A. Tahap Penangkapan
Bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada tahap penangkapan cenderung menggunakan penyiksaan secara fisik, misalnya dengan
tindakan pemaksaan secara semena-mena dan menembak, bahkan cenderung tidak mentaati asas hukum yaitu tanpa membawa surat penangkapan. Penyiksaan
ini dapat digambarkan dalam beberapa kasus berikut ini; Pada bulan Nopember 2008, polisi menembak mati Kusrin yang
dilaporkan tertangkap basah mencuri kayu di Blora Jawa Tengah, bersama 29 orang lainnya. Petugas polisi dilaporkan memberi tembakan peringatan, tapi
sebutir peluru meleset dan mengenai Kusrin. Setelah tiga malam di rumah sakit, Kusrin meninggal. Sebuah penyidikan polisi dilakukan untuk memeriksa insiden
tersebut. Dalam berita disebutkan bahwa Kusrin tidak melakukan perlawanan selama proses penangkapannya, tetapi entah kenapa polisi harus mengeluarkan
tembakan peringatan yang akhirnya dilaporkan meleset dan mengakhiri hidup Kusrin.
6
Selanjutnya adalah kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sektor Cengkareng Jakarta Barat terhadap 5 lima orang yang diduga
merampok nasabah Bank pada 9 Januari 2007. Lima korban penyiksaan tersebut adalah Nurhadi meninggal dunia, 4 temannya babak belur, gigi rontok, wajah
lebam dan kuku-kuku jari dicabuti. Menurut Marbun, Kanit Reskrim Polsek Cengkareng, Nurhadi meninggal setelah ditembak karena berusaha melarikan diri.
6
Kompas, ”Pantat Tertembak Polhut, Kusrin Tewas”, 5 Nopember 2008
Keluarga melihat Nurhadi di Rumah Sakit dalam kondisi berlumuran lumpur, kepala penuh darah, kaki kanan patah, dan bekas lubang tembakan di paha kanan.
Padahal terdapat alibi kuat bahwa Nurhadi dan teman-temannya pada saat terjadi perampokan tidak berada di Tempat Kejadian Perkara TKP. Karena Nurhadi
sedang tidur di rumah, 3 temannya bermain bola, 1 temannya lagi sedang membantu orang tuanya mengangkut air.
7
Ketiga adalah kasus pengroyokan yang dilakukan oleh aparat kepolisian Medan terhadap Suherman yang diduga melakukan perampokan dengan
menggunakan senjata api. Juliana Tanjung Istri Korban menceritakan sebagai berikut:
“Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 11 April 2007sekitar pukul 04.00 WIB, sebanyak 30-an orang berpakaian polisi dan berpakaian preman
lengkap dengan senjata mendatangi rumah korban. Mendengar suara ribut- ribut Saya membuka pintu, tiba-tiba sejumlah polisi masuk ke dalam
rumah dan menangkap Suherman yang saat itu sedang tidur. Tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan, surat penggeledahan dan surat
penyitaan, polisi langsung memboyong Suherman dengan tangan diborgol dan kaki dirantai. Lalu polisi lainnya mengobrak abrik kamar korban
untuk mencari barang bukti. Tiba-tiba ada sepucuk senapan api senpi di atas brankas. Menurut Saya senpi itu sengaja diletakkan polisi, karena
suaminya tidak pernah memiliki senpi. Dalam penggeledahan di dalam kamar pasangan suami istri tersebut, polisi mengambil uang Rp.125 juta
dari brankas, Rp. 4 juta dari dompet Suherman, Rp. 5 juta uang belanja dari dompet Saya, bahkan 2 celengan plastik berbentuk binatang
berjumlah Rp. 5 juta serta perhiasan emas 500 gram ikut diambil polisi. Selain itu 4 unit sepeda motor, 1 unit mobil Toyota Avanza, 3 lembar
sertifikat tanah dan 1 lembar BPKB, ATM dan paspor ikut dibawa”. “Horeee…, kita berhasil, kita jadi kaya,” ucap Juli menirukan teriakan
sejumlah oknum polisi setelah berhasil mengambil uang dan perhiasan keluarga Suherman. Setelah petugas menggeledah dan menyita harta
benda dari rumahnya, ia bersama dua anaknya serta keluarganya yang lain
7
Tempo edisi 26 Februari-4 Maret 2007
mendatangi Poltabes MS sekitar pukul 06.00 WIB, dan langsung menjalani pemeriksaan oleh anggota polisi. Tidak lama kemudian ia
mendapat kabar bahwa suaminya telah meninggal dunia dengan luka tembak di bagian dada, bagian pusar, pangkal paha. Sekira pukul 18.00
WIB usai menjalani pemeriksaan, ia bersama keluarga mendatangi RS Bhayangkara Medan dan melihat jenasah suaminya dengan luka 5
tembakan di tubuh. Mengetahui kedatangan mereka di RS Bhayangkara Medan, salah seorang
petugas kepolisian memberikan amplop berisi uang Rp 500.000 kepadanya dan mengatakan uang itu sebagai uang belasungkawa pihak
kepolisian, karena pihak kepolisian telah menghabisi nyawa suaminya Suherman. Pukul 20.30 WIB jasad alm Suherman mereka kebumikan di
pekuburan muslim Jalan Bersama Mandala By Pass Medan. Lebih lanjut Juliana mengatakan, tuduhan polisi menyebutkan suaminya
perampok bersenpi di Medan adalah tidak benar, karena sejak ia berumah tangga dengan suaminya, mereka sama-sama bekerja berdagang dan
kemudian suaminya membuka usaha jual beli sepeda motor serta meminjamkan uang kepada tetangga.
