BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH KEPALA DAERAH
DALAM MEMPERTANGGUNGJAWABKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH APBD
Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD sangat penting dalam mencegah
terjadinya penyalahgunaan, wewenang, kebocoran yang dilakukan oleh pihak eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pertanggungjawaban kepala
daerah terhadap pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah APBD dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban LKPJ yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah DPRD merupakan salah satu ciri pemerintahan yang demokratis. Menurut penelitian penulis terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh
kepala daerah dalam melaksanakan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, adapun hambatan-hambatan
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Hambatan Yang Bersifat Politis.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD
adalah merupakan mitra yang sejajar. Karena kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, sehingga
diharapkan dapat menjamin adanya kerjasama yang serasi antara keduanya guna mencapai tertib pemerintah daerah.
88
Bila dihubungkan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD dalam bentuk
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ, maka akan tersangkut hubungan kekuasaan antara kepala daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah. Dalam hal ini pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah APBD mempunyai akibat yang wajar, yaitu kewajiban untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ yang
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD yang diikuti dengan hasil-hasil yang diperoleh, yang pada gilirannya juga dapat mengurangi
kewibawaan Kepala Daerah, hal tersebut disebabkan oleh karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD melalui hak-hak yang melekat padanya dalam
rangka fungsi pengawasan, yaitu: hak interpelasi, hak angket, dan hak petisi sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapat mempertanyakan atau bahkan
menyelidiki Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ yang disampaikan oleh kepala daerah. Seorang kepala daerah yang menduduki jabatan politik
penting dalam organisasi kekuatan sosial politik, maka posisi politik yang demikian sudah barang tentu membawa pengaruh politis psikologis pada
pelaksanaan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD.
Secara politis, Kepala Daerah sekarang ini dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh DPRD. Oleh karenanya, Kepala Daerah sekarang memiliki basis
legitimasi politik yang lebih kuat dibandingkan dengan Kepala Daerah di saat UU No.221999. Legitimasi politik ini memungkinkan Kepala Daerah untuk tidak
selalu di bawah bayang-bayang ketakutan atas tekanan DPRD sebagaimana terjadi pada periode sebelumnya. Juga, dengan banyak hadirnya tokoh populer yang
terpilih menjadi DPRD, yang tidak berasal dari parpol yang kuat, mengindikasikan bahwa legitimasi politik Kepala Daerah tidak selalu berasal dari
parpol, dan tidak pula selalu melalui para politisi di DPRD.
75
1 Kewenangan pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi terhadap Ranperda Provisi dan kabupaten kota. Dalam pasal 185 setiap Ranperda tentang
APBD Provinsi yang telah disetujui bersama dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Gubernur paling
lambat tiga 3 hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Hal senada juga diberlakukan pada pada kabupaten kota, seperti
yang tercantum pada pasal 186. Kewenangan evaluasi Ranperda Kabupatenkota berada di tangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Dalam perubahan konteks politik dan regulatif itu, DPRD menghadapi beberapa problematika mendasar dalam kewenangannya: Pertama, dalam
mengaktualisasi kewenangan legislasi dan budgeting, memang UU no. 32 Tahun 2004 mengharuskan setiap Peraturan Daerah, termasuk Ranperda tentang APBD
bisa ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Namun dalam UU no. 32 Tahun 2004, kewenangan legislasi dan budgeting yang
dimiliki oleh DPRD bisa “dipangkas” oleh pemerintah pusat. Hal ini ditegaskan dalam beberapa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat:
75
Ari Dwipayana, Arah dan Agenda Reformasi DPRD:Memperkuat Kedudukan dan Kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, pdf. www.drsp-
usaid.orgpublicationsindex.cfm?fuseaction=throwpubid . Diakses Tanggal 10 Maret 2011.
Kewenangan pemerintah pusat untuk mengevaluasi produk legislasi antara DPRD dan kepala daerah diikuti kewenangan membatalkan.
2 Kewenangan untuk melakukan evaluasi juga berlaku untuk produk legislasi dalam Ranperda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah dan
tata ruang pasal 188. 3 Apabila sampai waktu yang ditentukkan DPRD tidak mengambil keputusan
bersama dengan kepala daerah terhadap Ranperda APBD, kepala daerah dapat mengeluarkan Peraturan Kepala daerah setelah mendapatkan
pengesahan Mendagri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupatenkota. 4 Dalam karena dalam pasal 145 ayat 2 disebutkan bahwa Peraturan Daerah
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah melalui
Peraturan Presiden. Dengan kewenangan Pemerintah Pusat membatalkan Perda maka kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda yang telah dibatalkan
.
76
Kedua, perubahan regulasi dalam pengaturan politik lokal, dari UU no. 22 Tahun 1999 ke UU no. 32 Tahun 2004 menimbulkan konsekuensi terhadap
perubahan mendasar dalam hubungan eksekutif – legislatif terutama dalam mengaktualisasi fungsi pengawasan DPRD. Dalam UU no. 22 Tahun 1999,
kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan sangat besar dan kuat. Sehingga tidak aneh kemudian terjadi ketegangan-konflik baik secara terbuka
maupun terselubung antara DPRD dan Kepala Daerah atau anatara DPRD dengan
76
Ibid.
birokrasi daerah. Peluang konflik semakin terbuka karena adanya kewenangan DPRD untuk memilih, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur
Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati dan WalikotaWakil Walikota. Dan selanjutnya Kepala daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada
DPRD. Bagi kepala daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian pada Presiden.
Namun, sejalan dengan perubahan kerangka regulasi nasional ke UU no. 32 Tahun 2004, maka kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan
semakin “terbatas”. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: 1
Kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah tidak ada lagi, karena kepala daerah dipilih secara langsung. Sehinngga posisi dan legitimasi politik
yang dimiliki oleh kepala daerah yang dipilih secara langsung akan jauh lebih kuat dibandingkan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD.
2 Secara politik, dalam sistem pilkada langsung, terdapat kemungkinan untuk
terpilihnya kepala daerah yang berasal dari elite kader parpol yang memiliki kursi mayoritas di DPRD atau memiliki dukungan serta popularitas politik
yang kuat di masyarakat akar rumput sehingga menyebabkan fungsi pengawasan DPRD menjadi “tumpul”.
3 Kepala daerah tidak mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran maupun
hal tertentu atas permintaan DPRD. Karena dalam pasal 27 ayat 2, UU no. 32 Tahun 2004, kepala daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masyarakat.
4 DPRD tidak bisa lagi berhak menolak pertanggungjawaban kepala daerah dan mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden. UU no. 32
Tahun 2004 mengatur mekanisme baru dalam proses pemberhentian kepala daerah. Misalnya dalam pasal 29 ayat 4 disebutkan bahwa pemberhentian
kepala daerah wakil kepala daerah karena dianyatakan melanggar sumpahjanji jabatan dan melanggaran larangan bisa diusulkan oleh DPRD
kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapata DPRD. Pada pasal 32, dinyatakan bahwa dalam hal kepala daerah dan atau
wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya,
DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya. Dan apabila dinyatakan bersalah dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD kepada
Presiden. Apabila sudah ada keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka DPRD mengusulkan pemberhentian kepada
Presiden .
77
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD yang
disampaikan melalui Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ kepala daerah tidak perlu dikhawatirkan akan menghambat efektivitas penyelenggaraan
77
Ibid.
pemerintah daerah, tetapi lebih ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna, dengan tetap mengembangkan semangat
kerjasama yang serasi dan terbuka, yang pada gilirannya kepala daerah dalam melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, serta
mebupayakan segala kebijakan yang diambil selalu berdasar hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah diperhatikan hal-hal tersebut diatas, maka untuk mengatasi hambatan yang bersifat politis dalam pertanggungjawaban kepala daerah terhadap
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, tentunya dalam menciptakan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sudah saatnya ada political will dari pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat DPR untuk mengajukan Rancangan Peraturan Perundang-undangan
tentang pertanggungjawaban kepala daerah dan pertanggungjawaban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dalam penggunaan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah APBD sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yang mana hal tersebut dilakukan dalam rangka check and balances system.
B. Hambatan Yang Bersifat Prosedural.