Gambar 4. Diagram ruang lingkup penelitian 2
6
Berdasarkan Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa pada masa lalu digambarkan dampak dari dinamika banjir pasang belum menimbulkan efek yang luas bahkan
cenderung tetap. Seiring dengan perkembangan teknologi yang cepat dan diiringi oleh peningkatan kebutuhan akan pemukiman menjadikan tekanan yang dialami daerah
dampak menjadi semakin meluas. Oleh karena itu ditawarkan beberapa skenario untuk mencegah sekecil mungkin dampak supaya tidak semakin meluas di masa depan,
sehingga diharapkan di masa depan dampak yang terjadi dapat menurun atau cenderung tetap.
3.2. Batasan Spasial
Semarang terletak di pantai Utara Jawa Tengah, tepatnya pada garis 6º 5 - 7º 10 Lintang Selatan dan 110º 35 Bujur Timur. Semarang memiliki luas wilayah yang
mencapai 37.366.838 Ha atau 373,7 Km2. Letak geografi Kota Semarang ini dalam koridor pembangunan Jawa Tengah merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni
koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke
arah Kabupaten DemakGrobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Penelitian ini mengambil wilayah kawasan pesisir kota Semarang yaitu Kelurahan Tanjung Mas di
Kecamatan Semarang Utara dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki intensitas sering terkena banjir rob.
Kecamatan Semarang Utara merupakan salah satu kecamatan pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kecamatan ini masuk dalam kategori wilayah
dengan kelerengan 0-2, sehingga menyebabkan wilayahnya hampir sama dengan permukaan laut dan banyak daerah pada wilayah tersebut yang tergenang saat rob
terjadi. Kelurahan Tanjung Mas merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Semarang Utara yang memiliki aktifitas sangat komplek, sebagai daerah pelabuhan,
industri, perkantoran dan pemukiman. Jenis tanah alluvial dan tingkat ambIesan tanah sebesar 2-4 cmtahun menyebabkan intensitas terkena rob lebih banyak pada wilayah
ini. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2011.
3.3. Metode Pengumpulan Data 3.3.1. Teknik pengambilan data
A. Data primer Data primer sebagai sumber pengumpulan informasi terkait penelitian diperoleh
melalui survei lapangan, dan dapat dilanjutkan dengan wawancara mendalam
terhadap stakeholder. Teknik pengambilan contoh dilakukan melalui teknik purposive sampling. Teknik purposive, adalah pengambilan contoh yang dilakukan dengan
memiliki tujuan tertentu berdasarkan tujuan riset, diambil secara langsung dalam kelompok dan dilengkapi dengan kriteria tertentu. Pengambilan data primer dilakukan
di wilayah Kelurahan Tanjung Mas, yaitu daerah yang mengalami dampak banjir pasang rob. Daerah pelabuhan Tanjung Mas, sepanjang jalan Ronggowarsito, Pasar
Johar, perumahan Tanah Mas merupakan wilayah yang diambil data untuk memperlihatkan kondisi dan aktifitas ketika terdampak rob. Untuk wawancara dengan
pemerintah kota dilakukan terhadap instansi terkait yang langsung berkaitan dengan banjir pasang rob. Data sosial ekonomi yang terkait dengan kondisi masyarakat
dilakukan pada masyarakat sekitar Kelurahan Tanjung Mas kondisi perekonomian, aktifitas keseharian yang dilakukan masyarakat dengan segala adat istiadat yang
menyertainya, kondisi sarana dan prasarana, kondisi sumberdaya alam. Pengambilan data primer disesuaikan dengan lokasi penelitian seperti pada Gambar 5.
G
Gambar 5. Lokasi penelitian B. Data sekunder
Data sekunder yang dipergunakan guna menunjang data primer diperoleh dengan cara melakukan penelusuran berbagai pustaka maupun hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya, pengumpulan data dari beberapa sumber, seperti: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Kantor Kelurahan Tanjung Mas,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Provinsi Jawa Tengah maupun instansi atau lembaga lain
yang dapat memberikan informasi yang relevan terhadap penelitian ini.
3.4. Analisa Data
3.4.1. Analisis histori
Analisis histori menggunakan data dari penelitian sebelumnya yang menggambarkan besaran wilayah daerah terkena rob. Data yang didapatkan
diharapkan bisa menggambarkan seberapa perubahan dan besarnya dampak wilayah yang terkena rob dalam rentang waktu tertentu. Dalam analisis ini akan dilakukan
secara deskriptif untuk menjelaskan data yang telah ada.
3.4.2. Analisis sistem mata pencaharian pesisir
Analisis sistem mata pencaharian pesisir dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Coastal Livelihood System Analysis CLSA, yaitu konsep keberlanjutan
mata pencaharian masyarakat pesisir. Konsep CLSA dikembangkan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dimana aspek sistem alam ekosistem
dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan. CLSA adalah sebuah pendekatan untuk strategi identifikasi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir terkait dengan
tujuan umum pengelolaan wilayah pesisir dan laut yaitu keberlanjutan sistem sumberdaya itu sendiri Adrianto 2005 in Suriana 2009.
Dalam diagramatik, konsep CLSA terlihat bahwa identifikasi kerentanan merupakan aspek penting dalam kerangka CLSA itu sendiri dimana masyarakat pesisir
biasanya rentan terhadap kerusakan sumberdaya. Dengan kata lain bahwa hubungan antara sumberdaya alam dan masyarakat pesisir merupakan hubungan timbal balik
yang tidak dapat terpisahkan. Demikian halnya dengan kapital lain seperti human, financial and sosial capital Adrianto,2005.
Identifikasi kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini memodifikasi matrik kerentanan yang dibangun oleh Miladan 2009 yang terdiri dari kerentanan
lingkungan, sosial dan ekonomi. Kerentanan lingkungan merupakan terkait dengan kondisi fisik lingkungan yang memiliki nilai strategis bagi keseimbangan ekosistem
maupun memiliki nilai strategis dalam sejarah perkembangan kawasan namun berada pada wilayah rawan genangan akibat kenaikan air laut. Selanjutnya, kerentanan sosial
merupakan kondisi kerentanan terhadap tingkat kerapuhan sosial penduduk dalam menghadapi kerawanan genangan berasal dari kenaikan air laut. Terakhir, kerentanan
ekonomi yang merupakan kerentanan yang dilihat dari segi ekonomi penduduk dan kerentanan terhadap aset-aset lahan yang dimiliki penduduk akibat genangan berasal
dari kenaikan air laut. Selain itu juga merupakan kerentanan terhadap lokasi-lokasi perdagangan dan jasa serta lokasi usahaproduksi yang merupakan roda
perekonomian wilayah namun berada pada wilayah rawan genangan akibat kenaikan air laut.
Pada proses analisis ini tidak terlepas dari penetapan kategori dan variabel- variabel kerentanannya. Pengelompokkan dan pemilihan variabel kerentanan
dijabarkan dari sintesis beberapa elemen yang tertuang dalam muatan Undang- Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Undang-
Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta beberapa konsepteori praktis kerentanan bencana yang diacu dalam Miladan 2009 dan
Paharudin 2011. Berdasar pada beberapa ketentuanaturanarahan yang termuat dalam berbagai hal tersebut maka kerentanan bencana dapat dikategorikan dalam
3 tiga kategori kerentanan yang tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Identifikasi tingkat kerentanan
Identifikasi Kerentanan
Variabel Kerentanan
Pengkelasan Tingkat
Kerentanan Ekologi
Hutan Lindungdaerah
resapan air • Tutupan hutan lindung 25
• Tutupan hutan lindung 25-50 • Tutupan hutan lindung 50
Rendah Sedang
Tinggi Hutan Mangrove
• Tutupan hutan mangrove 25 • Tutupan hutan mangrove 25-50
• Tutupan hutan mangrove 50 Rendah
Sedang Tinggi
Keberadaan Kawasan
Terbangun • Luas kawasan terbangun 10 Ha
• Luas kawasan terbangun 10-20 Ha • Luas kawasan terbangun 20 Ha
Rendah Sedang
Tinggi Elevasi Kawasan
• Kemiringan lahan 4 ° • Kemiringan lahan 2°- 4 °
• Kemiringan lahan 0-2° Rendah
Sedang Tinggi
Luas Genangan Rob
• Luas lahan tergenang 25 • Luas lahan tergenang 25-50
• Luas lahan tergenang 50 Rendah
Sedang Tinggi
Sosial Kepadatan
Penduduk • Kepadatan penduduk 10 jiwaHa
• Kepadatan penduduk 10-25 jiwaHa • Kepadatan penduduk 25 jiwaHa
Rendah Sedang
Tinggi Tingkat Kemiskinan
• Persentase KK miskin 30 • Persentase KK miskin 30-60