“Kalau benar suamiku perampok, mengapa saat ditangkap Poltabes MS beberapa waktu lalu dalam kasus perkelahian tidak diusut dan ditahan?
Kok malah ditangguhkan tapi seminggu kemudian suaminya dituduh sebagai perampok bersenpi dan ditembak mati tanpa lebih dahulu
diproses”, sesalnya.
8
Keempat kasus Tuan Marsudi yang ditangkap dengan cara ditodongkan
pistol. Marsudi Tri Wijaya 32 warga Jalan batang Kuis, Desa Rotan Dusun II Percut Seituan Sumatra Utara dijemput polisi pukul 05.00 WIB. Menurut Jaya,
abang korban, polisi memiting Marsudi dengan acungan pistol lalu memasukkannya ke dalam mobil. Rusmini 28, istri korban tidak diperkenankan
menyongsong suaminya saat digiring polisi. Jaya sendiri yang rumahnya berjarak beberapa meter dari rumah adiknya terbangun mendengar suara ribut-ribut.
Ketika keluar rumah, adiknya sudah dibawa, yang tinggal beberapa orang polisi
8
http:hariansib.com?p=5097 , Suara Indonesia Bersatu, “LBH Medan Surati Kapolri
Sampaikan Permohonan: Mabes Polri Diminta Ambil Alih”, 27 Juni 2007
yang menggerebek isi rumah. Penjemputan Marsudi tersebut kata Jaya tanpa surat penangkapan resmi. Warga setempat yang menanyakan kejadian tersebut dihardik
polisi untuk tidak ikut campur. Sampai Marsudi tewas ditembak, polisi tidak memberitahukan kepada pihak keluarga, mereka tahu setelah menonton tayangan
televisi lokal. Ironisnya, empat hari kemudian setelah Marsudi dimakamkan, barulah surat penangkapan dikirim polisi, itupun melalui kepala Desa lalu
diantarkan Kepling ke rumah korban. Saat mengurus otopsi jenazah, Jaya seperti “dipimpong” pihak Poltabes. Jaya juga nyaris terjebak saat mengurus, pada salah
satu poin disebutkan keluarga tidak keberatan kalau jenazah tidak diotopsi. “Untung saja saya membacanya, lalu saya menulis kembali surat permohonan
otopsi dengan tulis tangan,” ucap Jaya.
9
Sebenarnya, kekuasaan untuk menggunakan kekuatan yang diberikan kepada para polisi dibatasi oleh hukum dan standar HAM Internasional yang
relevan, yang dasarnya adalah hak untuk hidup. Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik ICCPR yang menetapkan bahwa ”Pada setiap insan manusia melekat hak
untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang manusia pun bisa dirampas kehidupannya secara sewenang-wenang”. Pada pasal 4 ICCPR,
negara-negara tidak bisa memperlunak kewajiban mereka menuntut ketetapan ini, sekalipun ”dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa.”
Dan bahwa hak untuk hidup ditetapkan dalam perundang-undangan nasional.
10
9
Ibid
10
Misalnya dalam Pasal 4, 9, 33 ayat 2 dan Pasal 35 UU No. 391999 Tentang HAM
B. Tahap Pemeriksaan