarak antara bangunanlah yang menciptakan ruang komunal.

Bila dilihat dari fungsinya ruang komunal berfungsi sebagai ruang berinteraksi sosial dari masing-masing penghuni rumah gadang tersebut. Ruang ini juga dimanfaatkan sebagai ruang tempat bermain anak, menjemur padi, bahkan berjualan makanan kecil. Ruang ini juga menjadi sarana penghubung dari suatu tempat ke tempat lain dan juga menjadi ruang peralihan dari ruang publik yaitu jalan menjadi ruang semi publik yakni halaman. Disamping itu ruang komunal ini juga menjadi penyerap air hujan karena ditanam beraneka jenis tanaman. Ruang komunal selalu digunakan sebagai aktivitas secara bersama-sama pada saat-saat tertentu sehingga terciptanya suatu wadah komunikasi antara masyarakat yang ada disana. Jadi dapat dikatakan ruang komunal merupakan ruang yang bersangkutan dengan wilayah tertentu yang ditandai oleh pemilikan dan pemakaian secara bersama-sama (Mutia, 12006S5PP23.pdf).

Dengan demikian bangunan sebuah rumah (tempat tinggal) merupakan sebuah fenomena budaya yang bentuk dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya dari etnis tertentu sebagai pemiliknya. Di masyarakat


(39)

pola ruang publik adalah ekspresi dari nilai-nilai budaya. Sementara ruang publik memegang peranan penting sebagai bentuk dari sifat-sifat nilai budaya. Dinamika ruang publik akan menggambarkan perubahan nilai-nilai budaya di masyarakat (Rapoport, 1969 dalam Nuraini, 2004)

2.5 Tipologi Ruang Terbuka/Luar

Menurut klassifikasi Rob Krier (1979) dalam Adhi (2002), bahwa ruang terbuka/luar adalah semua tipe ruang yang berada diantara bangunan dan termasuk halaman. Ruang-ruang ini seperti geometri diikat oleh bermacam-macam ketinggian dan fasade bangunan. Ruang luar bersifat lebih terbuka tidak terhalang untuk pergerakan di udara terbuka dengan berbagai sifat ruangan, dari publik, semi-publik hingga privat.

Lain halnya pendapat Slamet Wirasonjaya (1998) dalam Adhi (2002) yang mengatakan bahwa ruang luar/terbuka kota tradisional Indonesia tidak dapat didefenisikan jenisnya secara jelas. Sementara dalam satu kajian ruang terbuka

Zahnd (1999) menerangkan bahwa:

1. Secara prinsip, ruang kota yang terbuka dibutuhkan serta digunakan dalam setiap kota di dunia ini, walaupun pendekatan terhadapnya dapat berbeda. 2. Kebanyakan konsep ruang terbuka di Asia (tidak seluruhnya) dilihat sebagai

pendekatan pasif (ruang sebagai tujuan pembentukan massa).

3. Kebanyakan konsep ruang terbuka di Asia (tidak seluruhnya) dilihat sebagai pendekatan pasif (ruang sebagai tujuan pembentukan massa).

4. Dalam sikap pasif, kualitasnya dilihat dari segi sosial yang disusun secara organis.


(40)

Dari fungsinya, ruang terbuka/luar dapat tergolong menjadi:

1. Ruang terbuka/luar tingkat lingkungan yakni ruang luar/terbuka dengan skala pelayanan lingkungan.

2. Ruang terbuka/luar tingkat wilayah yakni ruang luar/terbuka dengan skala pelayanan blok (wilayah).

3. Ruang terbuka/luar tingkat kota yakni ruang luar/terbuka yang melayani kegiatan skala kota.

Untuk kampung kota ruang terbuka lebih berfungsi pada tingkat skala lingkungan atau lokal. Tipologi bangunan hunian pada kampung kota juga sempit, memanjang dan ada yang bertingkat, serta kadang-kadang bagian depan dari bangunan dipergunakan untuk tempat berdagang atau tempat kerja. Para penghuni kampung kota lebih senang diluar rumah karena kekurangan ruang gerak, juga kebutuhan sinar matahari, serta berinteraksi dengan penghuni lainnya.

Ruang terbuka yang membentuk suatu perkampungan yang terjadi secara spontan disepanjang jalan, maka ruang disekitarnya menyebar tak terbatas dapat dikatakan sebagai ruang negatif. Meskipun tidak direncanakan, ruang semacam itu dapat berkembang terus menerus tak terbatas sesuai dengan meningkatnya kebutuhan dan keinginan manusia. Sedangkan kelompok-kelompok bangunan yang dikelilingi oleh ruang-ruang seolah-olah menjadi background. Ruang luar pada kampung kota selalu difungsikan bermacam-macam kegiatan antara lain ruang sosial ataupun untuk kegiatan sehari-hari seperti menjemur pakaian dan juga sebagai tempat anak-anak bermain.


(41)

Konsep ruang dalam lingkungan permukiman, berkaitan erat dengan manusia dengan seperangkat pikiran dan perilakunya, yang bertindak sebagai subjek yang memanfaatkan ruang-ruang yang ada dalam hubungan kepentingan kehidupannya. Dalam hal ini, gagasan pola aktivitas suatu masyarakat yang merupakan inti dari sebuah kebudayaan, menjadi faktor utama dalam proses terjadinya bentuk rumah dan lingkungan suatu hunian (Rapoport, 1969 dalam Burhan dkk, 2008).

Dari bentuknya ruang terbuka/luar dapat dibedakan dalam 2 (dua) bentuk dasar yaitu bidang dan koridor. Karakteristik geometri dan bentukan spasialnya adalah sama, keduanya dibedakan dari dimensi dan dinding-dinding yang mengikatnya, serta pola fungsinya dan sirkulasi yang menjadi identitas.

