Tahap Pemeriksaan BENTUK-BENTUK PENYIKSAAN

B. Tahap Pemeriksaan

Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ternyata tidak sekedar bersifat fisik, melainkan juga ada yang bersifat psikis. Penyiksaan yang bersifat psikis ini sebagaimana terjadi pada tahap pemeriksaan yang dialami oleh Budi Hardjono di Pondok Gede Bekasi. Peristiwa ini terjadi di Jl. Raya Hankam, Pondok Gede, Bekasi, 17 Desember 2002 dimana Budi Hardjono dituduh membunuh ayah kandungnya bernama Ali Harta Winata. Budi Hardjono dalam pemeriksaan mengaku disiksa oleh penyidik untuk mengakui pembunuhan terhadap ayah kandungnya. Meskipun dalam persidangan tidak terbukti telah melakukan tindak pidana, namun pihak kepolisisan tidak merehabilitasi nama baik Budi Hardjono. Sebelum Budi Hardjono diperiksa, ibunya yang bernama Eni diperiksa di Polres Metro Bekasi. Pada saat itu kondisi fisiknya sakit karena mengalami luka- luka diwajahnya akibat pukulan kayu balok. Selama diperiksa, tiga hari dua malam Ibu Eni harus tidur di ubin tanpa selimut di dalam ruang sempit. Dalam proses pemeriksaan Ibu Eni dipaksa mengatakan bahwa Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri. Penyidik pun mengancam akan membunuh Budi Hardjono bila tidak diakui dengan pernyataan sebagai berikut: “Kalau tidak mau, biar anak ibu saya matiin”, tutur ibu Eni menirukan ucapan oknum penyidik. Hingga akhirnya Ibu Eni menyerah, “Terserah mau tulis apa yang penting anak saya tidak kenapa- kenapa”, tuturnya. Saksi lain pun diperiksa di bawah ancama todongan senjata api. Ningsih dipaksa mengaku bahwa ia melihat Budi menyeret ayahnya ke kamar mandi pada saat malam kejadian. Pengakuan di kepolisian kemudian disangkal di pengadilan karena merasa memberikan keterangan di bawah tekanan dan tidak sebenarnya terjadi. Nasib Budi sebagai tersangka jauh lebih buruk di banding kedua saksi tersebut di atas. Budi mengalami penyiksaan fisik dan mental selama dalam penahanan Polres Bekasi. Budi pun dipaksa mengakui dan mengiyakan semua cerita versi penyidik, demi menjaga keselamatan ibunya yang diancam akan dibunuh oleh penyidik apabila budi menyangkal karangan cerita versi polisi. Pihak Kepolisian Polda Metro Jaya megatakan telah membentuk tim untuk melihat kembali proses pemeriksaan atas Budi Hardjono, mulai dari tingkat penyelidikan sampai ke pemberkasan. Tim tersebut beranggotakan Direktorat Reserse Kriminal Umum, bidang hukum, serta bidang profesi dan bidang pengamanan. Hingga sekarang tidak diketahui secara jelas langkah-langkah dari penyelesaian penyiksaan terhadap kasus Budi Hardjono, para pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut seperti mantan Kepala Polres Bekasi Komisaris Besar Bahtiar Tambunan justru masih menjabat Kepala Unit ITanah dan Bangunan Direktorat Tindak Pidana tertentu di Bareskrim Mabes Polri. Dari uraian peristiwa dan bentuk-bentuk kekerasan di atas, kecenderungan penggunaan pengakuan tersangka sebagai alat bukti oleh penyidik kepolisian. 11 Kasus penyiksaan terhadap Budi Hardjono di atas dapat dikatakan sebagai bentuk penyiksaan secara psikis atau kekerasan non fisik berupa diancam, dipaksa mengaku dan disuruh-suruh. Selanjutnya kasus Teguh Uripno yang ditangkap pada 20 April 2007, kemudian disiksa sampai meninggal dunia. Hal ini terlihat dari retorika polisi yang menolak keluarga Teguh Uripno ketika hendak menjenguknya. Sebagai mana diberitakan oleh media, menyusul penangkapan terhadap Teguh Uripno sekitar pukul 11.00 WIB, keluarganya segera menuju Kepolisian Sektor Serpong. Ketika mereka meminta bertemu dengan Teguh Uripno, petugas Kepolisian tidak memperbolehkan mereka untuk saling bertemu. Keesokan harinya, pada tanggal 21 April 2007, keluarga Uripno kembali lagi, tetapi sekali lagi petugas kepolisian mencegah mereka untuk bertemu dia, tanpa memberikan penjelasan yang berarti. Sekitar pukul 15.30 WIB, perwakilan kepolisian mendatangi kediaman keluarga korban dan memberitahukan bahwa Teguh Uripno telah meninggal dunia ketika sedang dibawa ke rumah sakit. Saat di rumah sakit, pihak keluarga meminta untuk melihat jenazahnya dan menemukan sejumlah bekas luka pukul dan memar. Berdasarkan rekam jejak media, lengan korban telah patah dan tengkoraknya mengalami keretakan. Penyebab kematian adalah pemukulan benda tumpul pada bagian tengkorak. 