atau pelanggaran ini akan berakibat pada pengambilan keputusan oleh hakim berdasarkan keterangan yang salah.
6
B. Berdasarkan Hukum Islam
Penyiksaan dalam bahasa Arabnya adalah ta’dziîb. Kata ta’dziîb adalah bentuk masdar dari kata ‘adzdzaba-yu’adzdzibu-ta’dziîban yang berarti
memberikan penyiksaan. Secara gramatikal, kata ta’dziîb menunjukkan bahwa tindakan penyiksaan mengandaikan adanya subyek pelaku penyiksaan, obyek
korban penyiksaan, dan alat yang digunakan untuk melakukan tindak penyiksaan.
7
Bertolak dari prinsip-prinsip ajaran Al-Quran yang diturunkan sebagai pedoman hidup manusia untuk saling mengasihi dan mencintai. Maka terhadap
tindakan kejam dan kekerasan sesama manusia dalam konteks hidup bernegara, khususnya bagaimana memperlakukan seorang tersangka harus berlandaskan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang dianugrahkan Allah sebagaimana dalam ayat berikut:
⌧ ⌧
6
Ibid, ... h. 33
7
Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, tth, Cet. Ke-9, h. 1279
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan
makhluk yang Telah kami ciptakan.” Q.S. Al-Isra’:70
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya mengatakan, di antara manifestasi
penghormatan terhadap manusia, Allah menciptakan manusia dengan “tangan- Nya” sendiri, kemudian meniupkan roh dan memerintahkan malaikat bersujud
kepadanya, menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingannya, menjadikan pemimpin di atas planet bumi ini serta menjadikan
khalifah untuk memakmurkan dan membuat kebaikan di atas bumi. Demi tercapainya hakekat nyata dari penghormatan ini dan menjadikannya pedoman
hidup, Islam menjamin seluruh hak manusia, mewajibkan pemeliharaan hak tersebut, baik menyangkut hak beragama, sipil maupun politik.
8
Bagi Imam Muhammad Syirazi, bentuk penyiksaan merupakan suatu hal yang dilarang, karena Allah tidak pernah memberikan keterangan yang
membolehkan tindakan penyiksaan, bahkan terhadap musuh-musuh Allah sekalipun.
9
Penyiksaan merupakan bentuk tindakan penghukuman yang
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah: A. Ali, Bandung: PT. ALMA”ARIF, 1990, Cet. XIV, Juz, 11, h. 34
9
Imam Muhammad Syirazi, Islam Melindungi Hak-Hak Tahanan, Penerjemah: Taufiqurrahman, Jakarta: Pustaka Zahrah, 2004, Cet. I, h.23-24
berlebihan. Tindakan yang berlebihan ini dilarang oleh Allah sebagaimana dalam firmanNya:
☺
Artinya Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
tetapi janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Q.S. Al-Baqarah : 190
Pada umumnya, penyiksaan digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengiterogasi seorang tersangka. Imam Muhammad Syirazi menyatakan bahwa
penyiksaan adalah sebuah fenomena yang tidak islami. Bahwa untuk mencapai pembuktian hukum yang benar tidak perlu menggunakan penyiksaan, tetapi harus
dilakukan melalui investigasi yang cermat dengan semua bukti yang tersedia, termasukmelakukan wawancara yang terperinci.
10
Jadi Islam melarang praktek-praktek penyiksaan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain, lebih khusus penyiksaan yang dilakukan
oleh pejabat negara yang seharusnya memberikan contoh kebaikan dengan penuh kasih sayang kepada warganya, sebagaimana ditunjukan oleh Khalifah Umar Bin
Abdul Aziz saat menjawab permintaan salah seorang gubernurnya yang ingin
10
Ibid, h.25
menyiksa mereka yang menolak membayar pajak untuk pembendaharaan publik, diriwayatkan telah menegaskan sebagai berikut:
“Saya heran dengan permohonan izinmu padaku untuk menyiksa masyarakat seolah-olah aku bisa menjadi pelindungmu dari amarah
Allah, dan seolah-olah kepuasanku akan menyelematkanmu dari kemarahannya. Begitu kau menerima surat ini, terimalah apa yang telah
mereka berikan kepadamu atau mintalah sumpah dari mereka. Demi Allah, sungguh lebih baik bila mereka menghadapi Allah karena
pelanggaran mereka daripada aku menghadap Allah karena menyiksa mereka.”