Terbentuknya ruang luar pada permukiman yang tidak terencana adalah dengan tidak melalui bentukan atau rancangan terlebih dahulu, melainkan terbentuk karena adanya blok-blok bangunan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Harmen van de Wal dalam Zahnd (1999), bahwa kecenderungan ruang luar di Indonesia hanya dilihat sebagai sesuatu yang kosong dan tidak dibentuk. Kebanyakan ruang luar yang ada sebagai akibat pembentukan massa.

Ruang luar adalah sebuah wadah untuk menampung aktivitas tertentu dari warga atau masyarakat suatu lingkungan. Dia juga merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kehidupan manusia baik secara emosional maupun secara psikologis.


(42)

Dalam tekstur figure/ground, Zahnd (1999), mengutarakan bahwa ada 4 (empat) elemen ruang, yang keseluruhannya bersifat abstrak atau kosong (spasial) yaitu:

1. Elemen sistem tertutup yang linier, ruang yang bersifat linier, tetapi tertutup

Gambar 2.1: Ruang sistem tertutup yang linier

Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu

2. Elemen tertutup yang memusat, jumlahnya sedikit karena memiliki pola ruang yang berkesan terfokus dan tertutup. Ruang ini di kota dapat diamati pada skala besar misalnya pusat kota maupun beberapa kawasan (kampung).

Gambar 2.2: Ruang sistem tertutup yang sentral

Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu

3.Sistem terbuka yang sentral, dimana ruang bersifat terbuka namun masih tampak terfokus misalnya taman kota.


(43)

Gambar 2.3: Ruang sistem terbuka yang sentral

Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu

3. Elemen sistem terbuka yang linier merupakan pola ruang yang berkesan terbuka dan linier misalnya kawasan sungai dan lain-lain.

Gambar 2.4 Ruang sistem terbuka yang linier

Sumber: Zahnd (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu

Selanjutnya, elemen-elemen tersebut pada dasarnya didefinisikan sebagai statis dan dinamis, keduanya mempunyai perbedaan spasial terletak pada arah dan gerakan di dalam lingkungan. Adapun yang bersifat statis ada yang berbentuk bidang dan linier/jalan/gang yang dalam pergerakannya diperuntukkan bagi warga setempat. Sedangkan yang bersifat dinamis adalah bidang linier/jalan/gang didalam pergerakannya berkaitan antara bentuk dan fungsi (misalnya tempat lalu lintas orang, dimana siapa saja boleh mengadakan pergerakan di tempat tersebut). 2.5.1 Tipologi Ruang Statis

Karakter ruang terbuka yang bersifat statis di dalam kota hanya dianggap sebagai tempat estetik perkotaan (secara khusus di Eropah). Karena itu, karakter tempat tersebut hanya digolongkan kepada geometrinya saja tanpa memperhatikan


(44)

fungsinya di dalam kota. Rob Krier berusaha menggolongkan semua tempat tersebut sesuai bentuknya dengan pemakaian elemen geometri dasar saja, yaitu lingkaran, segi tiga, bujur sangkar serta kombinasinya (Zahnd, 1999).

2.5.2 Tipologi Ruang Dinamis

Ruang dinamis mempunyai kaitan tersendiri antara bentuk dan fungsinya, sehingga Spiro Kostof mengatakan bahwa ruang dinamis yang disebut jalan sekaligus adalah selemen dan institusi perkotaan (Zahnd, 1999). Bentuknya bisa juga sangat berbeda sesuai lokasi dan fungsi di dalam kota, sebab itu sering diberikan padanya nama yang sesuai keadaannya.

2.6 Pola Ruang Luar

Pola ruang luar di lingkungan kota adalah sebagian dari pola ruang luar kota itu sendiri. Pada dasarnya dalam sejarah perkotaan terdapat dua aliran yang berbeda dan dua tradisi yang berbeda pula, yaitu tradisi yang berfokus pada geometri atau yang bersifat teknis dan teoritis dimana kota-kota yang dibangun secara demikian disebut kota terencana. Sedangkan tradisi yang berfokus pada organik atau yang bersifat tradisional dan praktis (populer), kota-kota yang dibangun secara demikian disebut kota tumbuh (Spiro Kostof, 1991 dalam Zahnd, 1999).


(45)

BAB III

LOKASI PENELITIAN

3.1 Keadaan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan.

Secara administrasi Kecamatan Medan Denai berbatasan: a. Sebelah Utara dengan Kecamatan Medan Tembung.

b. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Medan Amplas. c. Sebelah Barat dengan Kecamatan Medan Area. d. Sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang.

Sementara Kelurahan Tegal Sari Mandala III berbatasan:

a. Sebelah Utara dengan Kelurahan Tegal Sari Mandala I dan Kelurahan Tegal Sari Mandala II.

b. Sebelah Selatan dengan Kelurahan Binjai.

c. Sebelah Barat dengan Kelurahan Tegal Sari I dan Keluraha Tegal Sari III, Kecamatan Medan Area.

d. Sebelah Timur dengan Kelurahan Tegal Sari Mandala II dan Sungai Denai. (Sumber: Medan Denai dalam Angka, Tahun 2008 dan Kelurahan Tegal Sari Mandal III dalam Potensi Kelurahan, 2009)


(46)

Gambar 3.1: Peta Kota Medan dan Kecamatan Medan Denai Sumber: Kantor Camat Medan Denai, 2008

Kawasan penelitian yakni Lingkungan IV letaknya adalah: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Denai.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Rawa. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Lingkungan III.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Lingkungan VIII atau Sungai Sulang Saling.

(Lihat gambar 3.2)

Jumlah penduduk Kelurahan Tegal Sari Mandala III 34.974 jiwa yang terdiri dari 6.640 rumah tangga dengan rincian laki-laki sebanyak 17.844 jiwa dan perempuan 17.130 jiwa. Jumlah penduduk tersebut adalah 26 % dari jumlah penduduk yang tinggal di Kecamatan Medan Denai. Luas wilayah Kelurahan Tegal Sari Mandala III adalah 1,03 km² dengan ketinggian 8 meter diatas permukaan laut. (Sumber: Medan Denai Dalam Angka, Tahun 2008).

S u n g a i K E T E R A N G A N

B a ta s K e c a m a ta n J a la n A s p a l B a ta s K o ta

J a la n K e re ta A p i

K A B U P A T E N

K a n to r C a m a t M E D A N K O T A B E L A W A N

M E D A N L A B U H A N M E D A N M A R E L A N

M E D A N D E L I

M E D A N P E R JU A N G A N M E D A N T IM U R M E D A N B A R A T M E D A N H E L V E T IA

M E D A N S U N G G A L

M E D A N S E L A Y A N G M E D A N B A R U M E D A N P E T IS A H

M E D A N D E N A I M E D A N A R E A M E D A N M E D A N P O L O N IA

M E D A N A M P L A S M E D A N J O H O R M E D A N T U N TU N G A N

M E D A N T E M B U N G

M E D A N M A IM U N M E D A N T E M B U N G

K e L u b u k P a ka m

Ke Kaban Jahe

K e Binjai

N A M O R A M B E

K O T A M E D A N D E L IS E R D A N G

K A B U P A T E N D E L IS E R D A N G

K A B U P A T E N D E L IS E R D A N G

b. Peta Kecamatan Medan Denai a. Peta Kota Medan


(47)

:

a. Peta Kelurahan Tegal Sari Mandala III b. Peta Lingkungan IV Gambar 3.2: Peta Kelurahan Tegal Sari Mandala III dan Lingkungan IV

Sumber: Kelurahan Tegal Sari Mandala III, 2009

Penduduk yang bermukim di Lingkungan IV didominasi oleh etnis Minangkabau. Penduduk tetap sebanyak 201 kepala keluarga dan penduduk tidak tetap sebanyak124 kepala keluarga. Jumlah rumah yang ada sebanyak 177 buah (Sumber Kepala Lingkungan IV, Bapak St Bakaruddin Koto).

3.2 Sejarah Kedatangan Orang Minangkabau di Lokasi Penelitian

Pada mulanya etnis Minangkabau merantau didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal pedalaman Sumatera Barat tidak lagi memadai luasnya untuk menunjang kehidupan mereka. Disamping itu merantau merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri, yang sampai saat ini hal tersebut terus berkelanjutan.


(48)

Pada akhir tahun 1929, terjadi depresi ekonomi yang hebat sehingga memukul perekonomian banyak kawasan dunia termasuk Hindia Belanda. Depresi yang terus berlanjut hingga pada pertengahan tahun 1930-an menyebabkan orang-orang Minangkabau meninggalkan wilayahnya merantau ke kota-kota besar terutama Batavia dan Sumatera, khususnya Jambi, Pekanbaru, Palembang dan Medan (Niam, 1982 dalam Nasution, 2002). Kegiatan merantau praktis terhenti ketika terjadi perang revolusi kemerdekaan di tahun 1940-an dan meningkat lagi setelah adanya pengakuan kedaulatan Belanda pada tahun 1950. Orang Minangkabau yang merantau pada tahun 1930-an, khususnya yang ke Medan, sebagian besar memilih Kota Maksum sebagai tempat tinggalnya, karena dekat dengan Pajak Sentral (gambar 3.3) dan Pusat Pasar (gambar 3.4) sebagai pusat perdagangan di kota Medan. Hanya sebagian saja yang berada di luar Kota Maksum dan tidak ada catatan ataupun keterangan yang menunjukkan orang Minangkabau bertempat tinggal di Sukaramai. Hal ini dimaklumi karena Sukaramai saat itu merupakan wilayah pinggiran kota yang berupa hutan rimba. Hanya sekelompok orang Jawa yang tinggal di daerah itu dengan membuka kebon-kebon (Nasution, 2002).

Gambar 3.3: Pajak Sentral Tahun 1930


(49)

Gambar 3.4: Pusat Pasar

Sumber:

Pada tahun 1950-an terjadilah gelombang pendatang perantau Minangkabau, maka Sukaramai mulai dijadikan sasaran tempat tinggal mereka. Mereka mencari tempat tinggal di daerah ini, karena mereka kurang mampu membiayai hidupnya bila tinggal di Kota Maksum, karena Kota Maksum telah berkembang menjadi daerah mahal.

Sejak pecahnya pemberontakan PRRI tahun 1956, keadaan di pedalaman Sumatera Barat menjadi tidak aman, sehingga mendorong orang Minangkabau untuk merantau, selain ke kota Padang mereka juga menuju ke kota-kota di Sumatera Timur dan Utara. Pada saat itu Medan menjadi kota tujuan bagi para perantau. Bagi para perantau yang tidak mampu hidup di Kota Maksum atau yang tidak memiliki keluarga mereka akan menjadikan Sukaramai sebagai daerah tempat tinggalnya.


(50)

Gambar 3.5: Peta Kota Medan, Wilayah Kota Maksum, Wilayah Sukaramai dan Lokasi Penelitian

Daerah Sukaramai terus menerus menjadi daerah tujuan migrasi bagi orang-orang Minangkabau. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan saling mengangkat dari orang Minangkabau. Dalam artian orang Minangkabau yang telah tinggal di Sukaramai dan secara ekonomi mulai mapan, mereka akan bersedia menampung dan membiayai keluarga mereka yang datang merantau untuk mencari penghidupan baru. Bahkan mereka akan berusaha mengajak keluarga mereka dari kampung halamannya agar dapat mengikuti jejak mereka dalam berbagai usaha di perantauan serta bersedia memberi biaya, sampai keluarga yang baru datang dari kampung tersebut mampu hidup mandiri. Kebiasaan seperti inilah membuat jumlah komunitas orang Minangkabau perantauan cenderung membesar dengan adanya generasi baru yang lahir di Sukaramai (Nasution, 2002).