11 Berita LBH Jakarta, edisi Nomor 15Juli-september2007, h.13 Dilaporkan bahwa dua petugas Kepolisan bernama Brigadir Satu Polisi Syarifudin dan Brigadir Polisi Arifin melakukan pemukulan sehingga menimbulkan luka serius terhadap korban ketika dia sedang berada dalam tahanan. Tujuh Polisi lainnya yang namanya masih dirahasiakan, dituduh atas kejahatan serupa karena mendiamkan terjadinya peristiwa tersebut. Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Resort Tangerang menyatakan bahwa mereka telah memulai penyidikan, namun hingga sejauh ini perkembangannya masih belum memuaskan. 12 Kasus selanjutnya terjadi di luar Jakarta, tepatnya yaitu di Solo Jawa Tengah. Peristiwa ini terjadi pada 20 November 2006 dengan korban Roni Ronaldo alias Gendon, sedangkan pelaku penyiksanya adalah Brigadir Didik Setyawan yang dibantu oleh Aiptu M. Trikogani, Briptu Supriyanto, Brigadir Aan Yuantoro Briptu Sudalmi dan Bripda Kristian Fery. Didik Setyawan diadili di Pengadilan Negeri Klas I Surakarta dan diputus bersalah pada 14 Mei 2007. Bentuk penyiksaan yang dialami oleh Roni Ronaldo adalah penyiksaan bersifat fisik berupa pemukulan dengan menggunakan benda-benda keras seperti tongkat. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta dengan Nomor : 77Pid.B2007PN.Ska; “Bahwa pada hari Senin tanggal 20 November 2006 sekitar pukul 15.00 WIB, terdakwa Didik Setyawan menelepon Brigadir Aan Yuantoro untuk membantu terdakwa Didi Setyawan yang telah berhasil menangkap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon di jalan raya daerah Kp. Ketelan Kec. Banjarsari Surakarta, lalu Brigadir Aan Yuantoro mengajak teman-temannya yang bernama Aiptu M. 12 http:www.radarbanten.commod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=10758 Trikogani, Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto menemui terdakwa Didik Setyawan. Briptu Sudalmi bersama dengan Aiptu M. Trikogani, dan Briptu Supriyanto pergi menggunakan mobil Suzuki Carry Futura warna ungu No. Pol. AD 8937 NU milik Polsektabes Banjarsari, kemudian setelah sampai di tempat tertangkapnya Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon tersebut, Briptu Sudalmi bersama Aiptu M. Trikogani dan Briptu Supriyanto menaikkan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon ke dalam mobil dan di bawa ke Polsektabes Banjarsari di mana pada saat ini yang mengemudikan mobil adalah Aiptu M. Trikogani, untuk Briptu Sudalmi dan Briptu Supriyanto mendampingi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon di tempat duduk belakang, sedangkan Brigadir Aan Yuantoro mengendarai sepeda motor milik Roni Ronaldo dan terdakwa Didik Setyawan mengendarai sepeda motornya sendiri”. “Bahwa sesampainya di Polsektabes Banjarsari, Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dibawa masuk ke ruang Opsnal oleh Briptu Sudalmi untuk diinterogasi berkaitan dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, tidak lama kemudian terdakwa Didik Setyawan dan brigadir Aan Yuantoro masuk ke ruang Opsnal, selanjutnya terdakwa Didik Setaywan didampingi Brigadir Aan Yuantoro melakukan interogasi terhadap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, sedangkan Briptu Sudalmi duduk di samping sebelah kiri Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sambil memperhatikan proses interogasi tersebut, pada saat diinterogasi oleh terdakwa Didik Setyawan, Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit, lalu terdakwa Didik Setyawan memukul jari tangan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan penggaris stainless sebanyak 1 satu kali, baru Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon mau memberikan keterangan perbuatan pidana yang ia lakukan, karena melihat Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit dalam memberikan keterangan, akhirnya Briptu Sudalmi ikut memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan tangan kosong mengepal yang mengenai bagian pipi sebelah kiri sebanyak 2 dua kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan. Setelah Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon mau memberikan keterangan, tidak lama kemudian Aiptu M. Trikogani masuk ke ruangan Opsnal untuk membantu menginterogasi, lalu Briptu Sudalmi dan Brigadir Aan Yuantoro keluar ruangan. Bahwa selama Aiptu M. Trikogani berada dalam ruangan membantu terdakwa menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, Briptu Sudalmi tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Aiptu M. Trikogani, karena kesal terhadap Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon yang berbeli-belit memberikan keterangan, maka Aiptu M. Trikogani mengambil sebatang rotan sepanjang 1 satu meter berwarna hitam yang ada di ruangan tersebut, kemudian memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan rotan tersebut mengenai tubuh Roni Ronaldo bagian tangan kiri dan paha kiri masing-masing sebanyak 1 satu kali, sehingga dengan pemukulan tersebut, Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah satu pengakuan lagi tindak pidana yang dilakukannya dan ditulis dalam berita acara oleh terdakwa Didik Setyawan, selanjutnya Aiptu M. Trikogani melemparkan rotan tersebut di lantai dan keluar ruangan, selang beberapa saat masuklah Brigadir Aan Yuantoro untuk membantu interogasi dan karena Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit, Brigadir Aan Yuantoro merasa jengkel lalu mengambil sebatang rotan sepanjang 1 meter berwarna hitam yang digunakan oleh Aiptu M. Trikogani tadi di ruangan tersebut kemudian memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon mengenai tangan kanan dan kiri, paha kanan dan kiri, masing-masing sebanyak 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan lagi tindak pidana yang ia lakukan dan ditulis lagi dalam berita acara oleh terdakwa. Kemudian karena merasa haus, Brigadir Aan Yuantoro keluar ruangan untuk mencari minum setelah meletakkan rotan tersebut di lantai, tak lama kemudian masuklah Briptu Supriyanto ke ruangan Opsnal lalu membantu menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon agar mengakui terus terang semua tindak pidana yang telah ia lakukan namun masih saja Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berbelit-belit dalam memberikan keterangan, sehingga Briptu Supriyanto merasa jengkel lalu menyuruh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berdiri, kemudian Briptu Supriyanto menampar Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak 1 kali dari arah kanan dengan menggunakan tangan kanan sehingga mengenai pipi kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, setelah itu Briptu Supriyanto mengambil rotan yang berada di lantai dan memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak 2 kali dengan menggunakan rotan tersebut mengenai tangan kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, seketika itu Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berusaha menangkis sehingga posisi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berdiri dan berjongkok, selanjutnya Briptu Supriyanto memukul Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan rotan tersebut mengenai paha kanan dan kiri sebanyak masing-masing 1 kali, kemudian pukulan berikutnya mengenai mata kaki kanan dan kiri Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak masing-masing 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan lagi tindak pidana yang ia lakukan dan ditulis lagi dalam berita acara pemeriksaan oleh terdakwa Didik Setyawan, tak lama kemudian masuklah Bripda Kristian Fery dengan maksud untuk membantu menginterogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, sedangkan Briptu Supriyanto meletakkan rotan ke lantai dan keluar ruangan karena sudag merasa cukup dalam membantu interogasi Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, pada saat itu Bripda Kristian Fery ikut menanyakan beberapa hal kepada Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon, kaena merasa kesal, Bripda Kristian Fery menyuruh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon berdiri lalu tiba-tiba mendorong lengan sebelah kiri Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan menggunakan kedua lengannya sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon terjatuh ke arah depan dan sempat dadanya membentur bibir meja temoat terdakwa Didik Setyawan menulis berita acara pemeriksaan lalu terjatuh ke lantai dengan posisi terlentang, kemudian Bripda Kristian Fery menyuruh Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon bangun lalu menampar mata kanan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon dengan tangan kanannya sebanyak 2 kali, setelah itu mengambil rotan warna hitam yang ada di lantai dan memukulkan ke arah lengan tangan, punggung, pinggang, paha dan pergelangan tangan Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon sebanyak masing- masing 1 kali sehingga Roni Ronaldo Rachditya alias Gendon menambah pengakuan atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan dan ditulis lagi pengakuan tersebut dalam berita acara oleh terdakwa, kemudian Bripda Kristian Fery meletakkan kembali rotan tersebut di lantai dan meninggalkan ruangan Opsnal. 13 Pihak keluarga Roni Ronaldo tidak mau diajak damai oleh pihak Kepolisian, maka pada tanggal 12 Desember 2006, Didik Setyawan akhirnya dapat ditahan oleh pihak Kepolisian Banjarsari Surakarta sampai dengan 31 Desember 2007 untuk dilakukan pemeriksaan. Kemudian dilakukan perpanjangan penahanan pada 1 Januari 2007 hingga 9 Februari 2007. Pada tanggal 9 Februari 2007, berkas perkara Didik Setyawan dilimpahkan ke Penuntut Umum. Kemudian pada tanggal 22 Februari 2007, berkas dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Klas I Surakarta. 14 Didik Setyawan dijerat menggunakan pasal 351 ayat 3 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penganiayaan dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan yang mengakibatkan mati dilakukan secara bersama-sama”. Didik Setyawan dihukum selama 1 tahun 6 bulan. 15 Kasus Didik Setyawan di atas merupakan potret buram penegakan hukum kasus penyiksaan di Indonesia. Secara normatif, penghukuman terhadap Didik 13 Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta dengan Nomor : 77Pid.B2007PN. Ska, h. 2-4 14 Ibid, ... h. 1 15 Ibid, ... h. 50-51 Setyawan memang sudah terlihat memenuhi unsur-unsur penegakan hukumnya, namun jika dibandingkan dengan rasa keadilan di masyarakat, maka tentu pemenuhan unsur normatif tersebut masih jauh dari rasa keadilan korban. Rasa keadilan korban ini ditunjukkan oleh orang tua Roni Ronaldo yaitu Rahyono yang mengatakan, Saya jelas-jelas tidak bisa menerima vonis hakim yang diputuskan ini. Karena hanya berkisar satu sampai dua tahun saja. Bayangkan saja, ini adalah kasus pembunuhan, menghilangkan nyawa orang lain. 16 Kasus Didik Setyawan ini memberikan bukti betapa tidak sempurnanya legislasi Indonesia mengenai penyiksaan. Bahkan, kenyataannya penyiksaan masih bukan merupakan pelanggaran HAM. Jika seorang warga biasa melakukan penganiayaan terhadap seseorang hingga menyebabkan mati, maka tentu dia dapat didakwa atas pembunuhan berencana dan ancaman pidananya bisa seberat hukuman mati, penjara seumur hidup atau lima belas tahun penjara. Namun, ketika kejahatan yang sama dilakukan oleh aparat negara, pengadilan akan menjatuhkan hukuman yang ringan. Pertanyaan yang muncul dalam benak orang biasa adalah atas dasar apa pembunuhan terhadap seseorang oleh petugas berseragam berbeda dengan yang dilakukan oleh warga biasa?. Sebisa mungkin petugas penegak hukum harus menerapkan cara-cara tanpa kekerasan sebelum menggunakan kekuatan dan senjata api yang hanya bisa 16 http:www.wawasandigital.comindex.php?option=com_contenttask=viewid=2865 Itemid=36 mereka gunakan jika cara lain tidak efektif. Mereka tidak boleh menggunakan senjata api terhadap orang kecuali untuk membela diri sendiri atau orang lainnya dari ancaman kematian atau luka berat segera, untuk mencegah dilakukannya tindak kejahatan serius yang melibatkan ancaman gawat terhadap nyawa, untuk mmenangkap atau mencegah kaburnya orang yang menghadirkan bahaya semacam itu dan melawan wewenang polisi, dan hanya jika cara-cara yang tidak eksriem tidak mencukupi untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Dalam peristiwa apapun, penggunaan mematikan senjata api secara sengaja hanya bisa dilakukan jika benar-benar tak terhindarkan gna melindungi nyawa. Penggunaan kekuatan dan senjata api sewenang-wenang atau penyalahgunaannya oleh petugas penegak hukum dikenal hukuman sebagai pelanggaran pidana menurut hukum nasional. M.A. Kuffal mengungkapkan bahwa berbagai kalangan dalam masyarakat merasa sangat prihatin apabila dalam era berlakunya hukum acara pidana nasional yang bernafaskan perlindungan terhadap HAM sebagaimana diatur dalam KUHAP tetapi masih saja berlangsung tindak kekerasan dalam proses penanganan perkara pidana terutama pada tahap pemeriksaan penyidikan. Menurut Yahya Harahap bahwa KUHAP telah menggariskan aturan-aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri manusia, pengakuan yang tegas akan hak asasi yang melekat pada dirinya dan merupakan jaminan yang menghindarkan mereka dari tindakan sewenang-wenang. 17 17 Sunardi dkk, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, Jakarta: Edsa Mahkota, 2005, hal. 55-57

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM