Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang

2. Perlindungan Khusus Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social sipil, biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas transportasi, bangunan-bangunan khusus, maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati respected dan dilindung protected. ‘Dihormati’ berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu sengketa bersenjata; sedangkan pengertian ‘dilindungi’ adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer. 20

D. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang

Berbeda dari ketiga Konvensi Jenewa Tahun 1949, Konvensi mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan daripada Konvensi-Konvensi yang telah ada, melainkan adalah suatu Konvensi 20 Ibid, hal. 176-177. Universitas Sumatera Utara yang sama sekali baru. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan hak- hak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis. Ketentuan-ketentuan inilah yang berlaku ketika Perang Dunia II terjadi, disamping azas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil yang tak bersenjata, sebagai orang yang berdiri diluar perang. Pengalaman selama Perang Dunia II ini, baik di Eropa maupun di Asia menunujukkan betapa kurang sempurnanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas bagi perlindungan penduduk sipil terhadap tindakan sewenang-sewenang dari pihak lawan. Kenyataan bahwa perang modern merupakan perang yang total, mengakibatkan bahwa perlindungan yang diberikan oleh hukum perang tradisionil secara negatif dengan menempatkannya diluar perang jelas tidak memadai lagi. Kenyataan perang modern menunjukkan bahwa penduduk sipil tidak bisa lagi dianggap berdiri diluar perang. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif dari netralisasi dari perbuatan musuh yang hanya menghindarkan mereka dari serangan yang langsung. Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan Den Haag tersebut di atas. Akan tetapi ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap, karena hanya mengatur perlindungan penduduk dipil di wilayah yang diduduki. Peraturan Den Haag tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan dan perlindungan hak penduduk sipil musuh di wilayah pihak dalam pertikaian sendiri, dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan penduduk sipil yang diinternir. Universitas Sumatera Utara Sebagai tindakan darurat maka dalam Perang Dunia II, atas usul Komite Internasional Palang Merah, interniran sipil di wilayah pihak yang berperang diperlakukan sesuai dengan ketentuan –ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1929 mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang sayang sekali tidak diperluas pada perlakuan terhadap interniran sipil di wilayah yang diduduki. Kekurangan- kekurangan dalam ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil di waktu perang ini telah menimbulkan banyak korban dan penderitaan, terutama sebagai akibat deportasi, penyanderaan dan penahanan di kamp-kamp konsentrasi. Konvensi ini yang disusun berdasarkan pengalaman yang menyedihkan itu bertujuan untuk menghindarkan berulangnya bencana tersebut di atas. Kenyataan bahwa Konvensi ini untuk sebagian mengatur hal yang sama dengan apa yang telah diatur oleh Peraturan Den Haag, bahkan mengandung ketentuan yang bersamaan, tidak berarti bahwa Konvensi ini menggantikan ketentuan- ketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam Peraturan Den Haag. Ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu Perang merupakan tambahan dan penyempurnaan daripada Seksi II dan III Peraturan Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan Peperangan di Darat. 21 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara khusus mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan. Banyak ketentuan pasalnya berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap 21 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal. 75-76. Universitas Sumatera Utara penduduk sipil yang berada di wilayah Penguasa Pendudukan, daripada pasal- pasal yang mengatur tentang aturan berperang. Konvensi ini menjawab tantangan timbulnya suatu trauma akibat pemboman yang dilakukan melalui udara terjadi pada 1939 dan 1945, yang merupakan realitas buruk yang harus diterima akibat dibomnya kota berpenduduk padat. Hal ini mungkin merupakan suatu konsekuensi dari kegagalan Draft Rules on Air Warfare yang dirancang di Den Haag pada Tahun 1923. Penolakan terhadap Draft ini dan meletusnya Perang Dunia II, menggambarkan bahwa negara-negara belum siap menerima larangan untuk menyerang dan menteror penduduk sipil musuh. Oleh karena itu, menurut Konvensi Jenewa, orang-orang sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan ketika peperangan sedang berlangsung. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam pasal 18 Konvensi Jenewa I dan pasal 19 Konvensi Jenewa IV yang mengatur tentang perlindungan terhadap petugas sipil medis dan rohaniawan, dan perlindungan umum untuk melaksanakan tugas-tugas medis. Walaupun negara-negara secara umum mengakui bahwa suatu serangan harus hanya ditujukan kepada sasaran militer, namun tidak ada defenisi yang dapat disetujui mengenai apa saja yang termasuk dalam sasaran-sasaran militer. Kenyataannya, selama Perang Dunia II dan selama sengketa-sengketa bersenjata yang terjadi setelah itu, setiap belligerent menentukan sendiri apa yang harus disetujui tentang sasaran-sasaran militer. Harus dicatat bahwa gagasan negara- negara seringkali berbeda, tergantung dari sudut pandang mana mereka melihatnya. Misalnya, ada negara yang menyatakan suatu sasaran militer Universitas Sumatera Utara tergantung dari apakah suatu daerah itu wilayah mereka atau wilayah musuh, atau merupakan wilayah sekutu yang diduduki pihak musuh. Oleh karena itu, suatu defenisi yang bersifat restriktif diperlukan apabila hendak membedakan kombatan dan penduduk sipil serta sasaran militer dan obyek sipil. Namun, defenisi demikian belum terakomodasi dalam Konvensi Jenewa 1949. 22 Di dalam Konvensi Jenewa IV pengertian orang-orang yang dilindungi adalah lain sekali dengan pengertian orang-orang yang dilindungi dalam arti ketiga Konvensi Jenewa lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir daripada pasal 4 yang mengatakan bahwa orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa ke-I, II, dan III tidak dapat dipandang sebagai orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV. Dengan perkataan lain, unsur pokok daripada pengertian orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah bahwa ia itu adalah penduduk sipil. Jika demikian, apakah seluruh penduduk sipil suatu negara itu merupakan orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV ? Pasal 4 yang mengatur soal ini memuat batasan defenisi sebagai berikut : “Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu Pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka. Warga negara suatu Negara yang tidak terikat oleh Konvensi tidak dilindungi oleh Konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah 22 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Op.Cit., hal. 202-203. Universitas Sumatera Utara yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara dalam tangan mana mereka berada Akan tetapi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13, ketentuan-ketentuan Bagian II mempunyai lingkungan berlaku yang lebih luas. Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota-anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang tanggal 12 Agustus 1949, tidak akan dipandang sebagai orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi ini.” Secara mudah dapatlah dikatakan bahwa orang-orang yang dilindungi menurut pasal 4 adalah penduduk sipil negara dalam pertikaian yang telah jatuh kedalam kekuasaan musuh, atau apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai mereka, orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah penduduk sipil musuh. Karena selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya, dapat juga orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV itu dirumuskan sebagai : 1. Warganegara sipil musuh di wilayah negara pihak dalam pertikaian. 2. Penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki terkecuali: Universitas Sumatera Utara a. Warganegara negara pendudukan sendiri. b. Warganegara negara sekutu. c. Warganegara negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik dengan negara pendudukan. d. Warganegara negara bukan peserta konvensi. Pengertian yang tepat tentang apa yang diartikan dengan orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV perlu kita miliki karena untuk mereka itulah Konvensi ini telah disusun. Seluruh Konvensi Jenewa IV didasarkan atas pengertian orang-orang yang dilindungi tersebut di atas, kecuali sebagian kecil yaitu Bagian II pasal 13 sampai dengan 26 yang berlaku untuk seluruh penduduk wilayah yang dikuasai Pihak dalam pertikaian. Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan di atas yang diberikan Konvensi kepada orang-orang yang dilindungi tersebut diatur dalam pasal 5. Pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam pertikaian atau wilayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan keamanan Negara, kehilangan hak-haknya sebagai orang yang dilindungi dibawah Konvensi ini. Termasuk di dalamnya orang-orang yang melakukan atau dicurigai melakukan pekerjaan mata-mata dan sabotase. Walaupun demikian, mereka tetap harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan apabila diadili, mereka berhak memperoleh jaminan-jaminan peradilan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini. Karena hilangnya hak-hak sebagai orang-orang yang dilindungi merupakan sanksi yang berat, apalagi bagi orang yang hanya dicurugai keras, maka kalimat terakhir pasal Universitas Sumatera Utara 5 menetapkan, bahwa mereka secepat-cepatnya akan diberi kembali hak-hak dibawah Konvensi ini apabila hal itu tidak bertentangan dengan keselamatan Negara atau Kekuasaan Pendudukan. Ketentuan di atas yang telah dimuat untuk menjaga kepentingan militer pihak-pihak dalam pertikaian, dapat dipahamkan karena tanpa pembatasan demikian hak-hak dan perlakuan istimewa, mudah disalahgunakan untuk tujuan- tujuan yang bertentangan dengan kepentingan militer pihak lawan. Akibat daripada perang modern yang bersifat total adalah bahwa tidak saja perlindungan yang diberikan hukum perang harus diluaskan pada penduduk sipil, tetapi juga bahwa kepada pihak-pihak dalam pertikaian harus diberikan jaminan yang lebih banyak bahwa perlindungan demikian tidak akan disalahgunakan. 23 23 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 76-78. Universitas Sumatera Utara

BAB III NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM