Konsep kepemimpinan dalam agama baha’i dan persepsinya terhadap pola kepemimpinan negara di Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh :

Dewi Haneh Amisani NIM: 1110032100065

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KONSEP KEPEMIMPINAI\I AGAMA

BAIIA'I

DAI\I PERSEPSINYA

TERHADAP POLA KEPEMIMPINAI{ NEGARA

DIII\IDONESIA

Skripsi

Diajukao untuk Merrenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th.L)

Dewi Haneh Ainisani

1110032100065

Diperiksa dan disetujui, Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. M. Ridwan Lubis- MA

NIP. 19471 01 9 I 9077 031002

PROGRAM STI]DI PERBAT{DINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

I]NIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2ot4MJ1435H.


(3)

TERIIADAP POLA KEPEMIMPINAI\I NEGARA DI

INDOIIESIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushaluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sa{ana Theologi Islam (S.Th.I.) pada

Program Studi Perband ingan Agama.

Ciputat, 23 Desember 2014

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Seketaris Merangkap Anggota,

Dra. Halimah SM. M. Ae NIP. t9590413 199603 2 001

Anggota,

Penguji II,

t98603 2 001

Prof. Dr. M. Ridwan Lubis. MA NIP. | 947 I 0 I 9t 9077031002

ltl 19751019 200312


(4)

LEMBARPERIYYATAAIT

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata

1

(SI)

di

IJIN

Syarif Hidayahrllah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini rclah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayahrllah Jakarta'

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatr.rllah Jakarta'


(5)

v Pola Kepemimpinan Negara Di Indonesia

Kepemimpinan menurut Baha’i dipandang tidak seperti kepemimpinan yang ada pada umumnya, karena menurut Agama Baha’i untuk zaman saat ini tidak diperlukan lagi kepemimpinan yang bersifat individu atau perseorangan. Hal ini sudah diramalkan dalam tulisan-tulisan suci Baha’u’llah jauh sebelum Shoghi Efendi ditunjuk sebagai wali agama Tuhan. Bahwa akan ada suatu masa dimana

tidak akan diperlukan lagi pemimpin perseorangan dalam agama Baha’i dan

semua urusan agama Baha’i akan dijalankan oleh Lembaga. Lembaga-lembaga itu yang mengatur tanpa perlu ada jabatan seorang pemimpin, diantaranya: Majelis Rohani Setempat, majelis Rohani Nasional, dan Balai Keadilan Sedunia. Administrasi Bahai ini tidak hanya mengurusi persoalan-persoalan spiritual tetapi juga mengurusi urusan sosial kemasyarakatan. Sedangkan kepemimpinan negara di Indonesia dikenal dengan sebutan Presiden dan Wakil Presiden. Presiden Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Yang dipilih sebagaimana bunyi UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 yang mengatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan.

Agama Baha’i merupakan agama yang menekankan pada persatuan seluruh umat manusia, sehingga terdapat dalam hukum agama Bahai tidak memperbolehkan umatnya ikut serta dalam partai politik. Menurutnya partai politik merupakan pemisah antara manusia satu dengan yang lainnya, memiliki kecendrungan untuk memenangkan kelompoknya masing-masing.

Meskipun demikian umat Baha’i di seluruh dunia di wajibkan untuk patuh

pada pemerintahan dimana ia berada. Termasuk umat Baha’i yang tinggal di

Indonesia, meskipun ia tidak terjun dalam partai politik ia tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagai warga negara Indonesia yang baik.

Penelitian ini membahas tentang Konsep Kepemimpinan menurut Agama

Baha’i dan Persepsinya terhadap Pola Kepemimpinan negara di Indonesia. Adapun tujuan adalah untuk mengetahui konsep Kepemimpinan dalam pandangan Bahai dan persepsinya terhadap pola kepemimpinan negara di Indonesia. menanggapi hukum yang melarang umat Baha’i untuk ikut campur dalam partai politik yang jika dikaitkan dengan pola kepemimpinan di Indonesia yakni pemilihan presiden Indonesia menganut sistem demokrasi yang penyangga pilar utamanya adalah partai politik dan tanggapan Umat Baha’i mengenai hal tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (field research) merupakan sumber yang di peroleh dari buku-buku terbitan Majelis Rohani Indonesia yang

merupakan buku resmi Agama Baha’i dan wawancara dengan pihak-pihak utama

penganut agama Baha’i. Sedangkan (library research) Adalah sumber yang di peroleh dari buku, artikel jurnal, internet, arsip, ensiklopedia, informasi surat kabar dan lain-lain.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini dengan judul “Konsep Kepemimpinan Agama Baha’i dan

Persepsinya Terhadap Pola Kepemimpinan Negara di Indonesia”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (SI) pada program Studi Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan untuk semua umat sampai akhir zaman. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari bahasa yang di gunakan maupun sistematika penulisan, hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan penulis. Namun berkat bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan menyumbangkan pikiran untuk membimbing, memberikan pengarahan, dorongan dan membantu menyelesaikan masalah dalam proses penyusunan skripsi.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, Msi., Dr. M. Suryadinata, MA., dan Dr. Faizah Ali Syibromalisi selaku pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

diberikan kepada penulis dan sudah banyak membantu penulis dalam mengurus semua keperluan skripsi dan sampai selesai.

4. Dra. Marjuqoh, M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Sri Mulyati, MA. Dan Syaiful Azmi, MA. Yang telah menjadi Dosen Penguji Skripsi, dengan memberikan masukan dan kritik yang membangun terhadap hasil skripsi ini yang lebih baik.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah mendidik penulis memberikan ilmu, pengalaman serta pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Seluruh staf Perpustakaan Utama (PU) dan Perpustakaan Fakultas (PF) yang sudah menyediakan buku sebagai referensi dan selalu melayani dalam proses peminjaman buku.

8. Kedua Orang tua tercinta ayahanda Drs. Moh. Fajeri dan ibunda Siti Murtafiah yang tak henti mendoakan serta memotivasi tanpa lelah. Atas pengorbanan dan cinta kasihnya yang tak terhingga serta dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Jika ada ungkapan yang lebih indah dan lebih pantas dari terimakasih di dunia ini, maka itu untuk mu kedua orang tuaku. kalian adalah alasan terselesaikannya skripsi ini. 9. Kakak-kakak tersayang M. Tajudin dan M. Ibrahim yang selalu


(8)

viii

10. Adik-adik tercinta yang selalu memberikan support untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Keluarga ibu Nasrin Astani dan Bapak Benedict Chee yang telah menjadi narasumber utama dan memberikan dukungan, motivasi, bantuan tanpa pamrih serta memberikan fasilitas perpustakaan bagi penulis. Semoga Tuhan memberikan balasan dan posisi yang terbaik.

12. Keluarga ibu Rina yang sudah sangat membantu dan bersedia meluangkan waktu serta memberikan ilmunya pada saat di wawancara. 13. Seluruh teman-teman seperjuangan Perbandingan Agama angkatan 2010.

Dan semua teman-teman KKN Win Project, selamat berjuang teman. Semoga kita sukses dalam meniti karir. Tak lupa Senior dan Junior Perbandingan Agama, yang telah memberikan support dan dukungannya kepada penulis

14. Semua saudara-saudara yang selalu mendoakan penulis dan seluruh orang yang tercinta serta semua pihak yang sudah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.


(9)

ix

skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi mereka yang mengerti indahnya perdamaian dalam perbedaan dan bagi kita semua masyarakat Indonesia pada umumnya.

Akhir kata penulis mengucapkan mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan penyajian skripsi ini.

Ciputat, 09 Desember 2014

Penulis,

Dewi Haneh Amisani


(10)

x DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II AGAMA BAHA’I DI INDONESIA ... 15

A. Sejarah Agama Bahai ... 15

B. Ajaran-ajaran dalam Agama Baha’i ... 25

C. Agama Baha’i di Indonesia ... 30

BAB III KONSEP KEPEMIMPINAN BAHA’I ... 33

A. Konsep Kepemimpinan menurut Bahai... 33


(11)

xi

BAB IV PERSEPSI UMAT BAHA’I TERHADAP KONSEP

KEPEMIMPINAN NEGARA DI INDONESIA ... 56

A. Pengertian dan Konsep Kepemimpinan di Indonesia ... 56

B. Memilih Pemimpin Negara di Indonesia ... 62

C. Persepsi Umat Baha’i terhadap Konsep Kepemimpinan Negara di Indonesia ... 66

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Kajian agama–agama dunia sangat menarik untuk dibahas, khususnya bagi mahasiswa Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama. Pada dasarnya agama merupakan sarana terbesar untuk menciptakan tata tertib di dunia dan kebahagiaan yang sentosa bagi semua yang berada didalamnya. Setiap agama memiliki prinsip, ajaran, hukum dan kewajiban bagi pemeluknya, setiap pemeluk agama diwajibkan untuk mentaati seluruh komponen yang ada didalam agama tersebut untuk mendapatkan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Begitu pula dengan

agama Baha’i yang memiliki prinsip, ajaran, hukum dan kewajiban. Hal ini

merupakan pondasi dari setiap agama. Sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama penulis mengkaji tentang agama-agama dunia khususnya ajaran-ajaran dan hukum-hukumnya, karena setiap agama memiliki corak hukum yang berbeda-beda. Perbedaan hukum dan ajarannya inilah merupakan suatu khazanah dalam kehidupan umat beragama. Salah satu hukum yang menarik untuk dibahas khususnya pada saat ini adalah tentang kepemimpinan negara, cara bagaimana memilih pemimpin, salah satunya saat ini sedang berlangsung kampanye dari masing-masing partai untuk mengusung calonnya agar terpilih menjadi pemimpin negara yakni Presiden Indonesia pada pemilu 2014.

Berbicara bagaimana cara memilih pemimpin Negara, di Indonesia erat

kaitanya dengan politik. dikatakan dalam buku “Ilmu Pengantar Politik”


(13)

yang resmi, dimana ada asap disitu ada api, dimana ada pemerintahan disitu ada politik, dan dimana ada politik disitu ada kekuasaan, yang distribusinya tidak merata.1

Selayang pandang tentang negara, asal-usul negara selalu dikaitkan dengan memperlihatkan adanya kelompok yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat. Setelah sejarah panjang perjalanan umat manusia, kelompok-kelompok masyarakat yang semakin membesar dan membiak, tata aturan yang sedari awal sudah disusun secara bersama oleh anggota komunitas dengan sanggat sederhana, mulai mengalami gerak evolusi dengan tata nilai dan aturan yang kian kompleks. Saat itu masyarakat mengalami fase perbesarannya dengan jejaring sistem pemerintahan yang kian rumit dan menjadi latar bagi terbentuknya sebuah negara.

