Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia saat ini tengah menjalankan proses demokratisasi, terbukanya iklim kebebasan pasca jatuhnya rezim orde baru telah membuka beragam penafsiran akan arah reformasi di berbagai dimensi, tidak terkecuali dalam reformasi sektor keamanan khususnya reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia POLRI. Embrio reformasi POLRI diawali dengan munculnya Tap MPR RI No. VI dan Tap MPR RI No. VII yang memisahkan POLRI dari ABRI. Kemudian embrio ini ditindaklanjuti dengan disahkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 1 Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk melihat fungsi praktis kepolisian tersebut sebagaimana diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34169 tentang Pedoman Perilaku bagi Aparat Penegak Hukum bahwa para aparat penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjaga dan menjunjung 1 Aditya Batara Gunawan ed., Guiedbook on Democratic Policing, Terjemahan, Vienna Austria: OSCE, 2008, h. 3-4 1 tinggi HAM. Para aparat penegak hukum diwajibkan tunduk pada ketentuan serta nilai-nilai HAM. Caranya dengan membatasi diri dalam penggunaan kekerasan serta penggunaan senjata api. Selain itu keharusan para penegak hukum untuk mengutamakan pula pencegahan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia terhadap orang-orang yang sedang berhadapan dengan hukum. Pembatasan ini semata- mata menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar seseorang dari kekerasan aparat penegak hukum. 2 Namun sungguh ironis jika dewasa ini praktek penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian masih kerap berlangsung. Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta telah menyelenggarakan polling di www.bantuanhukum.org sepanjang bulan Agustus – Oktober 2007, tentang apakah anggota Polri dalam melakukan pemeriksaan BAP sering melakukan penyiksaan. Sebanyak 65 menjawab aparat kepolisian selalu melakukan penyiksaan, 25 tidak pernah dan sisanya 7 menyatakan kadang-kadang. 3 Dikisahkan dalam Berita LBH Jakarta kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia, yaitu kasus Risman Lakoro yang disiksa karena dituduh membunuh putrinya yang bernama Alta, 4 dan kasus Budi Hardjono yang disiksa Polisi demi 2 Gatot, ed, Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan; Survey Penyiksaan Ditingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008, Jakarta: LBH Jakarta, 2008, h. 3. 3 Berita LBH Jakarta, edisi Nomor 15Juli-september2007, h. 8 4 Ibid., h. 12 seorang Ibu. 5 Kedua korban tersebut merupakan korban salah tangkap yang dilakukan oleh kepolisian dan tidak ada upaya-upaya oleh pihak yang berwenang untuk mengusut kebenaran kasus tersebut. Dengan kata lain kepolisian membiarkan kasus tersebut berlalu begitu saja. Dalam catatan kritis KontraS dalam melakukan pemantauan atas kinerja kepolisian menunjukkan bahwa kultur kekerasan masih melekat dalam tubuh kepolisian. Di bawah ini adalah pemantauan KontraS sepanjang tahun 2005 – Mei 2008. Tindakan 2005 - 2006 2006 - 2007 2007 - 2008 Penembakanpenyalahgunaan senjata api 43 62 23 Penyiksaan selama proses peradilan 43 24 14 Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 65 36 39 Bentrokan dengan sesama polisi - 6 - Bentrokan dengan anggota TNI 5 12 1 Penyalahgunaan Kekuasaan yang lain 23 30 12 Dari tabel tersebut, jelas bahwa aparat kepolisian masih menerapkan tindakan pelanggaran HAM dan kekerasan yang bersifat konvensional berupa penembakan, penyiksaan dan penahanan atau penangkapan sewenang-wenang. Sulit melihat perubahan yang signifikan dari watak kekerasan yang masih terjadi. 5 Ibid., h.13 Satu hal tersulit untuk diubah mengingat jejak warisan orde baru selama 32 Tahun telah membentuk institusi kepolisian dalam wujud militeristik dan menjadi bagian dari politik praktis pemerintahan. Meski polisi merupakan alat penegak hukum, namun kekerasan masih terus terjadi karena aparat kepolisian justru melanggar penegakan hukum itu sendiri. 