pertumpahan darah, disebabkan karena prasangka-prasangka itu. Masyarakat Bahá„i percaya bahwa semua jenis prasangka dapat dihilangkan melalui proses
pendidikan yang memberikan keleluasan pencarian kebenaran secara bebas tanpa paksaan dan tekanan.
30
“Wahai anak-anak manusia Tidak tahukah engkau mengapa Kami menjadikan engkau semua dari tanah yang sama? Supaya yang satu janganlah
meninggikan dirinya di atas yang lainnya. Renungkanlah selalu dalam kalbumu bagaimana engkau dijadikan. Karena Kami telah menjadikan engkau semua dari
zat yang sama, maka adalah kewajibanmu untuk menjadi laksana satu jiwa, berjalan dengan kaki yang sama, makan dengan mulut yang sama, dan berdiam
dalam negeri yang sama…” Bahá’u’lláh
e.
Mencari Kebenaran Secara Independen
Setiap manusia telah dibekali oleh Sang Pencipta dengan instrumen- instrumen yang diperlukan untuk dapat menentukan jalan kebenarannya secara
bebas dan mandiri. Kebenaran adalah tunggal bila diselidiki secara bebas, dan kebenaran tidak menerima perpecahan. Oleh karena itu penyelidikan kebenaran
secara independen akan mengarah pada kesatuan umat manusia. Melalui penyelidikan kebenaran secara mandiri dan independen kemanusiaan dapat
terselamatkan dari kegelapan ikut-ikutan dan akan mencapai pada kebenaran. Hanya bila keyakinan itu ia dapat melalui cara ini, ia dapat menikmati kemajuan
jasmani dan rohaninya di dunia ini.
31
30
www.Bahaiindonesia.org Diakses pada senin 13 oktober 2014.
31
www.Bahaiindonesia.org Diakses pada senin 13 oktober 2014.
Ketahuilah bahwa Tuhan telah menciptakan dalam diri manusia kekuatan pikiran agar dia mampu menyelidiki realita. Tuhan tidak bermaksud agar manusia
secara buta mengikuti nenek moyangnya. Dia telah memberikan pikiran dan akal dengan mana ia menyelidiki dan menemukan kebenaran; dan apa yang dia temui
sebagai benar dan nyata haruslah dia terima. Dia tidak boleh menjadi imitator dan pengikut buta dari siapapun. Dia tidak boleh hanya bergantung pada pendapat dari
siapapun tanpa penyelidikan. “Wahai Putra Roh Di dalam pandangan-Ku, keadilanlah yang teramat
Kucintai; janganlah berpaling darinya jika engkau menginginkan Daku, dan janganlah mengabaikannya agar Aku percaya padamu. Dengan pertolongannya
engkau akan melihat dengan matamu sendiri, bukan dengan mata orang lain, dan engkau akan mengetahui melalui pengetahuanmu sendiri, bukan melalui
pengetahuan orang lain. Pertimbangkanlah hal ini dalam hatimu, bagaimana engkau seharusnya. Sesungguhnya, keadilan adalah pemberian-Ku dan tanda
kasih sayang-Ku kepadamu. Maka letakkanlah keadilan di depan matamu.
Bahá’u’lláh
f.
Surga dan Neraka
Para perwujudan Tuhan telah menerangkan adanya ganjaran dan hukuman melalui kiasan dan perumpamaan. Ganjaran dan hukuman sangatlah perlu agar
ada tata tertib di dunia. Ganjaran dan hukuman adalah konsekuensi yang wajar bagi perbuatan-perbutan kita. Semua pesuruh Tuhan dimasa lampau telah
berusaha untuk menyadarkan kita bahwa apa yang kita kerjakan di dunia ini tidak saja mempengaruhi hidup kita disini, tetapi terus membawa akibat setelah
kematian kita. Jika perbuatan-perbuatan kita baik, ini akan memberikan hasil yang baik dan akan menjadi sebab kebahagiaan abadi; jika perbuatan-perbuatan kita
buruk, ini akan membawa hasil yang buruk pula dan menyebabkan penderitaan yang abadi bagi kita.
32
C. Agama Baha’i di Indonesia
Masuknya Agama Bahá’i di Indonesia berdasarkan catatan yang ada, berawal di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jamal Effendi merupakan orang yang
dipilih oleh Bahá’u’lláh untuk mengadakan perjalanan ke India. Ia tiba di India sekitar tahun 1875. Selain mengunjungi beberapa wilayah di India, Ia juga
mengunjungi Sri Langka. Pada perjalanan-perjalanan berikutnya, Ia didampingi oleh Sayyid Mustafa Rumi termasuk kunjungan ke Burma Myanmar, pada tahun
1878 dan juga Penang sekitar tahun 1883. Pada sekitar tahun 1884-1885, mereka meninggalkan usaha dagang
mereka di Burma dan kembali melakukan perjalanan ke India. Dari sini mereka melanjutkan perjalanan ke Dacca sekarang dikenal dengan nama Dhaka, ibu kota
Bangladesh, kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga minggu, mereka pergi ke Madras.
Dari Madras, Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi berlayar ke Singapura ditemani dua orang pelayan yaitu Shamsu’d-Din dan Lapudoodoo dari
Madras. Setelah mendapatkan ijin untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di Batavia Jakarta, dimana mereka ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan.
Mereka hanya diijinkan untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh
32
Ajaran agama bahai http:bahaiindonesia.orgajaran-agama-bahai Diakses Senin 13 Oktober 2014.
pemerintah Belanda. Sayyid Mustafa Rumi, yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, segera menguasai bahasa Melayu, menambah daftar panjang
bahasa-bahasa yang telah dikuasainya. Dari sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga singgah di pulau Bali dan kemudian
Lombok. Disini, melalui kepala bea cukai, mereka diatur untuk bertemu dan disambut oleh Raja yang beragama Buddha dan permaisurinya yang beragama
Islam, dan mereka berbicara mengenai hal-hal kerohanian dengan Raja dan permaisurinya. Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar, di pulau
Sulawesi. Menggunakan sebuah kapal kecil mereka berlayar ke pelabuhan Pare- Pare.
33
Mereka disambut oleh Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak perempuannya, Fatta Sima Tana. Fatta Sima Tana, belakangan, menyiapkan surat-
surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, bernama Nair dan Bashir, untuk membantu dan mengabdi di rumah di Akka. Sang Raja juga sangat tertarik dengan
agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia dan Fammana dengan menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan
sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Disini, Raja Bone, seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta mereka untuk menyiapkan suatu
buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-
ajaran Bahá’i. Karena batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur Belanda
di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan kemudian
33
http:bahaiindonesia.orgmasyarakat-bahaimasuknya-agama-bahai-di-asia-selatan-dan asia-tenggara Diakses Senin 13 Oktober 2014
kembali ke Batavia. Setelah itu kembali ke Singapura dan ke bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Bashir, salah satu anak laki-laki Bugis itu, berhasil mencapai
Akka dan bekerja di rumah Bahá’u’lláh.
34
Tidak banyak sejarah yang menceritakan bagai mana proses penyebaran agama Baha’i ini di Indonesia, hanya
catatan singkat utusan Baha’u’llah jamal effendi yang di tugaskan memberitahukan agama baru ini keberbagai penjuru wilayah. Selebihnya tidak
diketahui bagaimana umat Baha’i bisa tersebar di Indonesia.
34
http:bahaiindonesia.orgmasyarakat-bahaimasuknya-agama-bahai-di-asia-selatan-dan asia-tenggara Diakses Senin 13 Oktober 2014.
33
BAB III KONSEP KEPEMIMPINAN BAHA’I
A. Konsep Kepemimpinan menurut Baha’i
Secara umum kepemimpinan dilihat dari segi etimologinya mempunyai arti yang berasal dari kata dasar “pimpin” dalam bahasa Inggris “lead” berarti
bimbing atau tuntun, dengan begitu didalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin umat dan memimpin imam. Setelah dile
ngkapi dengan awalan “ke-“ menjadi “kepemimpinan” dalam bahasa Inggris “leadership” berarti kemampuan
dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang
bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. Setiap memimpin ada sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Ada orang atau sejumlah orang yang
bertekad mencapai tujuan itu. Pemimpin menjadi pemberi ilham, pemberi dorongan, penggerak dan perintis jalan ketujuan.
35
Agama Baha’i memiliki aturan dalam hal kepemimpinan, seperti yang tertuang dalam administrasi Baha’i. Kepemimpinan menurut Baha’i dipandang
tidak seperti kepemimpinan yang ada pada umumnya, karena dalam agama Baha’i untuk zaman saat ini tidak ada yang namanya kepemimpinan perseorangan.
Karena setelah wali Agama Tuhan yakni Shoghi Efendi meninggal tidak ada lagi yang namanya kepemimpinan perseorangan. menurutnya untuk zaman saat ini
tidak diperlukan lagi kepemimpinan yang bersifat individu ataupun perseorangan. Hal ini sudah diramalkan dalam tulisan-tulisan
suci Baha’u’llah jauh sebelum
35
J. Riberu, Dasar-dasar Kepemimpinan Jakarta: Cv Pedoman Ilmu Jaya, 1992, h. 2.