Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM

KASUS PENYIKSAAN YANG DILAKUKAN OLEH APARAT KEPOLISIAN

A. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia Kovenan Anti Penyiksaan yang diratifikasi pemerintah Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, sebenarnya dilatarbelakangi oleh reaksi terhadap praktek “metode zaman pertengahan” oleh Stalin yang bermuara pada pelarangan penyiksaan sebagaimana tertuang dalam pasal 5 DUHAM, yang diikuti oleh aturan melarang penyiksaan atau hukuman di luar batas kemanusiaan lain yang terdapat dalam setiap perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia maupun dalam UUD berbagai negara dan Bills of Rights. Pasca penggulingan brutal atas pemerintahan demokratis Dr. Allende di Cile, yang disertai tindakan penyiksaan luas terhadap para pendukungnya oleh junta militer Pinochet, maka Sidang Umum PBB tergugah melakukan apapun agar jaminan pelarangan 47 tindakan penyiksaan tersebut berlaku efektif. Langkah pertama adalah mengkristalisasikan norma-norma itu dalam aturan hukum Internasional. 1 Proses perumusan kovenan ini dimulai pada 1975, yang mewajibkan negara-negara di bawah Piagam PBB mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah penyiksaan dan menyediakan ganti rugi bagi korban-korbannya. Deklarasi Anti Penyiksaan menegaskan bahwa tidak ada pengecualian, baik pada masa perang, instabilitas atau situasi darurat publik, yang dapat membenarkan penyiksaan. Sampai pada tahun 1984, pasca Steve Biko tewas, Sidang PBB terdorong membuat dan menerima Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang mewajibkan negara-negara pihak untuk menghukum penyiksaan yang dilakukan dalam wilayah mereka. Konvensi inijuga mewajibkan negara untuk menahan danmenyelenggarakan proses pengadilan ketika si pelaku diduga melakukannya ada dalam wilayah yang termasuk di dalam yurisdiksinya. 2 Berdasarkan standar internasional tersebut, maka penyiksaan adalah kejahatan berat, dan kenyataannya bahwa tindakan seperti itu dilakukan oleh aparat yang mewakili pemerintah sangatlah tidak dapat diterima dan merupakan kebiadaban moral yang serius. Tingginya derajat yang melekat pada kejahatan itu berasal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintahan untuk menekan tersangka, yang seharusnya dianggap tidak bersalah hingga dinyatakan bersalah 1 Geoffrey Robertson, Crime Againts Humanity: The Struggle For Global Justice, Terjemahan, Jakarta: KOMNAS HAM, 2002, h. 284 2 Ibid, ... h. 284-285 oleh pengadilan. Dalam sebuah negara yang menghormati aturan hukum, penghukuman seharusnya didasarkan pada hukum yang telah disepakati, setelah melalui proses peradilan yang adil dan tidak sebaliknya. Jika pemerintah memperbolehkan aparatnya untuk menegakkan hukum menurut mereka sendiri dan menyakiti masyarakat, kemudian apa kegunaan memiliki sistem peradilan dimana seorang tersangka dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah? Berdasarkan temuan LBH Jakarta terkait dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian sebenarnya telah berkesesuaian atau telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang berbunyi; “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diperoleh 4 empat elemen penting mengenai penyiksaan, yakni: 1 Segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang. Contohnya secara fisik adalah pemukulan terus menerus, acak dan keras; kekerasan terhadap gigi, pencabutan kuku, setrum, dan lain sebagainya. Dan secara psikis adalah diancam, dipaksa mengaku, dipermalukan, dan lain sebagainya; 2 Untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi; 3 Dilakukan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik; 4 Tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Dalam ketentuan peralihan pasal 43 huruf b dan c UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia dijelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer dan belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan militer. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum. Pasal ini memberikan pemahaman bahwa menghukum para polisi yang melakukan penyiksaan adalah dengan menggunakan mekanisme pengadilan militer dan peradilan umum. Namun kelemahan pengadilan militer adalah dari aspek karakteristiknya yang mengggunakan ankum atasan yang berhak menghukum dan Pepera perwira penyerah perkara. Walau dalam pasal 69 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997, Ankum termasuk penyidik, tetapi bila melihat aturan-aturan berikutnya maka terlihat Ankum lebih menjalankan fungsi koordinatif dalam penyidikan. Pasal 72 ayat 2 menyebutkan bila “...penyidik polisi militer dan oditur militer setelah melakukan penyidikan harus menyerahkan berkas perkaranya kepada ankum selain kepada Pepera dan oditur sebagai penuntut. Kemudian pada pasal 71 ayat 2 menyatakan penyidik polisi militer dan oditur dalam hal penahanan bersifat menjalankan perintah ankum dan hasil penyidikan dilaporkan kepada ankum. Bila penyidikan telah selesai, bukan berarti perkara langsung dapat dilimpahkan ke pengadilan. Di sinilah peran Pepera berada. Penentuan apakah suatu perkara diserahkan ke pengadilan untuk diadili, diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit atau ditutup demi kepentingan hukumumummiliter ada di tangan Pepera. Pepera adalah Panglima, Kepala Staf TNI-Kapolri dan yang ditunjuk komandan atau kepala kesdatuan dengan syarat Komandan Korem. Dalam pengadilan militer ini, tidak saja penyidik yang berasal dari kalangan militer tetapi juga penuntut umum dengan nama oditur. Ketentuan ini menunjukkan semangat ke-korps-an yang sangat tinggi. Munculnya semangat ini bisa dilacak dari tugas militer di bidang keamanan dan pertahanan negara yang dianggap sangat penting hingga “adanya kesatuan yang betul-betul utuh merupakan hal yang mutlak. Bahkan dikatakan angkatan perang itu merupakan suatu kesatuan yang organis. Hal ini menjadi suatu kendala bagi korban yang ingin membawa pelaku ke pengadilan. 3 Kemudian kelemahan dari peradilan umum yang menggunakan Kitab Undang-Undang Acara Pidana adalah kesulitan untuk menerapkan pembuktian adanya praktek penyiksaan yang dilakukan polisi sebagaimana diatur pada pasal 184 KUHAP yang menyatakan bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa 3 Gatot, ed, Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan;.. h. 110 Selanjutnya pasal 185 ayat 1 KUHAP mensyaratkan bila keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan pengadilan; pada ayat 2 keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dan pada ayat 3 ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang salah lainnya. Ketentuan masalah pembuktian menimbulkan permasalahannya tersendiri dalam kasus penyiksaan yang diupayakan penyelesaian hukumnya. Kekhususan peristiwa penyiksaan yang biasa terjadi saat interogasi menyebabkan kesulitan akan adanya saksi. Kalau pun saksi bersedia, tetapi membuat saksi tersebut mau untuk bersaksi dipersidangan merupakan masalah berikutnya. 4 Selain saksi, visum yang dapat menjadi bukti sebagai alat bukti surat relatif sulit didapatkan karena akses terhadap korban ditutup. Dan kesempatan untuk mengetahui detail penyiksaan yang dialami adalah di tahanan kepolisian yang berarti bekas-bekas penyiksaan nyaris sudah tidak nampak. Mekanisme melalui peradilan umum di atas sebenarnya menunjukkan tidak adanya ketegasan dari pihak pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Anti kelemahan sistem dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Pada pasal 5 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau 4 Ibid, ... h. 109 Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia, menyatakan “Konvensi ini tidak mengenyampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.” Berkaitan dengan kasus-kasus tindak kekerasan dalam tahap penyidikan, aparat penegak hukum dari penyidik Polri adalah salah satu pihak yang dituntut pertanggungjawaban secara moral yuridis. Implementasi Hukum Acara Pidana yang dinilai tidak atau belum memenuhi ide awal sebagai karya agung bangsa Indonesia dapat dikaitkan dengan tugas penyidik Polri yang kurang profesional, bertentangan dengan kode etik profesi dan norma-norma hukum yang berlaku. Dengan kondisi tugas Polri yang masih rawan terhadap pelanggaran moral Yuridis ini maka akibatnya dalam tugas-tugasnya ini, Polri dikategorikan sebagai pihak penegak pelindung HAM yang melakukan pelanggaran HAM. Penegakan hukum kasus penyiksaan oleh aparat kepolisian jika dinilai dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, maka ada 2 dua penilaian, yaitu; 1. Penghukuman bagi aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan jika sudah diproses melalui hukum nasional dalam hal ini KUHP dan KUHAP, maka penegakan hukum dalam kasus penyiksaan dianggap telah memenuhi unsur penghukuman. Hal ini didasarkan pada pasal 5 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang menyatakan, “Konvensi ini tidak mengenyampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.” Secara normatif, ketentuan seperti ini benar, namun secara nilai keadilan bagi korban, belum tentu benar, sebagaimana dicontohkan dalam kasus Roni Ronaldo. 