Sungai KETERANGAN

Batas Kecamatan Jalan Aspal Batas Kota

Jalan Kereta Api

KABUPATEN

Kantor Camat

MEDAN KOTA BELAWAN

MEDAN LABUHAN MEDAN MARELAN MEDAN DELI MEDAN PERJUANGAN MEDAN TIMUR MEDAN BARAT MEDAN HELVETIA MEDAN SUNGGAL MEDAN SELAYANG MEDAN BARU MEDAN PETISAH MEDAN DENAI MEDAN AREA MEDAN MEDAN POLONIA MEDAN AMPLAS MEDAN JOHOR MEDAN TUNTUNGAN MEDAN TEMBUNG MEDAN MAIMUN MEDAN TEMBUNG

Ke Lubuk Pakam

Ke Ka ban

Jahe

Ke Binjai

NAMORAMBE KOTA MEDAN DELISERDANG KABUPATEN DELISERDANG KABUPATEN DELISERDANG Lokasi Penelitian Sukaramai Kota Maksum Pasar Sukaramai


(51)

3.3 Sejarah Terbentuknya Lokasi Penelitian

3.3.1 Asal Mula Keberadaan Orang Minangkabau di Lokasi Penelitian Menurut Ibu Ramanah Tanjung (71 tahun) yang merupakan penduduk yang terlama menetap tinggal di lingkungan IV ini, bahwa pada mulanya tanah di lokasi penelitian ini adalah milik seseorang dari suku Jawa. Lahan yang ada pada mulanya cukup luas, tetapi karena mereka mempunyai beberapa orang anak yang membutuhkan tempat tinggal, lahan tersebut mereka kapling-kapling dan di bagikan kepada anak-anaknya. Karena masalah ekonomi serta adanya perpindahan tempat pekerjaan menyebabkan lahan tersebut berpindah tangan kepada penduduk yang datang dan umumnya berasal dari Sumatera Barat. Ibu Ramanah Tanjung sendiri berasal dari Sungai Limau Sumatera Barat.

Gambar 3.6: Ibu Ramanah Tanjung Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Masih menurut Ibu Ramanah Tanjung, ada kebiasaan yang selalu dilakukannya yaitu setiap tahun ia pulang ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Pulang kampung ini selalu dilakukannya menjelang Hari Raya Idul Fitri (lebaran). Usai berlebaran di kampung ia kembali lagi ke kota Medan dan selalu saja ada saudara atau kerabat yang ikut bersamanya. Bagi Ibu Ramamah Tanjung hal itu tidak menjadi masalah, malah untuk tempat tinggal sementara, beliau


(52)

bersedia menampung mereka tinggal dirumahnya sampai kerabat tersebut mendapat pekerjaan, karena umumnya mereka ikut ke kota Medan untuk mencari pekerjaan. Kebiasaan semacam ini tidak terbatas hanya bagi Ibu Ramamah Tanjung sendiri, pemukim-pemukim lainpun melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu tidak heran jika di Lingkungan IV ini terdapat banyak penduduk yang tidak tetap yang berasal dari Sumatera Barat.

3.3.2 Awal Keberadaan Rumah di Lokasi Penelitian

Pada mulanya rumah penduduk keberadaannya jauh dari bibir sungai. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Bapak Zainuddin Tanjung (60 tahun) bahwa awalnya penduduk mendirikan rumahnya jauh dari bibir sungai Sulang Saling (Lingkungan IV berbatasan sebelah timur dengan sungai Sulang Saling) yakni lebih kurang sejauh 100 meter yang menyebar sepanjang jalur sungai. Letak permukiman semacam ini dapat dimaklumi karena lahan kapling tanah penduduk pada masa itu masih cukup luas dan lahan yang mereka miliki biasanya batasnya sampai bibir sungai. Letak permukiman berkembang menyebar mengikuti jalur jalur sungai karena sungai Sulang Saling pada masa itu merupakan sumber kebutuhan masyarakat yang tinggal ditempat tersebut, seperti untuk minum, mandi, mencuci dan lain-lain.

Pada awalnya sungai Sulang Saling masih cukup lebar serta dalam dan airnyapun cukup jernih. Kini keadaan sudah sangat jauh berbeda. Rumah-rumah berdiri sangat padat, malahan bangunan rumah sudah ada yang berdiri dibibir sungai. Umumnya bangunan rumah yang berada dipinggir sungai merupakan pengembangan bangunan yang sudah ada atau bangunan baru. Lahan bangunan


(53)

ini dapat saja merupakan warisan atau hibah dari orang tua mereka yang telah lama bermukim di tempat tersebut. Orang tua menghibahkan tanahnya dengan cara mengkapling-kaplingnya lalu dibagikan kepada anak-anaknya yang sudah berumah tangga. Oleh anak-anaknya, pada lahan tersebut di bangun rumah sebagai tempat tinggal. Ada kalanya karena alasan ekonomi, lahan-lahan tersebut dapat berpindah tangan, ke tangan orang lain yang biasanya satu suku. Oleh pemilik lahan, di tempat tersebut di dirikan bangunan rumah sebagai tempat berteduh sanak keluarganya.

Rumah yang mereka bangun dilahannya inilah yang mereka tempati sampai kini, keluarga berkeluarga sembari melakoni hidup dan mengharungi hari tuanya. Sementara air sungai Sulang Saling tidak lagi jernih seperti dulu, kini airnya telah berobah warna serta penuh dengan gundukan-gundukan sampah yang terdampar disana sini yang setiap saat mengeluarkan aroma yang kurang sedap.

Gambar 3.7: Bapak Zainuddin Tanjung Sumber: Lokasi Penelitian, 2009


(54)

Gambar 3.8: Sungai Sulang Saling

Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

3.3.3 Awal Keberadaan Jalan/Gang di Lokasi Penelitian

Rumah-rumah yang ada dilingkungan IV ini pembangunannya tidaklah terencana, kondisi ini dapat disaksikan dimana letak bangunan yang tidak teratur. Pada awalnya rumah-rumah yang ada masih jarang, makanya penduduk yang bermukim di tempat tersebut masih bebas menentukan jalan sebagai akses mereka. Seiring dengan bergulirnya waktu, jumlah rumah-rumah yang ada semakin bertambah, yang menyebabkan permukiman bertambah padat serta lahan kosongpun mulai berkurang. Melihat kondisi tersebut, mereka berinisiatif untuk membangun jalan sebagai akses mereka keluar dan masuk ke permukimannya. Melalui musyawarah bersama, mereka bersepakat menghibahkan tanah-tanah mereka secara suka rela untuk dijadikan jalan. Berhubung karena sebelumnya sudah berdiri bangunan rumah yang letaknya tidak teratur, mereka sangat sulit membangun jalan yang lebarnya sama dan lurus. Tidak mengherankan jika saat ini kita saksikan bangunan jalan yang ukurannya tidak sama serta berbelok-belok dan kadangkala secara tiba-tiba menyempit.


(55)

Gambar 3.9: Jalan/gang tidak lurus, lebar tidak seragam dan ke ujung semakin mengecil Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

3.4 Kondisi Permukiman di Lokasi Penelitian

Di lokasi penelitian ini yakni Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III kondisi permukiman yang ada umumnya letaknya rapat dan berhimpitan satu sama lain. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain hanya dibatasi dinding. Kebanyakan rumah yang ada tidak mempunyai halaman, baik halaman depan maupun samping dan demikian juga teras. Rumah yang ada langsung berbatasan dengan jalan lingkungan dan diberi pagar sebagai pembatas dengan jalan (gambar 3.10)

Gambar 3.10: Rumah yang langsung berbatasan dengan jalan/gang


(56)

Di lokasi ini hanya beberapa rumah yang memiliki halaman, baik halaman depan maupun samping dan sebagai pembatas halaman dengan jalan, rumah dilengkapi dengan pagar. Hal ini dapat dilihat pada salah satu rumah yang ada di lokasi penelitian seperti yang tertera pada gambar 3.11 dibawah ini.

Gambar 3.11: Halaman rumah yang dibatasi pagar dengan jalan gang Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Sebagiannya ada juga rumah yang mempunyai halaman yang langsung menyatu dengan jalan atau gang di lingkungan tersebut tanpa pagar sebagai pembatas antara halaman dengan jalan. (Gambar 3.12)

Gambar 3.12: Halaman rumah yang menyatu dengan jalan/gang


(57)

Di lingkungan IV ini terdapat juga lahan kosong yakni bekas bangunan yang berada di depan masjid yang difungsikan sebagai halaman masjid dan juga dimanfaatkan anak-anak sebagai tempat bermain. (Gambar 3.13)

Gambar 3.13: Lahan kosong di depan masjid Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Jalan-jalan yang ada di lingkungan IV semuanya telah diperkeras dengan beton dan umumnya mempunyai drainase. Lebarnya berkisar diantara 1 sampai dengan 2,5 meter. Sebagian menggunakan drainase terbuka dan sebagian yang lain menggunakan bis beton yang di tanam didalam tanah dan dilengkapi dengan pintu kontrol di beberapa titik.

Gambar 3.14: Jalan gang yang dilengkapi dengan drainase

Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Di Lingkungan IV tersebut terdapat juga jalan beton yang tidak dilengkapi drainase, sehingga bila hujan turun, air hujan akan menggenangi ruang luar yang


(58)

ada. Selanjutnya air hujan yang menggenangi ruang luar tersebut berangsur-angsur mengalir menuju tempat rendah, yang berakhir di sungai Sulang Saling.

Gambar 3.15: Jalan gang tanpa drainase Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Terbatasnya ruang terbuka menyebabkan jalan gang tidak hanya berfungsi sebagai tempat sirkulasi masyarakat tetapi digunakan juga sebagai tempat bersosialisasi antara sesama warga, tempat bermain anak dan tak jarang dimanfaatkan juga sebagai tempat menjemur pakaian.

Gambar 3.16: Tempat sirkulasi warga Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Gambar 3.17: Tempat bersosialiasi sesama warga Sumber: Lokasi Penelitian, 2009


(59)

Sarana ibadah yang ada dilingkungan IV adalah sebuah masjid (Masjid

Nurul Huda) dan sebuah Musalla (Mushalla Taqwa). Di Masjid Nurul Huda ini ada juga kegiatan belajar mengajar yakni Taman Pendikan Islam yang mengasuh Taman Kanak-Kanak dan Madrasah Diniah Awaliyah (MDA).

Di lingkungan ini tidak ada tempat pembuangan sampah (TPA), makanya bagi penduduk yang bermukim disini mereka membuang sendiri sampahnya ke tempat pembuangan sampah yang ada di Jalan Rawa dan Jalan Denai atau

Gambar 3.20 : Pendidikan TK – MDA Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Gambar 3.18: Tempat bermain anak Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Gambar 3.19: Tempat menjemur pakaian Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Gambar 3.21 : Mushalla Taqwa Sumber: Lokasi Penelitian, 2009


(60)

sebagian mereka menempatkan saja sampahnya di depan rumahnya karena ada petugas pada waktu-waktu tertentu datang mengutip sampah mereka.

