BAB III NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL SERTA PERAN KOMITE PALANG MERAH INTERNASIONAL
INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS
A. Pengertian Negara-Negara Yang Sedang Berperang Menurut Hukum Internasional
Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema
utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara dua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a
respite between wars menunjukkan, situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interkasi manusia. Hasil penelitian Zeev Maoz yang dikutip Holsti,
menunjukkan bahwa sejak Kongres Viena 1815 hingga Tahun 1976, telah terjadi 827 macam konflik; 210 di antaranya terjadi di abad ke-19, dan sisanya 617
terjadi di abad ke-20. Dalam buku edisi sebelumnya, Holsti mengutip data Quincy Wright yang mengidentifikasi perang di negara-negara Barat sejak 1480
hingga 1490 sebanyak 278 peristiwa. Dari kedua data ini, Wright dan Maoz mempunyai kesimpulan yang sama, yaitu bahwa periode paling damai terjadi
pada masa setelah Perang Napoleon sampai dengan Perang Dunia I. Lebih lanjut, Maoz menyimpulkan periode paling tinggi tingkat konfliknya terjadi setelah
Perang Dunia II.
Universitas Sumatera Utara
Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antarmanusia. Dalam Hukum Internasional, perang secara tradisional adalah
penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan
saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan. Dalam arti yang luas, perang
menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan terror.
24
Dalam pengertian umum, perang yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan
angkatan bersenjata mereka, tujuan akhir dari setiap kontestan atau masing- masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan atau kontestan-
kontestan lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya.
25
Selanjutnya perang juga ada yang termasuk ke dalam perang tradisional, bahwasanya perang sebagai salah satu bentuk dari konflik bersenjata ini adalah
sangat luas skopenya, dapat bersifat nasional sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 Konvensi IV Jenewa 1949 dan bersifat internasional sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 2 Konvensi Jenewa IV 1949. Perang saudara yang juga disebut dengan pemberontakan merupakan konflik bersenjata yang sifatnya
adalah nasional, tetapi bilamana pihak pemberontak telah memperoleh status sebagai pihak yang berperang atau status Belligerent, maka hubungan antara
pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur selanjutnya oleh Hukum Internasional mengenai perang dan netralitas; karena dengan demikian sifat intern
24
Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaiter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 1-3.
25
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
suatu pemberontakan telah berubah menjadi konflik yang bersifat internasional. Demikian juga halnya pemberontakan tersebut mengakibatkan intervensi pihak
asing, maka sifat konflik bersenjata tadi berubah dari nasional menjadi internasional. Hal itu dikarenakan pihak asing yang bersangkutan berhadapan
langsung dengan pemerintah de jure, yang timbul karena intervensinya dan pemerintahan de jure ini mengadakan penyelesaian sengketa tersebut secara
internasional. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka negara yang mengadakan intervensi menentukan syarat-syarat atau cara yang dikehendakinya
untuk menyelesaikan konflik bersenjata tersebut. Intervensi yang sifatnya memaksa ini dilakukan dengan maksud untuk
mengadakan tekanan kepada salah satu pihak ataupun kepada kedua belah pihak dalam pertikaian tersebut, dan karenanya membuat pihak ketiga ini menjadi pihak
terlibat dalam pertikaian tersebut. Misalnya intervensi dapat terjadi bilamana dua negara dalam pertikaian telah memutuskan untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat dengan berperang, akan tetapi negara ketiga meminta kepada mereka dengan tekanan, untuk menyelesaikan perselisihan mereka dengan jalan arbitrase.
Intervensi dalam bentuk ikut campur tangan secara paksaan itu, juga dapat terjadi, bilamana suatu negara mengadakan usaha yang ditujukan untuk memaksa negara-
negara dalam pertikaian menyelesaikan perselisihan mereka secara bersahabat, dengan memberikan kepada negara-negara yang sedang bertikai antara lain
berupa jasa-jasa baik Good Offices atau dalam bentuk perantaraan Mediation. Dalam Piagam PBB juga tercantum pengaturan tentang intervensi dibawa
Bab VIII, yang menyatakan; bahwa Dewan Keamanan akan menentukan apakah
Universitas Sumatera Utara
terjadi suatu ancaman terhadap perdamaian, adanya gangguan perdamaian, atau terjadi agresi dan akan memberikan anjuran-anjuran, atau menentukan tindakan
apa yang akan dilakukan, untuk mempertahankan atau pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Mengenai waktu dilakukannya intervensi dapat
dikatakan, bahwa intervensi dalam perselisihan antara dua negara dapat terjadi pada setiap saat, sejak saat perselisihan timbul hingga waktu perselisihan itu
dapat diselesaikan. Pada umumnya konflik bersenjata internasional terjadi, bilamana konflik bersenjata tersebut dapat membahayakan dan mengancam
perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian perang merupakan suatu tindakan yang legal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan pertikaian
antar negara. Oleh karena itu negara-negara yang berperang menurut hukum
internasional adalah negara-negara yang sedang mengalami perang atau sedang berkonflik yang sedang mengalami kondisi tertinggi dari bentuk konflik
antarmanusia yang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukkan, pendudukan bahkan terror.
Negara yang berperang tersebut bisa terjadi antara dua pihak dan bisa juga lebih yang melibatkan angkatan bersenjata mereka
Kemudian perlu pula dikemukakan disini mengenai suatu perang yang ilegal, yaitu suatu perang yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang
telah diterima oleh suatu negara, maka perang yang ilegal itu menyebabkan kepada negara yang bersalah tidak diberikan perlindungan dari hukum perang
sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Hukum Internasional. Walaupun
Universitas Sumatera Utara
demikian, terlepas dari masalah sah atau tidaknya, ketentuan-ketentuan yang menyangkut dasar-dasar perikemanusiaan harus diindahkan oleh para pihak yang
terlibat dalam konflik bersenjata tersebut. Selama perang semua pihak belligerent diwajibkan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum perang sebagaimana yang
telah diterima oleh umum, dan berhak menuntut dilaksanakannya peraturan- peraturan tersebut.
Mengenai Klausula “si omnes” dalam pembaharuan Konvensi I Tahun 1929 ternyata telah dihapus. Pada waktu Perang Dunia I meletus di Tahun 1914,
maka yang berlaku adalah Konvensi Jenewa Tahun 1906. Karena salah satu pihak dalam pertikaian, yaitu Montenegro yang bukan peserta Konvensi Jenewa Tahun
1906 ini, secara yuridis konvensi itu tidak mengikat pihak-pihak dalam persengketaan, yang telah menandatangani konvensi ini. Akan tetapi
kenyataannya tidaklah demikian, karena semua negara yang telah menandatangani konvensi Tahun 1906 itu telah mematuhi dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan konvensi selama Perang Dunia I berlangsung, walaupun sebenarnya secara yuridis mereka tidak lagi terikat. Pengalaman dari Perang
Dunia I ini dan kemungkinan menghasilkan akibat yang lain, apabila klausula “si omnes” itu dipertahankan, menyebabkan dalam pembaharuan Konvensi I Tahun
1929, klausula tersebut dihapuskan. Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa tidak
dilarang digunakannya oleh para pihak yang bersengketa segala macam kekerasan untuk mencapai maksudnya, yaitu menundukkan lawannya hingga
sifatnya adalah sedemikian rupa sehingga dapat bertentangan dengan asas
Universitas Sumatera Utara
perikemanusiaan. Walaupun demikian pihak-pihak yang berperang harus melaksanakan aturan-aturan perang sebagaimana yang telah diakui oleh bangsa-
bangsa yang beradab. Dalam pemikiran yang primitif, kekuatan merupakan sarana untuk menunjukkan berlakunya hukum, karena menurut pendirian
demikian, kekuatan itu sendiri merupakan suatu hukum yang juga dapat diartikan hukum daripada pihak yang terkuat.
Baru bilamana pelaksanaan hukum dengan cara lain dijamin karena kelompok kecil itu dengan bersatu ke dalam kelompok lain akan menjadi
kelompok yang lebih besar dan kuat, yang kemudian memegang sendiri pengawasan serta pelaksanaan hukum, maka akan dilepaskanlah di dalam
hubungan kelompok yang besar itu, sifat keganasan dalam peperangan. Kepada pihak yang menang dalam peperangan tentunya tidak perlu ditanyakan lagi,
apakah pendapat ini benar, yaitu bahwa dalam memulai dan mengobarkan api peperangan bukanlah kebenaran, yang menjadi pertimbangan akan tetapi
kemenangan. Selanjutnya mengenai perang modern, adalah berbeda dengan pengertian
perang tradisional di atas, maka dalam perang modern pihak-pihak yang terlibat di dalamnya jauh lebih luas, tidak saja Anggota Angkatan Bersenjata merupakan
para pihak, akan tetapi seluruh anggota masyarakat dari para pihak, bahkan sering terjadi melibatkan pula anggota masyarakat negara pihak lain pihak ketiga.
Ditambah lagi terutama dengan munculnya senjata-senjata pemusnah massal, yang antara lain senjata nuklir dan perangnya pun sudah disebut perang bintang
star war. Di lain pihak dalam hubungannya dengan kebiasaan permulaan perang
Universitas Sumatera Utara
pernyataan perang sudah seringkali ditinggalkan. Sebagai salah satu contoh klasik dapat dikemukakan, misalnya pada perang Pasifik dalam Perang Dunia II, antara
Jepang dan Amerika Serikat dan juga jauh sebelum itu. Perang antara Rusia- Jepang Tahun 1904 dimulai tanpa pernyataan perang dan mulai berkobarlah
perang dengan penyerangan kapal-kapal torpedo Jepang terhadap kapal-kapal perang Rusia di pelabuhan Port Arthur.
Negara-negara besar dan kuat Adikuasa, yang pada mulanya enggan untuk tidak menggunakan senjata-senjata militer mutakhir, karena adanya
desakan-desakan dari berbagai pihak, baik melalui perdebatan di forum-forum internasional maupun adanya pernyataan-pernyataan dari berbagai negara,
akhirnya telah menahan diri untuk setidak-tidaknya membatasi penggunaan atau pembuatan senjata pemusnah massal tersebut. Sesungguhnya berbagai pihak telah
menyadari bagaimana dahsyatnya senjata-senjata tersebut apabila benar-benar dipergunakan. Kota terbuka yang tidak dipersenjatai sudah dapat terkena oleh
dahsyatnya senjata nuklir, juga penduduk sipil akan menjadi korban pembomaan sudah tidak dapat dihindarkan lagi, karena luasnya daerah yang dapat terkena.
Pemusnahan sasaran-sasaran yang tidak dilarang seperti depot persenjataan gudang senjata dan amunisi, instalasi-instalasi Angkatan Laut, kapal-kapal
pesawat tempur dan lain-lain dapat juga mengakibatkan pemusnahan pelabuhan- pelabuhan yang tidak dipertahankan diluar itu.
Sifat konflik bersenjata dalam pengertian perang modern sudah berubah dari bentuknya yang terdahulu, yaitu sebagai suatu pertikaian bersenjata di antara
anggota Angkatan Bersenjata para pihak ke dalam bentuknya yang sekarang yaitu
Universitas Sumatera Utara
dengan melibatkan bagian-bagian lain dari penduduk atau masyarakat bersifat perang total. Perubahan-perubahan ini apabila ditinjau secara umum mengarah
pada pergeseran bertambahnya lagi peserta-peserta dalam pertikaian bersenjata atau bertambahnya lagi golongan masyarakat yang dilibatkan dalam sengketa
bersenjata dalam peperangan modern. Dengan demikian dalam peperangan modern perbedaan tradisional atas golongan kombatan dan non-kombatan sudah
tidak sesuai lagi.
26
B. Negara-Negara Yang Telah Mengalami Perang Dalam Hukum Internasional