Metode Pengumpulan Data 1. Teknik pengambilan data

perusahaan, pelayanan perseorangan, jasa kemasyarakatan, reparasi atau bengkel kendaraan dan lain- lain.

4.1.4. Kondisi pasang surut

Pasang surut dianalisis menggunakan perhitungan admiralty untuk Perairan Semarang bulan September 2004-Maret 2005 yang dilakukan oleh Wirasatriya et al 2006 diketahui tipe pasang surut di Perairan Semarang adalah campuran cenderung ganda. Hasil penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Adhitya 2003 dan Darmono 2003 yang juga mendapatkan tipe pasang perairan Semarang adalah campuran condong ke ganda melalui perhitungan admiralty. Hal ini berarti di Perairan Semarang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi berbeda dalam tinggi dan waktunya. Pada Gambar 15 dan 16 terlihat bahwa perilaku pasut di Tanjung Mas cenderung datar Lampiran 1. Tren kenaikan muka laut di Semarang menurut penelitian yang dilakukan Wirasatriya et al 2006 mengikuti pola linier dengan persamaan Y =4,8967 X - 9645,9 R 2 = 0,9636 dan nilai kenaikan rata- rata per tahun adalah 5,43 cm yang didasarkan pada kenaikan muka laut total yang dipengaruhi oleh penurunan tanah dan kenaikan muka laut global.

4.2. Analisis Histori

Analisis histori dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis data sekunder. Dalam analisis ini dipergunakan pendalaman dari pandangan sejarah yang menggambarkan perubahan lingkungan dan dikaitkan dengan komponen sosial maupun ekologis yang menyertainya. Untuk itu dilakukan identifikasi yang terbagi dalam periode pendudukan kolonial Belanda dan periode Kemerdekaan.

4.2.1. Periode pendudukan Kolonial Belanda

Perkembangan Kota Semarang diawali masa kolonial Belanda. Pada masa tersebut, kota Semarang dijadikan eksperimen perencanaan kota modern Eropa. Letaknya yang strategis menjadikan kota Semarang sebagai pintu gerbang Jawa Tengah yang merupakan empat simpul pintu gerbang,yaitu koridor pantai utara, koridor selatan kearah kota Surakarta dan Kabupaten Magelang, koridor timur ke kabupaten Demak-Grobogan dan koridor barat ke Kabupaten Kendal Kurniawati,2010. Peningkatan kebutuhan akan lahan untuk menunjang perekonomian menyebabkan Kota Semarang melakukan upaya reklamasi daerah pantai. Upaya ini dilakukan dengan menambah areal daratan yang dilakukan pada saat pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1875. Penambahan ini digunakan sebagai Pelabuhan Semarang. Gambar 15. Perilaku fluktuasi pasang surut bulan Maret 2011 Sumber : Analisis data sekunder Gambar 16. Perilaku fluktuasi pasang surut bulan April 2011 Sumber : Analisis data sekunder

4.2.2. Periode kemerdekaan

Pada masa setelah kemerdekaan di wilayah Semarang telah dilakukan reklamasi sebanyak tiga kali. Sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Provinsi Jawa Tengah wilayah yang direklamasi tersebut adalah kawasan Perumahan Tanah Mas pada tahun 1979, kemudian pada tahun 1980 dilakukan reklamasi kembali pada kawasan Pelabuhan Tanjung Mas. Selang lima tahun kemudian, di tahun 1985 dilakukan reklamasi di kawasan PRPP dan kawasan perumahan Puri Anjasmoro Kronik, 2006 dalam Rossanty, 2008. Di tahun 2003, kembali Pemerintah Kota melakukan reklamasi untuk pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan PPI di kawasan pantai Tambaklorok di Kelurahan Tanjung Mas. Ketebalan tanah yang dipergunakan untuk reklamasi antara 1-5 meter dengan pemadatan tiap lapis sehingga tanah reklamasi langsung bisa dipergunakan. Adanya upaya reklamasi ini mengakibatkan garis pantai dan wilayah pantai Semarang mengalami perkembangan dari garis awalnya. Garis pantai Semarang yang awal berada di daerah Candi Lama dan Simongan. Semenjak tahun 1847 – 1940 93 tahun perkembangan garis pantai Semarang sudah mencapai 581 meter kearah laut. Tahun 1940 – 1991 51 tahun perkembangan garis pantainya bertambah sebesar 303 meter. Rata-rata penambahan garis pantai ini sebesar 10,5 meter per tahun. Disamping karena adanya upaya reklamasi, penambahan daratan pantai Semarang juga disebabkan adanya sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang tahun 1996, besarnya sedimen yang bermuara berkisar 22,3 juta – 240,2 juta meter kubik per tahun. Sungai yang menyumbangkan debit sedimen paling besar adalah Sungai Garang. Sedimen yang dibawa tersebut merupakan endapan alluvial yang berasal dari banjir di daerah Semarang Atas dan Ungaran. Seperti pendapat pakar geologi Belanda, Prof. Dr. Ir. RW van Bemmelen, yang dikutip oleh Sejarawan Amen Budiman, memperkuat bahwa jalur pantai di Kota Semarang yang berupa tanah muda berkembang sangat cepat. Sebesar dua kilometer selama 2,5 abad. Diperkirakan pada lima abad yang lalu, kawasan kota Semarang Bawah termasuk Simpang Lima masih berupa laut. Menurut ahli geoteknik Paulus Rahardjo, endapan alluvial di Semarang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Jakarta dan Surabaya. Secara diagaramatik dapat dilihat pada Gambar 17 sampai 19.