BAB IV KEBERADAAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP
NEGARA- NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
A. Pelaksanaan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Sumber Hukum Bagi Negara Yang Berperang
Seperti halnya konvensi-konvensi lain, Konvensi Jenewa juga memuat dua macam ketentuan, yaitu ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan lain
yang semata-mata mengatur pelaksanaan. Ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tadi memuat prinsip-prinsip fundamental.
Konvensi Jenewa 1949 terdiri dari empat konvensi, yaitu: 1. konvensi mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan
sakit di medan pertempuran darat; 2. konvensi mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang
luka, sakit dan korban karam; 3. konvensi mengenai perlakuan tawanan perang;
4. konvensi mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. Di dalam konvensi-konvensi tersebut ketentuan-ketentuan yang bersifat
umum dan memuat prinsip fundamental tersebut dirumuskan sama, atau dengan modifikasi sedikit. Ketentuan-ketentuan inilah yang disebut Ketentuan-ketentuan
yang bersamaan articles common to all four Conventions; common articles.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan-ketentuan ini biasanya ditempatkan pada permulaan atau pada akhir setiap konvensi.
Ketentuan-ketentuan yang bersamaan ini dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu:
1. Ketentuan umum general provisions; 2. Ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan;
3. Ketentuan pelaksanaan dan ketentuan penutup. Kita hanya dapat memahami Konvensi Jenewa IV dengan baik apabila
kita benar-benar memahami ketentuan-ketentuan yang bersamaan. Di bawah ini akan dibahas Pasal-Pasal terpenting dari masing-masing golongan.
1. Ketentuan-ketentuan Umum. Ketentuan-ketentuan umum ini mencakup Pasal 1, 2, 3, 6 sd 11 dari
Konvensi I. Yang akan dibahas ialah Pasal 1,2,3,8. Pasal 1 berbunyi sebagai berikut.
Pihak-pihak Peserta Agung berjanji untuk menghormati dan menjamin penghormatan konvensi ini dalam segala keadaan.
Ketentuan ini lebih tegas dan kuat apabila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi 1929. Di dalam Konvensi 1929, ketentuan tersebut
dicantumkan dalam Pasal 25. Penempatan ketentuan ini dalam Pasal 1 menunjukkan betapa pentingnya arti ketentuan ini menurut para peserta
konfrensi. Selanjutnya ditegaskan bahwa para Pihak Peserta Agung tidak hanya berjanji untuk menghormatinya, tetapi juga akan menjamin penghormatan
konvensi. Ini berarti bahwa negara tidak cukup hanya memerintahkan kepada
Universitas Sumatera Utara
para petugas militer atau sipil untuk mentaati konvensi saja, tetapi pemerintah harus mengawasi bahwa perintahnya itu benar-benar dilaksanakan. Dengan
demikian, tanggung jawab pihak peserta agung menjadi semakin berat. Apa yang dimaksud dengan dalam segala keadaan ? Menurut Prof.
Mochtar, yang dimaksud dengan ini ialah bahwa berlakunya ketentuan ini tidak boleh dipengaruhi oleh sifat dari pertikaian. Ketentuan tetap berlaku sekalipun
perang itu “adil atau tidak adil” , atau perang itu merupakan perang agresi. Ukurannya adalah ada tidaknya perang, pertikaian bersenjata atau pendudukan
dalam arti Pasal 2. Menurut Draper, kewajiban negara dalam hal ini bersifat unilateral, tidak
bersifat timbal-balik reciprocal. Selanjutnya dikatakan bahwa ketentuan tersebut lebih bersifat legislative dari contractual.
Pasal 2 berbunyi sebagai berikut. Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan melaksanakan
dalam waktu damai, maka konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin
timbul antara dua atau lebih pihak-pihak peserta agung, sekalipun keadaaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.
Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah pihak peserta agung, sekalipun
pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata. Meskipun salah satu dari negara-negara dalam pertikaian mungkin bukan
peserta konvensi ini, negara-negara yang menjadi peserta konvensi ini akan tetap
Universitas Sumatera Utara
sama terikat olehnya di dalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan negara bukan peserta apabila
negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan konvensi ini.
Di dalam Commentary dinyatakan bahwa pasal ini merupakan salah satu pasal terpenting dari konvensi, karena:
a. menjalankan kondisi-syarat yang harus dipenuhi agar konvensi ini berlaku; b. memperluas kondisi-syarat yang terdapat dalam konvensi sebelumnya.
Maksudnya ialah bahwa konvensi ini berlaku to all cases of declarated war of any armed conflict.
Paragraf 1 memuat suatu ketentuan yang baru. Ketentuan ini sangat berbeda dari ketentuan yang terdapat dalam Konvensi 1929. Tambahan kata-kata
setiap pertikaian bersenjata dan sekalipun keadaan perang tidak diakui sangat memperluas berlakunya Konvensi 1949.
Dengan adanya ketentuan ini, suatu negara yang melakukan suatu tindakan kekerasan terhadap negara lain tetap terlibat dalam suatu armed conflict,
sekalipun negara tersebut mengatakan bahwa ia melakukan suatu aksi polisional atau sedang melakukan pembelaan diri.
Dengan digunakannya istilah armed conflict, berlakunya konvensi ini tidak lagi tergantung dari adanya suatu perang yang memenuhi persyaratan
yuridis. Perlu juga ditegaskan bahwa adanya suatu konflik juga tidak ditentukan oleh lamanya atau banyaknya korban yang jatuh.
Universitas Sumatera Utara
Paragraf 2 hanya dapat dipahami betapa pentingnya apabila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi 1929. Hal yang penting untuk
diperhatikan disini ialah anak kalimat sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan. Mengapa tambahan ini penting ? Di dalam suatu
peperangan biasa terjadi bahwa setelah mengadakan perlawanan, pihak yang bertahan terpaksa mundur sehingga sebagian dari wilayah diduduki oleh pihak
lawan. Dalam hal demikian, ketentuan tentang perlindungan korban perang Konvensi 1949 akan berlaku. Akan tetapi, bagaimana apabila pendudukan
sebagian atau seluruh wilayah oleh pihak lawan itu terjadi tanpa adanya perlawanan apapun ? Menurut Konvensi Tahun 1929, yang berhak diperlukan
sebagai tawanan perang adalah kombat yang ditawan oleh musuh, atau semua orang yang termasuk Angkatan Bersenjata dari belligerent yang ditawan musuh
“in the course of operations”. Dengan demikian, apabila pendudukan itu tidak didahului dengan suatu pertempuranperlawanan, anggota-anggota angkatan
bersenjata yang tertawan musuh tidak mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Untuk mencegah kemungkinan seperti diuraikan di atas.
Konvensi Tahun 1949 dengan tegas memuat ketentuan bahwa konvensi-konvensi ini juga berlaku untuk segala peristiwa pendudukan, termasuk pendudukan yang
tidak menemui perlawanan. Paragraf 3 ini mempunyai arti yang penting karena memuat ketentuan
yang menanggalkan klausul “si omnes”. Klausul ini tercantum dalam Konvensi Den Haag 1907 mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat. Klausul si
omnes ini menentukan bahwa ketentuan-ketentuan konvensi hanya berlaku
Universitas Sumatera Utara
apabila semua pihak dalam pertikaian menjadi peserta konvensi. Sebagai contoh dapat dikemukakan apa yang terjadi pada waktu Perang Dunia I. Pada waktu itu
yang berlaku adalah Konvensi 1907 tersebut di atas. Akan tetapi, karena salah satu pihak dalam pertikaian dalam hal ini Montenegro tidak merupakan peserta
konvensi, maka berdasarkan klausul tersebut Konvensi Tahun 1907 secara yuridis tidak mengikat pihak-pihak dalam pertikaian yang telah menandatangani
konvensi ini. Akan tetapi, ternyata bahwa dalam Perang Dunia I itu semua telah menandatangani Konvensi Tahun 1907 mematuhi dan melaksanakan konvensi
tersebut, sekalipun secara yuridis mereka tidak terikat. Kalimat kedua memberi kemungkinan bagi suatu pihak dalam
persengketaan yang belum menjadi peserta dari Konvensi Jenewa untuk menerima ketentuan-ketentuan konvensi dengan jalan menyatakan menerima
ketentuan konvensi dan mematuhi serta melaksanakannya. Pasal 3 berbunyi sebagai berikut.
Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak peserta agung, tiap pihak dalam
pertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut:
1 Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata mereka
yang tidak lagi turut serta hors de combat karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus
diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun
Universitas Sumatera Utara
juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap criteria lainnya serupa itu.
Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan ditempat
manapun juga: a tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan,
pengurungan, perlakuan dan penganiayaan; b penyanderaan;
c perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
d menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang
memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bagsa-bangsa yang beradab.
2 Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tak berpihak, seperti Komite Palang Merah
Internasional, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian.
Pihak-pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan khusus, semua atau sebagaimana dari
ketentuan lainnya dari konvensi ini.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian.
Pasal 3 ini mengatur pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Ini untuk pertama kalinya suatu konvensi mengatur pertikaian
semacam itu. Pada umumnya hukum perang tradisional sebagaimana diatur dalam Hague Regulations 1907 atau dalam Konvensi Jenewa Tahun 1929
mengenai yang luka dan sakit serta mengenai perlakuan tawanan perang tidak memuat ketentuan yang berhubungan dengan perang saudara atau
pemberontakan. Di dalam pasal ini terdapat kata-kata tiap pihak each party. Hal ini
merupakan suatu kemajuan dalam Hukum Internasional karena sebelumnya tidaklah mungkin bahwa suatu konvensi internasional mengikat suatu
nonsignatory party. Apalagi dalam hal ini pihak tersebut belum ada not yet existence dan pula pihak itu tidak diharuskan mewakili a legal entity capable of
undertaking international obligations. Jadi tiap pihak diharuskan menerapkan Pasal 3.
Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa kewajiban obligation ini bersifat mutlak bagi tiap pihak dan tidak tergantung dari kewajiban dari pihak yang lain.
Dengan kata lain, disini tidak berlaku asas reciprocitas. Dalam kasus semacam ini pihak pemberontak dapat melaksanakan Pasal 3, atau dapat menolak untuk
berbuat demikian. Apabila pemberontak melaksanakannya, hal ini akan menguntungkan para korban dari konflik dan tidak akan ada yang mengajukan
protes. Sebaliknya, apabila pemberontak tidak melaksanakannya, mereka sendiri
Universitas Sumatera Utara
yang akan rugi karena mereka yang mengatakan bahwa tindakan pemberontak hanya merupakan anarki, ternyata memang benar.
Pasal 3 ini sering juga disebut Konvensi Kecil Convention in miniature karena memutar semua pokok utama daripada perlakuan korban perang menurut
Konvensi 1949. Ketentuan ini tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk
mengadakan tindakan-tindakan terhadap para pemberontak, hanya saja Pasal 3 mengharuskan kepada pihak penandatangan untuk memperlakukan korban
pertikaian bersenjata menurut asas perikemanusiaan, sekurang-kurangnya seperti yang terperinci dalam ayat 1 pasal ini. Perlu ditegaskan bahwa apabila terjadi
pertikaian dalam negeri, maka tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, tetapi yang berlaku hanya ayat 1 saja. Supaya bagian lain dari konvensi dapat
berlaku, diperlukan persetujuan khusus. Ketentuan tersebut menghilangkan kekhawatiran bahwa penerapan
konvensi ini dalam suatu perang saudara dapat mencampuri hak pemerintah de jure untuk memberantas pemberontakan. Paragraf 4 semata-mata ditujukan untuk
keperluan perikemanusiaan, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah dalam negeri negara-negara. Di dalam Commentary ditegaskan bahwa
pelaksanaan Pasal 3 tidak berarti bahwa pemerintah de jure mengakui pihak lawan mempunyai kekuasaan authority tertentu, tidak pula berarti bahwa hak
pemerintah untuk memberantas pemberontak dibatasi. Dengan demikian, pemerintah tetap berhak untuk memadamkan pemberontakan itu dengan
menggunakan kekuatan bersenjata.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 9 Konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerjasama serta dibawah
pengawasan dari negara-negara pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan pihak-pihak dalam pertikaian. Untuk maksud ini negara-negara
pelindung boleh mengangkat disamping staf diplomatik dan konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari antara warganegara mereka atau warganegara-
warganegara netral lainnya. Utusan tersebut harus mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan kewajiban mereka.
Pihak-pihak dalam pertikaian akan memudahkan sejauh mungkin pelaksanaan tugas-tugas para wakil dan utusan negara-negara pelindung.
Para wakil atau utusan negara-negara pelindung bagaimanapun juga tidak boleh melampaui tugas mereka dibawah konvensi ini. Mereka terutama harus
memperhatikan kepentingan keamanan yang sangat mendesak daripada negara dimana mereka melaksanakan kewajiban mereka. Pembatasan-pembatasan
terhadap kegiatan mereka hanya boleh diadakan sebagai suatu tindakan perkecualian dan sementara apabila hal ini ternyata perlu karena adanya
kepentingan militer yang sangat mendesak. Pasal ini mengatur kedudukan dan tugas negara pelindung. Lembaga
hukum negara pelindung ini bukanlah suatu yang baru. Ketentuan mengenai negara pelindung sudah terdapat dalam konvensi mengenai perlakuan terhadap
tawanan perang Tahun 1929, Pasal 86. Apabila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Tahun 1929, terdapat perbedaan-perbedaan berikut
ini.
Universitas Sumatera Utara
a. Kedudukan negara pelindung dalam Konvensi 1949 lebih kuat. Pelaksanaan Konvensi 1949 harus dengan kerjasama dan dibawah pengawasan negara
pelindung, sedangkan dalam Konvensi 1929 kerjasama ini bersifat fakultatif. b. Lembaga negara pelindung sekarang meliputi keempat konvensi 1949 dan
tidak lagi dibatasi pada konvensi mengenai tawana perang saja. c. Tugas untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap pelaksanaan
ketentuan Konvensi 1949 jauh lebih luas daripada tugas negara pelindung tersebut dalam Pasal 86 Konvensi Tawanan Perang Tahun 1929.
Pasal 10 sangat erat hubungannya dengan Pasal 9. Pasal 10 mengatur pengganti-pengganti bagi negara pelindung apabila:
a. tidak ada negara netral yang bersedia menjadi negara pelindung; b. negara pelindung yang ada tidak bersedia lagi menjalankan tugasnya;
c. negara pelindung tidak dapat lagi bertindak karena terlibat sendiri dalam perang.
Dalam hal yang demikian, sebagai penggantinya dapat ditunjuk “suatu organisasi yang memberi segala jaminan tentang sifat tak berpihak dan
kesanggupan kerjanya”. Harus ditegaskan disini bahwa organisasi yang ditunjuk itu harus mendapat persetujuan dari pihak bertikai yang lain.
38
38
KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 53-67.
Universitas Sumatera Utara
B. Bentuk Pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Oleh Negara- Negara Yang Berperang