Pengertian Negara sendiri berdasarkan catatan sejarahnya yang paling awal, yakni manusia dalam mempertahankan hidupnya selalu berkumpul bersama-sama, diawali perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat membuka jalan menuju suku-suku, desa-desa, kota-kota bertembok, perkebunan, kerajaan, kekaisaran dan bagian-bagiannya, dan yang paling baru adalah Negara2. Setiap Negara pasti mengusahakan pemerintahan yang baik bagi warga negaranya. Pemerintahan disini bertindak sebagai pemimpin bagi warga negaranya, dan politik merupakan alat di Indonesia dalam memilih pemimpin.

Sejak manusia pertama kali berpikir tentang politik,mereka terombang ambing diantara dua interpretasi yang saling bertentangan secara diametrik. Bagi

1

Padmo Wahjono dan Nazarudin Syamsudin, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009), h. 2.

2

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi ,pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan berprilaku politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.2.


(14)

3

sebagian orang politik secara hakiki pergolakan pertempuran. Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan indivudu-individu yang memegangnya untuk mempertahankan dominasinya terhadap masyarakat dan untuk mengeksploitirnya; kelompok dan individu lain menentang dominasi dan eksploitasinya dengan berusaha melawan dan membinasakannya. Tafsiran menganggap politik sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaannya melindungi kemakmuran umum dan kepentingan umum (common good) dari tekanan dan tuntutan kelompok-kelompok kepentingan yang khusus. Bagi yang pertama politik bertugas untuk mempertahankan hak-hak istimewa suatu minoritas terhadap mayoritas. Bagi yang kedua, adalah alat untuk

mengintegrasikan setiap orang dalam komunitas dan menciptakan “kota adil”

yang dibicarakan Aristoteles.

Hakekat politik memiliki arti yang sesungguhnya bahwa politik senantiasa ambivalen. Dewa Janus yang bermuka dua adalah citra yang benar dari kekuasaan dan mengunggkapkan kebenaran politik yang paling dalam. Pada saat yang bersamaan politik merupakan alat dominasi sekelompok tertentu atas kelompok lain, untuk keuntungan sendiri dan kerugian bagi yang lain. Pada saat yang sama, dia juga alat menjamin ketertiban sosial tertentu, sejenis integrasi dari semua orang di dalam komunitas demi kepentingan umum. Paham bahwa politik mencakup baik konflik antara individu-individu dan kelompok untuk memperoleh kekuasaan.3


(15)

Sebuah sistem politik yang mengakui hak rakyat untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui wakil-wakil mereka yang terpilih, untuk mendistribusikan dan mengatur kekuasaan politik dibawah pengawasan dari mayoritas adalah demokrasi.4

Dan konsep kepemimpinan di negara Indonesia dulu pada zaman orde baru, semua kepala daerah dipilih oleh Presiden. Presiden dipilih MPR. Dan MPR-DPR dipilih berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh melalui partai politik, dan partai politik dipilih oleh rakyat. Kemudian runtuhnya zaman orde baru digantikan dengan zaman reformasi, dimana Indonesia telah menganut sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bahwa rakyat Indonesia berhak memilih langsung siapa yang akan menjadi pemimpinnya, baik dari kepala daerah, ketingkat DPR-MPR bahkan Presiden, rakyat Indonesia diberikan hak suaranya untuk memilih langsung. Dengan demikian hak-hak suara untuk menentukan pemimpin sepenuhnya diberikan kepada rakyat.

Dalam kepemimpinan negara, pemilihan presiden yang dipilih oleh rakyat, itu mencerminkan sistem demokrasi. Untuk menjadi pemimpin di Indonesia, selain kemampuan sebagai seorang pemimpin, ada dua kriteria lagi yang harus terpenuhi. Pertama pemimpin negara dipilih berdasarkan moral agama. Artinya tidak bisa seorang pemimpin negara yang atheis atau tidak mengakui adanya salah satu agama dan Tuhan. Kedua, pemimpin negara yang memiliki kriteria berdasarkan moral lokal bangsa Indonesia. Artinya seorang pemimpin itu harus paham atas budaya bangsa Indonesia yang majemuk, dan memiliki rasa akan cinta

4


(16)

5

tanah air.5 Akan tetapi seorang calon pemimpin negara tidak bisa mencalonkan dirinya untuk menjadi Presiden tanpa mengusungkan diri dari partai politik. Pemimpin negara di Indonesia harus diusung dari partai politik. Tidak bisa seseorang mencalonkan dirinya menjadi pemimpin secara independen.

Sedangkan dalam pandangan Agama Baha’i, agama Baha’i memiliki cara

pandang sendiri dalam kepemimpinan. Menurut umat Baha’i, agama Baha’i memiliki administrasi negara yang menurutnya unik di banding dengan konsep-konsep yang sudah ada, karena langsung bersumber dari Sang Perwujudan Tuhan

yakni Baha’ullah yang telah merancang suatu rancangan sistem administrasi yang

mengagumkan. Rancangan ini disebut tata tertib dunia Baha’ullah, dan administrasi Baha’i adalah sebagai tata tertib itu. Perlu diketahui dalam administrasi Baha’i tidak ada kepemimpinan perseorangan. Semua aturan dan kebijakan-kebijakan masalah bangsa dipecahkan oleh Balai Keadilan sedunia. Setiap negara diwakili oleh Majelis Rohani Nasional, dibawah Majelis Rohani Nasional terdapat Majelis Rohani Setempat, dan setiap perwakilannya itu berjumlah sembilan. Pada sistem pemilihannya mulai dari lembaga terendah yakni Majelis Rohani Setempat dipilih oleh masyarakat setempatnya yang sudah berusia 21 tahun, Majelis Rohani Nasional dipilih oleh utusan-utusan yang dikirim ke Konvensi Nasional untuk memilih siapa saja yang pantas menggemban tugas sebagai anggota Majelis Rohani Nasional. dan Balai Keadilan Sedunia dipilih oleh anggota-anggota Majelis Rohani Nasional untuk mengurusi masyarakat

Baha’i antar negara. Setiap wakil-wakil yang berada di Majelis-majelis Rohani


(17)

dan Balai Keadilan Sedunia tidak bisa mencalonkan ataupun dicalonkan untuk menjadi wakil-wakil atau bagian dari kesemuanya. Ini merupakan sedikit gambaran dari Administrasi menurut Baha’i.

Administrasi Baha’i adalah rencana Tuhan untuk zaman ini yang

ditetapkan melalui perwujudan-Nya, yaitu Baha’ullah, dan administrasi ini diciptakan untuk membawa ketertiban dan kedamaian di antara berbagai bangsa di

dunia. Oleh sebab itu agama Baha’i memberikan aturan atau hukum bagi para pemeluknya agar umat Baha’i tidak ikut terlibat dalam partai politik yang merupakan suatu sarana menjadi pemimpin di Indonesia. Dari sebab ini, penulis

ingin mengangkat judul bagaimana persepsi umat Baha’i terhadap konsep

kepemimpinan Negara di Indonesia.

Sekilas pandang tentang Agama Baha’i. Agama Baha’i merupakan agama yang ada dihampir 200 negara. Dalam buku Taman Baru, dikatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa, jika kita percaya pada bapak surgawi yang satu maka kita harus saling mengnganggap satu sama lain sebagai saudara, anggota dari satu keluarga yakni keluarga manusia6. Umat manusia diumpamakan sebagai suatu kebun yang luas, yang didalamnya tumbuh berdampingan bunga-bunga yang beraneka warna, bentuk dan wanginya. Keindahan dan daya tarik dari kebun itu terletak pada keaneka ragaman tersebut.

Agama Baha’i merupakan salah satu agama dengan jumlah penganut tidak

sebanyak agama-agama besar akan tetapi kehadiran agama Baha’i sesungguhnya

6Hushmand fathea’ zam,


(18)

7

diakui sebagai masyarakat agama. Agama Baha’i ini tetap eksis dan berkembang serta menjadi fenomena keagamaan yang menarik di penjuru dunia.7

Agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal,

bukan sekte dari agama lain. Agama Baha’i dimulai di Iran pada abad 19. Dimulai saat pengumuman Sang Bab tahun 1844. Pada abad kedua puluh satu, jumlah

penganut Baha’i sekitar enam juta orang yang berdiam dilebih dari seratus sembilan puluh negeri di seluruh dunia. Dalam ajaran Agama Baha’i, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan, yang disebut “Perwujudan Tuhan”.8 Baha’ullah merupakan Perwujudan Tuhan untuk zaman ini. Ia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah di janjikan bagi semua umat dan yang di nubuatkan dalam agama-agama sebelumnya. Ia menyatakan bahwa misinya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh dunia.

Baha’u’llah artinya kemuliaan Tuhan, pembawa wahyu agama Baha’i serta utusan tuhan yang dipercaya sebagai “Dia yang dijanjikan segala zaman”.

Lahir di Persia pada tahun 1817 dan wafat di Palestina pada 29 Mei 1892.

Ajaran-ajaran Baha’ulah selaras dengan Ajaran-ajaran-ajaran semua agama yang ada sebelumnya, namun ajaran-ajaran Baha’ullah ditunjukkan untuk kondisi umat manusia saat ini. Seperti kita tahu, dalam tradisi-tradisi dari semua kaum ada janji tentang masa depan ketika perdamaian dan keselarasan akan didirikan dimuka

bumi dan umat manusia akan hidup dalam kemakmuran. Umat Baha’i percaya

7

Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), h. 1.


(19)

bahwa saat yang dijanjikan itu sudah tiba, dan Baha’u’llah adalah sosok luhur

yang ajaran-ajarannya akan memungkinkan umat manusia membangun dunia baru.

Salah satu ajaran Baha’ullah terkait dengan kasus terhangat saat ini adalah pemilihan pemimpin, yakni presiden yang mana calon-calonnya berasal dari partai-partai politik yang berbeda. Ini merupakan hal yang menarik untuk di angkat menjadi judul skripsi. Karena kepemimpinan negara di Indonesia, sistem

pemilihannya melalui proses partai politik, sedangkan dalam agama Baha’i

adanya suatu larangan bagi umat Baha’i untuk terlibat dalam partai politik. Kemudian timbullah ketertarikan penulis untuk mengungkapkan apa persepsi

umat Baha’i terhadap konsep kepemimpinan negara di Indonesia dengan adanya larangan umat Baha’i untuk terlibat dalam partai politik dan bagaiman umat Baha’i yang berdiam di Indonesia menyikapi hal tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan lebih

mengemukakan apa persepsi umat Baha’i terkait konsep kepemimpinan Negara di Indonesia, mengapa agama Baha’i melarang umatnya untuk terlibat dalam partai politik. Sehingga penulis mengangkat tema dengan judul “Konsep Kepemimpinan

dalam Agama Baha’i dan Persepsinya terhadap Pola Kepemimpinan Negara di Indonesia”.

B.PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Agama Baha’i memiliki ajaran dan hukum yang tidak semua sama dengan

ajaran-ajaran agama yang lain. Ajaran dan hukum-hukum dalam suatu agama


(20)

9

melarang umatnya untuk ikut terlibat dalam partai politik. Disinilah penulis ingin memaparkan melalui tulisan ini dan sekaligus ingin memberikan batasan yaitu pada masalah persepsi umat bahai terhadap konsep kepemimpinan negara di Indonesia adalah suatu yang menarik bagi penulis untuk membahasnya.

Untuk menghindari kesalah fahaman serta mencapai presepsi yang benar dalam masalah yang hendak ditulis dan agar tidak melebar pembahasannya maka penulis membatasi Dari latar belakang masalah yang sudah di paparkan di atas maka penulis mengangkat pokok – pokok permasalahan dalam skripsi ini dalam bentuk pertanyaan:

1. Bagaimana konsep kepemimpinan agama Baha’i?

2. Bagaimana pandangan umat Baha’i terkait kepemimpinan negara di Indonesia?

C.TUJUAN PENELITIAN

Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulis melakukan penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep kepemimpinan dalam agama Baha’i.

2. Untuk mengetahui pandangan umat Baha’i terkait kepemimpinan negara di Indonesia.

D.KEGUNAAN PENELITIAN


(21)

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu Perbandingan Agama dan juga dapat memberikan penjelasan tentang perspektif agama Baha’i tentang kepemimpinan terkait partai politik.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat di jadikan rujukan bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin khususnya dan mahasiswa UIN pada umumnya sebagai wacana pengembangan, wacana keilmuan, dan terlebih lagi sebagai acuan dan bahan pertimbangan.dan juga penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi berupa bahan bacaan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan di harapkan dapat Menambah khasanah keilmuan di Fakultas Ushuluddin. Serta memberikan kontribusi pemikiran bagi seluruh masyarakat.

E.TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mendapatkan pengakuan dan validitas yang utuh, maka penulis melakukan kajian kepustakaan supaya penelitian yang dilakukan mendapatkan posisi yang lebih jelas dan juga agar tidak terjadi bentuk pengulangan pembuatan skiripsi maka di sini penulis akan memberikan tinjauan pustaka.

Dari hasil penelusuran penulis menemukan hasil penelitian yang terkait dengan tema yang akan di teliti yaitu sebagai berikut :

Skripsi UIN Jakarta, karangan Yudha Bhakti. Berjudul “Ritual Dalam

Agama Baha’i” tahun 2012. Dalam skripsi tersebut Yudha menjelaskan konsep

ajaran agama Bahai tentang doa, sembahyang dan puasa. Ia menyinggung tentang Balai Keadilan Sedunia yang merupakan rencana global mengembangkan pusat


(22)

11

Baha’i Sedunia. Sedangkan fokus penulis terhadap model kepemimpinan umat

Baha’i yakni Administrasi Baha’i yang salah satu lembaga tertingginya adalah Balai Keadilan Sedunia. Sehingga jauh berbeda dengan penulisan skripsi karangan Yudha Bhakti.

Dan penulis memasukkan satu tinjauan pustaka lagi, yaitu Skripsi UIN

Jakarta, karangan Aisiah berjudul “ Kedudukan Perempuan Dalam Agama Baha’i” tahun 2013. Dalam skripsi tersebut Aisiah membahas sedikit tentang Majelis Rohani Setempat, dan kemudian penulis menjelaskan bahwa ada tingkatan yang lebih tinggi dari Majelis Rohani Setempat. Yakni Majelis Rohani Nasional dan Balai Keadilan Sedunia. Yang itu semua merupakan

tingkatan-tingkatan model kepemimpinan dalam Agama Baha’i.

F. METODE PENELITIAN

Pemilihan metode yang tepat dalam sebuah karya ilmiah sangat membantu untuk mencapai hasil yang optimal, oleh karena itu penulis juga menggunakan beberapa metode yaitu:

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah metode penelitian Deskriptif Analitis. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal seperti apa adanya.9 Kemudin dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya memberikan uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya memberikan penilaian tertentu

9


(23)

terhadap pembahasan skripsi ini. Hal ini bertujuan demi menghasilkan alur yang jelas dan sistematis.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mempermudah penelitian selain mengumpulkan data dari sumber kepustakaan, Penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, diantaranya yaitu:

a. Penelitian Lapangan (field research) guna mengumpulkan data sebagai pelengkap dan pembanding.

b. Wawancara (interview), yakni penulis mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada pemeluk agama tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan skripsi ini. Sifat wawancara yang digunakan adalah wawancara tak terstruktur Wawancara ini adalah wawancara bersifat bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Wawancara tak berstruktur yang disebut juga wawancara terbuka, digunakan dalam penelitian pendahuluan atau untuk penelitian yang lebih mendalam tentang subjek yang diteliti. Peneliti berusaha mendapatkan informasi awal tentang berbagai isu atau permasalahan yang ada pada objek, sehingga peneliti dapat menemukan secara pasti permasalahan apa yang harus diteliti. Dalam wawancara tak berstruktur, peneliti belum mengetahui


(24)

13

secara pasti data apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh narasumber. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari narasumber, maka peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan.10

3. Sumber Data

a. Data Primer

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah wawancara langsung kepenganut agama Baha’i dan menggunakan buku-buku terbitan Majelis Rohani Indonesia yang merupakan buku resmi

Agama Baha’i.

b. Data Sekunder

Adalah sumber yang di peroleh dari buku-buku dan literatur kepustakaan atau sejenisnya, artikel-artikel di surat kabar dan internet yang relevan dengan kebutuhan penelitian ini.

4. Jenis Data

Jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kualitatif. Penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, motivasi, tindakan, dll. secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

10


(25)

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.11

Berkaitan denga teknik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang

dijadikan pedoman di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu judul “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA

UIN, 2007).”

G.SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran dan mempermudah telaah skripsi ini, penulis membagi skripsi ini kedalam lima bab.

Bab I: merupakan bab pendahuluan yang berisi antara lain, latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II: pada bab ini penulis akan memuat pembahasan tentang sejarah

agama Baha’I, ajaran agama Baha’i dan agama Baha’i di Indonesia.

Bab III: pada bab ini penulis akan memuat pembahasan tentang konsep

kepemimpinan menurut Baha’i, Syarat memilih Majelis Rohani dan Bentuk Administrasi Baha’i.

Bab IV: pada bab ini penulis akan memuat pembahasan tentang pengertian dan konsep kepemimpinan di Indonesia, memilih pemimpin di Indonesia dan

persepsi umat Baha’i terhadap kepemimpinan negara di Indonesia.

Bab V: merupakan bab penutup yang isinya memuat kesimpulan, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

11

Lexy J. Moleong, Metode Penelitia Kualitatif (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2012), h.6.


(26)

15 BAB II

AGAMA BAHA’I DI INDONESIA

A.Sejarah Agama Baha’i

Agama Baha’i merupakan salah satu agama dengan jumlah penganut tidak

sebanyak agama-agama besar, akan tetapi kehadiran agama Baha’i sesungguhnya diakui sebagai masyarakat agama.12Agama Baha’i ini tetap eksis dan berkembang

serta menjadi fenomena keagamaan yang menarik di penjuru dunia. Umat Baha’i

bertempat tinggal di 191 negara dan 46 wilayah teritorial13 dan mereka semua berasal dari berbagai kepercayaan yang berlainan bahkan bertentangan. Mereka dahulunya ada yang beragama Budha, Yahudi, Islam, Zoroaster, Hindu, Protestan, Katolik dan tidak jarang dari mereka yang sebelumnya tidak menganut agama sama sekali. Mereka semua menemukan sesuatu dalam ajarah Baha’i yaitu apa yang dapat mempersatukan mereka dan menjadikan mereka saudara-saudara yang saling mencintai.14

Agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal,

bukan sekte dari agam lain. Pada tanggal 23 Mei 1844 menandai suatu era baru dalam sejarah manusia. Seorang pembawa wahyu yang dijanjikan Tuhan telah hadir untuk menjadikan perdamaiaan dan keselarasan yang akan didirikan di bumi. Fajar hari yang baru itu menyaksikan munculnya tidak hanya satu, tapi dua

12

Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), h. 1.

13Agama Baha’i

(T.Tp: Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2013), h. 32.

14


(27)

Perwujudan Tuhan,15 yaitu Sang Bab dan Baha’u’llah.16Agama Baha’i dimulai di

Iran pada abad 19. Dalam ajaran Agama Baha’i, sejarah keagamaan dipandang

sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan, yang disebut “Perwujudan Tuhan”. Baha’ullah merupakan Perwujudan Tuhan untuk zaman ini. Ia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah di janjikan bagi semua umat dan yang di nubuatkan dalam Agama-agama sebelumnya. Baha’i adalah agama yang terorganisir yang menyatakan bahwa misi atau tujuan utamanya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh umat manusia.

Pada kurun zaman Sang Bab dari tahun 1844 hanya berlangsung selama Sembilan tahun. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan jalan bagi kedatangan Sang Suci Baha’u’llah pembawa Wahyu Tuhan yang dijanjikan itu. Walaupun singkat, namun kurun zaman Sang Bab mempunyai kehebatan rohani yang begitu besar sehingga pengaruhnya dapat dirasakan selama beratus-ratus generasi mendatang.17

1. Sang Bab

Sang Bab yang bernama Sayyid „Ali Muhammad, dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1819 di Shiraz, sebuah kota dibagian selatan negeri Iran atau Persia. Ia

lebih dikenal dengan gelarnya Sang Bab, kata Bab berarti “Pintu Gerbang”. Pintu

atau gerbang suatu kerajaan baru, yakni kerajaan Tuhan di bumi. Kebanyakan

15Kata “mewujudkan” artinya memunculkan, menyingkapkan sesuatu yang sebelumnya

tidak diketahui. Para Perwujudan Tuhan adalah orang-orang khusus yang menyampaikan firman dan kehendak Tuhan kepada manusia.

16

Ibi, Perwujudan Kembar (T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, t.t), h. 2.

17


(28)

17

orang di Iran adalah penganut Islam sekte Syi’ah yang menunggu kedatangan seorang yang dijanjikan Tuhan yang bernama Qa’im. Kata Qa’im artinya bangkit.

Sang Bab berasal dari keluarga terkemuka dan mulia yang merupakan keturunan Nabi Muhammad. Ayah-Nya18 meninggal ketika Sang Bab Masih kecil, dan Ia dibesarkan oleh paman-Nya (dari pihak ibu) yang memasukkan-Nya ke sekolah pada saat ia masih muda. Ia dikirim kepada seorang guru yang mengajarkan Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran dasar. Meskipun Sang Bab telah dianugrahi dengan pengetahuan bawaan dan tidak perlu diajari oleh manusia, namun Ia mengikuti keinginan paman-Nya. Tetapi dari masa kanak-kanan Sang Bab berbeda dari anak-anak yang lain sehinnga guru-Nya segera mengetahui kemampuan Sang Bab dan menyadari bahwa dia tidak mampu mengajari anak yang luar biasa itu.

Sang Bab masih sangat muda ketika Ia mengumumkan diri kepada orang-orang mengenai Misi yang telah Tuhan Berikan kepada-Nya. Ia berumur dua puluh lima tahun pada waktu itu. Selama masa muda-Nya, Sang Bab menunjukkan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Sudah tampak pula sifa-sifat yang luar biasa yang menjadi ciri-ciri misi-Nya yang singkat dan tragis itu. Sewaktu Sang Bab mengumumkan hakikat-misi-Nya sebagai seorang Perwujudan Tuhan, baik paman maupun guru-Nya percaya kepada-Nya karena mereka telah mengenal-Nya sejak Ia masih kecil , dan melihat


(29)

perbedaan diantara Dia dan anak-anak lainnya. Paman-Nya bahkan meninggal sebagai Syuhada.19

Sebelum Sang Bab mengumumkan Misi-Nya, beberapa orang diseluruh dunia mengetahui dalam lubuk hati mereka bahwa yang dijanjikan akan segera datang. Salah satu orang yang sholeh itu adalah Khazim Rasyti, pemimpim

mazhab Syaikhiyah yang tinggal di kota suci Syi’ah Karbila Irak. Sayyid Khazim mempunyai banyak murid, dan dia mengabdikan hidupnya untuk mempersiapkan

mereka akan kedatangan Sang Qa’im yang telah lama di tunggu.

Setelah Sayyid Khazim wafat, pada tahun 1844 seorang murid Sayyid Khazim bernama Mulla Husayn pergi kesebuah masjid untuk berdoa dan bermeditasi selama 40 hari. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh gurunya

yang bernama Sayyid Khazim, agar Mulla Husayn mencari Qa’im. Ia setelah

menyelesaikan masa empat puluh harinya itu, kemudian ia meninggalkan Irak dengan ditemani oleh dua orang dan mulai mencari Dia yang Dijanjikan. Mula-mula dia pergi ke Bushihr, dan dengan adanya suatu yang kuat dia segera ke arah utara, berangkat ke Shiraz.20

Pada akhirnya ia bertemu dengan Bab, yang menyatakan bahwa dirinya adalah Qa’im yang dijanjikan. Sang Bab menunjukan kepada Mulla Husayn, dengan bukti-bukti yang jelas dan tepat, bahwa beliaulah Qa’im yang dijanjikan. Ia menulis dengan cepat bagian pertama dari tafsir Al-Qur’an surat Yusuf, kemudian Ia menyampaikan kata-kata berikut kepada Mulla Husayn:

19Hushmand fathea’ zam,

Taman Baru (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2009), h. 29.

20


(30)

19

Wahai engkau yang pertama beriman kepada-Ku! Sesungguhnya aku katakan, Akulah Bab, pintu Tuhan dan engkaulah Babul-Bab pintu dari

pintu itu.”

Sang Bab mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Pengumuman Sang Bab ini terjadi pada malam tanggal 23 Mei 1844, pada saat itu Beliau

berusia 25 tahun. Kata “Bab” berarti pintu atau gerbang. Sang Bab mengumumkan bahwa seorang utusan Tuhan yang lain akan segera muncul, yang akan menyatukan semua orang di dunia dalam satu keluarga.

Jumlah pengikut Sang Bab berkembang dengan cepat, Sang Bab mendapatkan banyak penganut tetapi juga mendapatkan tantangan keras pemerintah dan pemimpin agama. Sang Bab dipenjarakan dibenteng Mahku dipegunungan Azerbijan, yang penduduknya bersuku Kurdi, tetapi menyambutnya dengan ramah. Kemudian Sang Bab dipenjarakan lagi di benteng Chihriq tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya.21 Pada tahun 1850 Sang Bab dimatisyahidkan yang pada saat itu Sang Bab baru berusia 31 tahun. Sang Bab mengorbankan hidupnya agar orang-orang didunia mengerti tujuan hidup mereka dan menghadap kerajaan Tuhan yang kekal. Sang Bab mengorbankan hidup-Nya

untuk menyiapkan kedatangan Baha’ullah.22

2. Baha’u’llah

Baha’u’llah merupakan seorang yang bernama Mirza Husyn Ali,

dilahirkan pada tanggal 12 November 1817 di Teheran, ibukota Persia. Ayahnya,

21

Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), h. 117.

22Baha’u’llah artinya kemuliaan Tuhan, pembawa wahyu agama Baha’i serta utusan


(31)

Mirza Buzurg, adalah seorang bangsawan terkemuka yang memiliki kedudukan

tinggi di istana Raja Persia. Sejak kecil, Baha’u’llah telah menunjukkan tanda -tanda kebesaran dan memperlihatkan pengetahuan serta kebijaksanaan yang sangat luar biasa. Dia tidak belajar di sekolah umum dan hanya menerima sedikit

pelajaran dirumah. Dengan semakin tumbuh dan dewasanya Baha’u’llah, tanda -tanda kebesarannya pun semakin nyata, karena Ia di anugrahi Tuhan dengan pengetahuan bawaan.

Ketika mencapai usia remaja, Ia termasyhur karena kecerdasan-Nya yang tinggi, akhlak-Nya yang unggul, serta kasih sayang dan kedermawanan-Nya. Ia mampu memecahkan masalah-masalah yang pelik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan besar. Tetapi walaupun memiliki kemampuan yang luar biasa, ia tidak pernah mengejar kedudukan dan pangkat. Ketika ayah-Nya

meninggal, Baha’u’llah diminta mengikuti jejeak ayahnya dan menggantikan

kedudukannya di istana Raja, namun dia menolak. Dia tidak tertarik pada gelar dan pangkat didunia ini. Keinginannya adalah membela kaum miskin dan melindungi orang-orang yang tidak mampu. Pada usia delapan belas tahun,

Baha’u’llah menikahi Asiyih Khanum dan rumah mereka menjadi tempat berteduh bagi semua orang.

Pada saat Baha’u’llah berusia dua puluh lima tahun, Ia menerima surat dari Sang Bab yang berisi beberapa tulisan suci, yang dikirimkan oleh pengikut Sang Bab bernama Mulla Husayn, merupakan amanat Sang Bab yang diterima pada saat mengumumkan Misi-Nya di Shiraz. Hanya berjarak tiga bulan setelah


(32)

21

peristiwa bersejarah itu. Baha’u’llah langsung naik saksi akan kebenaran wahyu Sang Bab dan bangkit memajukan ajaran-Nya.

Sang Bab merujuk kepada Baha’u’llah sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Tulisan sang Bab dalam kitab paling suci-Nya, Al-Bayan, berisi rujukan pujian yang tak terhitung banyaknya terhadap Ia yang akan Tuhan wujudkan. Berikut ini kutipan dari tulisan sang Bab berupa pandangan sekilas

tentang kedudukan Baha’u’llah:

“Dan ketahuilah dengan pasti bahwa Surga artinya mengenal dan tunduk

kepada Dia yang akan Tuhan wujudkan, dan api neraka artinya berada bersama jiwa-jiwa yang tidak mau tunduk pada-Nya atau berserah dari rida-Nya.”

“Katakanlah, sesungguhnya rida Dia yang akan Tuhan wujudkan adalah

rida Tuhan, sedangkan ketidaksenangan Dia yang akan Tuhan wujudkan tak lain adalah ketidaksenangan Tuhan.”

Para pejabat pemerintah, tidak ingin mengakui kebenaran yang diumumkan oleh sang Bab, mereka mulai menganiaya orang-orang yang beriman kepada-Nya, dengan demikian dimulailah berbagai penderitaan Baha’u’llah. Pada tahun 1852, Ia ditangkap dan dirantai di salah satu penjara yang paling mengerikan di Teheran. Dalam penjara itu, Tuhan mewahyukan kepada

Baha’u’llah bahwa Dialah orang yang dijanjikan oleh sang Bab dan semua nabi

pada masa lampau.

Setelah dipenjara selama empat bulan, Baha’u’llah diasingkan dalam waktu kurang lebih 40 tahun dari tanah air-Nya dari Teheran ke Persia, Baghdad, Konstatinopel/ Adrianopel kemudian diasingkan lagi dengan membuang-Nya lebih jauh lagi yaitu ke Akka. Akka adalah penjara tempat para penjahat dan


(33)

bagi umat manusia, termasuk kitab Al-Aqdas,23 kitab tersuci-Nya. Selama

tahun-tahun terakhir masa hidupnya, Baha’u’llah tinggal dirumah Bahji yang terletak

diluar tembok kota.

Pada bulan Mei 1892 Baha’u’llah wafat. Tempat persemayaman-Nya, yang sekarang dikelilingi oleh taman yang indah, merupakan tempat tersuci dibumi. Akka dan Haifa yang terletak didekatnya, merupakan pusat administratif

dan rohani bagi masyarakat Baha’i yang berjuang menegakkan tatanan dunia Baha’u’llah dan kesejahteraan umat manusia.24

3. Abdul Baha’

Abdul-Baha25 adalah putra sulung Baha’u’llah dan Asiyih Khanun, dilahirkan pada tanggal 23 Mei 1844 di Teheren, tepat ketika sang Bab mengumumkan Misi-Nya. Ketika Baha’u’llah wafat, Ia menyerahkan pelaksanaan rencana Ilahi-Nya ke tangan putranya. Ia mengangkat Abdul-Baha’ sebagai pusat perjanjiannya dan sebagai juru tafsir sabda-sabda-Nya serta meminta kepada para pengikutnya agar mendapat bimbingan dari Abdul-Baha’.

Nama Abdul-Baha’ memiliki arti hamba Baha’. Abdul-baha’berusia

delapan tahun ketika Baha’ulla dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah yang mengerikan. Sejak masa kanak-kanan Ia dengan sukarela ikut serta dalam penderitaan-penderitaan ayah-Nya yang Ia cintai. Ia menyertai Baha’u’llah dalam

23

Kitab Al-Aqdas, merupakan buku utama Agama Baha’i yang ditulis oleh pendiri agama

Baha’i, Baha’u’llah. Ini memiliki status yang sama seperti Al-Qur’an bagi umat Islam, Al-Kitab bagi umat Kristen. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab al-Kitabu l-Aqdas, tetapi sering disebut dengan judul Persia, Kitab Aqdas.

24

Perwujudan Kembar, h. 182.

25

Abdul Baha artinya hamba Baha. Ia lahir pada tanggal 23 Mei 1844 dan wafat pada


(34)

23

perjalanannya yang sulit dari Teheran ke Baghdad dan melewatkan empat puluh tahun dari hidupNya sebagi tawanan dan orang buangan. Akhirnya sewaktu Abdul-Baha dibebaskan, usianya sudah lanjut.

