Agama Baha’i di Indonesia

33

BAB III KONSEP KEPEMIMPINAN BAHA’I

A. Konsep Kepemimpinan menurut Baha’i

Secara umum kepemimpinan dilihat dari segi etimologinya mempunyai arti yang berasal dari kata dasar “pimpin” dalam bahasa Inggris “lead” berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu didalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin umat dan memimpin imam. Setelah dile ngkapi dengan awalan “ke-“ menjadi “kepemimpinan” dalam bahasa Inggris “leadership” berarti kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. Setiap memimpin ada sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Ada orang atau sejumlah orang yang bertekad mencapai tujuan itu. Pemimpin menjadi pemberi ilham, pemberi dorongan, penggerak dan perintis jalan ketujuan. 35 Agama Baha’i memiliki aturan dalam hal kepemimpinan, seperti yang tertuang dalam administrasi Baha’i. Kepemimpinan menurut Baha’i dipandang tidak seperti kepemimpinan yang ada pada umumnya, karena dalam agama Baha’i untuk zaman saat ini tidak ada yang namanya kepemimpinan perseorangan. Karena setelah wali Agama Tuhan yakni Shoghi Efendi meninggal tidak ada lagi yang namanya kepemimpinan perseorangan. menurutnya untuk zaman saat ini tidak diperlukan lagi kepemimpinan yang bersifat individu ataupun perseorangan. Hal ini sudah diramalkan dalam tulisan-tulisan suci Baha’u’llah jauh sebelum 35 J. Riberu, Dasar-dasar Kepemimpinan Jakarta: Cv Pedoman Ilmu Jaya, 1992, h. 2. Shoghi Effendi ditunjuk sebagai wali agama Tuhan. Bahwa akan ada suatu masa dimana tidak akan diperlukan lagi pemimpin perseorangan dalam agama Baha’i dan semua urusan agama Baha’i akan dijalankan oleh lembaga. Oleh karena itu agama Baha’i mengatakan bahwa kepemimpinan dalam pandangan agama Baha’i adalah agama tanpa kepemimpinan perseorangan. Dalam pandangan agama Baha’i kita umat manusia semua adalah sama, hal ini merujuk pada sejarah, bahwasannya pada zaman dulu perlu ada sekelompok orang yang bertugas untuk mengatur urusan-urusan agama dalam masyarakat. Orang-orang biasa pada waktu itu buta huruf atau tidak mempunyai waktu untuk mempelajari agama mereka dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, mereka menugaskan beberapa orang tertentu yang tidak mempunyai pekerjaan dalam hidupnya kecuali belajar agama dan mengawasi umatnya agar mematuhi hukum-hukumnya. Oleh karena itulah ada Brahmin diantara umat Hindu, Biksu dalam umat Budha, pendeta untuk umat Nasrani dan Alim ulama bagi umat Islam. 36 Berbeda dengan agama Baha’i, yang memang dengan sengaja meniadakan hal semacam jabatan atau profesi sebagai kependetaan atau ahli agama yang dijadikan sebagai ladang untuk mencari nafkah. Inilah salah satu ciri yang membedakan penyebaran agama bahai yang tidak banyak diketahui siapa tokoh penyebar agamanya. Dalam buku Taman Baru dikatakan Baha’u’llah bersabda “bahwa meskipun pada zaman dulu jabatan ini dibutuhkan, namun tidak diperlukan lagi pada zaman kita ini.” Baha’u’llah mengajak masing-masing dari 36 H ushmand fathea’ zam, taman baru T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2009, h.103. kita agar mencari kebenaran bagi diri sendiri. Dengan begitu kita dapat melihat dengan mata kita sendiri dan bukan melalui mata orang lain, mendengar dengan telinga kita sendiri dan mengerti dengan kekuatan pikiran atau pengertian kita sendiri. Orang-orang Bah a’i diharapkan dapat mencari pengetahuan lebih dalam dan lebih banyak mengenai agamanya dengan jalan menyelidiki kebenaran sendiri. Setiap orang Baha’i harus berdoa untuk dirinya sendiri, tidak bolleh membayar orang lain untuk mendoakan dia. Orang Baha’i harus memohon sendiri rahmat dan pengampunan dari Tuhan, tidak memerlukan seorang pendeta untuk melakukan hal itu melalui ritual dan upacara buatan manusia. Setiap orang Baha’i dapat berhubungan dengan Tuhan melalui perwujudan-Nya, dan tidak perlu ada pera ntara diantara dia dan Baha’u’llah. Dalam pandangan agama Baha’i memang banyak sekali pendeta dan ulama yang baik dan hebat, tetapi dalam setiap zaman banyak perpecahan dalam agama yang disebabkan karena mereka. Diumpamakan ada dua pendeta atau ulama hidup bersebelahan disuatu tempat. Mereka tidak selalu sependapat dalam pemecahan masalah agama, dan ketidaksetujan mereka telah banyak menimbulkan kesulitan di dunia. Ada yang berpendapat pendeta atau ulama yang ini yang benar, sedangkan yang lainnya percaya bahwa yang lainlah yang benar. Dengan demikian, perpecahan muncul dalam setiap agama. Lambat laun terbentuk banyak sekte dan orang-orang bertentangan satu sama lain mengenai tafsir dari tulisan-tulisan suci mereka. Hal ini menimbulkan peperangan bahkan pertumpahan darah mengatas namakan agama. Perpecahan semacam ini tidak akan terjadi dalam agama Baha’i. Karena dalam agama Baha’i tidak ada pendeta atau ulama yang dapat membentuk sekte atau kelompok diantara para mukmin. Dalam agama Baha’i semua adalah setara. Juga, tak seorangpun mempunyai hak untuk menafsirkan ajaran dan tulisan Baha’u’llah. Kewenangan ini hanya diberikan kepada Abdul Baha oleh Baha’u’llah sendiri, dan setelah Abdul Baha, hak untuk menafsirkan hanya diberikan kepada Shoghi Efendi. Inilah sebabnya mengapa ditiadakannya lagi kepemimpinan perseorangan. karena ditakutkan menimbulkan perpecahan diantara umat Baha’i. Baha’u’llah telah menghapuskan lembaga kependetaan dan keulamaan ini agar tak seorangpun dapat menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi dan duniawi.

B. Dasar Hukum Memilih Majelis Rohani

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pandangan agama Baha’i tidak ada konsep kepemimpinan perseorangan. Disinilah letak yang berbeda mengenai kepemimpinan dibanding dengan sistem ataupun konsep yang ada mengenai kepemimpinan itu sendiri. Dalam kitab A qdas, Baha’u’llah memerintahkan bahwa jika orang dewasa Baha’i berjumlah sembilan orang atau lebih disuatu tempat, maka majelis rohani setempat harus dibentuk. 37 Majelis rohani ini merupakan suatu badan yang akan mengabdi kepada masyarakat ditempat itu. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memilih majelis Rohani. 1. Mereka dapat memilih majelis mereka hanya pada tanggal 21 April, yakni hari peringatan pengumuman Baha’u’llah. Pada hari itu Baha’u’llah 37 Sang Suci Baha’u’llah, Kitab Aqdas ayat 30, h. 42.