Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usaha Kecil Menengah UKM memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia baik ditinjau dari segi jumlah usaha maupun dalam penciptaan lapangan kerja. UKM juga memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan ekspor. Hanya saja potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal ANTARA News, 2007. Era perdagangan bebas, di mana siklus produk relatif pendek dan sangat ditentukan oleh selera konsumen, mengharuskan setiap pelaku bisnis memiliki akses yang cukup terhadap pasar dan kemampuan inovasi produk, guna meningkatkan daya saingnya. Hal ini merupakan titik lemah yang dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah pada umumnya. Krisis ekonomi memberi pelajaran berharga tentang kekuatan bangunan struktur usaha Indonesia. Usaha besar yang melalui strategi industri substitusi impor pada periode 1970-1985 dan dilanjutkan strategi industri promosi ekspor mulai 1985 diharapkan memberikan efek yang berarti ternyata hanya melahirkan bangunan stuktur industri yang rapuh dan timpang. Usaha besar yang jumlahnya sedikit namun menguasai lebih dari 70 total asset usaha di Indonesia. Sementara usaha kecil dengan jumlah yang sangat besar tidak mengalami imbas dari penguasaan asset dan perkembangan yang dialami usaha besar. Namun ketika krisis menghantam perekonomian Indonesia, terbukti usaha besar yang lebih rapuh daya tahannya terhadap krisis.Keberadaan usaha menengah sebagai salah satu pilar UKM yang harusnya sudah lebih mandiri dan menjadi pendorong skala 1 Universitas Sumatera Utara usaha di bawahnya menjadi dilupakan. Akibatnya usaha menengah juga menjadi sosok yang terbiasa dengan proteksi, captive market dan menginginkan berbagai fasilitas yang disertai dengan manajemen yang tradisional membuatnya sulit berkembang. Fenomena struktur usaha yang timpang di mana usaha menengah secara kuantitas tidak bisa menjadi penyangga struktur industri menunjukkan tidak berkembangnya usaha menengah. Pengembangan UKM berada pada dua pola berpikir yang berkembang. Pertama, UKM ditempatkan sebagai unit usaha yang perlu mendapat dukungan melalui proteksi khususnya terhadap persaingan dan dukungan melalui pola “bapak angkat”. Pola ini menghasilkan kebijakan yang bersifat “government and protection policy”. UKM menjadi tidak cukup mampu untuk bersaing bahkan untuk skala menengah sekalipun, lemah dalam melakukan inovasi dan kurang mampu melakukan penetrasi pasar yang lebih luas. Pemikiran kedua menempatkan posisi dan pengembangan UKM sebagaimana unit usaha bisnis yang harus tumbuh dalam lingkungan persaingan. UKM tidak perlu diberikan proteksi dan bantuan yang berlebihan dan bahkan dirasakan akan sangat berkembang dalam iklim persaingan ekonomi pasar yang sehat dengan intervensi yang seminimal mungkin. Pola pemikiran kedua ini tidak mengarahkan pada pola do nothing policy tapi lebih cenderung kepada pemikiran market driven policy. Kemampuan UKM untuk bertahan dalam kondisi krisis terjadi karena dua faktor utama. Pertama, kandungan lokal yang tinggi pada input produksinya. Local content yang tinggi tidak semata-mata menghindarkan keterpurukan akibat depresiasi rupiah yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi pada usaha Universitas Sumatera Utara yang banyak menggunakan input impor. Keunggulan faktor pertama ini juga dapat diteruskan untuk menghasilkan untuk menghasilkan komoditas dengan keunikan dan kekhasan tertentu yang menjadi nilai lebih produk untuk membuatnya memiliki daya saing lebih dipasar. Suatu produk akan memiliki nilai lebih dan daya saing dipasar ketika produk yang dihasilkan dapat menjadi yang terbaik to be number one di kelasnya atau menjadi satu-satunya to be the only one. Kemampuan melakukan inovasi yang lemah dan merasa cukup puas dengan apa yang sudah didapat menjadi faktor yang membuat kemampuan untuk bersaing daya produk yang dihasilkan tidak cukup kuat.Inovasi merupakan kunci utama yang seringkali menjadikan suatu pihak memiliki keunggulan kompetitif. Inovasi tidak hanya dibutuhkan dalam level bisnis saja, melainkan hingga level negara.Inovasi kini mempunyai peran yang begitu penting karena merupakan sumber dalam menggapai competitive advantage. Tanpa kehadiran inovasi, maka negara bisa kalah bersaing secara global. Faktor kedua adalah kemampuan fleksibilitas UKM dalam merespon fluktuasi permintaan pasar yang bersumber dari keunggulan skala ekonomi untuk melakukan penyesuaian pemanfaatan kapasitas produksi dengan cepat. Perubahan permintaan yang terjadi dengan cepat dipasar pada saat krisis mampu direspon oleh UKM tanpa terjadinya inefisiensi yanhg begitu besar. Studi CESS dan The Asia Foundation 2002 terhadap industri skala menengah dan besar menunjukkan bahwa semakin kecil skala usaha, semakin kecil dampak penurunan output yan terjadi akibat krisis. Fleksibilitas dalam melakukan penyesuaian kapasitas Universitas Sumatera Utara produksi menjadi faktor yang mendukung kecilnya dampak penurunan output pada usaha skala kecil dan menengah. Bisnis ritel sebagai bagian dari UKM merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia merupakan salah satu usaha yang memiliki prospek cukup baik. Terutama jika mengamati jumlah populasi penduduk Indonesia pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai kurang lebih 220 juta jiwa. Alhasil, rasio keberadaan ritel khusunya ritel modern apabila dibandingkan dengan total penduduk Indonesia masih menunjukkan kesenjangan yang cukup besar satu ritel masih harus melayani 500.000 jiwa. Keberadaan ritel-ritel tradisional memang masih cukup diperlukan dalam konteks melayani segmen ekonomi bawah. Pergeseran pola perilaku belanja pelanggan yang terdeteksi dari sejumlah studi yang dilakukan menunjukkan bahwa aktivitas belanja pelanggan tidak hanya dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang keperluan hidup, namun lebih mengarah pada terpenuhinya kebutuhan untuk berekreasi dan berelasi. Kondisi inilah yang mendorong bisnis ritel tardisional mulai harus peka menanggapi kebutuhan pelanggan yang belum terpenuhi un met need jika mereka ingin tetap bertahan hidup dalam lingkungan persaingan bisnis ritel yang semakin tajam. Pengelolaan ritel modern skala besar dan kecil membutuhkan kesiapan pengelola dalam arti Sumber Daya Manusia SDM yang memiliki pengetahuan, ketrampilan baik soft maupun hard skill dalam hal manajerial ritel modern dan sekaligus kepekaan dalam melihat peluang agar dapat memiliki kompetensi untuk bertahan dalam bisnis ritel continous competitive advantage. Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia menempati urutan kedua se-Asia Pasifik, dengan angka pertumbuhan 14-15 per tahun. Hanya di bawah India Universitas Sumatera Utara yang ritelnya tumbuh 21-22, tetapi masih lebih tinggi dari Cina yang bisnis ritelnya tumbuh 11. India merupakan negara berkembang yang bagus dalam berinovasi dan India terpilih menjadi negara terbaik kedua yang punya kondisi terbaik untuk inovasi. Perkembangan bisnis ritel di Indonesia hingga akhir 2008 berkembang sangat pesat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia : 2009. Hampir di setiap jalan bermunculan pasar, swalayan, hypermarket, yang rata-rata selalu dipadati pengunjung. Belum lagi di perumahan-perumahan, makin banyak lagi nama baru untuk mini market yang tersembul diantara rumah-rumah yang seragam. Sumber dari aprindo menyebutkan bahwa setiap bulan dana masyarakat Indonesia yang dibelanjakan kebutuhan harian tak kurang Rp 5 trilliun, membuktikan masyarakat Indonesia sangat konsumtif dan surga masa depan bisnis ritel. Distro distibution outlet adalah sebagai salah satu jenis usaha ritel yang memberikan bukti nyata.Menurut Creative Independent Clothing Community 2009 menyatakan jumlah distro distribution outlet di Indonesia akan bertahan di angka 1.000 gerai dengan omzet Rp 40 miliar per bulan hingga akhir 2008. Ekspor produk kreatif distro Indonesia sudah sampai ke Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Filipina, Thailand, AS, Hongaria, Finlandia dan Belanda dengan perkiraan omzet 3 dari penjualan distro sekitar Rp 1,2 miliar Distro Kontjo berdiri pada tahun 1997,merupakan salah satu industri ritel yang pertama di medan yang mengakomodasi trend anak muda Sumatera utara,Kota Medan Khususnya sebagai pangsa pasar dan dapat berdiri hingga sekarang ini dengan memiliki 7 gerai distribusi dengan mengusung merekbrand kontjo.Distro ini digalang oleh sejumlah anak-anak muda yang memiliki ide yang Universitas Sumatera Utara sama,yaitu memiliki outlet fashion dengan mengangkat brand sendiri dengan maksud mengambil pangsa pasar yang selama ini dikuasai oleh pabrikan Bandung, dengan menghadirkan hingga 60-an varian produk seperti pakaian,merchandise, pernak-pernik, kerajinan tangan handicraft, assesoris pria dan wanita, topi, ikat pinggang, sepatu.stiker, pembungkus kado, kotak kado, kemasan rokok, dll, yang terorientasi untuk memenuhi kebutuhan trend anak muda. Berdasarkan latar belakang diatas,penulis tertarik untuk memilih judul Pengaruh Strategi Inovasi terhadap keputusan pembelian ulang pada bisnis ritel distro Kontjo Brothers.

B. Perumusan Masalah