Konsep kepemimpinan dalam negara utama Al-Farabi

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar

Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Disusun oleh: Muhammad Fanshobi

109033100020

FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN AQIDAH-FALSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i ABSTRAK

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM NEGARA UTAMA AL-FĀRĀBĪ Kata Kunci: Kepemimpinan, Negara Utama, Al-Fārābī.

Tulisan ini memfokuskan pada konsep kepemimpinan yang ditulis al-Fārābī dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah atau secara singkat disebut Negara Utama. Di dalam buku itu, al-Fārābī menuliskan ciri-ciri negara utama yang menurutnya sebagai konsep ideal untuk dijadikan contoh membangun negara. Di dalam ciri-ciri negara utama itu, al-Fārābī menuliskan beberapa konsep kepemimpinan. Hal ini dikerenakan dalam membangun suatu negara ideal, tentu harus diimbangi dengan kepemimpinan yang ideal pula. Negara diibaratkan sebagai tubuh, kemudian pemimpin menjadi pusat dari keinginan tubuh itu sendiri, maka dari itu kepemimpinan menjadi poin penting dalam membangun negara ideal. Dengan menguraikan konsep kepemimpinan yang ideal, maka akan terwujud negara yang ideal pula.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.

Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa buku Negara Utama memuat konsep-konsep kepemimpinan ideal. Konsep itu berdasarkan pemikiran al-Fārābī yang dipengaruhi oleh doktrin agama dan juga pengaruh falsafat Yunani. Diawali dengan tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan, al-Fārābī mengungkapkan metode-metode bagaimana mencapai kebahagiaan itu, salah satunya dengan membangun Negara Utama/Ideal yang didalamnya terdapat masyarakat ideal dan kepemimpinan ideal. Dua objek itulah yang menjadi unsur utama dalam membangun Negara Utama/Ideal. Sedangkan tulisan ini hanya memfokuskan kepada kepemimpinan ideal.


(6)

ii

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik materiil dan immateriil, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Mursyidi Jayadi dan Ibunda Yani yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai;

2. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi Penulis, terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk Penulis;

3. Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta;

4. Dr. Edwin Syarif, MA dan Dra. Tien Rahmatin, MA. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Akidah-Filsafat;

5. Sahabat terdekat Andhini Iasha Amala untuk menemani dalam penyusunan skripsi ini;

6. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Attaqwa Putera angkatan 2009 yang berkulian di UIN Jakarta;

7. Seluruh Teman-teman anggota Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta;


(7)

9. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik materiil maupun imateriil, Penulis memanjatkan doa semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

Jakarta, September 2014


(8)

iv

ب b b ظ ẓ ẓ

ت t t ع ‘ ‘

ث ts th غ gh gh

ج j j ف f f

ح ḥ ḥ ق q q

خ kh kh ك k k

د d d ل l l

ذ dz dh م m m

ر r r ن n n

ز z z و w w

س s s ه h h

ش sy sh ء

ص ṣ ṣ ي y y

ض ḍ ḍ ة h h

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris

آ ā ā

ىإ ī ī


(9)

v

Daftar Isi ... v

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 8

Bab II Riwayat Hidup al-Fārābī A.Pendidikan ... 10

B.Kehidupan Sosial Politik ... 12

C.Sumber-Sumber Pemikiran Politik ... 14

D.Karya-Karya ... 19

Bab III Konsep Kepemimpinan menurut al-Qur’ān dan adīts A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan ... 26

B. Tugas dan Fungsi ... 44

C. Pengangkatan Pemimpin ... 46

D. Kriteria ... 48

Bab IV Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī A. Konsep Negara Ideal/Utama ... 59

B. Tugas dan Fungsi Pemimpin ... 71

C. Pengangkatan Pemimpin ... 76

D. Kriteria Pemimpin ... 82

Bab V Penutup A. Kesimpulan... 97


(10)

1

Berbagai pendapat tentang kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para ahli. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan manusia, kepemimpinan merupakan instrumen penting. Sebagai contoh ketika manusia membangun sebuah keluarga, dalam komunitas kecil itu, seorang bapak menjadi kepala keluarga yang berfungsi sebagai pemimpin. Kemudian komunitas yang cakupannya lebih besar seperti halnya pemerintahan negara, pada akhirnya akan dipimpin oleh kepala negara. Hal ini dilakukan karena setiap manusia membutuhkan pemimpin dan salah satu fungsi pemimpin adalah meningkatkan efektifitas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai di setiap komunitas. Maka dari itu, dalam kepemimpinan akan banyak dibicarakan tentang kriteria pemimpin, tugas dan fungsi pemimpin, dan lain sebagainya.

Di antara sekian banyak para ahli di setiap bidang ilmu yang membicarakan tentang kepemimpinan, terdapat seorang ahli falsafat politik Islam klasik yang layak menjadi salah satu referensi. Pemikirannya yang falsafi dan mendalam menjadi nilai lebih dalam menjadikannya referensi tentang kepemimpinan. Ia adalah Abū Naṣr al-Fārābī (259-339 H./870 -956 M.)1 Sebenarnya ia adalah seorang idealis bahkan cenderung utopis seperti Plato.

Al-Fārābī telah menyumbangkan pemikiran falsafat politiknya terhadap khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah

1

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 49.


(11)

Negara Utama (madīnah fāilah). Konsep tentang Negara Utama banyak diwarnai oleh pemikiran Plato di dalam karangannya yaitu Republic. Di samping itu, al-Fārābī juga hidup dalam kondisi politik yang kacau yang dipimpin oleh khalifah dinasti ʻAbbāsiyyah, sehingga kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya berpikir mengenai suatu bentuk negara ideal.

Dalam memikirkan negara ideal itu, seperti halnya Plato, al-Fārābī juga melihat bahwa kehancuran negara diakibatkan oleh hancurnya moralitas pemimpinnya. Untuk kepemimpinan dalam Negara Utama, al-Fārābī menjelaskan tentang kriteria dan mekanisme pengangkatan kepala negara dan bermaksud agar para pemimpin yang diangkat oleh rakyat lebih bermoral dan kompeten. Di samping itu pula, pemimpin yang bermoral dan kompeten dapat menjadi fasilitator rakyat untuk mencapai kebahagiaan.

Di dalam konsep Negara Utama al-Fārābī, kepala negara adalah satu-satunya orang yang memegang peranan penting, karena kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan jantung dalam sistem organ tubuh manusia, sumber dan pusat koordinasi sebagai suatu hal yang penting di dalam diri manusia yang sempurna. Oleh karena itu, pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan etis sebagai pengendali way of life.2

Kemudian dalam rangka merealisasi Negara Utama, di samping membicarakan tentang pembagian negara berdasarkan ideologi dan pandangan tentang masyarakat, al-Fārābī juga membahas tentang kepala negara atau seorang pemimpin. Dengan tidak menutup kemungkinan mobilisasi vertikal dari kelas

2

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh Richard Walzer, al-Farabi on The Perfect State (Oxford: Claeedon Press, 1985), h. 247.


(12)

yang lebih bawah, karena mekanisme alamiah, tetapi perlu ditegaskan bahwa tidak semua warganya, tentu saja, akan mampu dan dapat menjadi kepala negara atau pemimpin negara. Hanya orang yang berada pada kelas tertinggilah yang boleh menjadi pemimpin negara. Tingkat tinggi-rendah posisi mereka ditentukan oleh dekat-jauh mereka dari “jajaran kepala” negara dan ini ditentukan oleh tingkat kesempurnaan pengetahuan mereka tentang keutamaan dan kebahagiaan sesungguhnya.

Negara atau Kota Utama yang menjadi cita-cita al-Fārābī adalah kota-kota yang memiliki ciri-ciri kota yang benar-benar utama, yang dipimpin oleh penguasa utama.3 Lawan dari al-Madīnah al-Fāilah (negara utama) adalah

al-Madīnah al-Fāsidah (negara rusak/korup) yang ditandai dengan kebodohan, kebobrokan, gonjang-ganjing, dan merugi.

Al-Fārābī memberikan kriteria khusus untuk menjadi seorang kepala negara, seperti yang disebutkan di bawah ini:

1. Sempurna anggota badannya

2. Besar pengertiannya dalam memahami 3. Bagus daya tangkapnya

4. Sempurna ingatannya

5. Cakap dan bijak dalam berbicara 6. Mencintai pengetahuan

7. Tidak serakah dalam minuman, makanan, dan hubungan seks 8. Cinta akan kebenaran dan benci kebohongan

9. Cinta akan keadilan dan benci kezaliman

10.Tidak hidup dalam kemewahan dunia dan foya-foya 11.Sanggup menegakkan keadilan, optimisme dan besar hati

12.Kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil.4

3

Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2002), Cet Ke-1, h. 65.

4

Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002) Cet. Ke-8, h. 127.


(13)

Al-Fārābī ingin menggambarkan pula keutamaan bagi kepala negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktifitas hewani, seperti korupsi, manipulasi, tirani, yang merupakan aktualisasi pemerintah jahiliyyah, pemerintahan fasik, pemerintahan apatis dan pemerintahan sesat. Karena kepala negara menjadi sumber peraturan dan keserasian hidup dalam masyarakat, maka ia harus bertubuh sehat, kuat, berani, pintar, serta cinta kepada ilmu pengetahuan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sehingga yang paling ideal menjadi kepala negara adalah mampu berkomunikasi dengan akal aktif.5

Mengenai pengangkatan kepala negara, al-Fārābī tidak sedetail yang ada di negara demokrasi, karena al-Fārābī tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengangkatan kepala negara. Namun, seandainya tidak ada satu orang pun yang memenuhi kriteria menurut al-Fārābī, kepala negara dapat dipilih secara kolektif “presidium”.6

Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara dan komunikasi, dan sebagainya.

Dengan demikian, penulis ingin mencoba mengangkat judul skripsi yang berasal dari sebuah pembahasan menarik di atas yaitu, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī”

5 Kautsar Azhari Noer, “Pemikiran dan Peradaban”, dalam

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 215.

6

Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali, 1996), h. 79.


(14)

Itulah gambaran penalaran yang memberikan alasan mengapa penulis memilih judul ini. Berawal dari wacana di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat sebuah judul yang telah penulis paparkan pada latar belakang masalah di atas.

B. Batasan Rumusan Masalah

Agar skripsi ini dapat terarah, tersistematisasi dan teridentifikasi maksudnya, penulis ingin memberi batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan masalah dalam skripsi ini adalah tentang definisi kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.

Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk melacak jawaban dan masalah pokok secara terarah maka dibuat satu pertanyaan: Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Negara Utama menurut Al-Fārābī dengan fokus pada empat (4) hal; pertama, kepemimpinan menurut al-Fārābī; kedua, tugas dan fungsi pemimpin; ketiga kriteria kepala negara; keempat, pengangkatan kepala negara.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama Al-Fārābī, bertujuan menceritakan secara mendalam tentang kepemimpinan dalam konsep Negara Utama al-Fārābī.


(15)

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui pandangan-pandangan al-Fārābī tentang kepemimpinan dan Negara Utama guna menambah perspektif baru dalam memandang dan mencari pemimpin dan negara yang ideal. D. Tinjauan Pustaka

Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya yang membahas tentang pemikiran politik al-Fārābī. Adapun karya tersebut adalah: Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah, yang mengungkapkan tentang hubungan sosial antara masyarakat dengan masyarakat negara, negara (bangsa) dengan negara.

Selain karya di atas, penulis menemukan buku-buku yang membahas tentang pemikiran falsafat politik al-Fārābī, seperti buku-buku yang berjudul Negara Utama menurut al-Fārābī, yang dikarang oleh Ahmad Zainal Abidin. Di dalam bukunya ia menggambarkan bagaimana Negara Utama menurut al-Fārābī, dan buku tersebut membahas tentang bagaimana hubungan sosial antara masyarakat dengan masyarakat dan negara dengan negara.

Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Filsafat Politik Islam: Antara

al-Fārābī dan Khomeni, yang dikarang oleh Yamani. Di dalam bukunya, Yamani membahas perbandingan pemikiran Khomeini dengan pemikiran al-Fārābī dengan beberapa tujuan. Pertama, ia memaparkan falsafat politik al-Fārābī yang belum banyak diketahui. Padahal banyak peneliti yang percaya bahwa pemikiran tokoh ini merupakan suatu upaya yang cukup berhasil dalam menjelaskan batang tubuh falsafat klasik. Kedua, penyandingan ini bermaksud untuk melacak kemungkinan adanya akar-akar Wilāyah al-Faqīh pemikiran Ayatullah Khomeini dalam


(16)

pemikiran al-Fārābī. Di dalam buku tersebut, keduanya membahas tentang seorang pemimpin yang saleh, arif, dan bijaksana, bahkan dianggap maʻṣūm berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala agama.

Selain buku-buku dan karya-karyanya, penulis juga telah menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi Koencoro salah satu mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2000-2001. Adapun skripsi tersebut berjudul Relevansi Politik Abad Modern dalam Rekonstruksi Pemikiran al-Fārābī. Di dalam skripsinya, ia membahas sepenuhnya pemikiran yang dituangkan oleh al-Fārābī, yang membandingkan dengan pemikiran Ayatullah Khomeini tentang konsep imamah (Wilāyah al-Faqīh) terhadap pemerintahan Iran juga tentang tubuh struktur Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ia berusaha menelusuri adanya kemiripan konsep kepemimpinan dalan struktur pembagian kekuasaan PBB dengan konsep bentuk-bentuk kerja sama antar elemen masyarakat yang terbagi dalam tiga kategori, khususnya dalam Masyarakat Besar (salah satu pemikiran al-Fārābī), yang bekerja sama antara bangsa yang dimiliki oleh dewan keamanan PBB dengan sosial struktur masyarakat al-Fārābī yang sekaligus merupakan bentuk Islamisasi konsep struktur sosial Plato.

Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Amirullah salah satu mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2001-2002. Adapun skripsi tersebut berjudul Negara Utama al-Fārābī dan Ide Demokrasi. Di dalam skripsinya ia membahas


(17)

tentang al-Fārābī yang telah menyumbangkan pemikiran filsafat politiknya terhadap khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah Negara Utama. Konsep tersebut merupakan sebuah perkumpulan kerjasama manusia untuk mencapai tujuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan. Negara Utama al-Fārābī merupakan sebuah konsep politik Islam yang lahir pada abad klasik, berbeda dari demokrasi yang pada kenyataannya berkembang pesat hingga saat ini. Pemikiran al-Fārābī yang lain yang sejalan dengan filsafat politik Plato adalah mengenai bentuk negara ideal yang diidealkan oleh keduanya, yaitu bentuk Negara Kota. Al-Fārābī mengidolakan Negara Kota yang utama, bukan bentuk negara demokratis, seperti juga Plato dan Aristoteles.

Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di atas adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan terhadap pembahasan mengenai konsep kepemimpinan yang diungkapkan al-Fārābī dan konsep Negara Utama yang dituliskan al-Fārābī dalam bukunya yang berjudul Ārāʼ Ahl al-Madīnah al

-Fāilah. Di dalam buku tersebut di antaranya dibahas tentang negara ideal yang di dalamnya terdapat pembagian negara-negara berdasarkan ideologi menurut al-Fārābī, kriteria kepala negara, dan sebagainya.

E. Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis


(18)

penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian.7

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Utama al-Fārābī.

Jenis data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, sekunder, dan lainnya. Data primer ini merujuk pada buku-buku hasil karya al-Fārābī seperti Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah. Data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel, yang mengandung pembahasan tentang kepemimpinan dan komentar, maupun analisis terhadap pemikiran al-Fārābī yang ditulis oleh para sarjana dan cendekiawan yang menggeluti pemikiran al-Fārābī. Data yang lain ialah seperti ensiklopedi, kamus, internet, koran, jurnal dan lain-lain, yang relevan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap rujukan yang penulis sebutkan sebelumnya.

Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal “Ilmu Ushuluddin” yang diterbitkan Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

7

Consuelo G Sevilla dkk., Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: UI Press. 1993), h. 37.


(19)

10

Nama lengkap al-Fārābīadalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī. Ia lahir pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. dan meninggal pada tahun 339 H./950 M.1, pada zaman pemerintahan Kerajaan Sammāniyyah. Di Barat ia terkenal dengan sebutan Avennasar.2 Menurut keterangan, bapaknya berasal dari Persia atau keturunan Persia (kendatipun nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Sedangkan ibunya berasal juga dari Persia. Bapak al-Fārābī bekerja sebagai seorang pegawai tentara kerajaan, sedangkan pekerjaan ibunya tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, ia bisa disebut orang Persia dan orang Turki.3

Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil

bernama Wāsij, Fārāb, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana yang masih masuk wilayah Turkistan.4

Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhārā. Setelah mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen

1

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 49.

2

Abd. Sidiq, Islam dan Filsafat (Jakarta: Triputra, 1984), h. 89; lih. juga, Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion (Londen: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284.

3

Menurut Eliade, The Encyclopedia of Religion (London: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol Ke-5, h. 284, lebih tegas ia disebut sebagai orang Turki “Turkish Descent”, atau “Turkish Origin”.

4

M.M. Sharif, Para Filosof Muslim, terj. dari buku tiga bagian, The Philosophers, dalam History of Islam Philosophy ,1963 (Bandung: Mizan, 1994), cet. Ke-7, h. 55-58; De boer, The History of Philosophy in Islam (London: Lizac & Company, 1970), h. 107-109.


(20)

Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuḥannah ibn Haylān. Pada masa kekhalifahan al-Muʻtadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylān pergi ke Baghdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak memberi sumbangsih dalam penempaan falsafat baru dalam bahasa Arab meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.

Pada kekhalifahan al-Muktafī (902-908) dan awal kekhalifahan al-Muqtadir (908-932) al-Fārābī pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta memelajari seluruh silabus falsafat. Pada tahun 297 H. bersamaan 910 M., ia telah kembali ke Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengaji buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Setelah hijrah ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu falsafat, logika, etika, ilmu politik, musik, dan lain sebagainya.5 Di sinilah ia kembali memerdalam falsafat Yunani. Al-Fārābī adalah seorang komentator falsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para failasuf Yunani: Plato, Aristoteles, dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, falsafat, pengobatan, bahkan musik. Al-Fārābī telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah karya penting dalam bidang musik, Kitāb al-Mūsīqā. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan berbagai alat musik.

Pada tahun 330 H. bersamaan 942 M., al-Fārābī telah berpindah ke Damaskus yaitu satu daerah di negara Syiria akibat kekacauan dan ketidakstabilan

5

Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol. 1, Cet. Ke-4, h. 331.


(21)

politik yang berlaku di Baghdad. Pada tahun 332 H. bersamaan 944 M., al-Fārābī pergi ke Mesir, tetapi tidak diketahui tujuan, mengapa dan kegiatan ia di sana, tapi menurut Ibn AbīʻUṣaybīʻah yang mana merupakan seorang ahli sejarah, al-Fārābī telah mengarang sebuah karya mengenai politik ketika berada di Mesir yaitu sekitar tahun 337 H.

Pada bulan Rajab 339 H. bersamaan 950 M., al-Fārābī meninggal dunia di Damaskus, saat berumur 80 tahun. Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di bagian luar pintu selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Sayf al-Dawlah sendiri yang memberi tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah al-Fārābī.

B. Kehidupan Sosial Politik

Al-Fārābī hidup pada masa zaman kekuasaan Dinasti ʻAbbāsiyyah yang digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan, dengan berbagai motif; agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud dengan cara infiltrasi subversi dan kudeta, bekerja sama dengan kelompok Syīʻah yang berkeyakinan lebih berhak memerintah dan berkuasa daripada keturunan ʻAbbās, paman Nabi Muḥammad SAW. Stabilitas lebih kacau lagi dengan


(22)

hilangnya Imam Muḥammad Mahdī (Imam Keduabelas dari Syīʻah Imāmiyyah) dalam usia empat atau lima tahun.6

Akhir periode ʻAbbāsiyyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan khalifah mengalami kemunduran. Sedangkan yang berkuasa adalah dinasti-dinasti baru yang kebanyakan dari Turki dan Persia. Pada akhirnya, dinasti-dinasti ini menguasai Baghdad itu sendiri, dan khalifah pun praktis merupakan boneka di tangan mereka.7

Pada hidupnya al-Fārābī tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintah. Ia lahir pada zaman pemerintahan Khalifah al-Muʻtamīd (892-902 M) dan meninggal pada masa Khalifah al-Muṭīʻ yang merupakan suatu periode paling kacau dengan stabilitas politik yang sangat mengenaskan. Hal ini yang disinyalir menyebabkan dirinya merasa perlu untuk memikirkan dan menemukan pola-pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal di samping pengaruh dari pendidikan falsafat Yunani yang banyak dipelajarinya.

Kehancuran demi kehancuran dinasti membuatnya berpikir dan berimajinasi mengenai suatu bentuk negara ideal yang pernah ia lihat pada dinasti Sammāniyyah. Seperti halnya Plato, al-Fārābī juga melihat bahwa kehancuran sebuah negara atau dinasti adalah akibat dari kehancuran moralitas bangsa dan pimpinan pada khususnya. Dari situlah kemudian ia tertarik untuk menawarkan sebuah negara yang sejahtera melalui negara utama dengan pimpinan yang utama dan masyarakat yang utama pula.

6

Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 79-80.

7


(23)

Stabilitas politik dan kondisi kehidupan al-Fārābī menunjukkan bahwa ia hidup di dalam sebuah negara yang mengalami kekacauan yang ditimpa berbagai macam konflik yang dilatarbelakangi adanya motif politik, sehingga al-Fārābī di dalam kehidupannya memberikan beberapa konsep tentang falsafat politik khususnya terhadap negara. Dengan latar belakang motif politik dan kondisi kehidupan yang kacau, al-Fārābī menuangkan konsep pemikirannya dalam bentuk negara utama, karena di dalam konsep tersebut al-Fārābī menjelaskan tentang sebuah negara yang masyarakatnya memunyai suatu tujuan yaitu mencapai kebahagiaan.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-Fārābī dilatarbelakangi dengan beberapa poin. Pertama, adanya kondisi kehidupan yang kacau yang di dalamnya mengalami keributan dan perebutan kekuasaan di dalam kerajaan. Kedua, stabilitas poiltik yang tidak aman, yang mengalami beberapa pergantian khalifah, sehingga tidak adanya suatu efektifitas pemerintahan yang stabil. Dari kedua faktor tersebut al-Fārābī menuangkan pemikirannya di dalam falsafat politik dalam sebuah konsep dengan istilah Negara Utama al-Fārābī.

C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik

Sebagaimana para failasuf Muslim lain pada umumnya, pemikiran-pemikiran falsafi al-Fārābi tidak luput dari pengaruh pemikiran-pemikiran para failasuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus.


(24)

Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al-Fārābi membahas tentang kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Taḥṣīl ʻalā Sabīl al-Saʻādah, dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga golongan yaitu; ʻāmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi keadilan sebagai barometer kebaikan.8 Keadilan merupakan hal yang penting dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal.

Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah pemerintah atau failasuf.9

Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini adalah budi yang pandai menguasai diri.

Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara. Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu.

8 Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Saʻādah(Hyderabad: Majlis Dā’irah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah, 1349 H.), h. 36-37.

9


(25)

Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini.

Golongan paling atas adalah pemerintah atau failasuf. Mereka adalah orang-orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain itu, waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam falsafat dan pengetahuan tentang idea kebaikan sehingga memerdalam kesempurnaan budi kebijaksanaan.

Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil, menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio (ephitymia, enerji, thymas dan logos). Jika keinginan dan enerji – di bawah pimpinan rasio – dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagian-bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar, sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masing-masing sepadan dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama, golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia. Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.10

Plato adalah pencipta ajaran serba cita (idenleer), karena itu falsafatnya disebut idealisme. Ajaran Plato lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis. Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca

10

P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote Filosofen over de Mens (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 16-17


(26)

indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan (yang sebenarnya) tidak hanya terbatas pada pengamatan (inderawi). Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam, bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana benda-benda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita (ide) kuda misalnya, yang memunyai sifat-sifat benda dalam bentuk yang murni tidak dapat diamati di dunia ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna dan sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita

mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni

sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang

sempurna di dunia ini.”11

Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua failasuf besar Yunani (Plato dan Aristoteles). Ketika berbicara tentang politik dan negara, al-Fārābī, selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis, berpijak dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas kolektif.12 Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena

11

P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h. 16-17. 12


(27)

dia (Aritoteles) adalah seorang realis. Akan tetapi, pada dasarnya, Aristoteles juga seorang idealis dan menjadikan alam pikiran sebagai pokok penyelidikan, hingga kemudian orang mendapat tanggapan-tanggapan abstrak seperti adil, tidak adil, negara dan lain sebagainya, yang sangat berarti pada dunia kenyataan.

Aristoteles juga berpendapat seperti Plato, bahwa dalam suatu masyarakat rohani yang luasnya terbatas dan terdiri dari orang-orang merdeka, ada lebih besar harapan akan terciptanya keadilan. Ini berarti seyogyanya pemerintah harus membuat masyarakat yang dipimpinnya merasa merdeka sambil menjalankan pemerintah yang adil dan bijaksana. Keadaan ini untuk Plato hanya merupakan tanggapan pikiran, sedangkan Aristoteles memerdalam penyelidikannya untuk menciptakan dan memertahankan keadaan tersebut. Pada akhirnya, baik Plato maupun Aristoteles berpendapat bahwa jika tidak ada kecenderungan etis dan sosial pada warga negara, maka tak ada harapan akan tercapai suatu keadilan yang tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah orang-orang baik dan dengan undang-undang yang baik pula. Maka ini semua laksana jiwa dan badan yang harus ada keseimbangan sebagai keadilan.13

Pandangan kedua failasuf (Plato dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi pimpinan negara/kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negara. Kebajikan itu dapat berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan barang

13

J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato tot Kant) (Jakarta: Pembangunan, 1965), h. 46.


(28)

siapa yang mengurangi bagian itu – lanjut al-Fārābī – dia adalah orang yang curang dan tidak patut menjadi pimpinan.

D. Karya-karya

Hampir di segala bidang ilmu pengetahuan, al-Fārābī mengarang buku-buku yang berharga. Baik buku-buku-buku-buku itu berisi karangan dan pemikirannya sendiri, maupun bersifat terjemahan atau komentar-komentar terhadap failasuf-failasuf yang mendahuluinya. Pengarang al-Qifṭī dalam bukunya Ikhbār al-ʻUlamāʼ fī Akhbār al-ukamāʼ, dan Ibn ʻUṣaybīʻah dalam bukunya ʻUyūn al-Akhbār fī abaqāt al-ibbāʻī menghitung bahwa buku-buku al-Fārābī berjumlah 102 buah yang terbagi kepada: 17 buah bersifat komentar, 60 buah karangan dan 25 buah risalah.

ʻAbbās Maḥmūd berdasarkan catatan-catatan sejarah, menghitung jumlah sampai 117 buah, yang dibaginya menurut bidang pengetahuan kepada enam bidang: 43 buah mengenai mantiq, yang meliputi hermeneutik, analytica priora, analytica aposteriora, topica, sophistica elenchi, rhetorica dan poetic. 11 buah mengenai ilmu-ilmu kepandaian yang meliputi ilmu-ilmu musik, teknik, bintang-bintang, hitungan, dan lain-lain. Sebelas (11) buah mengenai ilmu ketuhanan yang meliputi metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. Empat belas (14) buah mengenai ilmu politik yang meliputi ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dua puluh delapan (28) buah mengenai “Bunga Rampai” yang meliputi


(29)

komentar-komentar terhadap karangan-karangan failasuf Yunani dan segala macamnya. Termasuk di dalam bagian “Bunga Rampai” buku Iḥṣāʼ al-ʻUlūm.14

Jika memerhatikan bidang-bidang yang diisi oleh al-Fārābi dengan karangan-karangannya di atas, dapat kita yakini bahwa failasuf Islam itu betul-betul menguasai segala cabang ilmu pengetahuan.

Muḥammad Luṭfī Jumʻah dalam bukunya Tārīkh Falāsifah al-Islāmī menerangkan bahwa buku-buku al-Fārābī yang sudah dicetak ke dalam bahasa Arab berjumlah 6 buah, ditambah dengan 12 buah buku-bukunya yang tersebar di berbagai perpustakaan-perpustakaan Eropa mengenai ilmu logika, kemudian 8 buah buku mengenai politik dan akhlak, sehingga jumlah-jumlah yang masih diperoleh sekarang 26 buah.15

Buku-buku karangan al-Fārābī mulai ditulis sewaktu berada di Harran pada 310 H./ 941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika diperhitungkan bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti paling lama waktunya mengarang tak lebih dari 30 tahun.

Pertama, Mengenai bukunya (Iḥṣāʼ al-ʻUlūm) adalah himpunan segala ilmu. Sebagaimana namanya, buku itu memuat pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan sampai kepada masanya. Buku itu membagi segala ilmu kepada 5 golongan:

1. Ilmu-ilmu sastra 2. Ilmu-ilmu logika 3. Ilmu-ilmu matematika 4. Ilmu-ilmu alam

14

H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madīnah al- Faīlah) (Jakarta: Kinta. 1968), h. 23.

15


(30)

5. Ilmu-ilmu politik, sosial dan ekonomi

Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, menamakan buku itu

“Encyclopaedia of Islam”. Dikatakannya: “Iḥṣāʼ al-ʻUlūm itu memberikan peninjauan kembali secara umum tentang ilmu-ilmu. Para ahli bangsa Latin memberikan ide tentang pembagian ilmu-ilmu pengetahuan menurut cabang ilmu ada lima macam, yaitu bahasa, logika, matematika, ilmu-ilmu alam, dan politik

serta sosial ekonomi.”

Buku itu tersebar di Eropa karena terjemahannya yang banyak. Terjemahan pertama berbahasa Latin diterjemahkan oleh John of Spain (John of Seville, atau John of Toledo, atau John of Luna or Limia, atau John Avendehut) yang meninggal pada 1157 M. Buku itu menggunakan nama Alpharabu Vetustissimi Aristotelis interpretis, opera omnia, quae Latina lingua. Terjemahan itu disebarkan oleh Guiliemus Comerarius, guru besar teologi di Universitas Paris, pada tahun1938 M. dan sekarang dapat diperoleh dalam British Museum di London.

Terjemahan bahasa Latin yang kedua dilakukan oleh Gerards de Ceremona yang meninggal pada 1187 M. dengan judul buku De Scientus yang sebagian disebarkan oleh Dr. Eilhard Wiedmann dalam bahasa Jerman pada 1907 dan sekarang naskah terjemahan itu masih terdapat di perpustakaan Paris No. 9335 fols. 148-184.

Terjemahan yang ketiga dilakukan oleh Dominicus Guinissalinus yang diberi judul De Devisione Philosophiae. Walaupun Wustandfel mengatakan buku


(31)

itu bukanlah terjemahan dari karangan al-Fārābī, tetapi setelah diselidiki oleh Wolff, hampir 2/3 dari buku al-Fārābī dimuat di dalamnya.

Adapun aslinya dalam bahasa Arab barulah dicetak pertama kali oleh majalah al-ʻIrfān pada 1821 M. dari naskahnya tertanggal abad 13 M. Cetakan kedua diterbitkan oleh Dr. Otsman Amien pada tahun 1931.

Kedua, selain itu ada bukunya yang bernilai tinggi ialah komentarnya terhadap karangan Aristoteles bernama AghrāKitāb mā Warāʼa al-abīʻah li Arisū (On the Objects of Metaphysica, Tujuan buku Aristoteles tentang Metafisika).

Mengenai buku ini, diakui oleh Ibn Sīnā, bahwa dia telah membaca buku Metaphysic of Aristoteles (Metafisika dari Aristoteles) sampai diulanginya, tetap dia tidak mengerti. Tapi setelah membaca komentar al-Fārābī terhadap buku itu barulah dia mengerti seluruh isinya dengan sekali baca saja

Ketiga, buku lain yang penting juga ialah Al-Taʻlīm al-Tsānī (pelajaran falsafat yang kedua), yang dikarangnya atas permintaan kepala daerah. Karena buku itu, nama al-Fārābīmenanjak tinggi dengan gelar “Second Preceptor” (Maha Guru Kedua), sesudah Aristoteles sebagai Maha Guru Pertama.16 Di antara hasil-hasil karyanya yang berjumlah 117 buah, buku karangannya di bidang politik cukup populer dan sangat mengagumkan. Segala buku-buku itu meliputi tiga bidang:

1. Politik dan Hukum 2. Sosial dan Ekonomi 3. Akhlak

16


(32)

Adapun nama buku-buku politik karangan al-Fārābī itu ialah:

1. MabādiʼĀrāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah (The principle of the community of model city, dasar-dasar ideologi warga negara utama), atau singkatnya dinamakan Madīnah al-Fāilah. Menurut keterangan Ibn Abī ʻUṣaybīʻah, buku itu mulai dikarang al-Fārābī sewaktu di Bahgdad dan dibawanya

pindah ke Syām pada akhir 330 H., lalu disempurnakan di Damaskus pada 331 H. Barulah selesai dengan membagi-bagi bab dan pasalnya pada 337 H., sewaktu dia berada di Mesir. Jadi diselesaikan dalam waktu 7 tahun. Naskah buku ini masih terdapat di Dār al-Kutub di Mesir No. 743 bagian

ilmu kalām. Sudah dicetak dan diterbitkan di Leiden pada 1895 dan kemudian di Mesir.

2. Siyāsah al-Madaniyyah (political economy, politik ekonomi). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew oleh Moses ben Tebon pada 1248 M. dan juga telah disebarkan oleh M. Philopporski dalam suatu

kumpulan yang dinamakannya “Sepher ha~Asiph” pada 1850 di London.

Buku siyasah ini dinamakan juga Mabādiʼ al-Mawjūdāt (dasar-dasar

segala wujud)”, telah dicetak di Heyderabad, India, pada 1346 H. Kedua buku di atas diakui oleh Ibn Abī ʻUṣaybīʻah dan al-Qifṭī sebagai “Dua

buku yang tidak ada bandingannya”.

3. Jawāmiʻ al-Siyāsah (cimpedium of politics, himpunan politik) disebarkan oleh Shaiko dari manuskripnya yang masih tersimpan di Vatikan.


(33)

4. Jawāmiʻ Kutub al-Nawāmīs li Aflāūn (a summary of Plato laws, ringkasan dari buku hukum karangan Plato). Manuskrip aslinya terdapat di perpustakaan Leiden No. 1429.

5. Kitāb al-Alfā al-Flāūniyyah wa Takwīn al-Siyāsah Mulukiyyah wa al-Akhlāq (monarchal policy making and moral, kata-kata Plato tentang pembentukan negara monarki dan akhlak). Manuskripnya tersimpan di Aya Sophia, Istanbul, No. 2820.

6. Risālah fī Qawd al-Juyūsy (risalah tentang pembentukan tentara) 7. Al-Maʻāyisy wa al-urub (hubungan ekonomi dan peperangan)

8. Al-Ijtimāʻiyyah wa al-Madīnah (community of the city, masyarakat-masyarakat kota)

9. Al-Faḥṣ al-Madanī (penyelidikan rencana pembangunan).

10.Taḥṣīl al-Saʻādah (reality of the happines, merealisasikan tujuan kebahagiaan). Buku ini telah dicetak di Heyderabad pada 1345 H. Dan

naskahnya disimpan di Dār al-Kutub Mesir, No 601 bagian Hikmah. 11.Risālah fī al-Saʻādah (pamphlet on happines, risalah tentang kebahagiaan),

dapat diperoleh di Dār al-Kutub, Mesir No. 120.

12.Risālah fī at-Tanbīh ʻalā Subul al-Saʻādah (risalah tentang peringatan mengenai jalan-jalan menuju kebahagiaan). Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan satu naskah aslinya tersimpan di British Museum, London No. 77.

13.Al-īrā al-Faīlah (model of etihcs, akhlak utama). Buku ini pernah dipuji sebagai puncak karangan al-Fārābī di bidang akhlak.


(34)

14.Ṣadr Kitāb al-Akhlāq li Arisū (preface to ethics of aristotle, pengantar dari buku akhlak karangan aristoteles). Menurut Steincheineder, kemungkinan besar buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, karena kebanyakan pengarang-pengarang Yahudi selalu menyebut-nyebutnya, seperti Maimonides, Samuel ben Taboun, Jozef ben Shantoub dan David ben Jahuda.

15.Jawāmiʻ al-Sayr al-Mariyyah fī Iqtifāʼ al-Faāʼil al-Insiyyah (himpunan akhlak-akhlak yang baik dalam mengikuti sifat-sifat keutamaan manusia). Satu naskah buku ini terdapat dalam perpustakaan di Leiden, No. 1931.17 Demikianlah jumlah buku-buku karangan al-Fārābī. Kita menyadari bahwa pembagiannya kepada tiga bidang di atas (politik dan hukum, sosial dan ekonomi, dan akhlak), tidaklah begitu tepat. Tidak mungkin suatu buku membatasi dirinya kepada suatu bidang saja dengan tidak mencampuri bidang lainnya. Misalnya buku-buku mengenai kebahagiaan, dapat dimasukkan ke dalam soal-soal sosial dan ekonomi, sebagai tujuan negara, tetapi dapat juga dimasukkan dalam soal politik, bahkan juga dalam bidang akhlak.

Dari buku-buku yang disebutkan di atas ada tiga buah buku yang merupakan puncak tertinggi dari setiap bidang yaitu:

1. Mabādī Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah, dalam soal-soal politik 2. Siyāsah al-Madāniyyah dalam soal-soal sosial dan ekonomi 3. Al-īrā al-Faīlah dalam soal-soal akhlak

Jika buku-buku yang merupakan puncak di bidang masing-masing itu dihimpun menjadi satu, kita melihat satu kesempurnaan yang mengagumkan bagi

17


(35)

uraian-uraian al-Fārābī di bidang ilmu kenegaraan. Buku-buku inilah yang menjadi konsepsi al-Fārābī.


(36)

27 A. Definisi Konsep dan Kepemimpinan

Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rancangan atau buram surat, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.1 Woodruff mendefinisikan konsep sebagai suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu obyek, produk subyektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap obyek-obyek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap obyek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa obyek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan kompleks, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman atau kejadian tertentu.2

Sedangkan kepemimpinan menurut KBBI adalah perihal pemimpin, cara memimpin.3 Setiap kegiatan manusia yang dilakukan secara kolektif selalu membutuhkan suatu sistem kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang

1

Kemendikbud, http://kbbi.web.id/pimpin, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, 13/03/2014, pukul 14.15 WIB.

2

http://carapedia.com/pengertian_definisi_ konsep_menurut_ para_ahli_info402.html, 13/03/2014, pukul 14.30 WIB.

3


(37)

jutaan banyak ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih dan memersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk memelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan.

Maka dari itu, pembahasan dalam bab ini akan fokus pada konsep atau ide tentang hal apa saja yang berkaitan dengan kepemimpinan atau cara memimpin berdasarkan al-Qurʼān dan Ḥadīts yang memang merupakan landasan utama kehidupan. Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan ayat beserta tafsir dengan tujuan agar kita dapat melihat kesesuaian ayat dengan bahasan. Ditambah juga beberapa pandangan ahli Ḥadīts tentang Ḥadīts-Ḥadīts yang akan penulis ungkapkan. Adapun mengenai ayat al-Qurʼān, tafsir pada pembahasan nanti akan diungkapkan berdasarkan dua tafsir:

Pertama, Tafsīr al-abarī yang ditulis sebelum kelahiran al-Fārābī. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat mengetahui bagaimana trend tafsir yang beredar pada masa-masa kehidupan al-Fārābī dan bagaimana pengaruhnya.

Kedua, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, yang ditulis pada abad 20. Hal ini dimaksudkan supaya kita dapat melihat perkembangan penafsiran di era modern di mana sudah banyak teori kepemimpinan yang berkembang.

Dua tafsiran di atas cukup merepresentasikan pandangan tentang kepemimpinan di zaman klasik yang diwakili oleh Tafsīr al-abarī dan zaman modern yang diwakili oleh Tafsir al-Mishbah. Dengan begitu, kita dapat melihat bagaimana perkembangan teori kepemimpinan dalam pandangan mufassir.


(38)

Dari sekian banyak tokoh yang menulis tentang kepemimpinan menurut al-Qurʼān adalah Munawir Sjadzali yang menulis buku Islam dan Tata Negara yang menjadi referensi utama. Hal ini dikarenakan beberapa ayat yang ia cantumkan di dalam bukunya itu sesuai dengan pembahasan mengenai kepemimpinan.

Tulisan ini kita mulai dari bagaimana al-Qurʼān berbicara mengenai kepemimpinan. Munawir Sjadzali mengungkapkan, di dalam al-Qurʼān terdapat ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ayat-ayat tersebut di antaranya:4

Pertama, mengajarkan tentang kedudukan manusia di muka bumi sebagai pemimpin yaitu:











































Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Anʻām: 165).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al

-Ṭabarī, Allah SWT berfirman kepada Nabi, “Wahai manusia, dan Dialah yang

menjadikan kamu sekalian manusia, sebagai penguasa-penguasa di bumi, dengan memusnahkan orang-orang dan umat-umat sebelum kalian, serta menjadikan

4

Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 4.


(39)

kalian sebagai khalīfah dan pengganti mereka di muka bumi. Kalian menguasai bumi dan menjadi penguasa setelah mereka.”5

Firman Allah SWT, “dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian

(yang lain) beberapa derajat,” sesungguhnya dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa keadaan manusia berbeda-beda, dan Dia menjadikan status sebagian lebih tinggi dari sebagian lain dengan melapangkan rizki sebagian mereka, sehingga sebagian manusia menjadi lebih utama disebabkan rizki dan kekayaan yang dianugerahi kepada mereka lebih tinggi dari si fakir.

Selanjutnya firman Allah SWT, “Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu,” maksudnya adalah untuk menguji manusia dengan apa yang dianugerahkan kepadanya berupa keutamaan dan rizki, sehingga dapat diketahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya.

Kemudian maksud dari, “Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang” adalah sesungguhnya Allah akan menutupi dosa orang-orang yang diberi ujian berupa kenikmatan, atau diuji dengan perintah dan larangan. Kemudian ia menerima dan taat kepada-Nya, maka Allah akan menutupi kehinanaan pada saat ia dihisab.6

Sedangkan menurut Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan disamping Allah SWT sebagai pemelihara segala sesuatu, “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi,” yakni pengganti umat-umat

yang lalu dalam mengembangkan alam. “Dan Dia meninggikan” derajat akal,

ilmu, harta kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain-lain “sebagian kamu atas

5 Abū Ja

ʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-abarī , terj. Akhmad Affandi dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 787.

6Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(40)

sebagian” yang lain “beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi Muḥammad SAW “amat cepat siksaan-Nya” karena Dia tidak membutuhkan waktu, alat, dan tidak pula disibukkan oleh satu aktifitas untuk menyelesaikan aktifitas yang lain

“dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun” bagi yang tulus bertaubat “lagi Maha

Penyayang” bagi hamba-hamba-Nya yang taat.

Kata khalāʼif adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata ini terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalīfah seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ini karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang sesudah yang ada atau datang sebelumnya.7

Kedua, prinsip yang sangat mendasar adalah keadilan sebagaimana di dalam al-Qurʼān Allah berfirman:































































Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (Q.S. Ṣād: 26).

Maksud ayat di atas dalam Tafsīr al-abarī adalah, Allah katakan kepada

Dāwud, “Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalīfah di

7


(41)

muka bumi sesudah Kami menjadikanmu sebagai rasul yang memutuskan perkara

di antara penduduk bumi”8

Kemudian, berilah keputusan secara adil dan tengah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, dalam memutuskan perkara di antara mereka sehingga engkau menyimpang dari kebenaran, karena hawa nafsu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat di akhirat atas kesesatan mereka dari jalan Allah lantaran melupakan perintah Allah yang dalam hal ini tidak memberi keputusan secara adil dan tidak menaati Allah.9

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah dikatakan bahwa Allah SWT mengangkat Dāwud sebagai khalīfah, Allah berfirman: “Hai Dāwud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah” yakni penguasa“di muka bumi,” yaitu di Bayt al-Maqdis, “Maka berilah Keputusan” semua persoalan yang engkau hadapi “di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu” antara lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum mendengarkan semua pihak, sebagaimana yang engkau lakukan dengan kedua

pihak yang berperkara tentang kambing itu, “karena” jika engkau mengikuti nafsu, apapun dan yang bersumber dari siapa pun, baik dirimu maupun mengikuti nafsu orang lain, maka “ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang” terus-menerus hingga tiba ajalnya “sesat dari

8 Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al-abarī, Tafsīr al-abarī , h. 144. 9Abū Jaʻfār Muammad bin Jarī


(42)

jalan Allah akan mendapat adzab yang berat” akibat kesesatan mereka itu, sedang

kesesatan itu sendiri adalah “karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Kata khalīfah pada mulanya berarti “yang menggantikan” atau “yang

datang sesudah siapa yang datang sebelumnya”. Pada masa Dāwud, terjadi

peperangan antara dua penguasa besar Ṭālūt dan Jālūt. Dāwud adalah salah seorang pasukan Ṭālūt. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarkannya

pada keberhasilan dalam membunuh Jālūt, dan setelah keberhasilan itu dan

setelah Ṭālūt meninggal, Allah mengangkatnya sebagai khalīfah menggantikan Ṭālūt.10

Ketiga, tentang musyawarah, di dalam al-Qurʼān Allah berfirman:

























Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (Q.S. al-Syūrā: 38).

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al

-Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima

(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,” maksudnya adalah orang-orang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan-Nya, mengakui keesaan-mengesakan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang disembah selain Dia.11

10

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 132. 11Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(43)

Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib sesuai dengan batas waktunya.

Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu perkara, maka mereka saling bermusyawarah.

Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.12

Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan

bahwa “Dan” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar

-benar “menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan

khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat

“mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari

sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunnah.

12Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(44)

Kata syūrā terambil dari kata syawur. Kata syūrā bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memerhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat syirtu al-ʻasal yang bermakna: saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti memersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun bisa dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyampaikan.13

Keempat, tentang ketaatan kepada pemimpin, Allah berfirman:



























































Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. al-Nisāʼ: 59).

Dalam Tafsīr al-abarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī

mengatakan: maksudnya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah sebagai Tuhanmu, patuhilah segala perintah-Nya dan larangan-Nya. Serta taatilah Rasul-Nya yaitu Muḥammad SAW, karena sesungguhnya ketaatanmu kepada Muḥammad adalah bentuk ketaatanmu kepada Tuhanmu dan semata-mata karena menjalankan perintah Allah kepadamu.”14

13

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512. 14Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(45)

Para mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan makna ūlū al-amr pada ayat ini. Namun, Abū Jaʻfār mengatakan pendapatnya bahwa maksudnya adalah para pemimpin dan penguasa, berdasarkan ḥadīts ṣaḥīḥ dari Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk taat kepada perintah (yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin) para imam dan penguasa.

Dan firman Allah, “Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.” Maksudnya adalah, wahai orang-orang beriman, jika kamu berbeda pendapat dalam urusan agama dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qurʼān), yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan pemimpin kalian perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian dapatkan di dalamnya.

Kemudian ayat, “Demikian itu baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” maksudnya adalah kembalikanlah apa saja yang kamu perselisihkan kepada Allah dan Rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi Allah pada hari kamu dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu, sebab itu mengajak kepada kasih sayang dan meninggalkan peselisihan serta perpecahan.15

Sedangkan menurut M. Quraish Shihabdalam Tafsir al-Mishbah, maksud ayat di

atas adalah memerintahkan kaum Mukmin agar menaati putusan hukum siapa pun yang

berwenang menetapkan hukum. Secara berturut dinyatakan-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah” dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam

15Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(46)

al-Qurʼān “dan taatilah Rasul (Nya)” yakni Muḥammad, dalam segala macam perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak

melakukan sesuatu, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, “dan” perkenankan juga perintah “ūlū al-amr” yakni yang berwenang menangani urusan -urusan kamu, selama mereka merupakan bagian “di antara kamu” wahai orang -orang Mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau perintah rasul-Nya. “Kemudian jika kamu tarik-menarik” yakni berbeda

“pendapat tentang sesuatu” karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qurʼān dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang sahih,

“maka kembalikanlah ia kepada” nilai-nilai dan jiwa firman “Allah” yang tercantum dalam al-Qurʼān serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan “Rasul” yang kamu temukan dalam sunnahnya, “jika kamu benar-benar beriman” secara mantap dan berkesinambungan “kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu” yakni sumber hukum ini adalah “baik” lagi sempurna, sedang lainnya buruk atau memiliki kekurangan, “dan” di samping itu, ia juga “lebih baik akibatnya”, baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak.

Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ūlū al-amr. Dari segi bahasa, ūlū adalah bentuk jamak dari walī yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, ūlū al-amr adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat


(47)

bahwa mereka adalah para penguasa/pemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga adalah bahwa mereka yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya.16

Kelima, tentang hubungan antar umat dari berbagai agama, Allah berfirman:

























































































Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim (Q.S al-Mumtaḥanah: 8-9)

Menurut Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr

al-Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah Allah tidak melarang kita mencintai atau

berkasih sayang kepada orang-orang yang tidak memerangi kita atas dasar agama, dan tidak pula mengusir kita dari rumah kita. Kita boleh berbuat baik kepada mereka dan melakukan tindakan adil, yaitu tetap berbuat baik kepada mereka.17

16

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 459. 17Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(48)

Kemudian kita hanya dilarang oleh Allah untuk berbuat baik kepada orang yang memerangi karena agama dan mengusir kita. Dan siapa yang menjadikan mereka kawan, menjadikan mereka pembela selain yang diperbolehkan Allah atau menempatkan pertemanan itu bukan pada tempat seharusnya, berarti telah menyelisihi perintah Allah.18

Akan tetapi menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah bahwa perintah untuk memusuhi kaum kafir (non Muslim) yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru ini, ayat-ayat di atas menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum Muslimin dan non Muslim. Ayat di

atas secara tegas menyebut nama Yang Maha Kuasa dengan mengatakan: “Allah” yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir—walaupun keluarga kamu “tidak melarang kamu” menjalin hubungan dan berbuat baik

“terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.” Allah tidak melarang kamu “berbuat baik” dalam

bentuk apapun “bagi mereka dan” tidak juga melarang kamu “berlaku adil pada mereka.” Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang

benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang salah, maka kamu harus membela dan memenangkan mereka. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah” tidak lain “hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu” orang lain “untuk

18Abū Jaʻfār Muammad bin Jarīr al


(49)

mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan” tempat menyimpan rahasia, “maka mereka itulah” yang sungguh jauh kebejatannya dan

“orang-orang yang zalim” yang sungguh mantap kezalimannya.19

Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas beberapa Ḥadīts Nabi yang berkaitan dengan kepemimpinan. Penulis mengungkapkan pendapat Ibn Khaldūn mengenai Ḥadīts. Hal ini dikarenakan Ibn Khaldūn memiliki pemikiran yang brilian tentang bagaimana memandang Ḥadīts. Seperti Ḥadīts yang mensyaratkan keturunan Quraysy untuk pemimpin negara, dan Ḥadīts lainnya yang terkait dengan masalah politik, Ibn Khaldūn berusaha meninjau kembali bagian-bagian dari Ḥadīts Nabi yang membahas tentang politik termasuk duniawi. Menurutnya Ḥadīts yang seperti itu tidak perlu dianggap sebagai suatu yang absolut dan suci

yang mengatasi ruang dan waktu. Nabi Muḥammad, menurut Ibn Khaldūn, tidak ingin umatnya mengikuti secara taqlid tanpa melihat sebab-sebab atau alasan yang ada di baliknya. Lagi menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh Nabi yang mengacu kepada urusan dunia harus ditempatkan dalam konteksnya yang temporal dan relatif, tidak sebagaimana tradisi agama murni. Tradisi sekular hanya patut untuk batasan ruang dan waktu di mana peristiwa itu berlangsung.20Dalam hal ini, Ibn Khaldūn dapat dianggap sebagai orang pertama dalam Islam yang menempatkan Ḥadīts Nabi dalam batas ruang dan waktu.

Kepemimpinan dalam literatur Islam, khususnya sunnah Nabi Muḥammad SAW. baik dalam praktik politik, atau teks-teks Ḥadīts yang terkait dengannya,

19

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XIV, hal. 168. 20

Fuad Baali & Ali Wardi, Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka Hidayat), Cet. Ke-I, h. 50.


(50)

juga perlu dikaji dengan seksama, agar didapat pengetahuan yang menyeluruh dan benar tentang masalah ini. Hal ini penting karena banyak pemahaman dan praktik politik kaum Muslimin yang tidak terlepas dari hasil pemahaman mereka terhadap Ḥadīts-Ḥadīts Nabi. Seluruh prinsip-prinsip bermasyarakat bernegara ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. seperti Ḥadīts yang diriwayatkan ʻĀʼisyah istri Nabi, ketika ia ditanya tentang perilaku Rasulullah, ia menjawab bahwa segala perilaku Nabi adalah berlandaskan al-Qurʼān (kāna khuluquhu al-Qurʼān) dan diteruskan juga oleh para pengikut beliau yakni al-Khulafāʼ al-Rāsyidūn, yang dengan teguh dan konsisten memegang dan melaksanakan prinsip-prinsip al-Qurʼān, dalam bermasyarakat bernegara dan memimpin umat.

Ḥadīts paling terkenal populer yang berbicara mengenai kepemimpinan adalah Ḥadīts Nabi yang berbunyi:

Dari Ibnu ʻUmār r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Begitu pula seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya (Ḥ.R. Bukhārī Muslim).21

Di samping itu, dalam literatur Ḥadīts Nabi terdapat beberapa riwayat

tentang istilah “khalīfah”, “imāmah”, dan juga “amīr al-muʼminīn”. Di antaranya adalah Ḥadītsyang diriwayatkan dari Abī Hazm RA:

21 Imām Abū Zakariyyā Yayā, Riyā al-aliīn,

terj. H. Salim Bahreisy (Bandung: al-Maʻārif, 1987) Jilid I, h. 491.


(51)

Aku telah berteman dengan Abū Hurayrah selama lima tahun, kemudian aku mendengarkan ia meriwayatkan Ḥadīts dari Nabi SAW: Bani Israel adalah kamu yang dipimpin oleh para nabi, ketika nabi mereka meninggal lalu diganti lagi oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi sesudahku, akan tetapi adalah para khalīfah (pengganti), dan mereka banyak jumlahnya. Sahabat bertanya: Kemudian apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah bersabda: Maka baiatlah mereka satu demi satu dan berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah yang nanti akan menanyai kepemimpinan mereka.22

Dari Ḥadīts ini terdapat batasan tentang karakteristik sistem kekhilāfahan Islam yang berbeda dari sistem Yahudi. Dalam pandangan Yahudi kekuasaan agama menjadi satu dengan kekuasaan politik, karena mereka selalu dipimpin oleh seorang nabi, dan ketika nabi tersebut meninggal kemudian digantikan lagi oleh nabi yang lain. Sedangkan dalam Islam para khalīfah bukanlah nabi, karena nubuwwah tidak ada lagi sesudah wafat Rasulullah SAW.

Kata “imārah” dan “amīr” adalah dua isilah yang sudah dikenal dan digunakan dalam literatur sunnah Nabi sebelum munculnya sistem khilāfah. Pada periode Nabi Muḥammad, istilah imārah digunakan untuk kepemimpinan pasukan tentara, pemimpin kota-kota, dan daerah-daerah. Sama halnya pula kata

“umarāʼ”, seperti riwayat sebuah Ḥadīts:

22Imām

al-Nawawī, Ṣaī Muslim bi Syar al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh” (Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987), h. 230.


(1)

98

sebagai ciri khas Falsafat Islam. Falsafat Islam sendiri adalah falsafat yang memadukan antara falsafat dan agama sebagaimana perpaduan pendapat antara falsafat Plato dan Aristoteles. Falsafat dan agama adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan tidak ada perbedaan pengertian antara keduanya apabila dipahami secara mendalam. Untuk itu agama dan falsafat hanya nampak berbeda dari luarnya saja. Tetapi pada hakikatnya keduanya adalah sama, tidak ada perbedaan. Kebenaran agama sama nilainya dengan kebenaran falsafat, begitu juga sebaliknya, karena keduanya saling menguatkan.82

Jadi tidak heran jika pemikiran al-Fārābī amat kental unsur keagamaan dan unsur falsafat Yunani, karena dari perpaduan itu kita mendapati pemikirian yang tidak semata-mata idealistis dan tidak semata-mata realistis. Maka demikian besar pemikiran al-Fārābī sehingga banyak yang menjuluki ia al-Muʻallim al-Tsānī yaitu Guru Kedua.

82

M. Abd. Rahman Marhaba, Min al-Falsafah al-Yūnāniyyah ilā al-Falsafah


(2)

99

Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelum, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Mengenai konsep kepemimpinan, al-Fārābī amat menekankan kriteria pemimpin yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī, nabi merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin sedangkan failasuf adalah sosok nyata yang juga dapat dijadikan pemimpin. Maka dari itu, al-Fārābī menguraikan beberapa kriteria pemimpin yang sebenarnya merupakan rincian dari sifat-sifat kenabian sekaligus failasuf. 2. Mengenai konsep Negara Ideal/Utama, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup

manusia, yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus berada di tangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.

3. Pemikiran al-Fārābī banyak dipengaruhi doktrin-doktrin agama, yaitu berupa al-Qurʼān dan Ḥadīts yang mendominasi konsep kepemimpinan ideal al-Fārābī. Salah satunya mengenai tugas dan fungsi pemimpin yang al-Fārābī paparkan berdasarkan teori organisme yang sudah ada sebelumnya di dalam Ḥadīts. Tidak hanya itu, teori tentang pembentukan negara juga banyak dikutip berdasarkan ayat al-Qurʼān tentang keharusan membuat komunitas untuk saling mengenal.


(3)

100

4. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Plato dapat dilihat di karangan al-Fārābī. Di antaranya karangan Plato berupa Republic, yang hampir mirip dengan karangan al-FārābīĀrāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah. Namun itu tidak serta-merta al-Fārābī menjiplak semuanya, penggabungan filsafat dan agama menjadi produk orisinal dari karya al-Fārābī.

B. Saran

Setelah penulis selesaikan tulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang terkait dengan pembahasan pada tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu:

1. Konsep kepimpinan al-Fārābī yang sifatnya klasik amat terlihat dalam pembahasan ini. Tentu sangat mudah menilai kekurangan dalam konsep kepemimpinan al-Fārābī yaitu dengan membandingkan dengan konsep-konsep kepemimpinan modern. Salah satunya mengenai rincian metode pemimpin yang ideal, seperti gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan sebagainya.

2. Ditambah juga, al-Fārābī tidak detail dalam mengungkapkan metode pengangkatan pemimpin, bahkan tidak menuliskan sama sekali periodisasi kepemimpinan, padahal itu sangat penting dalam menunjang teori kepemimpinan ideal.

3. Sedangkan dalam buku Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah hampir setengahnya berisi tentang teori metafisika. Hal ini dirasa tidak perlu karena dalam mengutarakan teori negara ideal, cukup diungkapkan metode-metode bagaimana manusia mampu mewujudkan negara ideal.


(4)

101

al-Ṭabarī, Abū Jaʻfār Muḥammad bin Jarīr. Tafsīr al-abarī. terj. Akhmad Affandi dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Abū Zakariyyā Yaḥyā, Imām. Riyā al-aliīn, terj. H. Salim Bahreisy. Bandung: al-Maʻārif, 1987. Jilid I.

Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali, 1996.

Baali, Fuad & Ali Wardi. Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka Hidayat. Cet. Ke-I.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Bukhāri, Imām. Ṣaī al-Bukhāri: Kitāb al-Akām, Jilid IX. Kairo: Dār al-Syaʻb. Edward, Paul, The Encyclopedia of Philosophy. London: Collier Macmilian

Publisher, 1927. Vol.3

Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. London: Macmillan Publishing Company, 1987. Vol Ke-5.

Al-Fārābī. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah. Beirut: Dār al-Masyriq, 2002. Cet. Ke-8.

---. al-Siyāsah al-Madaniyyah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993. Cet Ke- II. ---. Fuṣūl Muntazaʻah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.

---. Taḥṣīl al-Saʻādah. Hyderabad: Majlīs Dāʼirah al-Maʻārif al-ʻUtsmāniyyah, 1349 H.

---. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh Richard Walzer. Oxford: Claeedon Press, 1985.

Hazm, Ibnu. al-Ahkām fī Uul al-Akam. Kairo: 1921.

Kemendikbud. http://kbbi.web.id/pimpin. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”.


(5)

102

Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qurʼan Tematik: al-Qurʼan dan Kenegaraan. Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Qurʼān, 2011. Cet. Ke-I.

Kusnadiningrat, E, “Al-Farabi Tentang Negara Utama”, Refleksi, No.3, Vol. III, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001.

al-Nawawī, Imām. Ṣaī Muslim bi Syar al-Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh”. Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987.

Madkour, Ibrahim. Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa atbīquh. Kairo: Dār al-Maʻārif.

Noer, Kautsar Azhari, “Pemikiran dan Peradaban”. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove.

Quraish Shihab, M. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati, 2001.

Ridwan, Kahrawi (ed.). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999. Vol. 1. Cet. Ke-4.

Sevilla, Consuelo G dkk, Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI Press. 1993.

Sharif, M.M.. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994. cet. Ke-7. Sidiq, Abd. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputra, 1984.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang. 1990.

Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Van der Weij, P.A.. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote Filosofen over de Mens. Jakarta: Gramedia, 1988.

Von Schmid, J.J.. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato tot Kant). Jakarta: Pembangunan, 1965. Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. Bandung:

Mizan, 2002. Cet Ke-1

---, Al-Farabi Filosof Politik Muslim. Jakarta: Teraju, 2005, Cet Ke-1.


(6)

Definisi Konsep. http://carapedia.com/pengertian_definisi_ konsep_menurut_ para_ahli_info402.html.

Falsafah Kenabian Al-Fārābī. http://yolmartohidayat-asmam.ita.blogspot.com/2015/05/falsafah-kenabian-al-Fārābī.html.

Sistem Parlementer. http://ikazakiyah.wordpress.com/2012/11/30/sistem-parlementer/.