11
Terkait dengan penegakan hukum terhadap kasus penyiksaan yang
dilakukan aparat negara, maka pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebenarnya terdapat preseden hukum tentang bagaimana penegakan hukum bagi
pejabat yang melakukan pelanggaran hukum. Rohadi Abdul Fatah menguraikan dalam bukunya, Islam and Good Governance: Ijtihad Politik Umar Ibn Abdul
Aziz bahwa untuk menegakkan keadilan secara subtantif, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memfungsikan kembali peran Majelis Mahkamah Mazalim, suatu
lembaga yang memeriksa perkara penganiayaan atau penyelewenagn yang dilakukan oleh penguasa, hakim maupun anak pejabat.
12
Mahkamah Mazalim dipimpin langsung oleh seorang ketua yang disebut Sahibu al-Maz
â
lim. Untuk menjabat sebagai seorang Sahibu al-Maz
â
lim harus memiliki wibawa yang tinggi dan wawasan yang luas serta memiliki keberanian
11
Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNAS HAM, 2007, Cet. I, h. 76
12
Rohadi Abdul Fatah, Islam and Good Governance: Ijtihad Politik Umar Ibn Abdul Aziz, LeKDIS, Tangerang : 2007, Cet. I, h. 219
yang luar biasa, andaikan Khalifah sendiri yang melakukan tindakan penyelewengan terhadap rakyatnya, Sahibu al-Maz
â
lim berani menjatuhkan hukum kepadanya. Karena itu, orang yang duduk di lembaga ini adalah orang
yang tidak terkait dalam jabatan struktur pemerintahan. Rincian prasyarat menjadi Sahibu al-Maz
â
lim antara lain; 1.
Memiliki kapabilitas yang tidak diragukan, kuat daya pikirnya, dan memiliki wibawa tinggi;
2. Memiliki keberanian untuk melakukan eksekusi hasil keputusan
hukum; 3.
Berpengaruh secara luas kepada masyarakat dan pemerintah; 4.
Terkenal bersih, jujur dan terpelihara dari perbuatan maksiat; 5.
Jauh dari sifat serakah 6.
Ahli di bidang fiqh dan mampu berijtihad; dan 7.
memiliki sifat wara’.
13
Peran dan fungsi Mahkamah Mazalim cukup penting, karena tidak semua masalah dapat ditangani oleh hakim al-Qada, seperti perselisihan antara rakyat
dengan pejabat kekhalifahan. Banyak perkara penyelewengan yang tidak dapat diselesaikan oleh hakim biasa karena pelakunya pejabat kekhalifahan yang dari
segi pangkat dan kedudukannya lebih tinggi dibanding hakim biasa. Perkara dimaksud hanya bisa diselesaikan di mahkamah maz
â
lim, sebab kedudukan
13
Ibid, ... h. 219-220
lembaga peradilan lainnya. Masalah-masalah yang diajukan pada mahkamah maz
â
lim khusus menyangkut hak-hak kemanusiaan yang dirampas oleh pejabat lembaga kekhalifahan. Beberapa bentuk perkara yang dapat diajukan pada
mahkamah maz
â
lim antara lain; 1.
Pelanggaran pejabat pemerintah atas rakyatm baik secara perorangan maupun golongan kelompok;
2. Kasus korupsi para pejabat pemerintah terhadap harta rakyat;
3. Kasus pertengkaran bagi pihak yang bersengketa;
4. Kasus pelanggaran kepentingan umum atau maslahat umum yang sulit
ditangani oleh pejabat biasa dan perkara sejenis lainnya.
14
Baderin mengatakan bahwa bertolak dari sifat mulia manusia dalam syari’at, tidak ada pertentangan antara hukum Islam dan larangan umum
penyiksaan, atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat atau larangan menjadikan manusia sebagai obyek percobaan medis dan ilmiah
tanpa kerelaan subyek. Berdasarkan pengamatan Bassiouni terhadap Al-Quran yang memberikan pesan untuk menentang penyiksaan dan penganiayaan manusia.
Nabi Muhammad juga diriwayatkan melarang penyiksaan.
ﺪْ ْا ةﺪْ ﺎ ﱠﺪ ,
ْ ْ ﺮْﻜ ْ ْوأ ﺎ ﱠﺪ ﻰ ا ْ رﺎ ْ نﺎ
لﺎ ﱠا ْ ﷲا ﻰﺿر ةﺮْﺮه :
ْ ﻰﻓ ﱠ و ْ ﷲا ﻰﱠﺻ ﷲا لْﻮ ر ﺎ لﺎ ﻓ
: رﺎﱠ ﺎ ﺎ هاْﻮ ﺮْ ﺄﻓ ﺎً ﻓو ﺎً ﻓ ْ ْﺪﺟو ْنا
, ﷲا ﻰﱠﺻ ﷲا لْﻮ ر لﺎ ﱠ
ْ
14
Ibid, ... h. 220-221
Artinya: Diceritakan oleh Qutaidah bin Sa’id, diceritakan oleh Uwaits dari Bakir
dari Sulaiman bin Yasar dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. mengirim kami dalam sebuah pasukan, beliau berpesan, Jika kalian berhasil
menangkap si Fulan dan si Fulan, maka bakarlah keduanya dengan api. Kemudian ketika kami hendak berangkat Rasulullah saw. bersabda, Aku tadi
menyuruh kalian supaya membakar si Fulan dan si Fulan. Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah SWT. Jika kalian berhasil menangkap
keduanya, maka bunuhlah, HR Bukhari
Selain argumentasi naqliyah, Baderin juga memberikan argumentasi ‘aqliyah tentang larangan melakukan penyiksaan dengan mengutip dari Ireland v.
UK, Mahkamah Hak Asasi Eropa yang mengamati bahwa istilah “penyiksaan” menyematkan “stigma khusus untuk menyengaja perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat serius dan kejam”.
16
Baderin menjelaskan tentang ‘perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat’ dalam hal maksud, tingkat kehebatan dan
kedahsyatan rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Kedahsyatan penderitaan membenarkan penggunaan istilah “tidak manusiawi” sebagai lebih
tinggi dari pada apa yang mungkin digambarkan sebagai “merendahkan martabat. Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit, dan derita,
sedangkan merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat
15
Al-Imâm al-Hâfiz Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-Asyqalanî, Fathu al-Bârî: bisyarhi sahîhi al-Bukharî, Cairo: Dar el-Hadith, 2004, Juz 6, h.167
16
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional HAM Hukum Islam, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNAS HAM, 2007, Cet. I, h. 76
skala yang sudah dipradugakan mengenai kehebatan derita yang dimulai dengan perendahan martabat, berujung pada ketidakmanusiawian dan pada puncaknya
sampai pada tingkat penyiksaan. Demikian juga perlakuan kejam dipradugakan berada “di antara tata cara
tidak manusiawi dan penyiksaan.” Maka itu, sekalipun suatu tindakan bisa lolos dari katagori penyiksaan, ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenan. Tujuan utama ketentuan itu ialah untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan
fisik dan mental individu. Larangan menjadikan siapapun sebagai sasaran percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuann bebasnya dalam pasal 7,
“dimaksudkan sebagai tanggapan atas berbagai keberingasan yang dilakukan di kamp-kamp konsentrasi semasa perang dunia II” dan karena itu “mengecualikan
perawatan medis yang wajar demi kepentingan kesehatan pasien”.