6 Namun ternyata tidak semua aparat negara yang melakukan penyiksaan itu lolos dari jeratan hukuman. Didik Setyawan seorang anggota reserse kepolisian sektor Banjarsari Surakarta Jawa tengah dibantu beberapa anggota reserse kepolisian yang lain yaitu M. Trikogani, Supriyanto, Aan Yuantoro, Sudalmi dan Kristian Fery pada hari senin tanggal 20 November 2006 telah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya Roni Ronaldo tersangka kasus pencurian dan kekerasan. Maka keenam anggota reserse tersebut akhirnya dijerat pasal 351 ayat 3 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan dihukum penjara selama 1 Tahun 6 bulan. 7 Kasus Didik Setyawan di atas merupakan salah satu kasus di mana penegakan hukum dalam kasus penyiksaan masih bisa dilakukan dengan arti bahwa wibawa kepolisian masih mempunyai citra positif. Namun jika dicermati secara mendalam, pasal 351 ayat 3 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah pasal tentang penganiayaan. Secara kontekstual pasal penganiayaan 6 Indria Fernida, 10 Tahun Reformasi Sektor Keamanan Akuntabilitas Polisi dalam Penegakan HAM, Disampaikan dalam acara Simposium “10 Tahhun reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”, Jakarta 28-29 Mei 2008. 7 Putusan Pengadilan Negeri Klas. 1 Surakarta, h. 9 tersebut merupakan pasal yang digunakan untuk menjerat seorang warga negara yang menganiaya warga negara lainnya. Sedangkan dalam kasus Didik Setyawan dkk adalah kasus antara aparat negara yang menganiaya warga negara. Katagori tindakan Didik Setyawan dkk sebenarnya katagori tindakan penyiksaan yang ditentang oleh ketentuan manapun. Geoffrey Robertson memandang alasan larangan penyiksaan ketika tindak penyiksaan difungsikan sebagai metode penyelidikan pihak kepolisian namun tidak bisa membuat jera seorang penjahat. Lebih jauh dari itu bahwa penyiksaan ternyata bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penyiksaan adalah kejahatan lain yang lebih umum dan lebih dikenal setelah pengadilan Nuremberg berakhir. Karena, dibawah hukum internasional penyiksaan juga masuk dalam katagori kejahatan yang melibatkan tanggungjawab individu. Selama beberapa abad, penyiksaan dianggap sebagai metode yang sah dan perlu untuk mendapatkan informasi dan pengakuan. Penggunaan cara-cara penyiksaan seperti itu, oleh Star Chamber dan Spanish Inquisition diperintahkan dan diatur oleh otoritas peradilan. Bukti bahwa penyiksaan tidak dapat diandalkan sebagai cara untuk mendapatkan kebenaran menjadi alasan untuk menghentikannya secara resmi sebagai reaksi atas sifatnya yang tidak manusiawi. Namun, kenyataannya, penyiksaan itu masih dipraktikkan secara luas oleh kekuatan polisi dan milier di seluruh dunia. 8 Penyiksaan merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat serius, dan karenanya dengan tegas dikutuk oleh hukum internasional, khususnya oleh pasal 5 DUHAM, yang menyatakan bahwa: 8 Geoffrey Robertson, Crime Againts Humanity: The Struggle For Global Justice, Terjemahan., Jakarta: KOMNAS HAM, 2002, h. 283 Tidak seorang pun dapat disiksa, atau perlakuan atau dihukum dengan kejam, tidak manusiawi dan direndahkan martabatnya. 9 Pada tanggal 10 Desember 1984 dengan resolusi Nomor 3946, Majelis Umum PBB menetapkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. 10 Konvensi ini terdiri dari 33 pasal yang mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987. Indonesia sebagai negara pihak yang turut serta melakukan penandatanganan konvensi tersebut telah meratifikasi mensahkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Ciri utama konvensi ini menentukan bahwa negara pihak melarang penyiksaan dalam perundang-undangan nasionalnya, tetapi juga menetapkan secara eksplisit bahwa perintah atasan atau keadaan-keadaan khusus tidak dapat dijadikan pembenaran penyiksaan. Dua unsur yang diperkenalkan yaitu; Pertama, bahwa penyiksa dapat dihukum di manapun