Karakteristik Tafsir SURAT AL-

12

BAB II SURAT AL-

WÂQI’AH AYAT 7 - 56 DALAM TAFSIR AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIR AL-MISBÂH

A. Karakteristik Tafsir

1 Ahmad Mustafa Al-Marâghî a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa bin Mustafa Ibn Muhammad bin Abdul Mun‟im al-Qadi al-Marâghî 1883-1952. 1 Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Mustafa al-Marâghî Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun- temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim. Beliau lahir di kota Marâghah – sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah selatan kota Kairo – pada tahun 1300 H.1883 M. Nampaknya, kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa nama al-marâghî tidak mutlak menunjukan kapada dirinya. Ahmad Mustafa al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini terbukti dengan adanya lima dari delapan putra Syekh Mustafa al-Marâghî ayah dari Ahmad Mustafa 1 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996 Cet. I, h. 13 al-Marâghî adalah ulama besar yang memiliki kharisma besar di Marâghah, yaitu: 1. Syekh Muhammad Mustafa al-Marâghî yang pernah menjadi syekh al-Azhâr selama dua periode yaitu tahun 1928-1930 dan 1935-1945. 2 2. Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, yaitu pengarang Kitab Tafsir al-Marâghî. 3. Syekh Abdul Aziz al-Marâghî, dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhâr dan Imam Raja Faruq. 4. Syekh Abdullah Mustafa al-Marâghî, Inspektur Umum pada Universitas Al-Azhâr. 5. Syekh Abdul Wafa Mustafa al-Marâghî, sekretaris badan penelitian dan pengembangan Universitas Al-Azhâr. 3 Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah persepsi tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Marâghî di antara kelima putra Mustafa itu. Hal yang sering membingungkan karena Mustafa al-Marâghî juga terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad Mustafa al-Marâghî juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil menafsirkan Al- Qur‟ân secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis 2 Muhammad dan Ahmad Mustafa al-Marâghî, keduanya beradik kaka dan sama-sama mengarang kitab tafsir, serta sama-sama pernah menjadi murid Muhammad Abduh. Muhammad Mustafa al-Marâghî kakak adalah yang penulisan tafsir-nya tidak lenggkap 30 Juz, hanya beberapa surat seperti surat al-Hujrât, al-Had, dan beberapa ayat dari surat Luqman dan al- „Ashr. Sungguh pun demikian, ia termasuk salah seorang anggota panitia pembaharuan Universitas Al-Azhâr. Pada masanya Al-Azhâr dibagi kepada tiga Fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Syari‟ah, Fakultas Teologi atau Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab. Beliau dua kali menjadi rektor Universitas Al-Azhâr pertama mulai bulan Mei 1928 sampai bulan Oktober 1929, kedua, mulai bulan April 1935 sampai ia meninggal dunia tanggal 22 Agustus 1945. Lihat Hasan Zaini, Tafsir Tematik, h.20 3 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 20 tafsir beberapa bagian Al- Qur‟ân, seperti surat al-Hujurât dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud disini adalah Ahmad Mustafa al-Marâghî, adik kandung dari Muhammad Mustafa al-Marâghî. Disamping itu al-Marâghî sebagai keturunan ulama yang menjadi ulama, ia juga berhasil dengan gemilang dalam mendidik putra-putranya menjadi ulama dan sarjana yang selalu mengabdikan ilmunya pada masyarakat, dan bahkan mendapat kedudukan penting sebagai hakim pada pemerintahan Mesir. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia mempelajari al- Qur‟ân, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum mencapai umur yang ke-13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat al- Qur‟ân. Disamping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain di madrasah tersebut sampai ia menamatkan pendidikan Tingkat Menengah. 4 Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H.1897 M., al-Marâghî melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhâr di Kairo atas persetujuan orang tuanya, di samping mengikuti kuliah di Universitas Dârul „Ulum Kairo. 5 Dengan kesibukannya belajar di dua perguruan tinggi ini, 4 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn, Beirut: Muhammad Amin, 1993, h. 202. Lihat juga. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan Bintang 1996 Cet. Ke. 12, h. 77 5 Yang dahulu merupakan perguruan Tinggi yang berdiri sendiri dan sekarang menjadi bagian dari Cairo University al-Marâghî dapat disebut sebagai orang yang beruntung, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M. 6 Pada tahun 1314 H.1897 M. itulah beliau menuntut ilmu pengetahuan agama, seperti Bahasa Arab, Balâghah, Tafsîr, Ilmu al- Qur‟ân, Ilmu Hadîs, Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak, Ilmu Falak dan sebagainya. Pada perguruan tinggi tersebut, al-Marâghî mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli dibidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Mut ‟i, Ahmad Rifa‟i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Marâghî, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim. 7 Setelah Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî menamatkan studinya di Universitas al-Azhâr dan Dar al- „Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru di beberapa sekolah menegah. Kemudian ia diangkat menjadi direktur Madrasah Mu‟allimîn di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten kota madya, kira-kira 300 km sebelah barat daya kota Kairo. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi dosen utusan al-Azhâr untuk mengajar ilmu- ilmu syari‟ah Islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar al-Marâghî juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang selesai dikarangnya di sana adalah „Ulum al-Balaghah. 8 6 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn..h. 202, beberapa dosen yang pernah aktif mengajarnya di al-Azhâr dan Dar al- „Ulum adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis al- Mut‟î, dan Syekh Muhammad Rifa‟i al-Fayumi. 7 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 17 8 Abdul Djalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nûr Sebuah Studi Perbandingan. h. 17 Pada tahun 1920 ia kembali pulang ke Kairo dan diangkat menjadi dosen bahasa Arab dan ilmu- ilmu syarî‟ah Islam di Dar al-„Ulum sampai tahun 1940. Disamping itu ia diangkat menjadi dosen ilmu balaghah dan sejarah kebudayaan islam di Fakultas Adab Universitas Al-Azhâr. Selama mengajar di Universitas al-Azhâr dan Dar al- „Ulum, ia tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit Kairo, kira-kira 25 km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya, sehingga di kota tersebut terdapat suatu jalan yang diberi nama jalan al-Marâghî. 9 Ahmad Mustafa al-Marâghî juga mengajar pada perguruan Ma‟had Tarbiyah Mu‟allimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapatkan piagam tanda penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H. atas jasa- jasanya tersebut. Piagam tersebut tertanggal 11-01-1361 H. Pada tahun 1370 H.1951 M., yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, dalam usianya yang terbentang selama 71 tahun, beliau juga masih mengajar dan bahkan dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 juli 1952 M. 1371 H. di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25 km disebelah kota Kairo. 10 Berkat didikan Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, lahirlah ratusan, bahkan ribuan ulamasarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan 9 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn ,h.114 10 Abdul Djalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nûr Sebuah Studi Perbandingan. h. 18 oleh berbagai lembaga pendidikan islam, yang ahli dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara mahasiswa Ahmad Mustafa al-Marâghî yang berhasil dari Indonesia adalah: 1. Bustami Abdul Ghani, Guru Besar dan dosen Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Mukhtar Yahya, Guru Besar IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. 3. Mastur Djahri, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin. 4. Ibrahim Abdul Halim, dosen senior IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Abdul Rozak al-Amudy, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya. 11 Ahmad Mustafa al-Marâghî menyadari bahwa setiap masa mempunyai karakter sendiri-sendiri, baik dalam sikap masyarakat, tradisi, akhlak dan cara berfikir pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu al-Marâghî merasa perlu untuk mengeluarkan sebuah kitab tafsir dengan corak yang sesuai dengan masa kini atau bersifat kontemporer dan sesuai dengan kondisi pluralis masyarakat yang ada. Namun demikian al-Marâghî masih tetap menganggap perlu untuk mengikuti pendapat-pendapat mufassir sebelumnya sebagai wujud penghargaan al-Marâghî atas kerja keras yang telah mereka lakukan. Ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan kontribusi yang besar 11 Departeman Agama RI, Ensiklopedi Islam Jakarta: t.p., 1993, Jld.2, h.696 terhadap umat lewat beragam karyanya. Salah satu di antaranya adalah kitab tafsir yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Diantara buah pena yang dapat dihasilkan dan dibaca diantaranya: „Ulûm al-Balâghah, Hidâyah al-Tâlib, Tahbîz al-Tandîh, Buhuts wa Ara, Tarikh „Ulum al-Balaghah wa Ta‟rif Bi rijâliha, Mursyid al-Tulâb, al-Mujasfi „Ulûm wa al-Usûl Al-Diyanât wa al-Akhlâq, al-Hisâb Fi al-Islâm, al-Rifqi bi al-Hayawân Fi al-Islâm, Syarah Tsalâsîn Hadîsan, Tafsir Juz Innama al-Sabîl, Risalât Fi Zauzat al- Nabi, Risalât Ishat Ru‟yat al-Hilâl Fi Ramadân, al-Khutbah Wa al-Khutaba Fi Daulat al-Umawiyah Wa al- „Abbasiyah, al-Mut âla‟ah al-Arabiyah Li al-Madâris al-Sudaniyah. 12 Penulisan sekian banyak karyanya ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab al-Marâghî sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakat- nya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil- dalil Qur‟ani sebagai alternatif untuk dijadikan cara pemecahan yang a k tual dan pemecahan menurut Islam di masa modern ini. b. Sistematika dan Metodologi Tafsir Sebagaimana yang dituliskan al-Marâghî dalam mukaddimah tasirnya ia menjelaskan bahwa dimasa sekarang orang sering menyaksikan banyak kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan dibidang agama, terutama sekali dibidang tafsir al- Qur‟ân dan Sunnah Rasul, kitab- kitab tafsir tersebut banyak memberitakan manfaat karena menyikap berbagai 12 Kafrawi Ridwan, et. Al ed, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1994, cet. Ke-3, h.166, lihat juga Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn Beirut: Muhammad Amin, co. 1934. h. 204 persoalan agama dan bermacam-macam kesulitan yang tidak mudah dipahami, namun kebanyakan telah banyak dibumbui dengan istilah-istilah ilmu yang lain, seperti ilmu balaghah, nahwu, saraf, fiqih, tauh îd, dan ilmu lainnya, yang justru merupakan hambatan bagi pemahaman al- Qur‟ân secara benar bagi para pembaca. 13 Namun demikian al-Marâghî mengulas, hal ini memang tidak bisa disalahkan, karena ayat-ayat al- Qur‟ân sendiri memberikan isyarat tentang hal itu. Tetapi saat ini dapat dibuktikan dengan dasar penyelidikan ilmiah dan data autentik dengan berbagai argumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya tidak perlu ditafsirkan al- Qur‟ân dengan analisa ilmiah yang hanya berlaku seketika. Sebab, dengan berlalunya masa, sudah tentu situasi tersebut akan berubah. Apalagi, tafsir-tafsir dahulu itu dulu ditampilkan dengan gaya bahasa yang hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang semasa. 14 Seiring problema yang terus berkembang dan menjadikan Al- Qur‟ân sebagai kenyataan yang bisa meminimalisir permasalahan-permasalahan agama dan sosial, seiring pula para penafsir mengembangkan dan memberikan corak yang varian terhadap tafsir mereka. Para ulama tafsir membagi metode penulisannya kedalam empat metode tafsir, yaitu: 15 1 Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al- Qur‟ân dengan memaparkan segala makna dan aspek yang 13 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 24 14 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 25 15 M. Quraish Shihab, Tafsir al- Qur‟ân Al-Karîm, h. V, pengantar, lihat juga Sejarah „Ulum al-Qurân Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, cet. Ke-1, h.172-192 terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam Al- Qur‟ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟i parsial. 2 Metode Ijmali global adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat- ayat Al- Qur‟ân secara global dan singkat, sehingga terasa oleh pembacanya bagai tetap dalam gaya dan kalimat-kalimat Al- Qur‟ân. 3 Metode Muqarran komparatif adalah tafsir yang berupaya membanding- kan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi SAW. yang terkesan bertentangan atau juga membandingkan pendapat dua ulama atau lebih menyangkut ayat-ayat tertentu. 4 Metode Maudu‟i tematik dinamai juga metode tauhidy yaitu menyajikan pesan ayat-ayat al- Qur‟ân yang berbicara satu topik dalam kesatuan utuh. Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, yaitu tafsir yang membahas satu surat Al- Qur‟ân secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelas- kan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dan atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al- Qur‟ân yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu. Dengan melihat uraian di atas, maka tafsir al-Marâghî menggunakan metode Tahlili. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain, baik sebelum atau sesudah Tafsir al-Marâghî, termasuk Tafsir al-Manâr yang dipandang modern, ternyata tafsir al-Marâghî mempunyai sistematika penulisan sendiri, yang membuatnya berbeda dangan tafsir-tafsir lain tersebut. Sedang coraknya sama dengan corak Tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al- Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad Syaltut, dan Tafsir al- Wad‟i karya Muhammad Mahmud Hijazi. 16 Semuanya itu mengambil Adabi Ijtima‟i. Menurut Husain al-Dzahabi, Adabi Ijtima‟i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al- Qur‟ân berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al- Qur‟ân, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. 17 Adapun sistematika penulisan tafsir al-Marâghî yang dikemukakannya dalam Mukaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut. 18 1. Mengemukakan Ayat-ayat di Awal Pembahasan Pada setiap bahasan Al-Marâghî memulai dengan satu, dua lebih ayat- ayat al- Qur‟ân yang kami susun sedemikian rupa hingga memberikan pengertian yang menyatu. 2. Menjelaskan Kosa Kata Kemudian ia sertakan penjelasan-penjelasan kata secara bahasa, jika memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit dipahami oleh para pembaca. 16 Ahmad Akram, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992, Cet. Ke-2, h. 72 17 Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn t.p. 1986 cet. Ke-2, jilid 2, h. 574, lihat juga Sejarah dan „Ulum al-Qur‟ân, h. 184 18 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 26-30 3. Menjelaskan Pengertian Ayat-ayat Secara Global Kemudian, Al-Marâghî menyebutkan ayat-ayat secara ijmal, dengan maksud memberikan pengertian ayat-ayat di atasnya secara global. Sehingga sebelum memasuki pengertian tafsir yang menjadi topik utama, para pembaca telah terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat secara ijmal. 4. Menjelaskan Sebab Turun Ayat Kemudian, ia pun akan menyertakan bahasan Asbâbun an-Nuzul jika terdapat riwayat sahih dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir. 5. Meninggalkan Istilah-istilah Yang Berhubungan Dengan Ilmu Pengetahuan Di dalam tafsir ini, sengaja mufassir mengesampingkan istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya ilmu Saraf, Nahwu, Balaghah dan lain-lain, walaupun masuknya ilmu-ilmu tersebut justru merupakan suatu penghambatan bagi para pembaca di dalam mempelajari kitab-kitab tafsir. Meskipun ia mengingkari visi dan paradigma tafsir al- Qur‟ân ilmiah, akan tetapi ia juga berusaha memadukan karena mengikuti metodologi gurunya, Muhammad Abduh dalam mengkompromikan antara Islam dengan sivilisasi Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi dan paradigma tersebut dengan sikap para pendukung dan penganjurnya, karena itu beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas ilmiah yang fixed itu ada kesesuaian. 