Sejarah Hak Politik dalam Islam
melakukan Perang Uhud. Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabat, beliau meminta pertimbangan mereka apakah sebaiknya tetap tinggal dan
berlindung di Madinah saja atau keluar menyongsong pasukan kaum kafir Quraiys. Ada sahabat yang mengusulkan untuk keluar menyongsong kaum kafir
Quraiys dan Nabi pun menerimanya.
21
Demikian juga Nabi menerima pendapat sahabat Salman Al-Farisi agar membuat parit dalam peperangan Ahzab, sehingga
perang ini disebut juga dengan perang Khanddak parit.
22
Pasca Rasulullah SAW wafat, sahabat Khulafah ar-Rasyidin pun telah memberikan contoh berkenaan dengan hak politik masyarakat misalnya ketika
Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat menjadi Khalifah beliau berkhutbah: “Amma Ba’du. Wahai manusia Sesungguhnya saya telah dipilih untuk
memimpin kalian dan bukanlah saya orang terbaik diantara kalian. Maka, jika saya melakukan hal yang baik bantulah saya, dan jika saya melakukan tindakan
yang menyeleweng luruskanlah saya. Sebab kebenaran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara
kalian adalah kuat dalam pandangan saya hingga saya ambilkan hak -haknya untuknya, sedangkan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di
hadapanku sehin gga saya ambilkan hak orang lain darinya… Taatlah kalian
21
Akra m Dhiya A l-Umuri, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, edisi Indonesia Selek si Sirah Nabawiyyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Oleh Abdul Rosyad
Shidiq, Ja karta: Da rul Fa lah, 2004, Cet. I, h. 408
22
Shafiyyur Rahman, Sirah Nabawiyah, edisi Indonesia Sirah Nabawiyah, penerje mah oleh Kathur Suhardi, Ja karta : Pustaka Al-Kausar,2010, Cet. I, h. 339
pada ku selama saya taat kepada Allah dan jika saya melakukan maksiat kepada Allah dan RasulNya, maka tidak ada kewajiban taat kalian kepada ku.”
23
Dari pidato Abu Bakar tersebut dapat dipahami bahwa beliau bersedia untuk ditegur dan diluruskan jika melakukan penyelewengan dalam
pemerintahannya. Ini berarti bahwa Khalifah Abu Bakar menjamin dan memberikan hak politik dalam berpendapat kepada rakyatnya.
Umar Ibn al-Khaththab tidak pernah memaksakan pendapat apa lagi mendiktekan kehendaknya. Bagi Umar musyawarah bukanlah hanya sekadar
untuk menguatkan pendapatnya semata, akan tetapi untuk mencari kebenaran. Umar pernah berkata: “Janganlah tuan-tuan mengemukakan pendapat yang
menurut persangkaan tuan-tuan sesuai dengan keinginan saya, tetapi kemukakanlah buah fikiran menurut perkiraan tuan-tuan sesuai dengan
kebenaran.”
24
Satu ketika Umar berpidato dihadapan rakyatnya: “Tuan-tuan jangan memberi maskawin melebihi 40 ugiah Barang siapa yang melebihinya, maka
kelebihannya akan saya masukkan ke baitulmal.” Tiba-tiba dari barisan wanita muncul seorang ibu-
ibu yang menyanggahnya dengan berkata: “tidak ada hak anda untuk berbuat demikian.” Lalu Umar bertanya: “Kenapa?” seorang ibu itu
menjawab bukankah Allah telah berfirman:
23
Ima m as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, edisi Indonesia diterje mah kan oleh Samson Rah man, Tarik h Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam, Ja karta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, Cet.
I, h. 75
24
Khalid Muhammad Khalid, Khulafa ar-Rasul, alih bahasa oleh Mahyuddin Syaf, dkk., Mengenal Pola Kepimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung:
CV. Diponegoro, 1996, Cet. IV, h. 220-221
ء س ا
٤ :
٢٠ Dan jika kamu hendak mengambil isteri baharu menggantikan isteri
lama Yang kamu ceraikan sedang kamu telahpun memberikan kepada seseorang di antaranya isteri Yang diceraikan itu harta Yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil sedikitpun dari harta itu. Patutkah kamu mengambilnya Dengan cara Yang tidak benar dan yang menyebabkan dosa
Yang nyata? Q.s: an-Nisa 4: 20
Mendengar sanggahan itu wajah Umar pun berseri-seri dan tersenyum. Lalu berkata: “benarlah wanita itu dan salahlah Umar.”
25
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat telah memberikan
contoh dalam hal kebebasan berpendapat dan bermusyawarah dalam mejalankan kepemimpinannya. Selain itu adanya kebebasan berkumpul atau berserikat dan
berpendapat dapat kita lihat dari adanya golongan-golongan yang ada pada masa para sahabat seperti adanya golongan Khawarij, Jabariah, Qadariah, Asy’ariah
dan bahkan sempat terjadi perpecahan kaum muslimin ke dalam golongan pada masa khalifan Ali bin Abi Thalib, yang mana beliau pada waktu itu didukung oleh
satu golongan yang kemudian menjadi golongan syiah. Jika kita bandingkan dengan dunia Barat, maka pembahasan tentang
sejarah perjuangan hak politik berkaitan erat dengan sejarah Hak Asasi Manusia
25
Hussien Haikal, Al- Farruq Umar, edisi Indonesia Umar Al-Khattab, diterje mah oleh Ali Audah, Bogor: Pustaka Lite ra AntarNusa 2002, cet. III, h. 83
HAM, yaitu usaha manusia untuk mendapatkan hak-haknya yang dirampas oleh manusia yang lain. Usaha ini merupakan sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-
raja dan kaum feodal pada abad ke-17 dan 18 terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka peker-jakan. Manusia pada zaman tersebut
terdiri dari dua lapisan besar, yakni lapisan atas yang minoritas dan lapisan bawah yang mayoritas jumlahnya. Lapisan bawah tidak mempunyai hak- hak dan
diperlakukan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa atas diri mereka. Mereka diperlakukan sebagai budak yang dapat diperlakukan sekehendak
pemilik-nya. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, timbul gagasan untuk memper- samakan kedudukan lapisan bawah dan lapisan atas karena mereka sama-sama
manusia. Muncullah ide persamaan, persaudaraan, dan kebebasan yang ditonjolkan oleh revolusi Perancis pada akhir abad kedelapan belas.
