c. Ashâb Al-Syimâl Ayat 9, 41 - 56
Surat al- Wâqi‟ah ayat 9
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Dan golongan kiri. alangkah sengsaranya golongan kiri itu.” Ayat 9 menjelaskan golongan yang ketiga, yakni golongan kiri.
Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa golongan
kiri adalah mereka yang diseret ke
dalam neraka. “Bagaimanakah keadaan mereka?” Bentuk sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena bermaksud memberi gambaran,
bahwa mereka mencapai keadaan yang paling buruk.
69
Surat al- Wâqi‟ah ayat 41- 44
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam siksaan angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih, Dan dalam
naungan asap yang hitam. Tidak se juk dan tidak menyenangkan.”
Al-Marâghî menafsirkan ayat 41 yang serupa pertanyaan, menanyakan siapakah golongan kiri itu?. Maksudnya bahwa golongan kiri itu berada dalam
keadaan yang tidak bisa digambarkan dan tidak bisa dikira-kira tentang kesengsaraan, penderitaan dan nasib mereka yang buruk.
Namun kemudian Allah SWT. menafsirkan hal yang masih mubham ini dengan ayat 42 sampai 44. Penafsiran beliau al-Marâghî mengenai ayat
ini, bahwa Ashâb al-Syimâl golongan kiri berada dalam panas yang menembus pori-pori tubuh, air yang amat panas, naungan dari asap hitam
69
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.133
yang tidak enak hembusannya dan tidak indah dipandang. Karena asap itu adalah asap dari kobaran neraka jahannam yang menyakitkan orang yang
bernaung di bawahnya.
70
Ibnu Jarir mengatakan: “Orang Arab senantiasa mengikutkan kata karim dalam kalimat
negatif manfi. Mereka mengatakan, Hâdza t a‟âmun lais bi
Tayyibin wala Karîm daging ini tidak gemuk dan tidak
menyenangkan, Hâdzihi Dâr laisat Wâsi‟atin wala Karîmah
rumah ini tidak luas dan tidak menyen angkan.”
71
Allah SWT. menyebutkan al-Samûm dan al-Hamîm panas neraka dan air panas. Sedangkan nerakanya itu sendiri tidak disebutkan, dengan tujuan
menyatakan sesuatu yang lebih tinggi dengan cara menunjuk sesuatu yang lebih rendah. Yakni kalau udara bagi penghuni neraka itu saja sudah
merupakan angin panas dan air yang mereka minta berupa air panas, padahal udara dan air adalah barang yang paling dingin dan paling bermanfaat. Maka
bagaimana pendapat manusia tentang api bagi mereka. Jadi seolah Allah SWT
. berfirman, “Sesungguhnya barang yang paling dingin bagi penghuni neraka adalah yang paling panas. Maka bagaimanakah
pendapatmu tentang barang yang paling panas untuk mereka?” Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT.:
“Dikatakan kepada mereka pada hari kiamat: „Pergilah kamu mendapat-kan azab yang dahulunya kamu mendustakannya.
Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang
72
, Yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka‟. Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar
70
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.141
71
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h. 141
72
Yang dimaksud dengan naungan di sini bukanlah naungan untuk berteduh akan tetapi asap api neraka yang mempunyai tiga gejolak, yaitu di kanan, di kiri dan di atas. Ini berarti bahwa
azab itu mengepung orang-orang kafir dari segala penjuru.
dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan .” Q.S. Al-Mursalat77: 29 - 34
Kesimpulannya, bahwa angin panas menerpa mereka, sehingga merasa haus dan kadang melahap isi perut mereka, lalu mereka meminum air panas
yang merantaskan usus-usus mereka. Dan mereka ingin bernaung di bawah suatu naungan namun ternyata naungan itu berupa asap hitam.
Surat al- Wâqi‟ah ayat 45 - 48
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar. Dan mereka selalu
mengatakan: Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah Sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkit-
kan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu juga?
Penjelasan ayat 45 sampai 48 di atas ditafsirkan oleh al-Marâghî bahwa mereka Ashâb al-Syimâl semasa di dunia adalah orang-orang yang
diberi nikmat dengan bermacam-macam makanan, minuman, tempat tinggal yang enak dan tempat-tempat bermukim yang menyenangkan. Mereka
tenggelam dalam menuruti syahwat. Sehingga tidaklah mengherankan bila mereka diazab dengan hal-hal yang berlawanan dengan nikmat-nikmat
tersebut. Di samping itu, mereka dulu juga mengingkari hari ini. Mereka mengatakan: “Apakah bila kami mati kemudian menjadi tanah dan tulang
belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? Apakah bapak-ba
pak kami yang terdahulu juga?”. Kesimpulannya bahwa dulu mereka Ashâb al-Syimâl mendapat
sesuatu berupa kenikmatan-kenikmatan yang banyak dan karunia-karunia yang besar. Namun demikian mereka terus-terusan kafir dan tidak bersyukur
kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada mereka. Sehingga mereka patut mendapat hukuman dari Allah. Dan dulu mereka juga
mendustakan hari ini dengan menganggap tidak mungkin terjadi. Mereka tidak peduli apa pun, berkelana dalam lembah-lembah kesesatan dan berjalan di
jalan yang menyimpang seolah tiada yang mengawasi dan tiada yang menghitung.
Mereka menganggap hari kebangkitan ini tak mungkin terjadi dengan menyebutkan sebab-sebab berikut:
1. Hidup sesudah mati
2. Masa yang begitu lama sesudah kematian terjadi, sehingga daging-
daging telah menjadi tanah dan tulang-tulang telah hancur luluh. 3.
Begitu ingkarnya mereka, sampai berkata dengan penuh keheranan, “Apakah bapak-bapak kami terdahulu pun dibangkitkan kembali?”
73
Kemudian Al-Marâghî menafsirkan bahwa Allah SWT. menjawab semua ini dan menyuruh rasul-Nya agar menyampaikan jawaban tersebut
kepada mereka pada ayat 49 dan 50.
73
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.142
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian, Benar-benar akan dikumpulkan di
waktu tertentu pada hari yang dikenal. ”
Beliau menafsirkan ayat ini dengan ungkapan, Jawablah wahai rasul yang mulia, dengan mengatakan kepada mereka, Sesungguhnya orang-orang
yang terdahulu yang kamu anggap tidak mungkin sejauh-jauhnya dibangkitkan kembali, dan orang-orang yang kemudian yang kamu sangka
juga takan dibangkitkan, Mereka benar-benar akan dikumpulkan disatu tanah lapang pada waktu tertentu pada hari yang dikenal. Dan tidak diragukan
bahwa dikumpulkannya bilangan manusia yang tiada terhingga banyaknya itu lebih mengherankan lagi dari pada kebangkitan itu sendiri.
74
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT. yang artinya: “Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja,
Maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.”
Q.S. an- Nazi‟at79: 13 - 14
Surat al- Wâqi‟ah ayat 51- 56
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, Benar-benar akan memakan pohon zaqqum, Dan
akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta
74
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.143
yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan”.
Kemudian al-Marâghî menafsirkan Ayat 51 sampai 55 dengan kalimat teguran kepada mereka Ashâb al-Syimâl, Hai orang-orang yang sesat, yang
terus melakukan dosa besar. Karena kamu tidak mengesakan Allah dan mendustakan hal-hal yang wajib diagungkan, lalu kamu mendustakan para
Rasul Allah. Kamu mengingkarinya dan pembalasanlah pada hari ini. Sesungguhnya kamu benar-benar memakan pohon zaqqum. Lalu kamu
memenuhi perutmu dengannya, lalu sesudah itu meminum air panas karena kamu sangat kehausan. Akan tetapi minuman itu adalah minuman yang tidak
memuaskan orang yang kehausan. Oleh karena itu kamu meminum tanpa puas-puasnya. Seolah-olah kamu adalah unta yang ditimpa penyakit
“kehausan” yang tiada terpuasi hausnya dengan meminum air.
75
Dapat disumpulkan bahwa untuk menambah azab, maka mereka takan merasa puas dengan meminum air busuk lagi panas. Sehingga mereka takan
berhenti meminumnya. Hal itu merupakan awal dan sebagian dari azab. Ditutup dengan penafsiran ayat 56 bahwa, pohon zaqqum yang
dimakan ini dan air panas yang dimunum ini, adalah suguhan pertama yang disuguhkan kepada mereka, sebagaimana tamu yang disuguhi suguhan yang
ada dihadapannya.
75
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, h.143
2. Penafsiran Quraish Shihab