19 19 Seperti yang ia katakan berangkat dari sini, saya tidak ingin mengatakan bahwa al- Qur‟ân ini memuat seluruh ilmu pengetahuan, baik secara global maupun sistematis dengan model pendidikan yang sudah dikenal. Namun, saya ingin menegaskan bahwa al- Qur‟ân memang telah membawa dasar-dasar secara general apa saja yang bisa dipersepsikan oleh manusia 6. Gaya Bahasa Para Mufassir Al-Marâghî sadar bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu, yang sudah barang tentu sangat dimengerti oleh mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karyanya itu menggunakan gaya bahasa yang ringkas, sekaligus sebagai kebanggaan mereka karena mampu menulis dengan cara itu. 7. Pesatnya Sarana Komunikasi Di Masa Modern Masa sekarang ini ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masyarakat lebih cenderung menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dimengerti maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, sebelum Al-Marâghî melakukan pembahasan, terlebih dahulu membaca seluruh kitab- kitab tafsir terdahulu yang beraneka kecenderungannya dan masa ditulisnya. Sehingga ia memahami secara keseluruhannya sisi kitab-kitab tersebut. Kemudian, ia berusaha mencernanya, dan ia sajikan dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti di masa sekarang. 8. Seleksi Terhadap Kisah-kisah Yang Terdapat Di Dalam Kitab-kitab Tafsir Pada dasarnya, fitrah manusia selalu ingin mengetahui hal-hal yang masih samar, dan berupaya menafsirkan hal-hal yang masih dianggap sulit berdasarkan pengetahuannya dan untuk diaktualisasikan, agar dia sampai pada tataran manusia sempurna, dia telah membiarkan pintu itu terbuka bagi orang-orang berilmu, mereka yang pekerja ilmu pengetahuan, yang beragam bentuknya, agar mereka bisa menjelaskan delik-deliknya kepada manusia, sesuai dengan apa yang mereka terima pada era dimana mereka hidup disana. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al- Qur‟ân Kontemporer Jakarta: al- Izzah 1997 cet. 1, h. 323 untuk dapat diketahui. Terdesak oleh kebutuhan tersebut, mereka justru mengidentifikasi permasalahan kepada ahli kitab – baik kalangan Yahudi maupun Masehi. Ketika mereka menceritakan kepada umat Islam kisah yang dianggap sebagai interpretasi mengenai hal-hal yang sulit di dalam al- Qur‟ân, padahal mereka tersebut bagaikan orang-orang yang mencari kayu bakar dikegelapan malam, mereka mengumpulkan apa saja yang didapat, kayu maupun yang lainnya, sebab kisah-kisah mereka tidak melalui proses seleksi. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada mukadimahnya, “Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan Kitabullah secara lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil- dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”. Berdasarkan pertimbangan di atas, al-Marâghî melihat langkah yang baik dalam pembahasan tafsirnya ialah tidak menyebutkan masalah-masalah yang berkaitan erat dengan cerita orang terdahulu, kecuali cerita-cerita tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama yang sudah tidak diperselisihkan. 2 M. Quraish Shihab a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis Quraish Shihab menjadi sosok yang penuh karisma dalam warisan dunia tafsir kontemporer. Karenanya, bayak problem keagamaan dan sosial- teologi yang dapat dijawab oleh Quraish ini menjadikannya sosok yang unik dalam memahami keagamaan. Dengan keluasan sebuah pengetahuan ia mengelola dan memproduksi agama dari bentuk transenden menuju iman, dari yang berwajah simbolik menuju subtantif, dari yang tak terpikirkan menuju yang terpikirkan. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Ia merupakan salah satu putra dari Prof. KH. Abdurrahman Shihab 1905- 1986 seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. 20 Memiliki reputasi baik dalam dunia pendidikan di Sulawesi selatan, Kontribusinya terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung padang, yaitu Universitas Muslim Indonesia UMI dan IAIN Alaudin Ujung Padang. 21 Quraish Shihab pertama sekali belajar bahasa Al- Qur‟ân langsung dari ayah kandungnya sendiri yang secara rutin dilaksanakan sehabis maghrib, ayahnya selalu mengajak Quraish Shihab dan saudara-saudara yang lain untuk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan dengan memasukan makna ayat-ayat Al- Qur‟ân dan perkataan orang-orang 20 Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, ed, Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta , Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002 Cet. Ke-1, hal.254 21 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996, Jilid 2, hal.110 bijak. 22 Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap studi Al- Qur‟ân. 23 Petuah-petuah itu berasal dari ayat-ayat Al- Qur‟ân, petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-Qur‟ân. Pendidikan formal sekolah Dasar Quraish Shihab di Ujung Pandang, kemudian melanjutkan sekolah menengahnya SLTP di kota Malang, Jawa Timur dibarengi dengan belajar agama di Pondok Pesantren Dâr al-Hadîts al-Fiqhiyah, di kota yang sama. Pada tahun 1958, dalam usianya yang ke 14 tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima ke Kelas II Tsanawiyah al-Azhâr pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas ushuluddin, tetapi ia tidak di terima karena belum memenuhi syarat yang ditetapkan. Oleh karena itu, ia bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis. Walaupun, jurusan-jurusan lainnya terbuka lebar untuknya. 24 Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar Lc setingkat dengan SI. karena kehausannya dalam ilmu Al- Qur‟an. Ia melanjutkan kembali pendidikannya di jurusan dan universitas yang sama dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesialisasi di bidang tafsir al- Qur‟ân dengan tesis berjudul Al-I‟jaz al-Tasyri‟î Li Al-Qur‟ân al-Karîm. Dengan rasa suka ia kembali ke kampung halaman dengan mengantongi gelar Megister di tangannya. 25 22 Petuah-petuah keagamaan yang hingga detik ini masih terngiang di telinga saya. Biarkanlah Al- Qur‟ân berbicara Istantiq al-Qurân Sabda Ali Ibn Abi Thalib, Bacalah al-Qur‟ân seolah-olah ia diturunkan kepadamu kata Muhammad Iqbal, Rasakanlah Keagungan al- Qur‟ân, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu_kata Syaikh Muhammad Abduh. Lihat Membumikan Al- Qur‟ân_Kata Pengantar. 23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur‟ân, Bandung: Mizan,2001, Cet. Ke-22,hal.6 24 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur‟ân, hal. 14 25 Ensiklopedi Islam, h.111 Quraish Shihab tidak langsung melanjutkan studinya ke program doctoral melainkan kembali ke Ujung Pandang, dalam beberapa periode, kurang lebih sebelas tahun 1969-1980 ia terjun ke berbagai aktivitas. Antara lain, di Ujung Pandang ia membantu ayahnya mengelola pendidikan di IAIN Alaudin, jabatan yang ia pegang di dalam universitas tersebut sangat istimewa yaitu sebagai Wakil Rektor di bidang Akademis dan Kemahasiswaan, Koordinator perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur KOPERTAIS, sedangkan di luar kampus ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Kepolisian Indonesia Bagian Timur dalam bidang penyuluhan mental. Di Ujung Pandang ia sempat untuk melakukan berbagai penelitian, diantaranya dengan tema: Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur 1975 26 dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan 1978. 27 Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studinya di program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhâr. Pada tahun 1982 dengan Disertasi berjudul Nazm al-Durâr li al- Biqa‟I Tahqîq wa Dirasah dan meraih gelar doctor Ph.D dengan yudisium Summa Cum Laude, disertai penghargaan tingkat pertama mumtâz ma‟a martabah al-syarâfah al-„ula. 28 26 Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1975. Isinya merupakan penggambaran di bidang sosial tentang terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama yang paling harmonis 27 Ensiklopedi Islam, h.111, karya ini juga merupakan bentuk laporan dari penelitian yang dilakukan pada tahun 1978. Isinya menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi objektif dari persoalan wakaf yang terdapat di Sulawesi Selatan, juga terdapat di dalamnya saran-saran yang perlu dipertimbangkan 28 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, h. 6, lihat juga Membumikan al-Qurân, Pengantar penulis Sekembalinya ke kampung halaman, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1984 babak baru bagi karir Quraish Shihab, dimulai saat pindah tugas dari IAIN Alaudin, Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disinilah Quraish Shihab aktif mengajar bidang tafsir dan ulum Al- Qur‟ân di program SI, S2, dan S3 sampai tahun 1998. Selain menjadi Rektor IAIN Jakarta dua periode 1992-1996 dan 1997- 1998, ia juga dipercaya menjadi menteri agama selama kurang dua bulan di awal tahun 1998, pada cabinet terakhir Soeharto, cabinet pembangunan VI. Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Rebpublik Indonesia untuk Negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo. 29 Pada tahun 1993 Quraish Shihab mendapatkan jabatan sebagai Menteri Agama RI cabinet pembangunan VII 1998, akan tetapi jabatan tersebut tak lama dipegangnya, kurang lebih dua bulan dan ia juga sekaligus merangkap jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Nama Quraish Shihab pun tak lekam begitu saja karena pada masa pemerintahan transisisonal Habibi tahun 1999, lagi-lagi Quraish mendapat jabatan baru sebagai Duta Besar Mesir. Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang perolehnya itu telah menjadikannya ia seorang yang mempunyai kajian dan wawasan yang mendalam menonjol dalam khazanah tafsir di Indonesia. Atau seperti apa Ia merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor di bidang Ilmu Tafsir, sementara dalam lingkup keluarga, ia merupakan dokter keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri. 29 Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.2, 2002, h. 172 yang dikatakan Howard M. Federsfiel 30 , telah menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Populer Indonesia Literature Of The Quran. 31 Al- Qur‟ân merupakan media petunjuk untuk manusia secara umum mengetahui berbagai perihal informasi dari Allah SWT. mengenai perintah, larangan, ancaman, cobaan, balasan, imbalan, dan lain-lain. Dan tafsir sebagai metodologi menjembatani usaha manusia untuk memahami kandungan ayat- ayat Al- Qur‟ân sesuai dengan keluasan ilmu yang dimilikinya. Hal ini berarti, bukan hal yang mudah untuk menterjemahkan pesan Tuhan secara aktual, ilmu dan kemampuanlah yang menjadi tolak ukur dalam mentafsirkan Al- Qur‟ân. Sedangkan menurut Quraish Shihab tafsir Al- Qur‟ân adalah penjelasan tentang maksud firman-firman sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari Al- Qur‟ân bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jika fulan memiliki kecenderungan hukum, tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau fulan adalah seorang filosof, maka tafsir yang dihidangkan bersifat filosofis. 