2. Segala proses hukum –bukti-bukti hukum – yang berangkat dari praktek penyiksaan dianggap illegal sebagaimana dijelaskan secara khusus pada KAP pada pasal 15 yang berbunyi: “Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah dibuat sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan harus tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat”. Namun banyak kasus yang ternyata tetap dianggap legal, dalam arti proses hukum terus berlanjut meski dalam proses hukum tersebut terjadi praktek penyiksaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan data-data yang penulis temukan dan telah diuraikan pada bab sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, penyiksaan yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari subtansi, struktur dan kultur hukum yang belum mampu untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Di tingkat subtansi hukum, definisi penyiksaan dalam KUHP belum sesuai dengan definisi penyiksaan dalam Konvensi anti Penyiksaan. Sebagai contoh adalah pasal 422 KUHP yang berbunyi “seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Pasal ini masih jauh dari definisi penyiksaan dalam Konvensi Anti Penyiksaan. Atau lihat pula pasal 351 yang sering digunakan untuk menjerat pelaku penyiksaan yang notabene adalah pasal penganiayaan tanpa kekhususan hubungan struktural antara pelaku dengan korbannya. Sedangkan pada tatanan struktur cukup banyak faktor-faktor pendorong terjadinya penyiksaan antara lain tingkat pengetahuan aparat penegak hukum tentang HAM, sarana dan prasarana rumah tahanan, lemahnya mekanisme pengawasan internal aparat penegak hukum, kurangnya kesadaran dan tindakan dari pemangku kepentingan dalam sistem peradilan pidana, dan tidak adanya mekanisme pengaduan yang efektif. 5 Penggunaan penyiksaan dalam proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari kultur yang dibangun. Kultur bahwa tersangka atau terdakwa 5 Asfinawati, ed, Briefing Paper RUU KUHAP Seri III, Bagian IV V; Bantuan Hukum Dan Penyiksaan, Jakarta: Komite Untuk Pembaharuan Hukum Acara PerdataKuHAP, 2009, Cet. Ke-1, h. 30 adalah orang yang melakukan tindak pidana, maka penyiksaan dianggap sebagai hal yang wajar. Pemeo “tidak ada maling yang mengaku” menjadikan setiap keterangan dari tersangka tidak dipercaya. Usaha untuk memperoleh pengakuan dengan cara penyiksaan itu kadangkala telah dianggap telah “membudaya” demi efesiensi dan efektifitas pengungkapan suatu perkara pidana. Lebih ekstrim lagi ternyata pengakuan tersangka sekedar untuk menunjukkan orientasi subjektifitas prestasi kerja yang relatif cepat dalam mengungkapkan suatu kasus pidana. Oleh karena itulah, dalam beberapa kasus, penyidik membuat rekayasa pembuktian dan melalui penyiksaan memaksa para tersangka untuk mengakuinya. Kultur patuh pada komando atasan juga menjadi salah satu faktor. Pada hal pasal 2 Ayat 3 Konvensi Anti Penyiksaan menyatakan dengan jelas bahwa “perintah atasan tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan”. Metode pemeriksaan dengan menggunakan kekerasan dan penyiksaan oleh penyidik sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana akan mempengaruhi hasil kerja sub sistem lainnya, yaitu jaksa, hakim dan Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini mengingat sifat keterkaitan di antara sub sistem-sub sistem tersebut. Perusakan cara kerja salah satu sub sistem akan menggagalkan tujuan sistem peradilan pidana, misalkan tidak tercapainya penyelesaian satu kasus kejahatan sehingga pelaku terpaksa tidak dipidana atas pelanggaran prosedural pemeriksaan, atau pelanggaran ini akan berakibat pada pengambilan keputusan oleh hakim berdasarkan keterangan yang salah. 6

B. Berdasarkan Hukum Islam