Memilih Pemimpin di Indonesia

c. Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU. d. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam kegentingan yang memaksa e. Menetapkan Peraturan Pemerintah f. Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri g. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR. h. Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR i. Menyatakan keadaan bahaya. j. Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. 80 k. Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. l. Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 81 m. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. n. Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU. 82 80 Perubahan Pasal 13 UUD 1945. 81 Perubahan Pasal 14 UUD 1945. 82 Perubahan Pasal 15 UUD 1945. o. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah p. Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR q. Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung r. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR. Wewenang dan kewajiban diatas diberikan kepada Presiden dan wakil Presiden selama masih menjabat sebagai kepala negara Indonesia yang semuanya diatur oleh undang-undang.aq

C. Persepsi Umat Baha’i terhadap Konsep Kepemimpinan Negara di Indonesia

Umat Baha’i mempunyai hukum ajaran, dan kami umat Baha’i tetap berpegang terhadap ajaran kami, yang salah satunya berbeda dengan apa yang memang diterapkan di Indonesia, tentang tatacara pencalonan kepala negara yang berdasarkan undang-undang harus diusulkan oleh partai politik yang telah memenuhi persyaratan. Hal ini berbeda dengan ajaran kami yang tidak diperbolehkan ikutserta dalam partai politik untuk dapat menempati posisi sebagai orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur masyarakat di Indonesia. Mereka tetap memegang teguh ajaran yang telah disampaikan Baha’u’llah. Ikut bagian dalam partai politik menurutnya salah satu bagian yang menggiringnya kepada persaingan, pertentangan, dan pemecah-belah yang memang bertentangan dengan visi persatuan dunia. Hal ini bukan berarti umat Baha’i tidak mengetahui perkembangan politik dan pengertian politik sejatinya. Umat Baha’i yang merupakan penduduk Indonesia tetap harus patuh dan tunduk terhadap pemerintahan yang berlaku dinegara kami. Sebagai contoh kami tidak terjun dalam partai politik tetapi kami tetap ikut serta menyumbangkan hak suara kami pada pencalonan presiden dan wakil presiden. 83 Kami tetap menjalankan segala aturan yang dibuat oleh pemerintah negara Indonesia, karena patuh, setia dan patriotisme terhadap negara merupakan salah satu ajaran yang juga di sam paikan oleh Baha’u’llah. Orang Baha’i tetap diperbolehkan bekerja dikantor pemerintahan, tetapi penting sekali untuk membedakan antara jabatan yang bersifat murni administratof dengan jabatan yang bersifat diplomatis dan politis. Mengabdi pada jabatan yang murni administratif adalah satu cara dimana orang Bahai dapat menunjukan cinta pada negaranya. “Orang Baha’i dapat menunjukan cinta untuk negaranya dengan mengabdi bagi kesejahteraan negara dalam kegiatan sehari-harinya, atau dengan cara bekerja dalam bidang administrasi pemerintahan, bukannya bekerja melalui partai politik atau dalam jabatan-jabatan yang bersifat diplomatis ataupun politis.” 84 Yang dimaksud dengan jabatan yang murni administratif adalah jabatan yang dalam segala keadaan tidak terpengaruh oleh perubahan dan kejadian yang pasti menimpa kegiatan politik dan pemerintahan partai disetiap negara. 83 Wawancara Pribadi dengan Ibu Nasrin Astani, Jakarta, 19 November 2014. 84 Surat dari Balai Keadilan Sedunia kepada Majelis Rohani Nasional Afrika, tanggal 08 Februari 1970: Australian LSA Handbook, h.364, no.15 Sehubung dengan sifat non politisi dari Agama, orang- orang Baha’i boleh memberikan suara jika mereka dapat melakukannya tanpa mengaitkan diri atau mengidentifikiasi diri mereka dengan salah satu partai. Seperti dalam surat Bimbingan Tentang Politik, bahwa memasuki arena partai politik pastilah akan merugikan agama serta akan membahayakan agama. Terserah pada individu bagaimana mereka menggunakan hak pilih mereka, tetapi tetap menjaga jarak dari partai polotik, dan bukan karena dia merupakan anggota salah satu partai. Ini harus benar-benar jelas bagi para individu yang bebas untuk melaksanakan atau menerapkan kebijaksanaan dan kehati-hatian mereka. Tetapi bila ada seseorang yang masuk atau ikut dalam partai politik dan bekerja demi kemenangan suatu partai di atas partai lainnya dan terus melakukan hal ini walau sudah ditegur dan diperingati oleh Majelis, maka Majelis berhak mencabut hak pilihnya dalam pemilihan Baha’i. 85 Bagi orang- orang Baha’i yang hidup di negara-negara di mana struktur politik didasarkan pada sistem satu partai tetap pada prinsip awal. Sang wali yang tercinta telah berulang kali menekankan prinsip menolak ikut dalam partai politik manapun. Dalam buku “The Advent Of Divine justice” dalam membahas tingkah laku yang benar yang harus tercermin da lam masyarakat Baha’i, Ia mengatakan: “ yang harus menjadi ciri-ciri dari sikap setiap penganut yang setia adalah tidak mau meminta jabatan-jabatan yang bersifat politis, tidak mengidentifikasi diri dengan partai-partai politik, tidak terlibat dalam kontroversi politik, dan tidak ikut dalam keanggotaan organisasi politik. 85 Bimbingan Tentang Politik dari surat tertanggal 16 Maret 1933, ditulis atas nama sang Wali kepada Majelis Rohani Nasional Amerika Serikat dan Kanada, h.442 Seorang Baha’i yang setia dalam keadaan apapun tidak boleh ikut serta dalam suatu program politik atau kebijakan yang dirumuskan dan dijalakankan oleh suatu partai politik. Karena afiliasi dengan suatu partai politik semacam itu pasti menyebabkan ditolaknya beberapa prinsip serta ajaran agama atau menyebabkan pengakuan sebagian saja dari beberapa kebenaran mendasarnya. Oleh sebab itu orang- orang Baha’i harus menjaga jarak dari partai politik. Terutama yang penting untuk dihindari dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun adalah sikap partisan. 86 Seorang Baha’i boleh dipilih sebagai kepala lingkungan yang mengabdi pada dewan lingkungan asalkan ia tidak harus menjadi anggota suatu partai politik, pengabdiannya sebagai ketua lingkungan atau pejabat daerah tidak melibatkannya dalam politik yang bersifat partisan, bahwa ia tidak berkampanye untuk memperoleh jabatannya, jika disyaratkan oleh hukum. Umat Baha’i melihat Baha’ullah membawa suatu sistem administrasi yang umat Bahai percaya, tapi dalam penerapannya umat bahai juga masih dalam proses belajar. Karena yang Baha’u’llah bawa adalah teori. Yang didunia ini masih sangat jauh perwujudan kesempurnaan dari pelaksanaan yang Baha’u’llah sampaikan, pada saat ini orang-orang Bahai menawarkan kepada seluruh masyarakat untuk belajar bersama, mari kita bekerja sama-sama untuk menuju mewujudkan suatu kepemimpinan yang lebih baik. Administrasi negara Baha’i 86 Bimbingan Tentang Politik dari surat tertanggal 17 Desember 1935, ditulis atas nama Shoghi Effendi kepada seorang Baha’i, h. 3