30 Howard M. Federsfiel adalah Profesor di Institut studi-studi islam, universits MCGill di Montreal, Kanada, juga sebagai Profesor ilu politik di universitas Negara bagian Ohio di AS. Ia lahir di New York AS pada tahun 1932, ia melanjutkan studinya di Universitas MC Gill di mana ia belajar di bawah bimbingan willfred Cantwell Smith, Fazlur Rahmân, John Alden Williams, M. Yani Barkes dan Muhammad Rasyidi. Lihat Kajian al- Qur‟an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terbitan Mizan 31 Howard M. Fiderspiel, Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab , Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-1, h.295 Kalau studi yang diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang aspek-aspek kebahasaan demikian seterusnya. 32 Menyadari begitu luas dan dalamnya makna-makna yang terkandung dalam Al- Qur‟ân, Quraish Shihab pun mengoptimalisasi berbagai ilmu dengan masyarakat luas yang ditumpahkan dalam karya-karyanya. Di harian Media Massa surat kabar Pelita, pada setiap hari rabu ia menulis dalam rublik Pelita Hati . Ia juga mengasuh rublik Tafsir Amanah. Begitu pula fatwa-fatwanya di Harian Republik dan majalah Ummat. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Majalah „Ulumul Qurân dan Mimbar „Ulama, Indonesia Journal For Islamic Studies, Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Keempatnya terbit di Jakarta. Di luar kegiatan di atas, ia juga sering berceramah lewat media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan. 33 Tanggapan Federspiel juga tentang karya Quraish Shihab yaitu bahwa tafsir tersebut ditunjukan bagi kaum muslim awam, sekalipun sebenarnya karya tersebut ditunjukan kepada pembaca yang cukup terpelajar. Federspiel mengklasifikasikan tafsir karya Quraish Shihab sebagai karya yang sangat kuat dan merupakan batu ujian bagi pemahaman yang lebih baik tentang Islam. 34 Berbagai pujian dan karya ilmiah yang diluncurkannya mencerminkan ia seorang yang aktif dan produktif sebagai penulis dan pandangannya dalam menggambarkan permasalahan yang menjadi kegelisahan masyarakat, khususnya wilayah agama dan sosial keagamaan. 32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟ân, Jakarta: Lentera Hati, 2000, cet. Ke-1, Vol.1, h.xvii 33 Kusma, Membangun Citra Institusi, h. 259 34 Federspiel, Kajian al-Qurân di Indonesia, h. 298 Tulis pengantar Redaksi Kompas Minggu 18 Februari 1996 sewaktu menurunkan wawancara panjang dengan Muhammad Quraish Shihab pandangan tafsir Al- Qur‟ân bergelar doktor ini dari Universitas al-Azhar, Kairo, memang senantiasa membimbing untuk menemukan jalan keluar yang arif dengan tidak mengurangi dan menghakimi. 35 Karya-karya Quraish Shihab yang lain secara global terbagi kepada dua judul besar, Pertama, karya-karya dengan metode Maudhû‟i tematik, manyajikan pesan-pesan ayat Al- Qur‟ân yang berbicara satu topic dalam satu kesatuan. Seperti, Mahkota Tuntunan Ilahi 1996, Membumikan Al- Qur‟ân 1992, dan Lentera Hati, 36 Untaian Permata Buat Anakku; Pesan Al-Qurân untuk Mempelai 1995, Wawasan Al-Qurân 1996, Mu‟jizat Al-Qurân 1997, Haji Mabrur bersama Quraish Shihab 1997, Menyikap Tabir Ilahi; Asmaul Husna Dalam Perspektif Al-Qurân 1998, Fatwa-fatwa Seputar Ibadah M u‟amalah 1999, Fatwa-fatwa Seputar Agama 1999, Fatwa-fatwa Seputar al-Qurân dan Hadis 1999 Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Qurân dan Sunnah 1999, Shaum Bersama Quraish Shihab di RCTIPresenter Arif Rahman 1999, Menuju haji Mabrûr, Ed. D. Rohadi 2000 dan Membumikan Al-Qurân 2001, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Dalam Pandangan Ulama dan Cendikiawan Kontemporer 2004, Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan dibalik Setiap Fenomena 2005, Perempuan 2005, Rasionalitas Al-Qurân 2006, 37 Logika Agama 2006, 35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maud û‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat , Bandung: Mizan, 1996 cet. Ke-3, h. pengantar 36 Kedua buku ini merupakan makalahnya dan ceramahnya sejak tahun 1975 37 Merupakan hasil revisi dari karya Quraish yang berjudul Tafsir Al-Manâr 1999 Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah 2007. Mistik, Seks, dan Ibadah 2007, Pengantin Al-Qurân 2007. Kedua , karya dengan metode Tahlili uraian atau dinamai Tajzi‟i yaitu menjelaskan ayat dari berbagai seginya, ayat demi ayat sebagaimana urutan dalam mushaf Al- Qur‟ân, antara lain seperti, Tafsir al-Amanah 1992, Tafsir Al-Qurân Al-Karîm Dr. Quraish Shihab; Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu 1997, Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlili 1997, Tafsir Al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurân 2003, Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil 2000. Sedangkan kategori yang lain dari karya Quraish Shihab yang berbicara tokoh dapat kita jumpai pada karyanya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manâr Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Rido 1994 . Dan karyanya juga dalam bidang ilmu tafsir yaitu Sejarah dan „Ulum al-Qurân 1999 . Demikian karya Quraish Shihab yang tidak dibilang kecil dan relative dekatnya masa waktu pengkaryaan, ia pun termasuk ulama sekaligus mufassir yang produktif, terlebih dalam konteks keindonesiaan. b. Sistematika dan Metodologi Tafsir Sistematika penulisan di sini adalah teknik penyaian suatu penafsiran dalam bentuk tulisan dalam bentuk kitabbuku. Setiap penulisan suatu karya, sistematika merupakan hal yang cukup urgen yang dipakai dalam sebuah penulisan, juga hal ini diterapkan dengan maksud untuk mempermudah penyusunan dalam sebuah karya. Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai- nilai Qur‟âni sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al- Qur‟ân dapat benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah, antara yang hak dan yang batil, serta jalan keluar bagi setiap problema kehidupan yang dihadapi. Di samping itu, mufassir dituntut pula menghapus kesalahpahaman terhadap Al- Qur‟ân atau kandungan ayat-ayatnya, sehingga pesan-pesan Al-Qurân diterapkan dengan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. 38 Menghidangkan tafsir Al- Qur‟ân berdasarkan kronologi turunnya diharapkan dapat mengantarkan pembaca untuk mengetahui runtutan petunjuk Ilahi yang dianugrahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya. Menurutnya menguraikan tafsir Al- Qur‟ân berdasarkan urutan surat-surat dalam mushaf seringkali menimbulkan banyak pengulangan, jika kandungan kosa kata atau pesan ayat atau suratnya sama atau mirip dengan ayat atau surat yang telah ditafsirkan. Ini mengakibatkan diperlukannya waktu yang cukup banyak untuk memahmi dan mempelajari kitab suci. Karena itu, dalam tafsir Al- Qur‟ân al-Karîm dan tafsir al-Misbâh ia memaparkan makna kosa kata sebayak mungkin dan kaedah-kaedah tafsir yang menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat digunakan untuk memahmi ayat-ayat yang tidak ditafsirkan. 39 Sistematika penulisan dalam tafsir Quraish pun menjadi hal yang urgen untuk menghilangkan kejenuhan serta kesulitan pembaca dalam mengkaji ayat-ayat Al- Qur‟ân. Hal ini berdasarkan keinginannya untuk bisa 38 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.3, h.3 39 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Qurân Al-Karîm Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet. Ke-1, h. VI dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas. Antara lain yang menjadi sistematika tafsirnya adalah: 1. Dalam upaya menjelaskan Al-Qur‟ân, pertama-tama Quraish Shihab berusaha dalam karyanya menampilkan penjelasan gobal setiap Surah kemudian beliau menguraikan keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah turunnya surah, kemudian menjelaskan penjelasan tentang nama surat, serta tema tujuan surat, dan berjumlah jumlah ayat-ayatnya pada beberapa temat. Beliau menjelaskan masa turunnya sebuah surah. 40 Menjelaskan nama-nama lain – kalau ada – dari sebuah surat, dan sebagainya. 2. Metode interteks pun dalam hal ini menjadi pengembaraannya, beliau banyak mengutip pendapat para ulama tafsir sebelumnya. 41 Hal ini dilakukan baik untuk menguatkan pendapatnya maupun benar-benar dalam rangka untuk menafsirkan ayat yang sedang ditafsirkan. 3. Setelah melakukan penukilan terhadap beberapa ulama juga menjelaskan pada munasabah keserasian antara ayat-ayat dan surat dalam Al- Qur‟ân. Kadang-kadang juga keserasian itu ditempatkan di akhir pembahasan pengelompokan ayat. 4. Ketika menafsirkan ayat demi ayat, beliau terlebih dahulu mencantumkan ayat-ayatnya ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan 40 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h.81-83 41 Di antara para mufassir yang menjadi bahan rujukannya adalah Ibrahim Umar al- Biqa‟i, Sayyid Muhammad Tantawi, Syaikh Mutawali as-Sya‟rawi, Sayyid Qutb, Muhammad Tahir Ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husain Tabat aba‟i, serta beberapa ahli tafsir lainnya. pemahamannya sendiri, artinya beliau tidak berpedoman pada salah satu terjemahan Al- Qur‟ân. 5. Langkah selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan kandungan ayat demi ayat secara berurutan, kemudian beliau memisahkan terjemahan makna Al- Qur‟ân dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan terjemah maknanya dengan tulisan Italic dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan Normal, kadang-kadang juga Quraish menghadirkan penggalan teks ayat sebagai penguat keserasian al- Qur‟ân. 6. Al-Qur‟ân dan hadis dijadikan dalil yang fundamen atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis terjemahnya saja. Hal ini diduga sengaja dilakukan Quraish untuk mempermudah pemahaman dan dikarenakan tafsir yang berbahasa Indonesia. Syatibi dalam kitab al-Muwafaqât memaparkan kurang lebih bahwa tafsir adalah kepastian makna satu kosa kata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pndangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri. Karena untuk menafsirkan satu kata dalam Al- Qur‟ân sangatlah luas, dan media untuk menafsirkan juga sangat banyak, oleh karena itu, bahasa Al- Qur‟ân merupakan bahasa paling kaya akan makna, bahasa yang paling bagus akan segala bahasa. Metode mengandung arti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan tertentu. 42 Dalam pengertian ini metode tafsir berarti sistem yang dikembangkan untuk 42 WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta: Balai Pustaka, 1988 h. 649 memudahkan dan memperlancar proses penafsiran Al- Qur‟ân secara keseluruhan. Dr. Ahsin Muhammad Asyrofuddin mengemukakan bahwa metode terjemahan dalam bahasa arab yaitu al-Manhâj atau Tanawiyah adalah jalan yang ditempuh oleh seorang mufasir dalam tafsirnya untuk menuangkan ide-ide atau kecenderungan. 43 Sekian banyak ulama tafsir yang sudah membuahkan hasil karyanya, tentunya didukung dengan pisau metodologi yang bisa membuka makna Al- Qur‟ân sejauh mufasir pahami. Metodologi tafsir Al-Qur‟ân, secara umum terbagi kepada tiga macam, Tafsir bi al- Ma‟tsur adalah tafsir yang didasarkan pada periwayatan, Tafsir bi al- Ra‟yi adalah tafsir yang didasarkan pada nalar atau pengetahuan dan Tafsir al- Isy‟ârî adalah tafsir berdasarkan pada isyarat indikasi. 44 Bila kita melihat dari karya-karya Quraish Shihab yang sudah dipaparkan di atas, dapatlah kita menyimpulkan dengan cara apa beliau menafsirkan karya-karyanya, dan bagaimana beliau memberikan titik pusat dalam sistematisasi penafsirnya. Kebanyakan karya-karya yang ditulisnya adalah menggunakan metode maud û‟i yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat Al- Qur‟ân, yang tentunya masih dalam permasalahan yang sama memiliki munasabah ayat atau korelasi dalam berbagai surat, kemudian menekankan pesan moral yang ingin disampaikan, dan selanjutnya mengambil benang merah dari berbagai ayat-ayat tersebut. 43 Ahsin Muhammad Asrofuddin, Corak dan Metode Tafsir Yang Perlu Dikembangkan; Makalah Pada Seminar Pengembangan dan Pengajaran Tafsir di Perguruan Tinggi Agama Ciputat: Perpustakaan IAIN Jakarta, 1992, h.30 44 Thameem Ushma‟, Metodologi Tafsîr Al-Qur‟ân; Kajian Kritik Objek dan Komprehensif Jakarta: Riora Cipta, 2000, cet. I, h. 5 Hal ini didorong upaya Quraish Shihab dalam mendapatkan pandangan dan pesan Al- Qur‟ân secara praktis dan mendalam menyangkut tema-tema yang dibicarakan juga mengungkapkan pendapat-pendapat Al- Qur‟ân tentang berbagai masalah kehidupan sekaligus dapat menjadikan bukti bahwa ayat- ayat Al- Qur‟ân sejalan dengan perkembangan IPTEK dan kemajuan peradaban masyarakat. 45 Kecenderungan Quraish Shihab menggunakan metode ini, karena metode maud u‟i memiliki sejumlah keistimewaan. Antara lain, pertama, dapat mengindari kelemahan atau problem metode lain. Kedua, menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, merupakan satu cara terbaik dalam menafsirkan Al- Qur‟ân. Ketiga, bahwa kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena dia membawa pembaca kepada petunjuk Al- Qur‟ân tanpa mengemukakan berbagai pembahasan dalam satu disiplin ilmu. Keempat, metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dengan Al- Qur‟ân. Dia juga sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al- Qur‟an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. 46 Selain metode Maud u‟i yang dikembangkan di dalam karyanya, juga metode Tahlili yang menjadi peran utama dalam menafsirkan Al- Qur‟ân. Upaya Quraish Shihab dalam menyambut tamunya yang terlihat ingin puas 45 M. Quraish Shihab dalam upaya menerjemahkan ayat-ayat al- Qur‟ân adalah dengan cara melihat problem apa yang berkembang dalam masyarakat, lalu dicari bagaimana penjelasannya dalam al- Qur‟ân. Untuk upaya ini, Quraish menggunakan metode maudu‟i, sebuah metode yang ia kenalkan pertama kali Indonesia dan ia pulalah yang pertama kali menggunakan metode ini dalam konteks Indonesia. 46 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h. 117 dan ingin santai. Maka, Quraish Shihab menyajikan cara prasmanan. Yang dimaksud prasmanan di sini adalah kiasan dari tafsir yang menggunakan metode Tahlili. 47 Metode yang ingin menguraikan dari semua segi, bermula dari kosa kata, asbab al-nuzûl, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan yang diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat yang lain. 48 Seorang tokoh al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al- Qur‟ân dengan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al- Qur‟ân. Penafsir juga membahas mengenai Asbab al-Nuzul dan dalil-dali l yang berasal dari Rasul, sahabat, para tabi‟in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya. 49 Selanjutnya Quraish Shihab menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang tersusun dalam Tafsîr al-Misbâh ini sepintas seperti terjemahan Al- Qur‟ân, maka hendaknya jangan dianggap sebagai terjemahan. Oleh karena itu Quraish Shihab berusaha sedapat mungkin memisahkan terjemahan makna al- Qur‟ân dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjermahan makna dengan italic letter dengan tulisan miring dan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal. 47 Metode Tahlili ini dapat dibedakan ke dalam beberapa contoh, antara lain: Tafsir bi al- Matsûr , Tafsir bi al- Ra‟yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqh, Tafsir Falsafi, Tafsir „Ilmi dan Tafsir Adab al-Ijtima‟i 48 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h. 86 49 Abd. Al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsîr Mauduî; suatu pengantar Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. Ke-2, h.12 Quraish Shihab menggunakan dua metode sekaligus dalam Tafsîr al-Misbâh , karena dari segi teknik, metode tahlili yang menafsirkan ayat demi ayat yang terpisah antara satu dengan lainnya sehingga tidak disuguhkan kepada pembaca secara menyeluruh sehingga membutuhkan waktu lama bagi pembaca untuk memahami isi Al- Qur‟ân. Oleh karena itu ia menambahkan metode maud u‟î. Cara ini dipilih oleh Quraish Shihab karena ia menilai bahwa ia mesti menguraikan seluruh ayat al- Qur‟ân sesuai dengan mushaf usmani tahlili tetapi ia mesti pula mengelompokan ayat-ayat sesuai dengan temanya, agar kandungan ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya Maud u‟î. 50

B. Penafsiran Surat Al-Wâqi’ah Ayat 7 - 56