Warga juga memanfaatkan tanah yang tersisa didepan rumahnya untuk menanam tanaman hias sebagai penghijauan yang membuat suasana lingkungan menjadi sejuk.

Gambar 3.22 : Tembok berornamen yang melukiskan rumah adat Minangkabau

Sumber: Lokasi Penelitian, 2009

Gambar 3.23 : Tanaman hias di depan rumah warga Sumber: Lokasi Penelitian, 2009


(61)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian kualitatif. Yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Tylor dalam Moleong, 1990).

Sementara menurut Kirk dan Miller dalam Zuriah (2005), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya.

Metode kualitatif ini digunakan untuk meneliti hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk memahami interaksi sosial.

2. Memahami perasaan orang. 3. Meneliti sejarah perkembangan. 4. Memahami dibalik yang tampak.

4.3 Pengumpulan Data Penelitian

Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 macam yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh dengan cara:

1. Penyebaran quesioner terhadap beberapa orang yang mewakili rumah-rumah


(62)

yang ada sebagai sampel yang dipilih pada lokasi penelitian.

2. Melakukan wawancara terhadap beberapa orang penduduk yang terlama tinggal bermukim di lokasi penelitian.

3. Melakukan observasi terhadap kondisi fisik pada lokasi penelitian dan mengabadikannya dengan kamera.

Data sekunder berupa buku literatur, jurnal penelitian, buku laporan penelitian, data-data kependudukan dan peta lokasi diperoleh:

1. Buku literatur, jurnal, karya ilmiah dan buku laporan hasil penelitian yang berkenaan dengan topik studi, yang diperoleh dari perpustakaan maupun hasil pencarian secara online (internet).

2. Data kependudukan dan peta lokasi penelitian yang diperoleh dari instansi terkait yakni Kantor Kecamatan dan Kantor Kelurahan.

4.4 Data-Data yang Diperlukan

1. Data-data untuk mengetahui budaya Minangkabau di lokasi penelitian dilakukan dengan menyebarkan quesioner. Quesioner yang disebarkan bertujuan untuk mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah. Jawaban yang diharapkan berisi antara lain:

a. Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan. b. Karakteristik responden menurut jenis pekerjaan. c. Karakteristik responden menurut lama tinggal di lokasi. d. Karakteristik responden menurut siapa tinggal serumah. e. Karakteristik rumah, lingkungan dan ruang luar meliputi: - Status kepemilikan rumah


(63)

- Bangunan luar rumah - Alasan tinggal - Fungsi rumah

- Lokasi tempat bermain anak

f. Karakteristik menurut fungsi ruang terbuka/luar g. Karakteristik sosial budaya

2. Untuk mendapatkan sejarah awal terjadinya permukiman yang berada di lokasi penelitian adalah dengan melakukan wawancara. Berdasarkan sifat pertanyaan yang diberikan, wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terpimpin (Riduwan, 2008:102) yang berisi antara lain:

a. Lamanya bermukim di lokasi penelitian b. Cara mendapatkan lahan pertapakan rumah c. Posisi rumah yang dibangun pada lahan d. Apakah ada bukti kepemilikan tanah

e. Apakah rumah yang dibangun mempunyai surat ijin mendirikan bangunan

f. Mana lebih dahulu bangunan rumah berdiri di bandingkan dengan jalan g. Apakah jalan yang ada merupakan bagian lahan tanah milik sendiri penduduk yang dihibahkan untuk dibangun jalan

h. Kondisi permukiman saat ini cukup padat, apa yang menyebabkannya 3. Untuk mendapatkan informasi gambaran fisik lokasi penelitian dilakukan

observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian dengan melihat dari dekat kondisi fisik yang ada. Kondisi fisik


(64)

yang ada tersebut diabadikan dengan photo. Sementara keperluan yang lain seperti kondisi denah fisik digambar sketnya diatas kertas.

4.Untuk mendapatkan informasi dan penjelasan mengenai budaya masyarakat etnis Minangkabau di tempat asalnya maupun sejarah awal pertama kedatangan mereka ke lokasi penelitian ialah dengan melakukan kajian literatur dan jurnal karya ilmiah atau penelitian yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.

4.5 Menentukan Jumlah Sampel Quesioner

Sampel adalah bagian dari populasi atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1998 dalam Riduwan, 2008). Sementara menurut Sugiyono (2007), bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti.

Besarnya sampel tidak ada aturan yang tegas mengenai berapa banyak sampel yang disyaratkan dalam suatu penelitian. Demikian juga mengenai batasan bahwa sampel tersebut besar atau kecil. Yang jelas adalah apabila sampelnya besar maka biaya, tenaga dan waktu yang disediakan harus besar pula, demikian juga sebaliknya. Suatu penelitian tidaklah ditentukan oleh besarnya anggota sampel yang digunakan, melainkan oleh kuatnya dasar teori-teori yang mendukung teknik pengambilan sampel tersebut (Husaini, 2008). Sejalan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini maka pengambilan sampel akan dikerjakan memakai teknik Random Sampling.


(65)

Arikunto (1996) dalam Riduwan (2008) mengemukakan bahwa untuk sekedar ancar-ancar apabila subjek kurang 100, maka lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika subjeknya besar, dapat diambil 10% – 15 % atau 20% - 25% atau lebih.

Memperhatikan pernyataan diatas menurut Surakhmad (1994) dalam Riduwan (2008) menyarankan, apabila ukuran populasi sebanyak kurang atau sama dengan 100, pengambilan sampel sekurang-kurangnya 50% dari ukuran populasi. Apabila ukuran populasi sama dengan atau lebih dari 1000, ukuran sampel diharapkan sekurang-kurangnya 15 % dari ukuran populasi.

Pada penelitian ini, untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus dari Taro Yamane yang dikutip oleh Rakhmat (1998) dalam Riduwan (2008) sebagai berikut:

n =

1 ) (d 2 + N

N

dimana: n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = derajat kebebasan

Pada lokasi penelitian yakni lingkungan IV, jumlah penduduk tetap sebanyak 201 kepala keluarga, penduduk tidak tetap 124 kepala keluarga dan bangunan rumah berjumlah 177 buah (Sumber: Kepala Lingkungan IV, Bapak St Bakaruddin Koto).

Yang diambil sebagai populasi adalah jumlah rumah yang dihuni penduduk tetap (177 buah) dan diwakili satu kepala keluarga. Dengan mengambil nilai derajat kebebasan sebesar 5 %, dimana hal ini menunjukkan tingkat


(66)

kecermatan studi telah dapat dikategorikan cermat untuk 95 % tingkat kepastian (reability).

Dengan menggunakan rumus Taro Yamane diatas, maka jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak:

n =

1 ) (d 2 + N

N

n =

1 %) 5 ( 177

177 2 +

n = 141 buah

Dari hasil perhitungan diatas diperoleh jumlah sampel 141 buah. Mengingat waktu serta biaya yang terbatas maka sampel diambil 100 buah saja (100 buah rumah sebagai sampel).

4.6 Analisa Data

Tahap pertama yang dilakukan dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah mentabulasi hasil jawaban responden yang diperoleh dari penyebaran quesioner. Dari tabulasi tersebut dihitung persentase jawaban sesuai pertanyaan yang diberikan dan hasilnya digambarkan dalam bentuk histogram. Hasil jawaban quesioner yang disajikan dalam bentuk histogram ini dianalisa dengan mengaitkannya terhadap teori yang diperoleh dari kajian literatur dan jurnal karya ilmiah atau penelitian.

Tahap berikutnya yang dilakukan adalah analisa kuantitatif yakni analisa menggunakan Chi-Kuadrat. Metode Chi-Kuadrat digunakan untuk mendapatkan hubungan antara variabel. Sebelum dilakukan perhitungan Chi-Kuadrat, terlebih


(67)

dahulu dibuat deskripsi data dalam bentuk tabel silang (cosstab), yakni data yang diperoleh daril jawaban quesioner. Dalam perhitungan analisis Chi-Kuadrat ini, pengolahan datanya dengan bantuan computer perangkat lunak (soft ware) SPSS versi 15.

Dari hasil analisa yang dilakukan coba dikaitkan dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat yang berada di lokasi penelitian dan akhirnya akan mendapatkan temuan-temuan dari hasil penelitian tersebut. Hasil temuan tersebut kemudian dibandingkan dengan kerangka teori dan permasalahan yang ada dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan serta rekomendasi.


(68)

BAB V

ANALISA SITUASI BUDAYA MINANGKABAU DI LINGKUNGAN IV KELURAHAN TEGAL SARI MANDALA III, KECAMATAN

MEDAN DENAI, KOTA MEDAN 5.1 Umum

Lokasi penelitian yang dilakukan ini berada di wilayah Lingkungan IV, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan. Kawasan ini mempunyai permukiman yang sangat rapat dan pertumbuhannya secara alami. Penduduk yang bermukim di daerah ini didominasi etnis Minangkabau. Penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan formulir quisioner, bertujuan untuk mendapatkan data-data primer yang diperlukan untuk mendukung analisa penelitian ini. Selain menyebarkan formulir quisioner, juga dilakukan wawancara terhadap beberapa orang warga yang paling lama tinggal di lokasi penelitian. Informasi responden tentang gambaran situasi budaya etnis Minangkabau di lokasi penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:

5.2 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan responden dominan tamatan SMP/Sederajat (52 %), kemudian diikuti dengan tamat SMA/Sederajat (21 %). Sedangkan tidak tamat SD (12 %), tamat SD (13 %) dan tamat perguruan tinggi hanya 2 % (gambar 5.1).


(69)

12%

13%

21% 2%

52%

Tidak Tamat SD Tamat SD

Tamat SMP/Sederajat Tamat SMA/Sederajat

Tamat perguruan tinggi

Gambar 5.1: Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan Sumber: Hasil Penelitian, 2009

5.3 KarakteristikResponden Menurut Jenis Pekerjaan

Adapun pekerjaan responden diperoleh 43 % bekerja sebagai wiraswasta/pedagang. Pegawai negeri sebanyak 1 %, pegawai swasta 12 % dan buruh 15 %. Sedangkan pekerjaan sebagai tukang beca, usaha konveksi dan lain-lain sebanyak 29 % (gambar 5.2).

15%

12%

1% 29%

43%

Buruh Pegawai Swasta

Pegawai Negeri Pedagang/Wiraswasta

Dan lain-lain

Gambar 5.2: Karakteristik Responden Menurut Jenis Pekerjaan Sumber: Hasil Penelitian, 2009

5.4 Karakteristik Responden Menurut Lama Tinggal Di Lokasi

Lama tinggal responden di lokasi penelitian yaitu penduduk yang tinggal diatas 10 tahun sebanyak 15 %, yang tinggal selama 5 sampai dengan 10 tahun sebanyak 47 % dan merupakan penduduk tetap di lokasi penelitian. Sedangkan


(70)

5%

9%

35% 41%

2%

8%

Kakek/nenek Orangtua/mertua

Adik kandung/ipar/sepupu Anak/keponakan/cucu Saudara sekampung dan lain-lain

penduduk dengan lama tinggal dilokasi 1 sampai 5 tahun (33 %) dan dibawah 1 tahun (5 %) merupakan penduduk yang tidak tetap (gambar 5.3).

5%

33%

47% 15%

< 1 tahun 1 - 5 tahun

5 - 10 tahun > 10 tahun

Gambar 5.3: Karakteristik Responden Menurut Lama Tinggal Di Lokasi Sumber: Hasil Penelitian, 2009

5.5 Karakteristik Responden Menurut Siapa Yang Tinggal Serumah

Pada gambar 5.4 dibawah ini terlihat bahwa mayoritas yang tinggal menumpang di rumah responden adalah saudara sekampung (41 %), sedangkan selebihnya, kakek/nenek (5 %), adik kandung/ipar/sepupu (35 %), orang tua/mertua (9 %), anak/keponakan/cucu (8 %) dan lain-lainnya (2 %) yakni mereka yang tidak mempunyai sanak saudara maupun kerabat.

Gambar 5.4: Karakteristik Responden Menurut Siapa Yang Tinggal Serumah


(71)

Kondisi seperti diatas ada hubungannya dengan budaya Minangkabau, budaya saling mengangkat yang ditandai dengan kesediaan menerima seseorang untuk tinggal dirumahnya baik dalam kondisi lama maupun sementara, sampai mereka mampu hidup mandiri, walaupun kondisi perekonomian kepala keluarga tidak memadai. Tidak jarang orang yang tinggal serumah dilibatkan atau menawarkan diri ikut bekerja dengan keluarga yang ditumpanginya. Hal ini sesuai dengan budaya Minangkabau yang gemar bergotong royong.

Migrasi dominan terjadi ketika mudik lebaran tiba. Karena ada tradisi masyarakat Minangkabau yang menetap di daerah ini, bila menjelang Hari Raya Idul Fitri (lebaran) tiba, mereka pulang ke kampung halamannya mengunjungi sanak saudaranya. (mudik basamo). Bila lebaran habis, mereka kembali dan umumnya bersama mereka akan ikut saudara atau kerabat dari kampung dan biasanya saudara atau kerabat ini akan tinggal bersama mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penduduk tidak menetap dari pada penduduk menetap (Informasi dari Kepala Lingkungan IV Bapak St. Bakaruddin Koto).

5.6 Karakteristik Responden Menurut Status Kepemilikan Rumah

Status kepemilikan rumah responden didominasi oleh kepemilikan sendiri (38 %) diikuti oleh warisan (27 %). Warisan ini berasal dari orang tua maupun kakek yang sebelumnya tinggal di lokasi. Sedangkan rumah sewa 21 %, rumah kerabat 11 % dan lainnya 3 % (gambar 5.5).


(72)

38%

21% 27%

11% 3%

Milik Sendiri Sewa

Warisan Rumah Kerabat

Dan lain-lain

Gambar 5.5: Karakteristik Responden Menurut Status Kepemilikan Rumah Sumber: Hasil Penelitian, 2009

Status tanah umumnya hak milik yang ditandai dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Camat (Surat Keterangan Camat). Sementara rumah yang ada umumnya dibangun tanpa prosedur formal dari instansi yang terkait.

Rumah ditempat ini merupakan suatu komoditi untuk meningkatkan penghasilan masyarakat. Bagi masyarakat yang mempunyai lahan yang tersisa, tidak jarang mereka memanfaatkannya dengan membangun rumah untuk di sewakan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden diatas, dimana 21 % tinggal dengan menyewa rumah.

5.7 Karakteristik Responden Menurut Bangunan Luar Rumah

Dari 100 responden yang ditetapkan, diperoleh jawaban bahwa rumah yang tidak mempunyai halaman, baik halaman samping kanan, kiri maupun depan sebanyak 87 responden, sedang yang mempunyai halaman depan 8 responden, halaman samping 5 responden dan teras 37 responden. Sementara rumah yang mempunyai pagar sebanyak 35 responden (gambar 5.6).


(73)

37 35

5 8

87

0 20 40 60 80 100

Teras Pagar Halaman

samp ing

Halaman dep an

Tidak memp uny ai

halaman

Gambar 5.6: Karakteristik Responden Menurut Bangunan Luar Rumah

Sumber: Hasil Penelitian, 2009

Bagi rumah yang mempunyai halaman depan, pagar berfungsi sebagai pembatas antara halaman dengan dengan jalan, sedangkan bagi rumah yang tidak mempunyai halaman, pagar berfungsi sebagai pembatas antara depan rumah dengan jalan. Pagar juga dimanfaatkan tempat menjemur pakaian (gambar 5.7).

Gambar 5.7: Pagar Sebagai Tempat Menjemur Pakaian

Sumber: Hasil Penelitian, 2009

Dari hasil observasi dapat dilihat bahwa pemukiman di lokasi penelitian sangatlah rapat, dimana bangunan rumah hanya dipisahkan oleh tembok antara satu dengan lainnya. Mayoritas rumah-rumah di lokasi ini halaman depan rumahnya langsung ke jalan gang, ada kalanya dibatasi oleh pagar dan ada juga yang tidak. Hanya sebagian kecil rumah yang mempunyai halaman. Dengan


(74)

demikian ruang luar yang ada dominan berupa jalan dan hanya sedikit saja berupa halaman rumah dan lahan kosong.

Kondisi diatas menunjukkan bahwa ternyata rumah yang ada dilokasi penelitian ini umumnya tidak mempunyai halaman, terutama halaman depan, sehingga depan rumah langsung berbatasan dengan jalan. (Gambar 5.8)

Gambar 5.8: Depan Rumah Yang Menyatu Dengan Gang Sumber: Hasil Penelitian, 2009

Bagi rumah yang mempunyai teras, teras rumah dimanfaatkan sebagai tempat berusaha yakni berjualan keperluan sehari-hari maupun jajanan anak-anak

Gambar 5.9: Teras Rumah Berfungsi Sebagai Tempat Berdagang


(1)

103


(2)

104


(3)

105


(4)

106


(5)

107


(6)

10

8

10