26
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahir HAM di kawasan Eropa gandang dengan kelahiran Magna Charta 15 Juni 1215, suatu
dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka.
27
Dokumen ini antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan
absolut menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung- jawabannya di muka hukum. Kelahiran Magna Charta ini kemudian diikuti oleh
26
Harun Nasution, “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi ed, Hak Asasi Manusia dalam Islam Jakarta :Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Firdaus, 1995, Cet. II ,
h. 51
27
Miria m Budiard jo, Dasar-dasar Ilmu Politik , Jakatra: PT. Gra med ia Pustaka Utama, 2005, Cet. XXVII, h. 213
kemunculan Bill of Righs di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu, mulai timbul pandangan adagium yang intinya bahwa manusia sama di muka hukum
equality before the law. Adagium ini memperkuat dorongan timbul negara hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan harus
diwujudkan, betapa pun berat resiko yang harus dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.
28
Untuk mewujudkan semua itu, maka lahir teori kontrak sosial J.J. Roussseau social contract theory,
29
teori trias politika Montesquieu,
30
dan John Locke di Inggris dengan teori hukum kodrati.
31
Perkembangan HAM selanjutnya, ditandai dengan munculnya The Amarican declaration of Independence. yang lahir dari paham kontrak sosial
Rousseau dan trias politika Montesquieu. Mulai dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidak logis ia dibelenggu bila
28
Dede Rosyada, dkk., Pendidik an Keawarganegaraan Civic Education: Demok rasi, Hak Asasi Manusia dan Masyrakat Madani, Jakarta: Tim ICCE UIN Syyarif Hidayatullah
Jakarta dan Prenada Media, 2003, Cet. I, Edisi Revisi, h. 202
29
Menurut Rousseau, manusia yang tinggal dalam keadaan primitif me miliki suatu kebebasan asli. La lu pada suatu ketika manusia yang me miliki kebebasan asli itu me mbentuk
suatu kehidupan bersama orang lain yang juga me miliki kebebasan itu. Hal ini terjadi me lalu i suatu proses yang oleh Rousseau disebut k ontrak sosial. Leb ih je lasnya lihat Theo Hu ijbers,
Filsafat Huk um dalam Lintasan Sejarah, Cet. XV, Yogyaka rta: Kanisius, 2006, h. 88
30
Yaitu suatu teori tentang pembagian ke kuasaan, menurutnya kekkuasan Negara dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga dan masing -masing ke kuasaan itu dilaksanakan oleh suatu
badan yang berdiri sendiri-sendiri, yaitu kekuasan perundang-undangan legislative, ke kuasaan me la ksanakan pemerintahan eksekutif dan kekuasaan kehakiman yudikatif. Lihat Suhino, Ilmu
Negara, cet. V, Yogyakarta: Liberty, 2005, h. 117, dapat dilihat juga pada Moh. Kusnardi dan Bintan R. Sarag ih, Il mu Negara, Ja karta: Gaya Media Prata ma , 2000, Cet. IV, h. 222
31
Menurut John Locke, secara kodratnya manusia sejak lahir te lah me mpunyai hak -hak kodrat atau hak-hak asasi atau hak-hak ala miah, yaitu hak-ha k yang dimilikinya secara pribadi.
Mustahillah manusia itu menyerahkan hak-ha k aslinya itu kepada instansi lain, oleh sebab hak-hak itu me lekat pada manusia sebagai pribadi. Hanya kalau orang telah melanggar undang -undang
atau dikalah kan dalam perang terdapat kemungkinan mencabut hak-hak pribadi itu. Tujuan negara tidak lain dari pada menja min hak-hak pribadi tersebut. Lebih je lasnya silahkan lihat
Suhino, Ibid., h. 107-108 dan juga pada Theo Huijbers, Filsafat Huk um dalam Lintasan Sejarah, h. 81-83
sudah lahir. Selanjutnya pada tanggal 4 Agustus tahun 1789 lahir The French Declaration Deklarasi Perancis, yang memuat lima hak utama yang harus
dihormati, yakni propiete hak pemilikan harta liberte hak kebebasan, egalite hak persamaan, securite hak keamanan, dan
resistense a l’oppresion hak perlawanan terhadap penindasan.
32
Perkembangan aturan tentang perlindungan HAM mencapai puncaknya dengan dideklarasikannya The Universal Declaration of Human Right oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa PBB pada tanggal 10 De sember 1948. Sejak berdirinya padanya tanggal 24 Oktober 1945, PBB telah banyak menghasilkan
deklarasi dan perjanjian internasional di bidang HAM. Di antara sekian banyak konvensi internasional yang bersifat penting dan universal yaitu Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Internasional Hak- hak Sosial dan Politik.
33
32
Ikh wan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jaka rta: Logos, 2004, Cet. I, h. 43
33
Ibid.., h. 53
28