ia berada dalam wilayah setiap negara pihak konvensi, karena konvensi ini menyebutkan bahwa orang-orang yang telah diduga melakukan tindakan penyiksaan dapat diadili di negara pihak manapun. Kedua, bahwa konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang 9 Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP, h.1 10 Konvensi ini biasa disebut secara singkat dengan istilah Konvensi Menentang Penyiksaan memperkenalkan dilakukannya pemeriksaan internasional, jika terdapat informasi yang dapat dipercaya yang menunjukkan bahwa penyiksaan telah dilakukan secara sistematis dalam wilayah negara pihak konvensi. Pemeriksaan ini dapat mencakup kunjungan ke negara pihak bersangkutan atas persetujuan negara ini. 11 Penentangan terhadap penyiksaan ini sebenarnya juga tertoreh dalam sejarah Islam, tepatnya dalam piagam madinah pada Pasal 36 Piagam Madinah yang mengajarkan prinsip larangan penghukuman yang melebihi hukuman yang ditentukan. Berikut bunyi pasal tersebut; Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai membalas orang lain yang melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. 12 Dan terdeskripsikan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad sebagai berikut; ﺣ ﺪﺛ ﺎ ﻲ ْﺑا ﻦ ْﺪ ﷲا , ﺣ ﺪﺛ ﺎ ﺳ ْﻴ نﺎ ْﻦ أ ْﻮ ب ْﻦ ْﻜ ﺮ ﺔ أ ن ﻲ ر ﺿ ﻰ ﷲا ْ ﺣ ﺮ ق ْﻮ ً ﺎ ﻎ اْﺑ ﻦ سﺎ لﺎ ﻟْﻮ آْ ا ﺎ ﻢﻟ ْا ﺣ ﺮ ْﻬ ْﻢ , ﻻ ن ﻟا ﻲ ﺻ ﷲا ﻰ ْﻴ و ﺳ ﻢ لﺎ : ﻻ ﺬﺑ ْﻮ ﺑ ا ﺬ با ﷲا ........ . ر و ﻩا ْاﻟ ﺨ رﺎ ى 13 Artinya: 11 Hak Asasi Manusia; Metode-Metode Penyiksaan, Lembar Fakta No. 4, Penerjemah: Harkristusi Harkrisnowo, SH, Christianus H. Panjaitan, dan Patricia Rinwigati, SH, TT., TP, h. 6-7 12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993, Cet. V, h.14 13 Al-Imâm al-Hâfiz Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-Asyqalanî, Fathu al-Bârî: bisyarhi sahîhi al- Bukharî, Cairo: Dar el-Hadith, 2004, Juz 6, h.169 Diceritakan oleh Ali bin Abdillah, diceritakan oleh Sufyan dari Ayyub dari ‘Ikrimah, sesungguhnya Ali r.a. membakar suatu kaum, kemudian Ibn Abbas datang dan berkata: Aku tidak akan membakar mereka karena susungguhnya Nabi SAW, bersabda, Janganlah. kalian menyiksa dengan siksaan Allah, HR Bukhari” Dua peristiwa dalam Islam di atas menunjukan bahwa salah satu dasar prinsip hukum dalam Islam adalah menentang adanya kekejaman dan penyiksaan. Manusia sebagai makhluk mulia dan berakal tentu menghendaki adanya sendi kehidupan yang bernilaikan kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang dianugrahkan Allah sebagaimana dalam ayat berikut: ⌧ ⌧ ☺ ⌧ Artinya: “Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” Q.S. Al-Isra’:70 Berdasarkan ayat tersebut, Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya mengatakan, di antara manifestasi penghormatan ini ialah Allah menciptakan manusia dengan “tangan-Nya” sendiri, kemudian meniupkan roh dan memerintahkan malaikat bersujud kepadanya, menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingannya, menjadikan pemimpin di atas planet bumi ini serta menjadikan khalifah untuk memakmurkan dan membuat kebaikan di atas bumi. Demi tercapainya hakekat nyata dari penghormatan ini dan menjadikannya pedoman hidup, Islam menjamin seluruh hak manusia, mewajibkan pemeliharaan hak tersebut, baik menyangkut hak beragama, sipil maupun politik. 14 Penghormatan terhadap manusia juga termasuk hak untuk tidak disiksa dalam situasi apapun. Dijelaskan dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Bertolak dari norma-norma yang menentang terhadap bentuk penyiksaan dan beberapa kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang tidak dijerat oleh hukum maupun yang dapat dijerat oleh hukum, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi dengan tema: “Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif ”. 14 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah: A. Ali, Bandung: PT. ALMA”ARIF, 1990, Cet. XIV, Juz, 11, h. 34

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH