Tiga golongan manusia dalam surat al-Waqi'ah ayat 7-56 (kajian anlisa perbandingan antara tafsir al-Maraght dengan tafsir al-Misbah)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Penulis: Muhammad Malik NIM. 106034001205

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-

WÂQI’AH

AYAT 7 - 56

( Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbah )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Penulis:

M u h a m m a d M a l i k N I M. 1060 3400 1205

Di bawah Bimbingan:

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 2 001

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Tafsir Al-Misbâh telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi Tafsir Hadis.

Jakarta, 15 Maret 2011

Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Bustamin, M.Si Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

NIP. 19630701 199803 1 003 NIP. 19711003 199903 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. M. Suryadinata, MA Dr. Bustamin, M.Si

NIP. 19600908 198903 1 005 NIP. 19630701 199803 1 003

Pembimbing,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 1 002


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 21 Maret 2011 Muhammad Malik


(5)

v

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan

taufiq-Nya penelitian berjudul “TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM

SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56; Kajian Analisa Perbandingan Antara

Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh” ini dapat selesai, demikian juga,

salawat serta salam semoga tercurahkan untuk Rasulullah SAW.

Sebagai karya tulis yang da‟if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:

1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan

Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis).

2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.


(6)

vi

3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan.

4. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah memberikan

pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan.

6. Mamang, teteh dan adik penulis yang selalu setia memberi semangat penulis dalam menyelesaikan studi.

7. Teman-teman penulis di mana pun berada khususnya sahabat-sahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007 dan teman-teman KKN Sirna Ruju / Jayanti.

8. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, dan bertukar pikiran dengan saya.

Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn

Jakarta,15 Maret 2011


(7)

vii

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te dan es

ج

j je

ح

h h dengan garis bawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r er

ز

z zet

س

s es

ش

sy es dan ye

ص

s es dengan garis bawah

ض

d de dengan garis bawah

ط

t te dengan garis bawah

ظ

z zet dengan garis bawah

ع

„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

غ

gh ge dan ha

ؼ

f ef

ؽ

q ki

ؾ

k ka

1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat


(8)

viii

ؿ

l el

ـ

m em

ف

n en

و

w we

ػه

h ha

ء

„ apostrof

ي

y ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

______ a fathah

___ ِِ___ i kasrah

______ u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ْي____ ai a dan i

____

ْو au a dan u

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اــ â a dengan topi di atas

ـ

ْيـ î i dengan topi di atas

ـ


(9)

ix

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t)(lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih aksara

1

ةقيرط

tarîqah

2

ةيماسإا ةعماجلا

al-jâmî‟ah al-islâmiyyah

3

دوجولا ةدحو

wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang


(10)

x

berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

CaraPenulisankata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas.

Kata Arab Alih Aksara

ُذاَتْسُأْا َبَهَذ

dzahaba al-ustâzu

َػث

ُرْجَْأا َتَب

tsabata al-ajru

ةَيِرْصَعْلا ةَكَرَحْلا

al-harakah al-„asriyyah

ها َاِإ َهلِإ َا ْفَأ ُدَهْشَأ

asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

حِلاَصلا كِلَم اَنَاْوَم

Maulânâ Malik al-Sâlih

ُمُكُرّػثَؤُػي

ها

yu‟atstsirukum Allah

ةَيِلْقَعْلا رِهاَظَمْلا

al-mazâhir al-„aqliyyah

ةَيِنْوَكْلا تاَي ْْا

al-âyât al-kauniyyah


(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PENGESAHAN PEMBIMBING ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii

KATA PENGANTAR v

PEDOMAN TRANSLITERASI vii

DAFTAR ISI xi

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6

C. Tujuan Penelitian 7

D. Kajian Pustaka 8

E. Metodologi Penelitian 8

F. Sistematika Penulisan 10

BAB II SURAT AL-WÂQI’AH ( AYAT 7 - 56 ) DALAM TAFSIR AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIR AL-MISBÂH 12

A. Karakteristik Tafsir 12

1) Ahmad Mustafa al-Marâghî 12

a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis 12

b. Sistematika dan Metodologi Tafsir 18

2) M. Quraish Shihab 24

a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis 24


(12)

xii

B. Penafsiran Surat Al-Wâqi’ah Ayat 7 - 56 39

1) Penafsiran Al-Marâghî 39

a. Al-Sâbiqûnal-Sâbiqûn (Ayat 10 - 26) 40

b. Ashâbal-Yamîn (Ayat 8, 27 - 40) 46

c. Ashâbal-Syimâl (Ayat 9,41 - 56) 49

2) Penafsiran Quraish Shihab 55

a. Al-Sâbiqûnal-Sâbiqûn (Ayat 10 - 26) 55

b. Ashâbal-Yamîn (Ayat 8, 27 - 40) 59

c. Ashâbal-Syimâl (Ayat 9, 41 - 56) 62

BAB III ANALISA PERBANDINGAN DAN IMPLIKASINYA 66

A. Pengertian Umum Surat Al-Wâqi‟ah (Ayat 7 - 56) 66

1) Persamaan Dan Perbedaan 66

2) Balasan Bagi Ketiga Golongan 72

B. Implikasi Penafsiran Surat Al-Wâqi‟ah ( Ayat 7 - 56 ) Dalam Kehidupan Di Masyarakat 75

BAB IV PENUTUP 80

A. Kesimpulan 80

B. Saran-saran 82


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟ân adalah Kalâm Allâh yang diwahyukan kepada Nabi

Muhammad SAW. melalui perantara Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang di luar kemampuan apapun, sebagaimana firman Allah SWT.:





“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan

ketakutannya kepada Allah.” (Q.S. Al-Hasyr/59:21)

Untuk mengungkap dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila

seseorang hanya mampu membaca dan melunakkan bacaan Al-Qur‟ân dengan

baik. Namun yang diperlukan itu lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Kemampuan seperti inilah yang disebut tafsîr.1 Sebab dikatakan, “Tafsir adalah

kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam Al-Qur‟ân.

1 Kata tafsîr adalah bentuk masdar dari kata fassara, yang berarti menguraikan dan

menjelaskan segala sesuatu yang dikandung Al-Qur‟ân. Tidak ada istilah atau term dalam Islam yang cukup bisa menjelaskan proses penalaran yang produktif dalam Islam selain kata tafsîr.

Tafsîr, dalam pengertiannya yang lebih luas, adalah dialog antara teks Al-Qur‟ân yang memuat

cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan problematika kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian, kekayaan dan signifikansi teks Al-Qur‟ân sangat tergantung pada pencapaian

pengetahuan sang penafsir. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keilmuan penafsir, makin beragam dan signifikan pula makna yang dihasilkan. Lihat Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, tanpa penerbit (tt, tpn, 2005), cet. Ke-1, h.5


(14)

2

Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk

mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya”.2

Di dalam Al-Qur‟ân, banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan tentang kisah. Pemberian tempat mengenai kisah-kisah di dalam Al-Qur‟ân

mempunyai tujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran dan mengambil hikmah serta manfaat dari peristiwa tersebut.

Surat al-Wâqi‟ah merupakan salah satu surat yang turun sebelum Nabi Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah yang berisi 96 ayat. Surat ini diawali dengan penjelasan tentang terjadinya hari kiamat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari itu yang dilanjutkan dengan penjelasan bahwa manusia, pada hari itu, terbagi ke dalam tiga golongan. Kemudian dilengkapi dengan penjelasan rinci tentang kenikmatan dan siksaan yang sesuai dengan kadar kesalehan dan kekafiran masing-masing golongan. Ayat-ayat selanjutnya memaparkan beberapa bentuk karunia Allah, wujud nyata kekuasaan-Nya yang ada pada ciptaan-Nya seperti tanaman, air dan neraka, sehingga menjadikan-Nya pantas untuk dipuji dan disucikan. Ayat-ayat dalam surat ini juga bersumpah atas kedudukan Al-Qur‟ân yang harus disucikan dan mencela sikap -sikap orang-orang kafir yang mendustakannya. Padahal seharusnya mereka bersyukur. Sesudah itu surat ini membicarakan secara global tiga golongan yang telah disebutkan secara rinci di muka beserta kenikmatan dan siksaan yang berhak diterima oleh masing-masing. Surat ini ditutup dengan penegasan

2 M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ân di Indonesia Abad Keduapuluh, Tanpa


(15)

bahwa apa yang ada dalam surat ini merupakan keyakinan yang jelas dan kebenaran yang tetap sehingga Allah pantas untuk disucikan.3

Ada di antara beberapa surat yang memiliki nilai fadilah atau keutamaan jika membacanya. Di antaranya surat Yâsîn, surat al-Rahmân, surat al-Mulk, termasuk salah satunya adalah surat al-Wâqi‟ah itu sendiri. Dan tidak sedikit hadis yang mendukung keutamaan beberapa surat yang terdapat di dalam Al-Qur‟ân.

Ada dua hadis yang menjelaskan Keutamaan Surat al-Wâqi‟ah,

diantaranya;

َ وَ ع

َ دْوُعْس مَُنْبِاَ ْن

َ

َ لا قَُْ عَهاَ يِض ر

َ:

َِْي ل عَُهاَىَل صَِهاَ لْوُس رَ ُتْعِ َ

َُلْوُق يَ مَل س و

َ:

َّلُكَ َِِِة عِقا وْلاَ ة رْوُسَ أ ر قَْن م

اًد ب أًَة قا فَُْبِصُتَْ ََ ة لْ ي ل

4

Dari Ibnu Mas‟ûd RA. berkata: saya mendengar Rasulullah SAW. berkata:

“Barang siapa yang membaca surat al-Wâqi‟ah tiap malam maka orang itu

tidak akan pernah ditimpa kefakiran selama-lamanya”

َ ع

َ مَل س وَِْي ل عَُهاَىَل صَِهاَ ِلْوُس رَْن عَ س ن أَْن

َ:

َِة عِقا وْلاَ ة رْوُسَْمُك ءا سِنَاْوُمَل ع

َ هَ نِإ ف

َ نِغْلاَُة رْوُسَا

5

َ

Dari Anas dari Rasulullah SAW. berkata: “Ajarkanlah istri-istrimu surat al-Waqi‟ah karena sesungguhnya surat al-Waqi‟ah adalah surat kekayaan”

3 Abdussabur Syahin, Sejarah Al-Qur‟ân,Trjmh. Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc.,

Jakarta:PT.Rehal Republika,2008,Cet.1, Jld.3 h.66

4 Muhammad bin Abdullah al-Khatîb at-Tabrîzî, Musykâtul Mashâbih, kitâb fadâ‟il al-qur‟ân, Juz 1, Dârul Fikr.1991, h. 682

5 Ibn Hisân Al-Dîn Al-Hindi, Kanzun Al-Umâl, fî sunan al-aqwâl wa al-af‟âl, Juz.1,


(16)

4

Kajian fenomenal di dalam Al-Qur‟ân mengenai kiamat (ةعق ول(

merupakan bahan wacana yang seharusnya menjadi kajian yang urgen dalam setiap rentan waktu yang tak terbatas, selain menambah kamajemukan berpikir juga merupakan wadah setiap manusia untuk meningkatkan setiap detik kesadaran religinya dan meningkatkan kepada mereka bahwa kiamat itu semakin dekat.

Allah SWT. menggambarkan tentang kejadian ini di dalam surat ini (Al-Wâqi‟ah(, bahwa Dia merendahkan suatu kaum dan mengangkat derajat kaum yang lain. Lalu bumi ketika itu bergoncang sehingga gunung-gunung dan bangunan-bangunan yang ada di atasnya roboh. Kemudian gunung-gunung berhamburan seperti debu yang berhamburan di udara. Hingga manusia di waktu itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri, dan orang-orang yang bersegera kepada kebaikan.6

Firman Allah SWT.:















“Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu.”

(Q.S. Al-Wâqi‟ah/56 :7-10)

6 Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Trjmh. Bahrun Abu Bakar, Cet.


(17)

Firman Allah SWT.:









“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini Telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi

orang-orang yang beriman.” (Q.S. Hûd/11: 120)

Berdasarkan ayat di atas, penulis merasa tertarik untuk mendalami kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟ân, termasuk ayat-ayat yang mem-bahas perihal hari akhir atau kiamat. Dan kali ini penulis akan mencoba menganalisa kembali surat Al-Wâqi‟ah. Karena surat ini juga sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat, layaknya surat Yâsîn, al-Rahmân dan Al-Mulk yang sering dibaca pada waktu-waktu dan momen-momen tertentu. Namun penulis hanya memfokuskan sebuah kisah yang terdapat dalam surat Al-Wâqiah pada ayat 7-56, yang berkenaan dengan tiga golongan manusia pada hari kiamat.

Penulis juga tertarik untuk membuat kajian analisa perbandingan terhadap Tafsir Al-Marâghî yang dikarang oleh Ahmad Mustafa Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh yang dikarang oleh M. Quraish Shihab. Karena dalam Analisa perbandingan kedua tafsir ini, penulis akan mengetahui tentang metode penafsiran, sistematika penulisan, corak pemikiran penafsir dan hal-hal yang berkait dengan karya kedua tafsir tersebut. Penulis juga bisa mengetahui apakah tafsir mereka terpengaruh dengan pemikiran mufassir. Karena kedua mufassir ini mempunyai kecenderungan atau keistimewaan masing-masing. Alasan penulis memilih tafsir al-Marâghî karena tafsir ini mengandung hal-hal


(18)

6

baru yang relevan dengan kebutuhan umat Islam masa sekarang, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang. Selain itu, argumentasi Al-Qur‟ân menurut Al-Qur‟ân mengisyaratkan luas wawasan penafsiran yang dibangun olehnya. Begitu juga tafsir ini mengambil corak sastra budaya kemasyarakatan yang memang berorientasi pada kebutu-han dan kemaslahatan masyarakat. Sedangkan penulis memilih tafsir al-Misbâh karena kitab tafsir persembahan dari M. Quraish Shihab yang sangat representatif dalam dunia tafsir kontemporer, memiliki berbagai macam disiplin ilmu serta jangkauan pemahaman yang dinamis dan lebih komprehen-sif. Sedangkan tafsir al-Misbâh itu sendiri menggunakan metode gabungan antara metode tahlili dan metode maudu‟i.7

Melihat latar belakang permasalahan di atas, maka penulis mencoba untuk membahasnya dalam sebuah kajian skripsi yang berjudul “TIGA

GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56;

Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir

Al-Misbâh”.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang telah diuraikan di atas, agar pembahasan terfokus dan tidak melebar, maka penulis merasa perlu memberi batasan-batasan. Pertama, tidak semua ayat dalam surat Al-Wâqi‟ah yang dibahas, tetapi hanya pada ayat 7 sampai 56 saja. Kedua, tidak semua tafsir

7 Hamdani Anwar, Telaah kritis terhadap tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab; dalam MIMBAR AGAMA DAN BUDAYA, Vol.XIX, No.2, 2002, h.162-169


(19)

yang menjadi rujukan analisa, tapi hanya dua tafsir antara tafsir al-Marâghî dan tafsir al-Misbâh.

Alasan penulis menentukan ayat-ayat tersebut adalah untuk memudah-kan penelitian dan pembahasan. Untuk melihat bagaimana ayat-ayat di atas dipahami oleh kedua ahli tafsir, maka penulis perlu menjelaskan menurut pandangan mereka.

Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apa persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Marâghî dan Quraish Shihab mengenai “Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl” dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56?

2. Apa implikasinya dalam kehidupan di masyarakat?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka hal yang diharapkan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat menjadi bahan wacana terhadap pengembangan hazanah keilmuan di bidang tafsir, juga dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara penafsiran Al-Marâghî dengan Quraish Shihab mengenai “Al-Sâbiqûn

Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl” dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56.

2. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam

menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S ) I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(20)

8

D. Kajian Pustaka

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu skripsi yang hanya membahas tantang kualitas hadis yang ditulis oleh Hafid (Tafsir-Hadis/2009(, dengan judul “Studi Kritik Kualitas Hadis Keutamaan Membaca Surat Al-Wâqi‟ah Dalam Tafsir Al-Dûr Fî Al-Tafsîr Al-Ma‟tsûr”.

Skripsi ini membahas tentang kualitas hadis keutamaan membaca surat al-Wâqi‟ah dari kitab tafsir ini, karena al-Suyûtî dalam menafsirkan ayat dalam tafsir ini tidak memilih hadis-hadis yang sahih saja, prioritas beliau adalah bagaimana tafsir ini selalu ditafsirkannya dengan hadis-hadis Nabi SAW. Ia memilih surat al-Wâqi‟ah karena sangat umum dalam pandangan masyarakat akademis dan masyarakat awam bahwasanya surat al-Wâqi‟ah di sini dipercaya sebagai surat pesugihan.

Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi di atas, karena dilihat dari

judul yaitu membahas “Tiga Golongan Manusia Pada Hari Kiamat” dalam

surat al-Wâqi‟ah yang merujuk kepada tafsir al-Marâghî dan tafsir al-Misbâh.

E.Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan ( Library research ) yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai macam literatur yang relevan dan menelaah dengan pokok masalah yang dibahas. Adapun buku yang menjadi rujukan utama / sumber primer dalam penulisan skripsi ini antara lain kitab Tafsir Al-Marâghî karya Ahmad Mustafa Al-Marâghî dan Tafsir Al-Misbâhkarya M. Quraish Shihab.


(21)

Penulis juga melakukan pembahasan skripsi ini secara telaah studi komparatif yaitu dengan mengumpulkan data-data dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan masalah surat al-Wâqi‟ah, kemudian data tersebut dideskripsikan yang dimaksudkan untuk menuliskan keadaan objek semata-mata apa adanya. Langkah ini diambil sebagai permulaan yang sangat penting, karena ia adalah metode dasar bagi penelitian selanjutnya. Quraish Shihab dan al-Marâghî misalnya, tidak bisa lepas dari lingkungan sosial kemasyarakatan yang melingkupinya. Dengan itu, penulisan biografi menjadi sangat perlu. Dan setelah itu dianalisis dari setiap pendapat guna memperoleh kejelasan masalah. Metode analitis ini dianggap perlu karena akan tersingkap keterlibatan dari kedua penafsir dengan persoalan-persoalan yang berada di sekitarnya dalam menatap nilai-nilai yang berlaku dizamannya.

Sedangkan teknik penulisan dan penyusun skripsi ini berpedoman pada

buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta8 dengan beberapa pengecualian:

1. Kutipan ayat Al-Qur‟ân tidak diberi catatan kaki dan terjemahannya diambil dari “Al-Qur‟ân dan terjemah” yang diterbitkan oleh

Departemen Agama R.I., Jakarta, Proyek Pengadaan.

2. Kutipan yang menggunakan ejaan yang lama diganti dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) kecuali nama orang/pengarang.

8 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan Disertasi),


(22)

10

F.Sistematika Penulisan

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.

Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang disajikan sebagai acuan pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global skripsi yang cangkupannya terdiri dari alasan pemilihan latar belakang masalah (judul), kajian pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua, merupakan pembahasan tentang seputar biografi penafsir secara umum, juga penafsirannya tentang surat al-Wâqi‟ah ayat 7- 56. Dalam bab ini menjadi dua pembahasan. Pertama, mengenai karakteristik tafsir antara Ahmad Mustafa al-Marâghî dan M. Quraish Shihab. Masing-masing terdiri dari potret pendidikan mereka, karya-karya, karir akademis, sistematika penulisan dan metodologi tafsir. Kedua, mengenai penafsirannya masing-masing terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalam surat al-Wâqi‟ah

ayat 7 - 56.

Kemudian pada bab ketiga, bab ini merupakan analisa perbandingan dan implikasinya terhadap penafsiran Surat Al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 yang


(23)

Al-Sâbiqûn (balasan kepada orang mukmin yang beriman paling dahulu),

Ashâb Al-Yamîn (balasan kepada golongan kanan) dan Ashâb Al-Syimâl (azab atas golongan kiri). Kemudian implikasi penafsiran ini dalam kehidupan di masyarakat.

Dan yang terakhir bab keempat, merupakan penutup dari skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(24)

12

BAB II

SURAT AL-WÂQI’AH (AYAT 7 - 56) DALAM TAFSIR AL-MARÂGHÎ

DAN TAFSIR AL-MISBÂH

A. Karakteristik Tafsir

1)Ahmad Mustafa Al-Marâghî

a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis

Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa bin Mustafa Ibn Muhammad

bin Abdul Mun‟im al-Qadi al-Marâghî (1883-1952).1 Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Mustafa al-Marâghî Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim. Beliau lahir di kota Marâghah – sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah selatan kota Kairo – pada tahun 1300 H./1883 M. Nampaknya, kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa nama al-marâghî tidak mutlak menunjukan kapada dirinya.

Ahmad Mustafa al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini terbukti dengan adanya lima dari delapan putra Syekh Mustafa al-Marâghî (ayah dari Ahmad Mustafa

1 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî (Jakarta: Pedoman


(25)

al-Marâghî) adalah ulama besar yang memiliki kharisma besar di Marâghah, yaitu:

1. Syekh Muhammad Mustafa al-Marâghî yang pernah menjadi syekh al-Azhâr selama dua periode yaitu tahun 1928-1930 dan 1935-1945.2 2. Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, yaitu pengarang Kitab Tafsir

al-Marâghî.

3. Syekh Abdul Aziz al-Marâghî, dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhâr dan Imam Raja Faruq.

4. Syekh Abdullah Mustafa al-Marâghî, Inspektur Umum pada

Universitas Al-Azhâr.

5. Syekh Abdul Wafa Mustafa al-Marâghî, sekretaris badan penelitian dan pengembangan Universitas Al-Azhâr.3

Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah persepsi tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Marâghî di antara kelima putra Mustafa itu. Hal yang sering membingungkan karena Mustafa al-Marâghî juga terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad Mustafa al-Marâghî juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil menafsirkan Al-Qur‟ân secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis

2 Muhammad dan Ahmad Mustafa al-Marâghî, keduanya beradik kaka dan sama-sama

mengarang kitab tafsir, serta sama-sama pernah menjadi murid Muhammad Abduh. Muhammad Mustafa al-Marâghî (kakak) adalah yang penulisan tafsir-nya tidak lenggkap 30 Juz, hanya beberapa surat seperti surat al-Hujrât, al-Had, dan beberapa ayat dari surat Luqman dan al-„Ashr.

Sungguh pun demikian, ia termasuk salah seorang anggota panitia pembaharuan Universitas Al-Azhâr. Pada masanya Al-Azhâr dibagi kepada tiga Fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan

Syari‟ah, Fakultas Teologi atau Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab. Beliau dua kali menjadi rektor Universitas Al-Azhâr pertama mulai bulan Mei 1928 sampai bulan Oktober 1929, kedua, mulai bulan April 1935 sampai ia meninggal dunia tanggal 22 Agustus 1945. Lihat Hasan Zaini,

Tafsir Tematik, h.20


(26)

14

tafsir beberapa bagian Al-Qur‟ân, seperti surat al-Hujurât dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud disini adalah Ahmad Mustafa al-Marâghî, adik kandung dari Muhammad Mustafa al-Marâghî.

Disamping itu al-Marâghî sebagai keturunan ulama yang menjadi ulama, ia juga berhasil dengan gemilang dalam mendidik putra-putranya menjadi ulama dan sarjana yang selalu mengabdikan ilmunya pada masyarakat, dan bahkan mendapat kedudukan penting sebagai hakim pada pemerintahan Mesir.

Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia mempelajari al-Qur‟ân, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum mencapai umur yang ke-13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur‟ân. Disamping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain di madrasah tersebut sampai ia menamatkan pendidikan Tingkat Menengah.4

Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M., al-Marâghî melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhâr di Kairo atas persetujuan orang tuanya, di samping mengikuti kuliah di Universitas Dârul

„Ulum Kairo.5 Dengan kesibukannya belajar di dua perguruan tinggi ini,

4 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn, (Beirut:

Muhammad Amin, 1993), h. 202. Lihat juga. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang 1996) Cet. Ke. 12, h. 77

5 Yang dahulu merupakan perguruan Tinggi yang berdiri sendiri dan sekarang menjadi


(27)

al-Marâghî dapat disebut sebagai orang yang beruntung, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M.6

Pada tahun 1314 H./1897 M. itulah beliau menuntut ilmu pengetahuan agama, seperti Bahasa Arab, Balâghah, Tafsîr, Ilmu al-Qur‟ân, Ilmu Hadîs,

Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak, Ilmu Falak dan sebagainya. Pada perguruan tinggi tersebut, al-Marâghî mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli dibidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Mut‟i, Ahmad Rifa‟i

al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Marâghî, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim.7

Setelah Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî menamatkan studinya di Universitas al-Azhâr dan Dar al-„Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi

guru di beberapa sekolah menegah. Kemudian ia diangkat menjadi direktur

Madrasah Mu‟allimîn di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten (kota

madya), kira-kira 300 km sebelah barat daya kota Kairo. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi dosen utusan al-Azhâr untuk mengajar ilmu-ilmu syari‟ah

Islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar al-Marâghî juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah „Ulum al-Balaghah.8

6 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn..h. 202, beberapa dosen yang pernah

aktif mengajarnya di al-Azhâr dan Dar al-„Ulum adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis al-Mut‟î, dan Syekh Muhammad Rifa‟i

al-Fayumi.

7 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 17


(28)

16

Pada tahun 1920 ia kembali pulang ke Kairo dan diangkat menjadi dosen bahasa Arab dan ilmu-ilmu syarî‟ah Islam di Dar al-„Ulum sampai

tahun 1940. Disamping itu ia diangkat menjadi dosen ilmu balaghah dan sejarah kebudayaan islam di Fakultas Adab Universitas Al-Azhâr. Selama mengajar di Universitas al-Azhâr dan Dar al-„Ulum, ia tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit Kairo, kira-kira 25 km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya, sehingga di kota tersebut terdapat suatu jalan yang diberi nama jalan al-Marâghî.9

Ahmad Mustafa al-Marâghî juga mengajar pada perguruan Ma‟had Tarbiyah Mu‟allimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapatkan piagam

tanda penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H. atas jasa-jasanya tersebut. Piagam tersebut tertanggal 11-01-1361 H. Pada tahun 1370 H./1951 M., yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, dalam usianya yang terbentang selama 71 tahun, beliau juga masih mengajar dan bahkan dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 juli 1952 M. / 1371 H. di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25 km disebelah kota Kairo.10

Berkat didikan Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, lahirlah ratusan, bahkan ribuan ulama/sarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan

9 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn ,h.114


(29)

oleh berbagai lembaga pendidikan islam, yang ahli dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam.

Diantara mahasiswa Ahmad Mustafa al-Marâghî yang berhasil dari Indonesia adalah:

1. Bustami Abdul Ghani, Guru Besar dan dosen Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Mukhtar Yahya, Guru Besar IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. 3. Mastur Djahri, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin.

4. Ibrahim Abdul Halim, dosen senior IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Abdul Rozak al-Amudy, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya.11

Ahmad Mustafaal-Marâghî menyadari bahwa setiap masa mempunyai

karakter sendiri-sendiri, baik dalam sikap masyarakat, tradisi, akhlak dan cara berfikir pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu

al-Marâghî merasa perlu untuk mengeluarkan sebuah kitab tafsir dengan corak yang sesuai dengan masa kini atau bersifat kontemporer dan sesuai dengan kondisi pluralis masyarakat yang ada. Namun demikian al-Marâghî masih tetap menganggap perlu untuk mengikuti pendapat-pendapat mufassir sebelumnya sebagai wujud penghargaan al-Marâghî atas kerja keras yang telah mereka lakukan.

Ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan kontribusi yang besar


(30)

18

terhadap umat lewat beragam karyanya. Salah satu di antaranya adalah kitab tafsir yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini.

Diantara buah pena yang dapat dihasilkan dan dibaca diantaranya:

„Ulûm al-Balâghah, Hidâyah al-Tâlib, Tahbîz al-Tandîh, Buhuts wa Ara, Tarikh „Ulum al-Balaghah wa Ta‟rif Bi rijâliha, Mursyid al-Tulâb, al-Mujasfi „Ulûm wa al-Usûl Al-Diyanât wa al-Akhlâq, al-Hisâb Fi al-Islâm, al-Rifqi bi al-Hayawân Fi al-Islâm, Syarah Tsalâsîn Hadîsan, Tafsir Juz Innama al-Sabîl, Risalât Fi Zauzat al-Nabi, Risalât Ishat Ru‟yat al-Hilâl Fi Ramadân, al-Khutbah Wa al-Khutaba Fi Daulat al-Umawiyah Wa al-„Abbasiyah, al-Mutâla‟ah al-Arabiyah Li al-Madâris al-Sudaniyah. 12

Penulisan sekian banyak karyanya ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab al-Marâghî sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakat-nya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur‟ani sebagai alternatif untuk dijadikan cara pemecahan yang aktual dan pemecahan menurut Islam di masa modern ini.

b. Sistematika dan Metodologi Tafsir

Sebagaimana yang dituliskan al-Marâghî dalam mukaddimah tasirnya ia menjelaskan bahwa dimasa sekarang orang sering menyaksikan banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan dibidang agama, terutama sekali dibidang tafsir al-Qur‟ân dan Sunnah Rasul, kitab -kitab tafsir tersebut banyak memberitakan manfaat karena menyikap berbagai

12 Kafrawi Ridwan, et. Al (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve

Jakarta, 1994), cet. Ke-3, h.166, lihat juga Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn (Beirut: Muhammad Amin, co. 1934). h. 204


(31)

persoalan agama dan bermacam-macam kesulitan yang tidak mudah dipahami, namun kebanyakan telah banyak dibumbui dengan istilah-istilah ilmu yang lain, seperti ilmu balaghah, nahwu, saraf, fiqih, tauhîd, dan ilmu lainnya, yang justru merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur‟ân secara benar bagi para

pembaca.13

Namun demikian al-Marâghî mengulas, hal ini memang tidak bisa disalahkan, karena ayat-ayat al-Qur‟ân sendiri memberikan isyarat tentang hal

itu. Tetapi saat ini dapat dibuktikan dengan dasar penyelidikan ilmiah dan data autentik dengan berbagai argumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya tidak perlu ditafsirkan al-Qur‟ân dengan analisa ilmiah yang hanya berlaku seketika. Sebab, dengan berlalunya masa, sudah tentu situasi tersebut akan berubah. Apalagi, tafsir-tafsir dahulu itu dulu ditampilkan dengan gaya bahasa yang hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang semasa.14

Seiring problema yang terus berkembang dan menjadikan Al-Qur‟ân

sebagai kenyataan yang bisa meminimalisir permasalahan-permasalahan agama dan sosial, seiring pula para penafsir mengembangkan dan memberikan corak yang varian terhadap tafsir mereka. Para ulama tafsir membagi metode penulisannya kedalam empat metode tafsir, yaitu:15

1) Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur‟ân dengan memaparkan segala makna dan aspek yang

13 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 24 14 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 25

15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah


(32)

20

terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam Al-Qur‟ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟i (parsial).

2) Metode Ijmali (global) adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟ân secara global dan singkat, sehingga terasa oleh

pembacanya bagai tetap dalam gaya dan kalimat-kalimat Al-Qur‟ân. 3) Metode Muqarran (komparatif) adalah tafsir yang berupaya

membanding-kan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi SAW. yang terkesan bertentangan atau juga membandingkan pendapat dua ulama atau lebih menyangkut ayat-ayat tertentu.

4) Metode Maudu‟i (tematik) dinamai juga metode tauhidy yaitu menyajikan pesan ayat-ayat al-Qur‟ân yang berbicara satu topik dalam kesatuan utuh.

Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, yaitu tafsir yang membahas satu surat Al-Qur‟ân secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelas -kan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dan atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur‟ân yang memiliki kesamaan

arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu.

Dengan melihat uraian di atas, maka tafsir al-Marâghî menggunakan metode Tahlili. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain, baik sebelum atau sesudah Tafsir al-Marâghî, termasuk Tafsir al-Manâr yang dipandang modern, ternyata tafsir al-Marâghî mempunyai sistematika


(33)

penulisan sendiri, yang membuatnya berbeda dangan tafsir-tafsir lain tersebut. Sedang coraknya sama dengan corak Tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad Syaltut, dan Tafsir al-Wad‟i karya Muhammad Mahmud Hijazi.16 Semuanya itu mengambil Adabi Ijtima‟i. Menurut Husain al-Dzahabi, Adabi Ijtima‟i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ân berdasarkan

ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ân, lalu

mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.17

Adapun sistematika penulisan tafsir al-Marâghî yang dikemukakannya dalam Mukaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut.18

1. Mengemukakan Ayat-ayat di Awal Pembahasan

Pada setiap bahasan Al-Marâghî memulai dengan satu, dua lebih ayat-ayat al-Qur‟ân yang kami susun sedemikian rupa hingga memberikan

pengertian yang menyatu. 2. Menjelaskan Kosa Kata

Kemudian ia sertakan penjelasan-penjelasan kata secara bahasa, jika memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit dipahami oleh para pembaca.

16 Ahmad Akram, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992), Cet. Ke-2, h. 72

17 Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn (t.p. 1986) cet. Ke-2, jilid

2, h. 574, lihat juga Sejarah dan „Ulum al-Qur‟ân, h. 184


(34)

22

3. Menjelaskan Pengertian Ayat-ayat Secara Global

Kemudian, Al-Marâghî menyebutkan ayat-ayat secara ijmal, dengan maksud memberikan pengertian ayat-ayat di atasnya secara global. Sehingga sebelum memasuki pengertian tafsir yang menjadi topik utama, para pembaca telah terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat secara ijmal.

4. Menjelaskan Sebab Turun Ayat

Kemudian, ia pun akan menyertakan bahasan Asbâbun an-Nuzul jika terdapat riwayat sahih dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir.

5. Meninggalkan Istilah-istilah Yang Berhubungan Dengan Ilmu Pengetahuan

Di dalam tafsir ini, sengaja mufassir mengesampingkan istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya ilmu Saraf, Nahwu, Balaghah dan lain-lain, walaupun masuknya ilmu-ilmu tersebut justru merupakan suatu penghambatan bagi para pembaca di dalam mempelajari kitab-kitab tafsir. Meskipun ia mengingkari visi dan paradigma tafsir al-Qur‟ân ilmiah, akan tetapi ia juga berusaha memadukan karena mengikuti

metodologi gurunya, Muhammad Abduh dalam mengkompromikan antara Islam dengan sivilisasi Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma tersebut dengan sikap para pendukung dan penganjurnya, karena itu beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiah yang fixed itu ada kesesuaian.19

19 Seperti yang ia katakan berangkat dari sini, saya tidak ingin mengatakan bahwa

al-Qur‟ân ini memuat seluruh ilmu pengetahuan, baik secara global maupun sistematis dengan model pendidikan yang sudah dikenal. Namun, saya ingin menegaskan bahwa al-Qur‟ân memang


(35)

6. Gaya Bahasa Para Mufassir

Al-Marâghî sadar bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu, yang sudah barang tentu sangat dimengerti oleh mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karyanya itu menggunakan gaya bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka karena mampu menulis dengan cara itu.

7. Pesatnya Sarana Komunikasi Di Masa Modern

Masa sekarang ini ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masyarakat lebih cenderung menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dimengerti maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, sebelum Al-Marâghî melakukan pembahasan, terlebih dahulu membaca seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu yang beraneka kecenderungannya dan masa ditulisnya. Sehingga ia memahami secara keseluruhannya sisi kitab-kitab tersebut. Kemudian, ia berusaha mencernanya, dan ia sajikan dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti di masa sekarang.

8. Seleksi Terhadap Kisah-kisah Yang Terdapat Di Dalam Kitab-kitab Tafsir

Pada dasarnya, fitrah manusia selalu ingin mengetahui hal-hal yang masih samar, dan berupaya menafsirkan hal-hal yang masih dianggap sulit

berdasarkan pengetahuannya dan untuk diaktualisasikan, agar dia sampai pada tataran (manusia sempurna), dia telah membiarkan pintu itu terbuka bagi orang-orang berilmu, mereka yang pekerja ilmu pengetahuan, yang beragam bentuknya, agar mereka bisa menjelaskan delik-deliknya kepada manusia, sesuai dengan apa yang mereka terima pada era dimana mereka hidup disana. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur‟ân Kontemporer (Jakarta: al-Izzah 1997) cet. 1, h. 323


(36)

24

untuk dapat diketahui. Terdesak oleh kebutuhan tersebut, mereka justru mengidentifikasi permasalahan kepada ahli kitab – baik kalangan Yahudi maupun Masehi. Ketika mereka menceritakan kepada umat Islam kisah yang dianggap sebagai interpretasi mengenai hal-hal yang sulit di dalam al-Qur‟ân,

padahal mereka tersebut bagaikan orang-orang yang mencari kayu bakar dikegelapan malam, mereka mengumpulkan apa saja yang didapat, kayu maupun yang lainnya, sebab kisah-kisah mereka tidak melalui proses seleksi.

Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada mukadimahnya, “Maka

dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan Kitabullah secara lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”.

Berdasarkan pertimbangan di atas, al-Marâghî melihat langkah yang baik dalam pembahasan tafsirnya ialah tidak menyebutkan masalah-masalah yang berkaitan erat dengan cerita orang terdahulu, kecuali cerita-cerita tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama yang sudah tidak diperselisihkan.


(37)

2)M. Quraish Shihab

a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis

Quraish Shihab menjadi sosok yang penuh karisma dalam warisan dunia tafsir kontemporer. Karenanya, bayak problem keagamaan dan sosial-teologi yang dapat dijawab oleh Quraish ini menjadikannya sosok yang unik dalam memahami keagamaan. Dengan keluasan sebuah pengetahuan ia mengelola dan memproduksi agama dari bentuk transenden menuju iman, dari yang berwajah simbolik menuju subtantif, dari yang tak terpikirkan menuju yang terpikirkan.

Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Ia merupakan salah satu putra dari Prof. KH. Abdurrahman Shihab (1905-1986) seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir.20 Memiliki reputasi baik dalam dunia pendidikan di Sulawesi selatan, Kontribusinya terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung padang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alaudin Ujung Padang.21

Quraish Shihab pertama sekali belajar bahasa Al-Qur‟ân langsung dari

ayah kandungnya sendiri yang secara rutin dilaksanakan sehabis maghrib, ayahnya selalu mengajak Quraish Shihab dan saudara-saudara yang lain untuk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan dengan memasukan makna ayat-ayat Al-Qur‟ân dan perkataan orang-orang

20 Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002) Cet. Ke-1, hal.254

21 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van


(38)

26

bijak.22 Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur‟ân.23 Petuah-petuah itu berasal dari ayat-ayat

Al-Qur‟ân, petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-Qur‟ân.

Pendidikan formal sekolah Dasar Quraish Shihab di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan sekolah menengahnya (SLTP) di kota Malang, Jawa Timur dibarengi dengan belajar agama di Pondok Pesantren Dâr al-Hadîts al-Fiqhiyah, di kota yang sama. Pada tahun 1958, dalam usianya yang ke 14 tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima ke Kelas II Tsanawiyah al-Azhâr pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas ushuluddin, tetapi ia tidak di terima karena belum memenuhi syarat yang ditetapkan. Oleh karena itu, ia bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis. Walaupun, jurusan-jurusan lainnya terbuka lebar untuknya.24

Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar Lc (setingkat dengan SI). karena kehausannya dalam ilmu Al-Qur‟an. Ia

melanjutkan kembali pendidikannya di jurusan dan universitas yang sama dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesialisasi di bidang tafsir al-Qur‟ân dengan tesis berjudul Al-I‟jaz al-Tasyri‟î Li Al-Qur‟ân al-Karîm.

Dengan rasa suka ia kembali ke kampung halaman dengan mengantongi gelar Megister di tangannya.25

22 Petuah-petuah keagamaan yang hingga detik ini masih terngiang di telinga saya.

Biarkanlah Al-Qur‟ân berbicara (Istantiq al-Qurân) Sabda Ali Ibn Abi Thalib, Bacalah al-Qur‟ân

seolah-olah ia diturunkan kepadamu kata Muhammad Iqbal, Rasakanlah Keagungan al-Qur‟ân, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu_kata Syaikh Muhammad Abduh. Lihat Membumikan Al-Qur‟ân_Kata Pengantar.

23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, (Bandung: Mizan,2001), Cet. Ke-22,hal.6 24 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, hal. 14


(39)

Quraish Shihab tidak langsung melanjutkan studinya ke program doctoral melainkan kembali ke Ujung Pandang, dalam beberapa periode, kurang lebih sebelas tahun (1969-1980) ia terjun ke berbagai aktivitas. Antara lain, di Ujung Pandang ia membantu ayahnya mengelola pendidikan di IAIN Alaudin, jabatan yang ia pegang di dalam universitas tersebut sangat istimewa yaitu sebagai Wakil Rektor di bidang Akademis dan Kemahasiswaan, Koordinator perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur (KOPERTAIS), sedangkan di luar kampus ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Kepolisian Indonesia Bagian Timur dalam bidang penyuluhan mental. Di Ujung Pandang ia sempat untuk melakukan berbagai penelitian, diantaranya dengan tema: Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur

(1975)26 dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).27

Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studinya di program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhâr. Pada tahun 1982 dengan Disertasi berjudul Nazm al-Durâr li al-Biqa‟I Tahqîq wa Dirasah dan meraih gelar doctor (Ph.D) dengan yudisium Summa Cum Laude, disertai penghargaan tingkat pertama (mumtâz ma‟a martabah al-syarâfah al-„ula).28

26 Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1975. Isinya

merupakan penggambaran di bidang sosial tentang terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama yang paling harmonis

27Ensiklopedi Islam, h.111, karya ini juga merupakan bentuk laporan dari penelitian yang

dilakukan pada tahun 1978. Isinya menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi objektif dari persoalan wakaf yang terdapat di Sulawesi Selatan, juga terdapat di dalamnya saran-saran yang perlu dipertimbangkan

28 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, h. 6, lihat juga Membumikan al-Qurân,


(40)

28

Sekembalinya ke kampung halaman, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1984 babak baru bagi karir Quraish Shihab, dimulai saat pindah tugas dari IAIN Alaudin, Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disinilah Quraish Shihab aktif mengajar bidang tafsir dan ulum Al-Qur‟ân di program SI, S2, dan S3 sampai tahun 1998.

Selain menjadi Rektor IAIN Jakarta dua periode (1992-1996 dan 1997-1998), ia juga dipercaya menjadi menteri agama selama kurang dua bulan di awal tahun 1998, pada cabinet terakhir Soeharto, cabinet pembangunan VI. Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Rebpublik Indonesia untuk Negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo.29

Pada tahun 1993 Quraish Shihab mendapatkan jabatan sebagai Menteri Agama RI cabinet pembangunan VII (1998), akan tetapi jabatan tersebut tak lama dipegangnya, kurang lebih dua bulan dan ia juga sekaligus merangkap jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Nama Quraish Shihab pun tak lekam begitu saja karena pada masa pemerintahan transisisonal Habibi tahun 1999, lagi-lagi Quraish mendapat jabatan baru sebagai Duta Besar Mesir.

Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang perolehnya itu telah menjadikannya ia seorang yang mempunyai kajian dan wawasan yang mendalam menonjol dalam khazanah tafsir di Indonesia. Atau seperti apa

Ia merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor di bidang Ilmu Tafsir, sementara dalam lingkup keluarga, ia merupakan dokter keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri.

29 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab,


(41)

yang dikatakan Howard M. Federsfiel30, telah menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Populer Indonesia Literature Of The Quran.31

Al-Qur‟ân merupakan media petunjuk untuk manusia secara umum

mengetahui berbagai perihal informasi dari Allah SWT. mengenai perintah, larangan, ancaman, cobaan, balasan, imbalan, dan lain-lain. Dan tafsir sebagai metodologi menjembatani usaha manusia untuk memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur‟ân sesuai dengan keluasan ilmu yang dimilikinya. Hal ini berarti, bukan hal yang mudah untuk menterjemahkan pesan Tuhan secara aktual, ilmu dan kemampuanlah yang menjadi tolak ukur dalam mentafsirkan Al-Qur‟ân.

Sedangkan menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur‟ân adalah penjelasan

tentang maksud firman-firman sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al-Qur‟ân bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jika fulan memiliki kecenderungan hukum, tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau fulan adalah seorang filosof, maka tafsir yang dihidangkan bersifat filosofis.

30 Howard M. Federsfiel adalah Profesor di Institut studi-studi islam, universits MCGill di

Montreal, Kanada, juga sebagai Profesor ilu politik di universitas Negara bagian Ohio di AS. Ia lahir di New York AS pada tahun 1932, ia melanjutkan studinya di Universitas MC Gill di mana ia belajar di bawah bimbingan willfred Cantwell Smith, Fazlur Rahmân, John Alden Williams, M. Yani Barkes dan Muhammad Rasyidi. Lihat Kajian al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud Yunus

hingga Quraish Shihab, terbitan Mizan

31 Howard M. Fiderspiel, Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-1, h.295


(42)

30

Kalau studi yang diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang aspek-aspek kebahasaan demikian seterusnya.32

Menyadari begitu luas dan dalamnya makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur‟ân, Quraish Shihab pun mengoptimalisasi berbagai ilmu dengan

masyarakat luas yang ditumpahkan dalam karya-karyanya. Di harian Media Massa surat kabar Pelita, pada setiap hari rabu ia menulis dalam rublik Pelita Hati. Ia juga mengasuh rublik Tafsir Amanah. Begitu pula fatwa-fatwanya di Harian Republik dan majalah Ummat. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Majalah „Ulumul Qurân dan Mimbar „Ulama, Indonesia Journal

For Islamic Studies, Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Keempatnya terbit di Jakarta. Di luar kegiatan di atas, ia juga sering berceramah lewat media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan.33

Tanggapan Federspiel juga tentang karya Quraish Shihab yaitu bahwa tafsir tersebut ditunjukan bagi kaum muslim awam, sekalipun sebenarnya karya tersebut ditunjukan kepada pembaca yang cukup terpelajar. Federspiel mengklasifikasikan tafsir karya Quraish Shihab sebagai karya yang sangat kuat dan merupakan batu ujian bagi pemahaman yang lebih baik tentang Islam.34

Berbagai pujian dan karya ilmiah yang diluncurkannya mencerminkan ia seorang yang aktif dan produktif sebagai penulis dan pandangannya dalam menggambarkan permasalahan yang menjadi kegelisahan masyarakat, khususnya wilayah agama dan sosial keagamaan.

32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân,

(Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Ke-1, Vol.1, h.xvii

33 Kusma, Membangun Citra Institusi, h. 259 34 Federspiel, Kajian al-Qurân di Indonesia, h. 298


(43)

Tulis pengantar Redaksi Kompas (Minggu 18 Februari 1996) sewaktu menurunkan wawancara panjang dengan Muhammad Quraish Shihab pandangan tafsir Al-Qur‟ân bergelar doktor ini dari Universitas al-Azhar, Kairo, memang senantiasa membimbing untuk menemukan jalan keluar yang arif dengan tidak mengurangi dan menghakimi.35

Karya-karya Quraish Shihab yang lain secara global terbagi kepada dua judul besar, Pertama, karya-karya dengan metode Maudhû‟i (tematik), manyajikan pesan-pesan ayat Al-Qur‟ân yang berbicara satu topic dalam satu

kesatuan. Seperti, Mahkota Tuntunan Ilahi (1996), Membumikan Al-Qur‟ân

(1992), dan Lentera Hati,36 Untaian Permata Buat Anakku; Pesan Al-Qurân untuk Mempelai (1995), Wawasan Al-Qurân (1996), Mu‟jizat Al-Qurân

(1997), Haji Mabrur bersama Quraish Shihab (1997), Menyikap Tabir Ilahi; Asmaul Husna Dalam Perspektif Al-Qurân (1998), Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mu‟amalah (1999), Fatwa-fatwa Seputar Agama (1999), Fatwa-fatwa Seputar al-Qurân dan Hadis (1999) Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Qurân dan Sunnah (1999), Shaum Bersama Quraish Shihab di RCTI/Presenter Arif Rahman (1999), Menuju haji Mabrûr, Ed. D. Rohadi (2000) dan Membumikan Al-Qurân (2001), Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Dalam Pandangan Ulama dan Cendikiawan Kontemporer (2004),

Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan dibalik Setiap Fenomena (2005),

Perempuan (2005), Rasionalitas Al-Qurân (2006),37 Logika Agama (2006),

35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maudû‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996) cet. Ke-3, h. pengantar

36 Kedua buku ini merupakan makalahnya dan ceramahnya sejak tahun 1975 37 Merupakan hasil revisi dari karya Quraish yang berjudul Tafsir Al-Manâr (1999)


(44)

32

Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah (2007). Mistik, Seks, dan Ibadah (2007), Pengantin Al-Qurân (2007).

Kedua, karya dengan metode Tahlili (uraian) atau dinamai Tajzi‟i yaitu menjelaskan ayat dari berbagai seginya, ayat demi ayat sebagaimana urutan dalam mushaf Al-Qur‟ân, antara lain seperti, Tafsir al-Amanah (1992), Tafsir Al-Qurân Al-Karîm Dr. Quraish Shihab; Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (1997), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlili

(1997), Tafsir Al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurân (2003),

Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil (2000).

Sedangkan kategori yang lain dari karya Quraish Shihab yang berbicara tokoh dapat kita jumpai pada karyanya yang berjudul Studi Kritis Tafsir

Al-Manâr Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Rido(1994). Dan karyanya

jugadalam bidang ilmu tafsir yaitu Sejarah dan „Ulum al-Qurân (1999).

Demikian karya Quraish Shihab yang tidak dibilang kecil dan relative dekatnya masa waktu pengkaryaan, ia pun termasuk ulama sekaligus mufassir yang produktif, terlebih dalam konteks keindonesiaan.

b. Sistematika dan Metodologi Tafsir

Sistematika penulisan di sini adalah teknik penyaian suatu penafsiran dalam bentuk tulisan (dalam bentuk kitab/buku). Setiap penulisan suatu karya, sistematika merupakan hal yang cukup urgen yang dipakai dalam sebuah penulisan, juga hal ini diterapkan dengan maksud untuk mempermudah penyusunan dalam sebuah karya.


(45)

Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai Qur‟âni sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Qur‟ân dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah, antara yang hak dan yang batil, serta jalan keluar bagi setiap problema kehidupan yang dihadapi. Di samping itu, mufassir dituntut pula menghapus kesalahpahaman terhadap Al-Qur‟ân atau kandungan ayat-ayatnya, sehingga pesan-pesan Al-Qurân diterapkan dengan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.38

Menghidangkan tafsir Al-Qur‟ân berdasarkan kronologi turunnya

diharapkan dapat mengantarkan pembaca untuk mengetahui runtutan petunjuk Ilahi yang dianugrahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya. Menurutnya menguraikan tafsir Al-Qur‟ân berdasarkan urutan surat-surat dalam mushaf seringkali menimbulkan banyak pengulangan, jika kandungan kosa kata atau pesan ayat atau suratnya sama atau mirip dengan ayat atau surat yang telah ditafsirkan. Ini mengakibatkan diperlukannya waktu yang cukup banyak untuk memahmi dan mempelajari kitab suci. Karena itu, dalam tafsir Al-Qur‟ân al-Karîm dan tafsir al-Misbâh ia memaparkan makna kosa kata sebayak mungkin dan kaedah-kaedah tafsir yang menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat digunakan untuk memahmi ayat-ayat yang tidak ditafsirkan.39

Sistematika penulisan dalam tafsir Quraish pun menjadi hal yang urgen untuk menghilangkan kejenuhan serta kesulitan pembaca dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟ân. Hal ini berdasarkan keinginannya untuk bisa

38 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.3, h.3

39 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Qurân Al-Karîm (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), cet.


(46)

34

dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas. Antara lain yang menjadi sistematika tafsirnya adalah:

1. Dalam upaya menjelaskan Al-Qur‟ân, pertama-tama Quraish Shihab berusaha dalam karyanya menampilkan penjelasan gobal setiap Surah

kemudian beliau menguraikan keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah turunnya surah, kemudian menjelaskan penjelasan tentang nama surat, serta tema tujuan surat, dan berjumlah jumlah ayat-ayatnya (pada beberapa temat). Beliau menjelaskan masa turunnya sebuah surah.40 Menjelaskan nama-nama lain – kalau ada –

dari sebuah surat, dan sebagainya.

2. Metode interteks pun dalam hal ini menjadi pengembaraannya, beliau banyak mengutip pendapat para ulama tafsir sebelumnya.41 Hal ini dilakukan baik untuk menguatkan pendapatnya maupun benar-benar dalam rangka untuk menafsirkan ayat yang sedang ditafsirkan.

3. Setelah melakukan penukilan terhadap beberapa ulama juga

menjelaskan pada munasabah (keserasian) antara ayat-ayat dan surat dalam Al-Qur‟ân. Kadang-kadang juga keserasian itu ditempatkan di akhir pembahasan pengelompokan ayat.

4. Ketika menafsirkan ayat demi ayat, beliau terlebih dahulu mencantumkan ayat-ayatnya ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan

40 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h.81-83

41 Di antara para mufassir yang menjadi bahan rujukannya adalah Ibrahim Umar

al-Biqa‟i, Sayyid Muhammad Tantawi, Syaikh Mutawali as-Sya‟rawi, Sayyid Qutb, Muhammad Tahir Ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i, serta beberapa ahli tafsir lainnya.


(47)

pemahamannya sendiri, artinya beliau tidak berpedoman pada salah satu terjemahan Al-Qur‟ân.

5. Langkah selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan kandungan ayat demi ayat secara berurutan, kemudian beliau memisahkan terjemahan makna Al-Qur‟ân dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan terjemah maknanya dengan tulisan Italic dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan Normal, kadang-kadang juga Quraish menghadirkan penggalan teks ayat sebagai penguat keserasian al-Qur‟ân.

6. Al-Qur‟ân dan hadis dijadikan dalil yang fundamen atau bagian dari

tafsirnya hanya ditulis terjemahnya saja. Hal ini diduga sengaja dilakukan Quraish untuk mempermudah pemahaman dan dikarenakan tafsir yang berbahasa Indonesia.

Syatibi dalam kitab al-Muwafaqât memaparkan kurang lebih bahwa tafsir adalah kepastian makna satu kosa kata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pndangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri. Karena untuk menafsirkan satu kata dalam Al-Qur‟ân sangatlah luas, dan media untuk menafsirkan juga sangat

banyak, oleh karena itu, bahasa Al-Qur‟ân merupakan bahasa paling kaya

akan makna, bahasa yang paling bagus akan segala bahasa.

Metode mengandung arti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan tertentu.42 Dalam pengertian ini metode tafsir berarti sistem yang dikembangkan untuk

42 WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) h. 649


(1)

80 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari bab ke bab, mengenai tiga golongan manusia ketika hari Kiamat dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 menurut analisa perbandingan antara tafsir Al-Marâghî karya dari Ahmad Mustafa al-Marâghî dengan tafsir Al-Misbâh Karya M. Quraish Shihab, maka penulis menyimpulkan bahwa penjabaran mengenai hal-hal di atas sebagai berikut;

Persamaan antara kedua mufassir dalam memahami ayat-ayat ini adalah pada penekanan aspek pelajaran atau pesan yang terkandung dalam kisah tersebut. Jadi, yang perlu digali adalah pesan yang ingin Allah sampaikan melalui kisah ini, bukan pada persoalan waktu kejadiannya, serta mengetahui tentang tiga golongan itu.

Menurut analisa penulis, melihat dari uraian penafsiran al-Marâghî dalam menjelaskan beberapa ayat pada surat al-Wâqi‟ah berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun secara lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok dari surat ini, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial yang sejalan dengan perkembangan masyarakat, dan ini adalah bentuk corak penafsiran Adabi Ijtima‟i. Berbeda sedikit dengan Quraish Shihab yang menjelaskan ayat demi ayat secara berurutan, serta memahami bahasa ayat


(2)

dari segi asal kosa kata itu. Lalu memisahkan terjemahan makna al-Qurân dengan sisipan penafsiran.

Perbedaan yang menonjol dari analisa penulis antara kedua mufassir dalam menafsirkan surat al-Wâqi‟ah ayat 7-56 ialah ketika menafsirkan dua perkara. Pertama, dalam memahami makna ketiga golongan manusia yakni, Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl, al-Marâghî menafsirkannya secara lugas dan menekankan tujuan pokok sesuai dengan wawasan keilmuan beliau. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkannya sesuai dengan asal kosa kata ayat tersebut dengan menjelaskan beberapa ayat itu agar sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kedua, al-Marâghî menafsirkan makna Tsullah min al-awwalîn dengan segolongan besar umat-umat terdahulu, dan makna wa qalîl min al-âkhirîn ialah sedikit dari umat Muhammad SAW. Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan mereka sekelompok besar dari umat yang terdahulu bersama Nabi mereka masing-masing, dan sedikit dari umat yang kemudian dari umat Nabi Muhammad SAW.

Adapun implikasinya dalam kehidupan dimasyarakat, ialah ketika sebagian ulama menyampaikan fadilah (keutamaan) beberapa surat dalam Al-Qur‟ân, bahwa dengan membacanya setiap saat serta menjadikannya sebagai wiridan tetap, kepercayaan itulah yang mereka jalankan. Dan itu diyakini sebagai keutamaan yang final. Bila dibandingkan dengan memahami isi kandungan serta mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat, itu jauh lebih memilki nilai keutamaan yang tak terhingga.


(3)

82

B. Saran-saran

1. Dalam al-Qur‟an mengandung 114 surat. Maka, jangan hanya terfokus pada satu surat saja, seperti surat al-Wâqi‟ah yang menjadi tumpun kebanyakan masyarakat Muslim dalam mengamalkan bacaan dan memetik fadilahnya. Tapi yang perlu diingat bahwa semua surat yang ada dalam al-Qur‟ân itu perlu dibaca, dipahami, dihayati dan diamalkan seluruhnya dalam kehidupan di masyarakat. Agar senantiasa menjadi petunjuk yang mampu menyelamatkan setiap insan, baik di dunia dan terlebih di akhirat. 2. Dalam Al-Qur‟ân terdapat banyak kisah yang diceritakan oleh Allah.

Tujuan utama dari kisah yang terdapat di dalamnya adalah agar manusia dapat mengambil pelajaran, karena kisah-kisah tersebut sarat dengan petunjuk. Oleh karena itu penelitian terhadap kisah yang terdapat dalam al-Qur‟ân harus diambil perhatian supaya pelajaran yang terkandung di dalamnya dapat dipetik.

3. Kepada peneliti yang tertarik untuk membahas tentang kisah ini, agar bisa membahas lebih lengkap dan dalam lagi, karena dalam penelitian ini masih banyak kekurangan dan kelemahan.

4. Penelitian terhadap tokoh Ahmad Mustafa al-Marâghi dan M. Quraish Shihab sudah banyak dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji dan diteliti. Oleh karena itu, peneliti sarankan supaya pengkaji tafsir al-Qur‟ân semakin mengembangkan kajiannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam dan menjadikan al-Qur‟ân semakin praktis dan mudah dipahami bagi para pembacanya.


(4)

83

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.2002, Jld.1

Akram, Ahmad, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992, Cet. Ke-2

Âlu Syaikh, Abdullah bin Muhammad, Lubâbu al-Tafsîr min Ibni Katsîr, penterjemah. M. Abdul Ghoffar E.M Dkk., (Bogor:PUSTAKA IMAM SYAFI‟I(, 2007, cet.ke-4, jld.8

Anwar, Hamdani, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.2, 2002

Asrofuddin, Ahsin Muhammad, Corak dan Metode Tafsir Yang Perlu Dikembangkan; Makalah Pada Seminar Pengembangan dan Pengajaran Tafsir di Perguruan Tinggi Agama, Ciputat: Perpustakaan IAIN Jakarta, 1992

Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jakarta: t.p., 1993, Jld. 2

Dewan Redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996, Jilid 2

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, t.p. 1986, Cet.Ke-2, jilid 2

Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA,1992, cet.1, Jld.II

Al-Farmawî, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Mauduî; suatupengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. Ke-2


(5)

84

Fiderspiel, Howard M., Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-1

Ghazali, Muhammad. Tafsir Tematik dalam al-Qur‟an. Jakarta: Gaya Media, 2004

Al-Hindi, Ibn Hisân Al-Dîn, Kanzun Al-Umâl, fî sunani al-aqwâl wa al-af‟âl, Juz.1, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989

Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002, Cet. Ke-1, hal.254

Al-Marâghî, Abdullah Mustafa, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn, Beirut: Muhammad Amin, 1993

Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Marâghî, Penterjemah. Bahrun Abubakar Dkk. Juz XXVII. PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989 Cet. Ke-2

---, Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, Mesir:1973, Juz.27 Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur‟ân

Kontemporer, Jakarta: al-Izzah, 1997, cet. 1

al-Naisâbûry, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairy, Sahih Muslim, Riyâd: Dâr al-Salâm,1998

Nasuhi, Hamid, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. Ke-12


(6)

Ridwan, Kafrawi, et. Al (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1994, cet. Ke-3

Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, tanpa penerbit, 2005, cet. Ke-1 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-22

---, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. Ke-1, Vol.13

---, Tafsir al-Qur‟an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet. Ke-1 ---, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maudû‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,

Bandung: Mizan,1996, cet. Ke-3

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur‟an, Jakarta:Penamadani, 2005, Cet: Ke-3

Smith, Jane Idelman dan Haddad, Yvone Yazbeck, Maut, Barzakh, Kiamat, dan Akhirat, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004, cet. Ke-1

Syahin, Abdussabur, Sejarah Al-Qur‟ân,Trjmh. Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc., Jakarta:PT.Rehal Republika,2008,Cet.1, Jld.3

Al-Tabrîzî, Muhammad bin Abdullah al-Khatîb, Musykâtul Mashâbih, Juz 1, Dârul Fikr.1991

Ushma‟, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur‟ân; Kajian Kritik Objek dan Komprehensif, Jakarta: Riora Cipta, 2000, cet. I

WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka, 1988

Yusuf,M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ân di Indonesia Abad Keduapuluh, Tanpa Penerbit (tt, tnp, tth)

Zaini, Hasan, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, Cet. I