Setelah wafatnya Baha’u’llah agama Baha’i mengalami perkembangan

yang diteruskan oleh anaknya, yaitu Abdul Baha hingga menyebar kebelahan dunia yang lain. Dalam wasiatnya Baha’u’llah menunjuk Abdul Baha sebagai

pusat perjanjian dan juru tafsir agama Baha’i, hal itu untuk menjamin agar agama Baha’i tidak mengalami perpecahan. Baha’u’llah sendirilah yang mendidik Abdul Baha agar memiliki semua sifat seorang Baha’i yang sejati. Ia merupakan anugrah paling berharga yang diberikan kepada umat manusia. Teladan yang sempurna

dari semua ajaran Baha’i. Dari kehidupan-Nyalah kita belajar sifat-sifat rohani seperti cinta, kasih sayang, kesabaran, kedermawanan dan lain-lain.26

Setelah ayahnya wafat tanggung jawab untuk membimbing masyarakat

Baha’i jatuh dipundaknya. Dia menulis ribuan loh kepada individu dan kelompok

untuk menjelaskan ajaran-ajaran ayah-Nya. Semua tulisannya merupakan bagian yang sangat penting dari tulisan-tulisan agama Baha’i. Dengan berpusat pada

Abdul Baha sebagai pusat perjanjian Baha’u’llah, orang-orang Baha’i diseluruh

dunia tetap bersatu dalam usaha mereka untuk hidup secara Baha’i dan untuk

menciptakan peradaban baru.

Abdul Baha memulai perjalanannya selepas dari pengasingan dan pemenjaraan yang panjang. Ia melakukan perjalanan keberbagai negara, diantaranya Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat, Jerman,

26Agama Baha’i,Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2008


(35)

Austria dan Hungaria guna mengumumkan prinsip-prinsip ajaran agama Baha’i. Abdul Baha hidup selama 77 tahun dan meninggal pada tanggal 28 November 1921 di Haifa dan dikuburkan disalah satu ruang dari makan sang Bab. Dalam wasiatnya Abdul Baha menunjuk cucu tertuanya Shoghi Effendi Rabbani sebagai

Wali Agama Baha’i dan setelah Abdul Baha wafat, Shoghi Effendi menjadi

penafsir yang sah dari ajaran-ajaran Baha’i. 4. Shoghi Effendi

Shoghi effendi dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1897. Ibunya adalah putri Abdul Baha dan ayahnya adalah keluarga dekat dengan sang Bab. Abdul baha

telah menamakan Shoghi effendi “mutiara yang paling mengagumkan yang unik

dan tak ternilai, yang berkilau dari lautan kembar yang bergelombang dan dahan suci yang telah bercabang dari pohon-pohon suci kembar. Karena dalam dirinya,

keluarga sang Bab dan Baha’u’llah menjadi satu.

Selama masa hidupnya, Shoghi effendi menterjemahkan banyak tulisan

suci Baha’i, melaksanakan berbagai rencana global untuk pengembangan

masyarakat Baha’i, mengembangkan pusat Baha’i sedunia, melakukan surat -menyurat dengan banyak masyarakat dan individu Bahai diseluruh dunia dan

membangun struktur administrasi Baha’i yang mempersiapkan jalan untuk

didirikannya Balai Keadilan Sedunia. Menurut rencana ini, semua teman Baha’i didunia harus bekerja sama dengan erat ketika membawa amanat Baha’u’llah dan daerah-daerah lainnya di dunia dimana agama Baha’i belum didirikan. Sang wali sendiri mengawasi kemajuan rencana ini pada tahap-tahap pertamanya, dan


(36)

25

sebelum ia meninggal lebih dari 4200 pusat Baha’i telah didirikan didunia, dan

literatur Baha’i telah diterjemahkan kedalam lebih dari 200 bahasa.27

Shoghi effendi meninggal dunia pada tanggal 4 November 1957 di london, sewaktu ia sedang pergi untuk membeli bahan-bahan untuk pembangunan gedung lembaga-lembaga Administrasi Baha’i di tanah Suci yang merupakan Gedung Arsip Internasional, yang didalamnya tersimpan tulisan-tulisan asli sang Bab dan

Baha’u’llah, maupun peninggalan-peninggalan lain yang berharga.

B.Ajaran-ajaran dalam Agama Baha’i

a. Kesatuandan Keanekaragaman

Baha’u’llah telah mengajarkan kepada kita kesatuan umat manusia. Semua

manusia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jika kita percaya kepada Bapa Surgawi yang satu, maka kita harus saling menggap satu sama lain sebagai saudara, anggota dari satu keluarga, yakni keluarga manusia. Agama Bahá’í percaya bahwa semua manusia adalah satu dan setara dihadapan Tuhan dan mereka harus diperlakukan dengan baik, harus saling menghargai dan menghormati. Segala bentuk prasangka baik ras, suku bangsa, agama, warna kulit, jenis kelamin dan lain-lain harus dihilangkan dan prasangka merupakan penghalang terbesar bagi terwujudnya suatu kehidupan yang damai dan harmonis di dalam suatu masyarakat yang beraneka ragam.28

“Orang-orang yang dianugerahi dengan keikhlasan dan iman, seharusnya bergaul dengan semua kaum dan bangsa di dunia dengan perasaan gembira dan hati yang cemerlang, oleh karena bergaul dengan semua orang telah memajukan dan akan terus memajukan persatuan dan kerukunan, yang

27Hushmand fathea’ zam,

Taman Baru (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2009), h. 55.


(37)

pada gilirannya akan membantu memelihara ketenteraman di dunia serta memperbarui bangsa-bangsa.” (Bahá’u’lláh)

b. Pendidikan Universal

Bahá’u’lláh memberi kewajiban kepada orangtua untuk mendidik anak -anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Di samping pelajaran keterampilan, keahlian, seni, dan ilmu pengetahuan, dan yang paling diutamakan adalah pendidikan akhlak dan moral anak-anak. Tanpa pendidikan, seseorang tidak mungkin mencapai seluruh potensinya atau memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan haruslah universal dan wajib bagi semua. Jika orang tua mengabaikan pendidikan anak-anaknya, mereka

bertanggung jawab dihadapan Tuhan. Inilah perintah Baha’u’llah:

“telah diwajibkan bagi setiap ayah agar mendidik para putra-putrinya dalam kepandaian membaca dan menulis .... ”

“Kami menetapkan bagi semua manusia, apa yang akan memuliakan

Firman Tuhan di tengah hamba-hamba-Nya, dan juga akan memajukan dunia wujud dan meluhurkan jiwa-jiwa. Sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu adalah pendidikan anak-anak. Semua orang harus berpegang

teguh pada hal itu.”

Tujuan pendidikan haruslah mendidik laki-laki dan perempuan agar

percaya bahwa “Bumi hanyalah satu tanah air dan umat manusia warganya”

dengan demikian mereka memberikan cinta mereka dan pengabdian mereka demi perbaikan seluruh dunia. Jika orang-orang memakai cara pendidikan seperti ini, maka hanya akan memerlukan satu generasi untuk mendirikan persatuan seluruh umat manusia.

c. Persamaan Hak antara Perempuan dan Laki-laki

Tuhan telah menciptakan kita semua sebagai manusia, dan tak ada bedanya bagi Dia apakah kita laki-laki atau perempuan. Bagi orang tua yang


(38)

27

penyayang, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama dicintai. Abdul Baha

berkata bahwa: “ Baha’u’llah telah mengatakan bahwa kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) adalah manusia, dan dalam pandangan Tuhan mereka adalah sama, karena masing-masing saling melengkapi dalam rencana ciptaan Ilahi. Satu-satunya perbedaan diantara mereka dalam pandngan Tuhan adalah kesucian dan kejujuran dalam perbuatan dan tindakan mereka, karena Tuhan lebih menyukai orang yang hampir menyerupai gambaran rohani Sang Pencipta.29

Harus tersedia kesempatan yang sama bagi perkembangan wanita dan pria, terutama kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Wanita dan pria adalah bagaikan dua belah sayap dari burung kemanusiaan. Perkembangan seluruh kemampuan dan potensi masyarakat hanya dapat diwujudkan bila kedua sayapnya itu sama kuat.

“Umat manusia bagaikan seekor burung dengan kedua sayapnya: laki-laki dan perempuan. Burung itu tak dapat terbang ke langit kecuali kedua sayapnya

kuat dan digerakkan oleh kekuatan yang sama.” (Abdu’l-Bahá) Kesetaraan penuh dan kesadaran yang kuat akan kemitraan antara perempuan dan laki-laki sangatlah penting bagi kemajuan manusia dan transformasi masyarakat.

d. Penghapusan Prasangka

Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa segala bentuk prasangka harus dihapuskan, baik prasangka kebangsaan, ras, politik maupun keagamaan. Selama orang-orang masih berpegang pada prasangka, kita tidak akan mendapatkan perdamaian di bumi ini. Semua peperangan yang telah terjadi di masa lalu, segala

29


(39)

pertumpahan darah, disebabkan karena prasangka-prasangka itu. Masyarakat

Bahá„i percaya bahwa semua jenis prasangka dapat dihilangkan melalui proses

pendidikan yang memberikan keleluasan pencarian kebenaran secara bebas tanpa paksaan dan tekanan.30

“Wahai anak-anak manusia! Tidak tahukah engkau mengapa Kami menjadikan engkau semua dari tanah yang sama? Supaya yang satu janganlah meninggikan dirinya di atas yang lainnya. Renungkanlah selalu dalam kalbumu bagaimana engkau dijadikan. Karena Kami telah menjadikan engkau semua dari zat yang sama, maka adalah kewajibanmu untuk menjadi laksana satu jiwa, berjalan dengan kaki yang sama, makan dengan mulut yang sama, dan berdiam

dalam negeri yang sama…” (Bahá’u’lláh)

e. Mencari Kebenaran Secara Independen

Setiap manusia telah dibekali oleh Sang Pencipta dengan instrumen-instrumen yang diperlukan untuk dapat menentukan jalan kebenarannya secara bebas dan mandiri. Kebenaran adalah tunggal bila diselidiki secara bebas, dan kebenaran tidak menerima perpecahan. Oleh karena itu penyelidikan kebenaran secara independen akan mengarah pada kesatuan umat manusia. Melalui penyelidikan kebenaran secara mandiri dan independen kemanusiaan dapat terselamatkan dari kegelapan ikut-ikutan dan akan mencapai pada kebenaran. Hanya bila keyakinan itu ia dapat melalui cara ini, ia dapat menikmati kemajuan jasmani dan rohaninya di dunia ini.31

30

www.Bahaiindonesia.org Diakses pada senin 13 oktober 2014. 31


(40)

29

Ketahuilah bahwa Tuhan telah menciptakan dalam diri manusia kekuatan pikiran agar dia mampu menyelidiki realita. Tuhan tidak bermaksud agar manusia secara buta mengikuti nenek moyangnya. Dia telah memberikan pikiran dan akal dengan mana ia menyelidiki dan menemukan kebenaran; dan apa yang dia temui sebagai benar dan nyata haruslah dia terima. Dia tidak boleh menjadi imitator dan pengikut buta dari siapapun. Dia tidak boleh hanya bergantung pada pendapat dari siapapun tanpa penyelidikan.