17
Oleh karenanya Imam Muhamad Syirazi menegaskan bahwa Tidak seorang pun berhak menganiaya orang lain, baik itu menggunakan peralatan
tradisional seperti cambuk, maupun menggunakan peralatan modern, seperti alat kejut listrik dan sebagainya. Hukuman-hukuman yang ditetapkan dalam syariat
Islam tidak berbentuk penganiayaan. Hukuman hanya bisa dilaksanakan bila pelanggaran telah terbukti menurut ketentuan syariat Islam. Semua ini ditujukan
untuk melindungi masyarakat serta menjaga kualitas lingkungan dan kemanan masyarakat. Tidak diperbolehkan menganiaya seorang penjahat, dan juga orang
17
Ibid, h. 76
kafir apalagi orang yang tidak melakukan kesalahan. Islam menjelaskan tentang hukuman deraan fisik, baik hudud maupun takzirat, hanya pada persoalan khusus
saja yang jumlahnya sangat sedikit. Hukuman-hukuman ini hanya bisa dilaksanakan bila sejumlah persyaratan dan kriterianya dipenuhi, dan sebenarnya
kriteria-kriteria inilah yang menjadikan hukuman tersebut secara praktis menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan. Dan bahwa seorang hakim Islam berhak
mengganti hukuman takzir, misalnya hukuman cambuk diganti dengan hukuman denda atau penjara, atau bentuk hukuman lain yang tepat.
Alasan yang dikemukakan oleh Imam Muhamad Syirazi bahwa di dalam Islam, tidak diperbolehkan mengorek pengakuan dari seorang tahanan dengan
penganiayaan. Bahkan pengakuan seorang tahanan dianggap tidak sah menurut ajaran Islam karena didapatkan di dalam penjara, walaupun pengakuannya
tersebut tanpa ada unsur penganiayaan. Pengakuan yang dibuat di depan kamera televise juga dipandang tidak sah secara Islam. Pengakuan dari pihak yang
bersalah hanya sah bila pihak yang bersalah tersebut berada di luar penjara dan itu dilakukannya secara sukarela dan sadar.
18
Meskipun bentuk hukuman qisâs masih dianggap sebagai hukuman yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, namun dalam tekhnik
pelaksanaannya, qisâs harus dilaksanakan tanpa ada rasa sakit. Abdul Qadir menjelaskan bahwa di kalangan Fuqaha tidak ada kesepakatan mengenai cara atau
18
Imam Muhammad Syirazi, The Rights of Psioners According to Islamic Teachings, Penerjemah: Taufiqurrahman, Jakarta: Pustaka Zahrah
, 2004, Cet. I, h. 125-126
tekhnik pelaksanaan hukuman qisâs, menurut Ulama Hanafiyah dan Hanabilah bahwa qisâs dilakukan dilakukan dengan pedang, sedangkan menurut Malikiyah
dan Syafiiiyah, qisâs dilakukan dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara yang digunakannya. Namun menurut Abdul
Qadir Audah pelaksanaan qisâs yang lebih manusiawi adalah dengan pedang karena pedang merupakan alat yang dianggap paling cepat mematikan sehingga
terhukum tidak merasa tersiksa.
19
Dalam wacana hukum pidana Islam bahwa ketentuan hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan adalah pengasingan, hukuman untuk jenis
perampokan tanpa pembunuhan adalah dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, hukuman untuk jenis pelaku perampokan tanpa mengambil harta
namun disertai pembunuhan adalah dibunuh, hukuman untuk jenis perampokan harta disertai pembunuhan adalah dibunuh dan disalib. Adapun tekhnik
penyaliban, harus menghindari adanya penyiksaan terhadap pelaku perampokan.
20
Kesepakatan para ahli fiqih sebagaimana dinyatakan oleh Baderin bahwa penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi
dilarang selama berlangsungnya interogasi para pelanggar hukum. Pasal 20 Deklarasi Kairo OKI tentang HAM Islam menetapkan bahwa:
19
Abd al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Beirut : Dar al-Kitab al-’Arabi, tth, Juz II, h. 151-154
20
Ibid, ... h. 648-654
“Dilarang menjadikan orang disiksa secara fisik dan psikologis, atau segala bentuk penghinaan, kekejaman, dan penyiksaan. Dilarang juga
menjadikan seorang individu sebagai sarana percobaan medis atau ilmiah tanpa persetujuannya atau dengan resiko pada kesehatan dan
nyawanya. Dilarang pula mengumumkan aturaan darurat yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tindakan di atas”.
21
C. Analisa Tentang Penegakan Hukum Kasus Penyiksaan Yang Dilakukan