• Persentase KK miskin 60 Rendah
Sedang Tinggi
Mata Pencaharian • Nelayan
• Pengusaha barangjasa • Buruh industri
Rendah Sedang
Tinggi
Tabel 1. Identifikasi tingkat kerentanan lanjutan
Identifikasi Kerentanan
Variabel Kerentanan
Pengkelasan Tingkat
Kerentanan Sosial
Status Kepemilikan Lahan
• Persentase status lahan milik penduduk dan swasta 30 dari
kawasan • Persentase status lahan milik
penduduk dan swasta 30-60 dari kawasan
• Persentase status lahan milik penduduk dan swasta 60 dari
kawasan Rendah
Sedang Tinggi
Pemahaman terhadap Bencana
• Sudah ada pemahaman masyarakat • Belum ada pemahaman masyarakat
Rendah Tinggi
Sikap terhadap Terjadinya
Bencana • Berpindah dari kawasan tergenang
• Tetap menetap di kawasan tergenang
Rendah Tinggi
Ekonomi Keberadaan Lokasi
UsahaProduksi • Tidak terdapat kawasan lokasi
usahaproduksi • Terdapat beberapa bangunan
usahaproduksi • Terdapat kawasan lokasi
usahaproduksi Rendah
Sedang Tinggi
Keberadaan Kawasan
Perdagangan dan Jasa
• Tidak terdapat kawasan perdagangan dan jasa
• Terdapat beberapa bangunan perdagangan dan jasa
• Terdapat kawasan perdagangan dan jasa
Rendah Sedang
Tinggi Persentase Jalan
Tergenang Rob • Rasio panjang jalan dan jalan kereta
api yang tergenang pendek 30 • Rasio panjang jalan dan jalan kereta
api yang tergenang sedang 30-60 • Rasio panjang jalan dan jalan kereta
api yang tergenang panjang 60 Rendah
Sedang Tinggi
Kerusakan Fisik Bangunan
• Kerusakan fisik bangunan 25 • Kerusakan fisik bangunan 25-50
• Kerusakan fisik bangunan 50 Rendah
Sedang Tinggi
Modifikasi: Miladan 2009 dan Paharuddin 2011 Langkah-langkah penentuan mata pencaharian masyarakat berbasis pada
sistem insentif yang diuraikan oleh Emerton 2001 yang diacu dalam Adrianto 2005 seperti berikut:
Langkah 1: Mengumpulkan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam. Dalam tahap ini informasi tentang kondisi kunci sosial
ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut merupakan salah satu faktor penting yang harus dikumpulkan dan pada saat yang bersamaan
interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam ekosistem diidentifikasi.
Step 1. Mengumpulkan informasi
tentang karakteristik mata pencaharian masyarakat dan
kondisi sumberdaya alam
Step 2. Menganalisis pengaruh
masyarakat terhadap kondisi sumberdaya alam
Step 5. Implementasi pengembangan
mata pencaharian masyarakat berbasis insentif
Step 4. Memilih sistem insentif
ekonomi yang tepat untuk konservasi berbasis
masyarakat
Step 3. Identifikasi sistem insentif
terkait dengan pengembangan mata pencaharian masyarakat
Gambar 6. Langkah-langkah mendisain CLSA Langkah 2: Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi
sumberdaya dan laut. Tahap ini identifikasi aktifitas masyarakat pesisir yang secara langsung berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut perlu
dilakukan. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula identifikasi faktor yang mempengaruhi aktifitas tersebut, baik dalam perspektif sosial maupun ekonomi.
Langkah 3: Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat pesisir. Terdapat dua aspek pada tahap ini. Yang pertama, identifikasi kebutuhan terhadap sistem insentif yang
diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi sumberdaya pesisir dan lautan. Yang kedua, peluang penerapan sistem insentif dalam konservasi
sumberdaya pesisir dan lautan. Langkah 4: memilih sistem insentif bagi konservasi sumberdaya pesisir dan laut
berbasis masyarakat. Pada tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat pesisir seperti pada langkah 3. Langkah 5: Implementasi sistem insentif. Pada tahap ini, implementasi yang
disertai dengan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi tersebut. Secara lengkap langkah-langkah mendesain CLSA disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.