“Wahai Putra Roh! Di dalam pandangan-Ku, keadilanlah yang teramat Kucintai; janganlah berpaling darinya jika engkau menginginkan Daku, dan janganlah mengabaikannya agar Aku percaya padamu. Dengan pertolongannya engkau akan melihat dengan matamu sendiri, bukan dengan mata orang lain, dan engkau akan mengetahui melalui pengetahuanmu sendiri, bukan melalui pengetahuan orang lain. Pertimbangkanlah hal ini dalam hatimu, bagaimana engkau seharusnya. Sesungguhnya, keadilan adalah pemberian-Ku dan tanda kasih sayang-Ku kepadamu. Maka letakkanlah keadilan di depan matamu.

(Bahá’u’lláh)

f.Surga dan Neraka

Para perwujudan Tuhan telah menerangkan adanya ganjaran dan hukuman melalui kiasan dan perumpamaan. Ganjaran dan hukuman sangatlah perlu agar ada tata tertib di dunia. Ganjaran dan hukuman adalah konsekuensi yang wajar bagi perbuatan-perbutan kita. Semua pesuruh Tuhan dimasa lampau telah berusaha untuk menyadarkan kita bahwa apa yang kita kerjakan di dunia ini tidak saja mempengaruhi hidup kita disini, tetapi terus membawa akibat setelah


(41)

kematian kita. Jika perbuatan-perbuatan kita baik, ini akan memberikan hasil yang baik dan akan menjadi sebab kebahagiaan abadi; jika perbuatan-perbuatan kita buruk, ini akan membawa hasil yang buruk pula dan menyebabkan penderitaan yang abadi bagi kita.32

C.Agama Baha’i di Indonesia

Masuknya Agama Bahá’i di Indonesia berdasarkan catatan yang ada, berawal di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jamal Effendi merupakan orang yang

dipilih oleh Bahá’u’lláh untuk mengadakan perjalanan ke India. Ia tiba di India sekitar tahun 1875. Selain mengunjungi beberapa wilayah di India, Ia juga mengunjungi Sri Langka. Pada perjalanan-perjalanan berikutnya, Ia didampingi oleh Sayyid Mustafa Rumi termasuk kunjungan ke Burma (Myanmar), pada tahun 1878 dan juga Penang (sekitar tahun 1883).

Pada sekitar tahun 1884-1885, mereka meninggalkan usaha dagang mereka di Burma dan kembali melakukan perjalanan ke India. Dari sini mereka melanjutkan perjalanan ke Dacca (sekarang dikenal dengan nama Dhaka, ibu kota Bangladesh), kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga minggu, mereka pergi ke Madras.

Dari Madras, Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi berlayar ke

Singapura ditemani dua orang pelayan yaitu Shamsu’d-Din dan Lapudoodoo dari Madras. Setelah mendapatkan ijin untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di Batavia (Jakarta), dimana mereka ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan. Mereka hanya diijinkan untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh

32

Ajaran agama bahai http://bahaiindonesia.org/ajaran-agama-bahai/ Diakses Senin 13 Oktober 2014.


(42)

31

pemerintah Belanda. Sayyid Mustafa Rumi, yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, segera menguasai bahasa Melayu, menambah daftar panjang bahasa-bahasa yang telah dikuasainya. Dari sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga singgah di pulau Bali dan kemudian Lombok. Disini, melalui kepala bea cukai, mereka diatur untuk bertemu dan disambut oleh Raja yang beragama Buddha dan permaisurinya yang beragama Islam, dan mereka berbicara mengenai hal-hal kerohanian dengan Raja dan permaisurinya. Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar, di pulau Sulawesi. Menggunakan sebuah kapal kecil mereka berlayar ke pelabuhan Pare-Pare.33

Mereka disambut oleh Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak perempuannya, Fatta Sima Tana. Fatta Sima Tana, belakangan, menyiapkan surat-surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, bernama Nair dan Bashir, untuk membantu dan mengabdi di rumah di Akka. Sang Raja juga sangat tertarik dengan agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia dan Fammana dengan menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Disini, Raja Bone, seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta mereka untuk menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Bahá’i. Karena batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur Belanda di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan kemudian

33


(43)

kembali ke Batavia. Setelah itu kembali ke Singapura dan ke bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Bashir, salah satu anak laki-laki Bugis itu, berhasil mencapai

Akka dan bekerja di rumah Bahá’u’lláh. 34 Tidak banyak sejarah yang

menceritakan bagai mana proses penyebaran agama Baha’i ini di Indonesia, hanya catatan singkat utusan Baha’u’llah jamal effendi yang di tugaskan memberitahukan agama baru ini keberbagai penjuru wilayah. Selebihnya tidak

diketahui bagaimana umat Baha’i bisa tersebar di Indonesia.

34

http://bahaiindonesia.org/masyarakat-bahai/masuknya-agama-bahai-di-asia-selatan-dan asia-tenggara/ Diakses Senin 13 Oktober 2014.


(44)

33 BAB III

KONSEP KEPEMIMPINAN BAHA’I

A.Konsep Kepemimpinan menurut Baha’i

Secara umum kepemimpinan dilihat dari segi etimologinya mempunyai

arti yang berasal dari kata dasar “pimpin” (dalam bahasa Inggris “lead”) berarti

bimbing atau tuntun, dengan begitu didalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin (umat) dan memimpin (imam). Setelah dilengkapi dengan awalan “ke-“

menjadi “kepemimpinan” (dalam bahasa Inggris “leadership”) berarti kemampuan

dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. Setiap memimpin ada sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Ada orang atau sejumlah orang yang bertekad mencapai tujuan itu. Pemimpin menjadi pemberi ilham, pemberi dorongan, penggerak dan perintis jalan ketujuan.35

Agama Baha’i memiliki aturan dalam hal kepemimpinan, seperti yang

tertuang dalam administrasi Baha’i. Kepemimpinan menurut Baha’i dipandang tidak seperti kepemimpinan yang ada pada umumnya, karena dalam agama Baha’i

untuk zaman saat ini tidak ada yang namanya kepemimpinan perseorangan. Karena setelah wali Agama Tuhan yakni Shoghi Efendi meninggal tidak ada lagi yang namanya kepemimpinan perseorangan. menurutnya untuk zaman saat ini tidak diperlukan lagi kepemimpinan yang bersifat individu ataupun perseorangan. Hal ini sudah diramalkan dalam tulisan-tulisan suci Baha’u’llah jauh sebelum

35


(45)

Shoghi Effendi ditunjuk sebagai wali agama Tuhan. Bahwa akan ada suatu masa

dimana tidak akan diperlukan lagi pemimpin perseorangan dalam agama Baha’i

dan semua urusan agama Baha’i akan dijalankan oleh lembaga. Oleh karena itu

agama Baha’i mengatakan bahwa kepemimpinan dalam pandangan agama Baha’i

adalah agama tanpa kepemimpinan perseorangan.

Dalam pandangan agama Baha’i kita umat manusia semua adalah sama, hal ini merujuk pada sejarah, bahwasannya pada zaman dulu perlu ada sekelompok orang yang bertugas untuk mengatur urusan-urusan agama dalam masyarakat. Orang-orang biasa pada waktu itu buta huruf atau tidak mempunyai waktu untuk mempelajari agama mereka dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, mereka menugaskan beberapa orang tertentu yang tidak mempunyai pekerjaan dalam hidupnya kecuali belajar agama dan mengawasi umatnya agar mematuhi hukum-hukumnya. Oleh karena itulah ada Brahmin diantara umat Hindu, Biksu dalam umat Budha, pendeta untuk umat Nasrani dan Alim ulama bagi umat Islam.36

Berbeda dengan agama Baha’i, yang memang dengan sengaja meniadakan

hal semacam jabatan atau profesi sebagai kependetaan atau ahli agama yang dijadikan sebagai ladang untuk mencari nafkah. Inilah salah satu ciri yang membedakan penyebaran agama bahai yang tidak banyak diketahui siapa tokoh

penyebar agamanya. Dalam buku Taman Baru dikatakan Baha’u’llah bersabda “bahwa meskipun pada zaman dulu jabatan ini dibutuhkan, namun tidak diperlukan lagi pada zaman kita ini.” Baha’u’llah mengajak masing-masing dari

36

Hushmand fathea’ zam, taman baru (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2009), h.103.


(46)

35

kita agar mencari kebenaran bagi diri sendiri. Dengan begitu kita dapat melihat dengan mata kita sendiri dan bukan melalui mata orang lain, mendengar dengan telinga kita sendiri dan mengerti dengan kekuatan pikiran atau pengertian kita sendiri.

Orang-orang Baha’i diharapkan dapat mencari pengetahuan lebih dalam dan lebih banyak mengenai agamanya dengan jalan menyelidiki kebenaran

sendiri. Setiap orang Baha’i harus berdoa untuk dirinya sendiri, tidak bolleh

membayar orang lain untuk mendoakan dia. Orang Baha’i harus memohon sendiri rahmat dan pengampunan dari Tuhan, tidak memerlukan seorang pendeta untuk

melakukan hal itu melalui ritual dan upacara buatan manusia. Setiap orang Baha’i

dapat berhubungan dengan Tuhan melalui perwujudan-Nya, dan tidak perlu ada perantara diantara dia dan Baha’u’llah.

Dalam pandangan agama Baha’i memang banyak sekali pendeta dan

ulama yang baik dan hebat, tetapi dalam setiap zaman banyak perpecahan dalam agama yang disebabkan karena mereka. Diumpamakan ada dua pendeta atau ulama hidup bersebelahan disuatu tempat. Mereka tidak selalu sependapat dalam pemecahan masalah agama, dan ketidaksetujan mereka telah banyak menimbulkan kesulitan di dunia. Ada yang berpendapat pendeta atau ulama yang ini yang benar, sedangkan yang lainnya percaya bahwa yang lainlah yang benar. Dengan demikian, perpecahan muncul dalam setiap agama. Lambat laun terbentuk banyak sekte dan orang-orang bertentangan satu sama lain mengenai tafsir dari tulisan-tulisan suci mereka. Hal ini menimbulkan peperangan bahkan pertumpahan darah mengatas namakan agama.


(47)

Perpecahan semacam ini tidak akan terjadi dalam agama Baha’i. Karena dalam agama Baha’i tidak ada pendeta atau ulama yang dapat membentuk sekte atau kelompok diantara para mukmin. Dalam agama Baha’i semua adalah setara. Juga, tak seorangpun mempunyai hak untuk menafsirkan ajaran dan tulisan

Baha’u’llah. Kewenangan ini hanya diberikan kepada Abdul Baha oleh Baha’u’llah sendiri, dan setelah Abdul Baha, hak untuk menafsirkan hanya

diberikan kepada Shoghi Efendi. Inilah sebabnya mengapa ditiadakannya lagi kepemimpinan perseorangan. karena ditakutkan menimbulkan perpecahan

diantara umat Baha’i. Baha’u’llah telah menghapuskan lembaga kependetaan dan

keulamaan ini agar tak seorangpun dapat menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi dan duniawi.

B.Dasar Hukum Memilih Majelis Rohani

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pandangan agama Baha’i tidak

ada konsep kepemimpinan perseorangan. Disinilah letak yang berbeda mengenai kepemimpinan dibanding dengan sistem ataupun konsep yang ada mengenai kepemimpinan itu sendiri. Dalam kitab Aqdas, Baha’u’llah memerintahkan bahwa

jika orang dewasa Baha’i berjumlah sembilan orang atau lebih disuatu tempat,

maka majelis rohani setempat harus dibentuk.37 Majelis rohani ini merupakan suatu badan yang akan mengabdi kepada masyarakat ditempat itu. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan untuk memilih majelis Rohani.

1. Mereka dapat memilih majelis mereka hanya pada tanggal 21 April, yakni

hari peringatan pengumuman Baha’u’llah. Pada hari itu Baha’u’llah

37


(48)

37

mengumumkan Diri ditaman Ridwan, bahwa Ia adalah Dia yang dijanjikan oleh segala zaman. Tanggal 21 April adalah hari pertama dari hari raya Ridwan yang berlangsung selama 12 hari, dan hanya pada hari pertama orang-orang Baha’i dapat memilih majelis rohani mereka. Jika suatu majellis tidak dipilih dalam waktu 24 jam mulai dari terbenamnya matahari pada tanggal 20 April hingga terbenamnya matahari pada tanggal 21, maka dalam tahun itu majelis rohani tidak dapat dipilih dan harus menunggu tanggal 21 April tahun berikutnya.

2. Hanya orang Baha’i yang berumur 21 tahun keatas yang dapat memilih dan dipilih untuk menjadi anggota majelis rohani. Misalnya, diantara 60

orang Baha’i yang ada disuatu desa ada 35 orang pria dan wanita yang

berumur 21 tahun keatas, maka hanya 35 orang inilah yang dapat memilih majelis rohani mereka; dan anggota-anggota yang mereka pilih harus juga

dari 35 orang Baha’i itu.

3. Setiap orang yang memilih, harus menulis nama-nama kesembilan38 orang yang ia anggap patut menjadi anggota majelis rohani. Kertas pemilihan itu tidak berlaku jika tertulis lebih atau kurang dari sembilan nama orang

Baha’i, atau satu nama diulang.

4. Orang-orang tidak dipilih menjadi anggota majelis rohani karena kekayaan atau kemasyhurannya dalam masyarakat, atau karena mereka pernah memperlihatkan kebaikan terhadap kita dan kita ingin membalas budi kepadanya. Orang-orang harus dipilih karena kesungguhan hati dan

38

Sembilan merupakan lambang yang menandakan nama tertinggi, yang tersembunyi dan nyata (Sang Suci Baha’u’llah, Kitab Aqdas) ayat 28, h. 41.


(49)

kesetiaan dan pengabdiannya pada agama Tuhan. Setiap orang Baha’i

yang akan memilih anggota-anggota majelis rohani harus mempertimbangkan karakter dan sifat-sifat rohani setiap orang, laki-laki dan perempuan, dalam masyarakat, dan harus berdoa kepada Tuhan agar ia dibimbing untuk menulis nama-nama orang yang layak untuk menjadi anggota-anggota majelis itu.

5. Orang Baha’i tidak diizinkan untuk memberi komentar atau mempromosikan bahwa seseorang patut menjadi anggota majelis rohani,

betapapun baik orang itu Baha’u’llah telah melarang kita untuk

mencalonkan seseorang atau mencoba menarik perhatian pada seseorang, sebelum dan selama pemilihan berlangsung. Tak seorangpun dalam

masyarakat Baha’i boleh mengetahui siapa yang telah dipilih oleh orang

lain. Bahkan suami istri atau sahabat-sahabat terdekat tidak dapat bermusyawarah bersama untuk menentukan siapa yang harus mereka pilih.

Setiap orang Baha’i harus memohon petunjuk dari Tuhan saja dan

membuat keputusan sendiri dalam hal ini tanpa dipengaruhi oleh pendapat

orang lain. Hanya orang Baha’i yang tidak dapat menulis diizinkan untuk

meminta kepada seseorang yang ia percayai untuk menuliskan nama-nama yang ia sebutkan.

Agama Baha’i percaya bahwa setiap manusia diciptakan mulia dan

dilengkapi dengan potensi-potensi rohani yang diperlukan untuk hidup dalam keluhuran dan kemuliaan jati dirinya. Tuhan tidak menciptakan ketidak- sempurnaan. Sifat-sifat yang merugikan itu adalah indikasi dari tidak tumbuh dan


(50)

39

berkembangnya potensi-potensi tersebut dan bukan merupakan ketidak- sempurnaan pencipta-Nya. Kekacauan, ketidakadilan dan degradasi moral dunia ini hanyalah cerminan distorsi dari jiwa manusia, dan sama sekali bukan tabiat sejatinya. Setiap manusia akan bisa menggapai seluruh potensi-potensi Ilahiah yang dimilikinya dan mampu mencerminkan sifat keluhuran tersebut dalam suatu wujud peradaban yang luhur. Hal ini dapat terjadi hanya melalui proses pendidikan rohani yang sistematis dan partisipatif, tanpa prasangka, serta berbasis pada proses pencarian kebenaran yang bebas tanpa paksaan, serta berdasarkan akal dan hati nuraninya sendiri.39 Beberapa sifat yang harus ditanamkan dalam

diri umat Baha’i, diantaranya:

a. Budi Pekerti Yang Luhur

Umat Baha’i percaya bahwa manusia harus berupaya memperoleh sifat -sifat mulia serta bertingkah laku sesuai dengan standar moral yang tinggi. Salah satu tujuan dasar kehidupan Baha’i adalah mengembangkan dan memperoleh sifat-sifat mulia seperti kebaikan hati, kedermawanan, toleransi, belas kasihan, sifat dapat dipercaya, niat yang murni dan semangat pengabdian. Kejujurann adalah dasar dari segala kebajikan manusia, tanpa kejujuran kemajuan dan keberhasilan dalam semua alam Tuhan tidaklah mungkin bagi siapapun.40“Wahai orang-orang, perindahlah lidahmu dengan berbicara jujur, dan hiasilah jiwamu dengan hiasan kejujuran.41Umat Baha’i dilarang bergunjing, berbohong, mencuri dan berjudi. Kebajikan-kebajikan tersebut diajarkan kepada anak-anak sejak usia

39Agama Baha’i (

T.tp:Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2013), hal. 25.

40

Ibi, Renungan Tentang Kehidupan Roh (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2006), h. 14.

41Himpunan dari Tulisan Sang Suci Baha’u’llah. No 136


(51)

dini, sehingga menjadi bagian utama dari akhlak mereka dan mengarahkan mereka kepada Tuhan, sehinga dengan demikian mereka akan lebih mampu mengabdi pada umat manusia.42

“Maksud Tuhan Yang Maha Esa dalam menyatakan Dirinya adalah untuk

memanggil seluruh umat manusia kepada kejujuran dan ketulusan, kepada kesalehan dan dapat dipercaya, kepada ketawakalan serta ketaatan pada kehendak Tuhan, kepada ketabahan dan kebaikan hati, kepada keadilan dan kearifan. Tujuan-Nya adalah untuk membalut setiap manusia dengan pakaian watak yang suci, serta menghiasinya dengan perhiasan perbuatan-perbuatan yang suci dan

baik.”

“Cahaya dari watak yang baik melebihi cahaya dan kecermelangan matahari. Barangsiapa mencapai tingkat ini, dianggap sebagai permata diantara

manusia. Kemuliaan dan keluhuran dunia tergantung padanya...”-Baha’u’llah

“Semua manusia diciptakan untuk memajukan peradaban yang terus

berkembang. Kebajikan-kebajikan yang sesuai dengan harkat manusia ialah kesabaran, belas kasihan, kemurahan hati dan cinta kasih terhadap semua kaum dan umat di bumi..”-Baha’u’llah

b. Kehidupan Yang Murni dan Suci

Hakikat manusia adalah pikirannya, bukan badan jasmaninya. Manusia bisa dikatakan merupakan bagian dari alam hewan, bedanya manusia memiliki kemampuan berpikir yang yang lebih unggul daripada semua makhluk lainnya. Jika seseorang selalu ditunjukan pada soal-soal ketuhanan, orang itu akan menjadi

42Agama Baha’i


(52)

41

orang yang suci, tetapi sebaliknya bila pikirannya dipusatkan pada hal-hal duniawi saja, orang itu akan semakin tenggelam dalam hal-hal duniawi hingga akhirnya ia sampai pada keadaan yang hanya sedikit lebih baik dari pada hewan.43

Baha’u’llah telah menetapkan hukum-hukum moral individu dan keluarga yang bertujuan untuk mengembangkan sifat rohani individu dan meningkatkan

persatuan dan kesejahteraan dalam keluarga dan masyarakat. Umat Baha’i

memahami bahwa keluarga adalah unit dasar dari suatu masyarakat. Bila keluarga-keluarga bersifat rohani, sehat dan bersatu, maka demikian pulalah masyarakatnya.

“kehidupan yang murni dan suci itu, yang mengandung arti

kesederhanaan, kesucian, penahanan diri, kesopanan dan pikiran bersih, mengharuskan adanya suatu sikap sedang dalam segala hal yang berkenaan dengan pakaian, ungkapan, hiburan, serta semua kegemaran seni dan sastra. Kehidupan seperti itu menuntut kewaspadaan terus-menerus untuk mengendalikan hawa nafsu dan kecendrungan buruk. Kehidupan yang murni dan suci menghendaki ditinggalkannya tingkahlaku yang tidak karuan, yang terlalu mementingkan kenikmatan-kenikmatan yang remeh dan seringkali menyesatkan. Kehidupan semacam ini mengharuskan pantangan yang total dari semua minuman yang beralkohol, dari candu serta dari obat-obatan yang mencandukan. Agama

Baha’i mencela pelacuran seni dan sastra, praktek-praktek nudisme dan hidup bersama diluar pernikahan, penyelewengan dalam pernikahan, dan segala macam promiskuitas, perbuatan tidak senonoh dan asusila. Ia tidak mengenal kompromi

43


(53)

terhadap semua teori, norma, kebiasaan dan ekses-ekses jaman yang rusak ini. Sebaliknya, melalui daya keteladanan yang dinamis dan melalui kehidupan yang murni dan suci itu berupaya untuk menunjukkan sifat merusak yang dimiliki oleh teori-teori itu, kepalsuan norma-norma itu, kosongnya tuntunan-tuntunan itu, keburukan dari kebiasaan-kebiasaan itu dan sifat asusila dari ekses-ekses itu.” – Shoghi Efendi44

C.Tugas-tugas Majelis-majelis Rohani

Mengenai tugas-tugas Majelis-majelis Rohani, Baha’u’llah telah menulis:

Mereka harus menjadi orang-orang yang dipercayai oleh Yang Maha Pengasih diantara manusia, dan menganggap diri mereka sebagai wali-wali yang diangkat oleh Allah bagi semua yang tinggal dibumi. Diwajibkan bagi mereka untuk bermusyawarah bersama dan memperhatikan kepentingan-kepentingan hamba-hamba Tuhan, demi Dia bahkan seperti mereka memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri, dan memilih apa yang patut dan cocok. Demikianlah diperintahkan kepadamu oleh Tuhanmu, yang Maha Perkasa, yang Maha Pengampun. Berhati-hatilah jangan sampai engkau mengabaikan apa yang dengan jelas diwahyukan dalam Loh45-Nya. Takutlah kepada Tuhan, wahai

engkau yang melihat.46

Oleh karena itu, Majelis Rohani disetiap desa atau kota harus menjaga kepentingan orang-orang Baha’i di daerahnya. Pekerjaan yang paling penting dari setiap Majelis Rohani adalah menolong teman-teman Baha’i untuk

44

Agama Baha’i (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2013), h. 16.

45

Salah satu umat Baha’i mengatakan, bahwa pengertian Loh saat ini sama artinya seperti surat yang berisikan doa-doa dan tulisan suci.

46Sang Suci Baha’u’llah,


(54)

43

menyampaikan firman Tuhan. Amanat Baha’u’llah adalah sumber rahmat bagi seluruh umat manusia, dan Majelis-majelis Rohani haruslah menjadi saluran kurnia yang besar, yang dapat mencapai orang-orang disetiap bagian dunia ini. Jika Majelis Rohani telah terbentuk, tugas yang paling penting dan paling utama adalah menyampaikan firman Tuhan.

Tugas penting lainnya dari majelis rohani ialah agar berusaha menciptakan persahabatan dan cinta diantara para mukmin. Majelis harus menciptakan suasana

persatuan yang penuh kasih sayang diantara umat Baha’i, majelis itu harus berusaha agar setiap orang dapat merasa gembira berada dalam lingkungan itu. Jika ada suatu masalah diantara teman-teman, majelis rohani harus dapat berusaha menyelesaikan masalah itu. Majelis Rohani harus laksana orang tua yang bijaksana dalam membimbing orang-orang Baha’i di daerahnya.47

Tugas-tugas Majelis Rohani, sang Wali menulis: “pada setiap waktu mereka harus dengan sepenuhnya mengulurkan bantuan kepada yang miskin, yang sakit, yang cacat, yang yatim piatu, yang janda, tanpa memandang warna kulit, kasta dan kepercayaan.

Setiap Majelis-majelis Rohani harus mempunyai dana sendiri. Dana itu dikumpulkan melalui sumbangan sukarela dari teman-teman Baha’i guna memperkaya dana Majelis mereka, sehingga dapat memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan.48

Pendidikan anak-anak dan pemuda-pemudi Baha’i adalah tanggung jawab Majelis Rohani juga. Dalam kata-kata sang wali yang tercinta, “mereka, dengan

47Hushmand fathea’ zam, h. 112

.

48Hushmand fathea’ zam, h. 11


(55)

cara apapun yang mereka sanggupi, harus meningkatkan kemajuan muda-mudi baik dari segi materi maupun rohani, cara-cara untuk pendidikan anak-anak, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Baha’i jika memungkinkan, menyelenggarakan dan mengawasi pekerjaan lembaga itu dan menyediakan cara-cara yang terbaik bagi kemajuan dan perkembangan mereka.

Tugas penting lainnya dari Majelis Rohani menurut sang Wali, “mereka

harus melakukan persiapan untuk pertemuan-pertemuan tetap bagi teman-teman, pertemuan Sembilan Belas Harian, hari-hari peringatan dan pertemuan-pertemuan khusus yang bertujuan untuk melayani dan memajukan kepentingan-kepentingan

sosial, pendidikan dan kerohanian sesama manusia.”49

Yang telah disebutkan diatas adalah beberapa tugas penting dari setiap Majelis Rohani setempat. Anggota-anggota Majelis Rohani harus berhati-hati jangan sampai gagal dalam melakukan tugas-tugas mereka. Mereka harus selalu

ingat sabda Baha’u’llah:

“Mereka harus menjadi orang-orang yang dipercayai oleh Yang Maha Pengasih diantara manusia, diwajibkan bagi mereka untuk bermusyawarah bersama dan memperhatikan kepentingan-kepentingan hamba-hamba Tuhan, demi Dia, bahkan seperti mereka memperhatikan kepentingan-kepentingan

mereka sndiri...”50

49Hushmand fathea’ zam, h. 114

.

50


(1)

4. Menurut anda adakah perbedaan konsep kepemimpinan secara Baha’i dan konsep kepemimpinan Negara di Indonesia dan jelaskan agaimana umat Baha’i yang bertempat tinggal di Indonesia menyikapi hal tersebut.

Jawab:

Orang Baha’i dimana dia tinggal dia harus patuh pada pemerintah dimana dia tinggal. Misalnya, di Indonesia berarti dia harus patuh dengan pemerintahan di Indonesia. namun demikian orang Baha’i tidak di perkenankan untuk ikut partai politik. Asas itu karena itu, Bahaul’lah datang dengan persatuan dan partai politik pasti akan mementingkan golongannya sendiri, walaupun demikian kita tetap berpartisipasi dalam Pemilihan Umum dimana kita tinggal.

5. Menurut anda apakah konsep kepemimpinan menurut Agama Baha’i dapat ditegakan khususnya di Indonesia?

Jawab:

Kami yakin perlahan-lahan sistem ini akan berlaku di seluruh dunia karena umat manusia rindu untuk bersatu. Hal ini tidak terlepas tergantung dari umat Baha’i menyelaraskan ajaran-ajaran yang di ajarkan Bahaul’lah dalam kehidupannya.

6. Menurut anda apakah konsep kepemimpinan Baha’i itu lebih baik? Jawab:

Ya tidak mungkin pula orang Baha’i mengatakan bahwa sistem ini lebih baik. Kita tidak bilang seperti itu, tapi menurut kami inilah sistem pemerintahan yang cocok untuk zaman ini. Tiap-tiap masa hadirnya perwujudan Tuhan. Yaitu membawa ajaran-ajaran yang sesuai kebutuhan zamannya.


(2)

7. Apakah tujuan dari keseluruhan konsep kepemimpinan Baha’i? Jawab:

Supaya manusia bersatu baik dalam pandangan, visi, dan misi tercapainya kesatuan manusia.


(3)

Wawancara dengan Ibu Rina

1. Bagaimana pengertian kepemimpinan menurut agama Bahai yang anda ketahui dan adakah konsep kepemimpinannya?

Jawab:

konsep kepemimpinan dalam agama Baha’i, setelah Shoghi efendi wafat, tidak ada lagi yang namanya kepemimpinan perseorang, semua urusan-urusan umat Baha’i diserahkan oleh lembaga. Lembaga-lembaga ini bernama Majelis Rohani Setempat, Nasional dan Balai Keadilan Sedunia.

2. Adakah syarat-syarat khusus untuk menjadi seorang pemimpin menurut agama Bahai?

Jawab:

ada, untuk menjadi pengurus dari Majelis-majelis Rohani, kita umat Baha’i harus benar-benar memilih siapa yang memang pantas untuk menjadi pengurus-pengurus tersebut. Diantaranya harus sudah berusia atau lebih dari 21 tahun, tidak ada gangguan kejiwaan, kesetiaan yang tidak diragukan, pengabdiannya tidak mementingkan diri sendiri, kemampuan yang diakui, dan pengalaman yang sudah matang.

3. Bagaimana umat Baha’i yang bertempat tinggal di Indonesia menyikapi tentang cara pemilihan kepala negara yang diusung oleh partai politk yang berbeda dengan ajaran Baha’i?

Jawab:

Kami umat Baha’i yang bertempat tinggal di Indonesia tetap harus patuh dan tunduk terhadap pemerintahan indonesia. kami hanya tidak ikut dalam kegiatan politik partisan dan tidak boleh menjadi anggota partai politik, tapi


(4)

kami sebagai masyarakat Indonesia bebas memberikan suara sesuai dengan hati nurani kami.

4. Menurut anda apakah konsep kepemimpinan menurut agama Bahai dapat ditegakan khususnya di Indonesia?

Jawab:

Untuk saat ini tentu saja suatu sistem yang baru datang, tidak mungkin diterima kedatangannya, contohnya kedatangan Yesus hingga disalib. Muhammad sampai Hijrah. Sama juga dengan Baha’u’llah, selama 40 tahun disiksa masih saja ditolak. Itu memang sudah menjadi salah satu ciri khas dimana-mana sepanjang sejarah umat manusia, sesuatu yang baru datang dari Tuhan itu pasti ditolak dulu oleh manusia. Karena manusia ini selalu berpegang pada yang sebelum-sebelumnya, yang sudah ada. Yang menjadi budaya yang mendarah daging dalam dirinya. Nah kalau terkait dengan administrasi Baha’i ini, ya untuk saat ini ya sama, tidak mungkin bisa diterapkan sepenuhnya dalam suatu sistem politik disuatu negara seperti Indonesia, tapi kita yakin walaupun tidak bisa sepenuhnya, kita orang Baha’i bisa menyumbang ide yang bisa ikut berkontribusi kepada suatu sistem pemerintahan yang baru, contohnya kita banyak bermusyawarah, dengan kementrian agama. Contoh sederhana tentang di sekolah-sekolah untk menghilangkan prasangka agama, menghilangkan permushan antar agama. 5. Menurut anda apakah konsep kepemimpinan Bahai itu lebih baik?

Jawab:

Kami umat Baha’i tidak pernah mengatakan bahwa sistem yang kami miliki ini lebih baik ataupun lebih bagus. Cuma kami percaya sistem administrasi


(5)

yang Baha’u’llah sampaikan memang masih bersifat teori yang di dunia ini masih sangat jauh perwujudan kesempurnaan dari pelaksanaannya, bahwa pada saat ini kami umat Baha’i menawarkan kepada seluruh masyarakat untuk belajar bersama, mari kita bekerja sama-sama untuk mewujudkan suatu kepemimpinan yang lebih baik, dari sistem administrasi yang unik ini.

6. Apakah tujuan dari keseluruhan konsep kepemimpinan Bahai? Jawab:


(6)

Wawancara dengan Ibu Nasrin (Umat Baha’i)