Impact of The Tidal Floods Dynamics To Social Ecological System of Semarang City (Case Study in Tanjung Mas District).

(1)

DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)

TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG

(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)

MARGA RETHA IKA PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas) adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Marga Retha Ika Pratiwi C252 080 061


(4)

(5)

ABSTRACT

MARGA RETHA IKA PRATIWI. Impact of The Tidal Floods Dynamics To Social Ecological System of Semarang City (Case Study in Tanjung Mas District). Under direction of LUKY ADRIANTO and NIKEN T.M. PRATIWI

Region of coastal area of Semarang represents the region with the solid activity complexity. The complexity activities caused the level of pressure at the region. Environmental damage have been seen. Phenomenon that happened until now is tidal floods called rob. If tidal floods handling install is not systematic, estimated Semarang will sink. The aims of this study was to identife social ecological system dynamics, to estimate ecological impact and economic social, to compile indication strategy of management of coastal area base on the adaptation to tidal floods.The result showed that pursuant to historical analysis shows that tidal floods increased in the case of height irrigate and also spread area affected, pond tidal flood resulted the change of structure of social condition and space of area economics affected, analyse the scenario that the development embank the sea (seawall) with the environmental management with of cultivation mangrove alongside embank and drainage basin in physical represent the effective solution in area management. Tidal floods gived magnitude effects not for human and all activities but for the region and ecological system.


(6)

(7)

RINGKASAN

MARGA RETHA IKA PRATIWI. Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan NIKEN T.M. PRATIWI.

Daerah pesisir pantai Semarang merupakan daerah dengan kompleksitas aktivitas yang padat. Kompleksitas aktivitas menyebabkan tekanan di daerah tersebut. Kerusakan lingkungan telah terlihat. Peristiwa yang terjadi hingga sekarang adalah banjir pasang surut yang disebut rob. Jika penanganan banjir pasang surut tidak sistematis, diperkirakan Semarang akan hilang. Tujuan dari studi ini adalah mengidentifikasi dinamika sistem sosial ekologis, mengidentifikasi dampak ekologis dan sosial ekonomi, menyusun strategi pengelolaan kawasan pantai berdasar pada adaptasi.

Metode untuk mengetahui kondisi pesisir Semarang pada masa lalu menggunakan analisis histori. Metode untuk mengnalisis kondisi aset yang ada pada wilayah penelitian menggunakan metode pendekatan keberlanjutan mata pencaharian pesisir (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA). Pengambilan keputusan terhadap kebijakan pengelolaan menggunakan metode Trade - Off Analysis (TOA).

Analisis histori kondisi pesisir menunjukkan bahwa terjadi penambahan daratan pada wilayah pantai Semarang karena adanya sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Penambahan aktifitas dan beban tanah membuat kondisi pesisir semakin rusak. Penurunan tanah juga semakin nampak. Akibatnya rob yang sering terjadi pada wilayah pesisir Semarang semakin luas dampaknya. Masyarakat pun semakin merasakan besarnya dampak yang terjadi.

Berdasarkan analisis CLSA nampak bahwa aset manusia menempati prioritas utama untuk mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan pada lokasi penelitian terdapat aktifitas yang banyak melibatkan peran aktif masyarakat. Sehingga berbagai alternatif insentif secara langsung maupun tidak langsung yang kemungkinan bisa diambil untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat penting untuk dianalisis. Insentif yang terlihat lebih kepada perbaikan akan kondisi yang sudah ada tanpa harus memindah apa yang telah ada.

Hasil penilaian beberapa alternatif pengelolaan menunjukkan bahwa pembangunan talud atau tanggul laut (seawall) yang disertai dengan pengelolaan lingkungan berupa penanaman mangrove di sepanjang tanggul dan daerah aliran sungai secara fisik merupakan solusi yang efektif dalam pengelolaan kawasan tergenang. Sehingga menjadi pilihan yang baik untuk mengurangi dampak rob yang terjadi.


(8)

(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)

TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG

(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)

MARGA RETHA IKA PRATIWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Tesis : Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)

Nama : Marga Retha Ika Pratiwi

NRP : C252080061

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT penguasa semesta alam dan pemilik ilmu pengetahuan, karena berkat penyertaan-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Kajian Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas), dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Magister Sains (S2) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini tidak akan dapat terselesaikan apabila tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku Ketua Komisi dan Ibu DR. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku Anggota Komisi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) atas motivasi yang diberikan kepada penulis, serta semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, suami, anak-anakku serta adik-adikku, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Namun karena keterbatasan sebagai manusia, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan pada penulisan ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amiin.

Sesungguhnya kebenaran datangnya hanyalah dari Allah SWT dan, kesalahan datangnya dari penulis sendiri.

Bogor, Agustus 2012


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 19 Maret 1982 dari ayah Eko Murniyanto dan ibu Sihniyati. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Selepas lulus dari SMA Negeri 1 Wonogiri tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Universitas Diponegoro pada tahun yang sama. Penulis mengambil program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Institut Pertanian Bogor.


(18)

(19)

DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)

TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG

(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)

MARGA RETHA IKA PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(20)

(21)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas) adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Marga Retha Ika Pratiwi C252 080 061


(22)

(23)

ABSTRACT

MARGA RETHA IKA PRATIWI. Impact of The Tidal Floods Dynamics To Social Ecological System of Semarang City (Case Study in Tanjung Mas District). Under direction of LUKY ADRIANTO and NIKEN T.M. PRATIWI

Region of coastal area of Semarang represents the region with the solid activity complexity. The complexity activities caused the level of pressure at the region. Environmental damage have been seen. Phenomenon that happened until now is tidal floods called rob. If tidal floods handling install is not systematic, estimated Semarang will sink. The aims of this study was to identife social ecological system dynamics, to estimate ecological impact and economic social, to compile indication strategy of management of coastal area base on the adaptation to tidal floods.The result showed that pursuant to historical analysis shows that tidal floods increased in the case of height irrigate and also spread area affected, pond tidal flood resulted the change of structure of social condition and space of area economics affected, analyse the scenario that the development embank the sea (seawall) with the environmental management with of cultivation mangrove alongside embank and drainage basin in physical represent the effective solution in area management. Tidal floods gived magnitude effects not for human and all activities but for the region and ecological system.


(24)

(25)

RINGKASAN

MARGA RETHA IKA PRATIWI. Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan NIKEN T.M. PRATIWI.

Daerah pesisir pantai Semarang merupakan daerah dengan kompleksitas aktivitas yang padat. Kompleksitas aktivitas menyebabkan tekanan di daerah tersebut. Kerusakan lingkungan telah terlihat. Peristiwa yang terjadi hingga sekarang adalah banjir pasang surut yang disebut rob. Jika penanganan banjir pasang surut tidak sistematis, diperkirakan Semarang akan hilang. Tujuan dari studi ini adalah mengidentifikasi dinamika sistem sosial ekologis, mengidentifikasi dampak ekologis dan sosial ekonomi, menyusun strategi pengelolaan kawasan pantai berdasar pada adaptasi.

Metode untuk mengetahui kondisi pesisir Semarang pada masa lalu menggunakan analisis histori. Metode untuk mengnalisis kondisi aset yang ada pada wilayah penelitian menggunakan metode pendekatan keberlanjutan mata pencaharian pesisir (Coastal Livelihood System Analysis – CLSA). Pengambilan keputusan terhadap kebijakan pengelolaan menggunakan metode Trade - Off Analysis (TOA).

Analisis histori kondisi pesisir menunjukkan bahwa terjadi penambahan daratan pada wilayah pantai Semarang karena adanya sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Penambahan aktifitas dan beban tanah membuat kondisi pesisir semakin rusak. Penurunan tanah juga semakin nampak. Akibatnya rob yang sering terjadi pada wilayah pesisir Semarang semakin luas dampaknya. Masyarakat pun semakin merasakan besarnya dampak yang terjadi.

Berdasarkan analisis CLSA nampak bahwa aset manusia menempati prioritas utama untuk mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan pada lokasi penelitian terdapat aktifitas yang banyak melibatkan peran aktif masyarakat. Sehingga berbagai alternatif insentif secara langsung maupun tidak langsung yang kemungkinan bisa diambil untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat penting untuk dianalisis. Insentif yang terlihat lebih kepada perbaikan akan kondisi yang sudah ada tanpa harus memindah apa yang telah ada.

Hasil penilaian beberapa alternatif pengelolaan menunjukkan bahwa pembangunan talud atau tanggul laut (seawall) yang disertai dengan pengelolaan lingkungan berupa penanaman mangrove di sepanjang tanggul dan daerah aliran sungai secara fisik merupakan solusi yang efektif dalam pengelolaan kawasan tergenang. Sehingga menjadi pilihan yang baik untuk mengurangi dampak rob yang terjadi.


(26)

(27)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(28)

(29)

DAMPAK DINAMIKA BANJIR PASANG (ROB)

TERHADAP SISTEM SOSIAL EKOLOGIS KOTA SEMARANG

(Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)

MARGA RETHA IKA PRATIWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(30)

(31)

Judul Tesis : Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas)

Nama : Marga Retha Ika Pratiwi

NRP : C252080061

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(32)

(33)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT penguasa semesta alam dan pemilik ilmu pengetahuan, karena berkat penyertaan-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Kajian Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas), dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan Magister Sains (S2) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini tidak akan dapat terselesaikan apabila tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku Ketua Komisi dan Ibu DR. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku Anggota Komisi yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. DR. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) atas motivasi yang diberikan kepada penulis, serta semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, suami, anak-anakku serta adik-adikku, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Namun karena keterbatasan sebagai manusia, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan pada penulisan ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amiin.

Sesungguhnya kebenaran datangnya hanyalah dari Allah SWT dan, kesalahan datangnya dari penulis sendiri.

Bogor, Agustus 2012


(34)

(35)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 19 Maret 1982 dari ayah Eko Murniyanto dan ibu Sihniyati. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Selepas lulus dari SMA Negeri 1 Wonogiri tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Universitas Diponegoro pada tahun yang sama. Penulis mengambil program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Institut Pertanian Bogor.


(36)

(37)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi DAFTAR GAMBAR ... xxiii DAFTAR LAMPIRAN ... xxv 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Permasalahan ... 3 1.3. Tujuan ... 3 1.4. Manfaat ... 4 1.5. Kerangka Pemikiran ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7 2.1. Banjir Pasang (Rob) ... 7 2.1.1. Dampak banjir pasang (Rob) ... 8 2.1.2. Mitigasi terhadap banjir pasang (Rob) ... 9 2.1.3. Dinamika sosial kawasan pesisir... 10 2.2. Sistem Pesisir ... 13 2.3. Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut ... 16 2.4. Dinamika Pasang Surut ... 20 2.5. Penurunan Permukaan Tanah ... 21 2.6. Definisi dan Konsep Kota Pantai ... 22 3. METODE PENELITIAN ... 25 3.1. Ruang Lingkup ... 25 3.2. Batasan Spasial ... 27 3.3. Metode Pengumpulan Data ... 27 3.3.1. Teknik pengambilan data ... 27 3.4. Analisa Data ... 29 3.4.1. Analisis histori ... 29 3.4.2. Analisis sistem mata pencaharian pesisir ... 29 3.4.3. Analisis kebijakan ... 36 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 43 4.1.1. Kondisi geografis dan topografi ... 43 4.1.2. Penggunaan lahan ... 43 4.1.3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ... 44 4.1.4. Kondisi pasang surut ... 47 4.2. Analisis Histori ... 47 4.2.1. Periode pendudukan Kolonial Belanda ... 47 4.2.2. Periode Kemerdekaan ... 49 4.3. Analisis Sistem Mata Pencaharian Pesisir (Coastal

Livelihood System Analysis) ... 51 4.3.1. Analisis kerentanan ekologi ... 52 A. Hutan lindung/kawasan resapan air ... 52 B. Hutan mangrove ... 52


(38)

xx

C. Kawasan terbangun ... 52 D. Elevasi kawasan ... 53 E. Luasan genangan rob ... 53 4.3.2. Analisis kerentanan sosial ... 58 A. Kepadatan penduduk ... 58 B. Tingkat kemiskinan ... 59 C. Mata pencaharian... 59 D. Status kepemilikan lahan ... 60 E. Pemahaman masyarakat tentang bencana ... 60 F. Analisis sikap penduduk terhadap terjadinya bencana ... 61 4.3.3. Analisis kerentanan ekonomi ... 61 A. Keberadaan lokasi usaha/produksi ... 62 B. Keberadaan kawasan perdagangan dan jasa ... 62 C. Jalan tergenang ... 63 D. Kerusakan fisik bangunan ... 64 4.3.4. Matrik dampak pengelolaan ekologis dan sosial-ekonomi ... 65 4.3.5. Identifikasi aset mata pencaharian ... 67 A. Aset alam ... 67 B. Aset manusia ... 68 C. Aset sosial ... 69 D. Aset keuangan ... 70 E. Aset buatan ... 70 4.3.6. Identifikasi pemilihan insentif ... 71 4.4. Analisis Kebijakan ... 73 4.4.1. Trade-off Analysis ... 73 A. Analisis stakeholder ... 73 B. Analisis skenario ... 75 C. Kriteria dan dampak ... 76 D. Analisis skenario kebijakan ... 79 4.4.2. Strategi Pengelolaan Kawasan Terdampak ... 81 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83 5.1. Kesimpulan ... 83 5.2. Saran ... 83 DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN ... 89


(39)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Identifikasi tingkat kerentanan ... 30 2. Penggunaan lahan Kelurahan Tanjung Mas ... 44 3. Jumlah penduduk Kelurahan Tanjung Mas berdasarkan

mata pencaharian tahun 2010 ... 45 4. Sarana perekonomian di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2010 ... 46 5. Data pasang surut Tanjung Mas Semarang ... 58 6. Identifikasi kerentanan ekologi terhadap rob di Kawasan

Tanjung Mas ... 58 7. Identifikasi kerentanan sosial terhadap rob di Kawasan

Tanjung Mas ... 61 8. Identifikasi kerentanan ekonomi terhadap rob di Kawasan

Tanjung Mas ... 62 9. Matrik dampak kawasan Kelurahan Tanjung Mas terhadap rob ... 66 10. Kondisi aset alam ... 67 11. Kondisi aset manusia ... 68 12. Kondisi aset sosial ... 69 13. Kondisi aset keuangan ... 70 14. Kondisi aset buatan ... 71 15. Sistem insentif berbasis masyarakat yang terkena rob... 73 16. Skenario alternatif dalam pengelolaan kawasan terdampak rob ... 76 17. Matrik dampak setiap kriteria terhadap skenario yang ditentukan

saat ini dan 30 tahun mendatang ... 78 18. Matrik dampak dengan skor dan persamaan bobot ... 79 19. Besaran prioritas yang diberikan untuk masing-masing isu ... 79 20. Penggabungan kriteria-dampak dan indeks skor masing-masing


(40)

(41)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ... 5 2. Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan pesisir

berkaitan dengan ekosistem pesisir dan struktur penggunaan

yang mengarahkan rancangan organisasi pesisir ... 18 3. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan

wilayah pesisir ... 20 4. Diagram ruang lingkup penelitian ... 26 5. Lokasi penelitian ... 28 6. Langkah-langkah mendisain CLSA ... 32 7. Langkah lengkap dalam mendisain CLSA ... 33 8. Checklist tahap 1 CLSA ... 34 9. Checklist tahap 2 CLSA ... 35 10. Checklist tahap 3 CLSA ... 35 11. Checklist tahap 4 CLSA ... 36 12. Checklist tahap 5 CLSA ... 37 13. Tingkat kepentingan dan pengaruh pada berbagai

kelompok stakeholders yang berbeda ... 39 14. Peta penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Semarang ... 44 15. Perilaku fluktuasi pasang surut bulan Maret 2011 ... 48 16. Perilaku fluktuasi pasang surut bulan April 2011 ... 48 17. Dinamika ekologi pesisir di Semarang ... 50 18. Dinamika sosial pesisir di Semarang ... 50 19. Dinamika rob di Semarang ... 50 20. Persentase luasan tergenang terhadap luas kecamatan ... 55 21. Peta genangan banjir pasang surut tahun 2000 ... 55 22. Peta genangan banjir pasang surut tahun 2010 ... 56 23. Peta prediksi genangan banjir pasang surut tahun 2030 ... 56 24. Peta prediksi genangan banjir pasang surut tahun 2029 ... 57 25. Sebaran lokasi usaha/produksi ... 63 26. Grafik hasil CLSA di Tanjung Mas ... 72 27. Grafik stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh

terhadap pengelolaan rob di Kelurahan Tanjung Mas ... 74 28. Indeks keberlanjutan masing-masing kriteria oleh pemangku


(42)

(43)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tabel Pasang Surut Rata-Rata Bulan Maret-April 2011 ... 89 2 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) ... 90 3 Skoring Isu-isu dan Permasalahan oleh Stakeholder ... 91 4 Kawasan wilayah pesisir Semarang yang terdampak rob………. ... 92 5 Pilihan responden terhadap sistem insentif ... 93 6

Pilihan alternatif pengelolaan yang ditawarkan oleh stakeholder


(44)

1

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar dari pada daerah paparan benua (continental shelf). Wilayah pesisir dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung, pemukiman atau aktivitas lainnya (Bengen, 2002). Wilayah pesisir selalu mendapat tekanan yang besar dari segala aktivitas yang berkembang diatasnya. Besarnya tekanan yang tidak seimbang mampu mengakibatkan kerusakan ataupun bencana sehingga mampu merubah ruang wilayah pesisir.

Wilayah pesisir Semarang merupakan wilayah dengan kompleksitas aktivitas yang padat. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan, terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transport Regional Jawa Tengah dan kota transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. Marfai dan King (2008) menyatakan Kota Semarang merupakan wilayah pesisir dengan penggunaan lahan yang bervariasi dan aktivitas yang dinamis. Kompleksitas kota Semarang antara lain aktivitas industri dan pelabuhan, aktivitas pertanian, pertumbuhan populasi penduduk, penggunaan air tanah, perkembangan penduduk, aktivitas rekreasi, dan perikanan. Suprijanto (2003) menunjukkan bahwa wilayah tepi air seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar merupakan kawasan yang strategis. Identifikasi yang dilakukan di Surabaya menunjukkan bahwa kawasan tepi air ini memiliki aktivitas besar baik untuk perindustrian dan pemukiman.

Kompleksitas kegiatan dan aktivitas yang ada di wilayah Semarang menyebabkan besarnya tekanan pada wilayah tersebut. Kerusakan lingkungan telah terlihat. Fenomena yang terjadi hingga sekarang adalah banjir pasang (rob). Salah satu kawasan terdampak rob di Kota Semarang adalah Kelurahan Tanjung Mas. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah yang sering dilanda banjir dan rob sejak beberapa tahun yang lalu. Jika penanganan banjir tidak sistematis, diperkirakan pada 2030 kawasan tersebut akan tenggelam. Prediksi ini didasarkan pada penurunan lahan yang terjadi tahun demi tahun yang semakin mengkhawatirkan. Menurut Marfai and


(45)

2

King (2008), luas lahan yang mengalami penurunan di kawasan pesisir Semarang dapat mencapai 2.227 ha pada tahun 2020. Antisipasi banjir yang selama ini mendera wilayah Semarang harus diperhatikan melalui tiga hal, yaitu melalui pemanenan air hujan di daerah atas, pembuatan pompa untuk daerah bawah, serta membendung air laut yang masuk ke daratan. Selain penurunan permukaan tanah, banjir yang terjadi di kawasan Kelurahan Tanjug Mas juga disebabkan oleh peningkatan muka air laut, luapan sungai karena hujan sebagai akibat kurangnya pemeliharaan terhadap jaringan drainase kota, berkurangnya daerah tangkapan air, dan timbulnya banjir kiriman sebagai dampak dari perubahan penggunaan lahan di Semarang Atas.

Fenomena banjir pasang (rob) ini banyak menimbulkan kerugian pada aspek ekonomi, sosial, infrastruktur dan kesehatan. Suryanti dan Marfai (2008) menunjukkan bahwa akibat banjir rob dan banjir kiriman hujan telah memberikan pengaruh negatif terhadap kawasan pantai Kota Semarang antara lain telah merubah fisik lingkungan, kegiatan harian terganggu, penduduk tidak mempunyai aksesibilitas untuk pergi ke tempat kerja dan melakukan aktivitas dengan normal karena fasilitas jalan di kawasan pesisir tergenang air laut, pelayanan umum/publik penunjang kegiatan rumah tangga, seperti ketersediaan air bersih dan listrik, tidak dapat berfungsi. Kobayashi (2003) juga menyebutkan bahwa pekerja domestik wanita atau penjaga rumah mengalami kesulitan yang lebih berat selama kejadian banjir rob. Mereka harus mengamankan peralatan rumah tangga selama muka air laut naik dan membersihkan lingkungan serta rumah setelah banjir rob berlalu. Menurut Soedarsono (1996), anak-anak juga mudah terkena penyakit dan infeksi dari genangan banjir tersebut. Penyakit seperti diare, demam, dan malaria menjadi lebih mudah menyerang selama banjir karena kondisi sanitasi yang buruk. Banjir rob juga mempengaruhi kualitas bangunan atau kondisi bangunan. Akibat genangan pada bangunan secara kontinyu dengan frekuensi yang tinggi, bangunan tempat tinggal mengalami kerusakan.

Isu-isu di atas memberikan gambaran tentang keberadaan banjir pasang dengan segala dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian yang mengkaji tentang banjir pasang dengan segala kemungkinan faktor penyebab, dampak terhadap masyarakat, maupun upaya mitigasi yang dilakukan dan alasan mengapa sebagian masyarakat masih enggan untuk berpindah sudah banyak dilakukan. Penelitian ini lebih pada pemilihan insentif yang bisa ditawarkan pada masyarakat ketika terjadi rob. Untuk itu, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk memberikan gambaran mendetail tentang dinamika banjir pasang yang terjadi di


(46)

3

wilayah Semarang dengan akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat terutama bidang sosial ekonomi sehingga diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pemangku kepentingan guna penyusunan arah kebijakan pengelolaan yang berbasis pada adaptasi masyarakat terhadap banjir rob.

1.2. Permasalahan

Kejadian rob telah diteliti di kawasan pesisir, di mana secara keseluruhan berpendapat bahwa hal ini diakibatkan peningkatan muka air laut dan penurunan tanah serta perubahan penggunaan lahan. Kejadian rob yang terjadi di Kelurahan Tanjung Mas Semarang begitu komplek. Penyebab karena faktor alami ataupun pengaruh aktivitas manusia yang melatarbelakangi semakin meluasnya dampak yang terjadi. Rob adalah sistem, dalam suatu kawasan menyangkut wilayah artinya bagaimana komposisi lahan dan laut serta posisinya dengan laut. Kejadian rob merupakan rangkaian dari masa lalu suatu wilayah dimana menjadi awal sebab dan berlangsung terus menerus. Rob juga menyangkut cuaca dan waktu. Kejadian rob di suatu kawasan juga bergantung penggunaan lahan dan kepadatan penghuni (manusia, masyarakat) serta perilaku penghuni.

Dampak yang diakibatkan rob bisa terjadi pada bentang wilayah, sosial ekonomi masyarakat, maupun ekologi. Oleh karena itu, pengamatan secara mendalam perlu dilakukan untuk lebih mendapatkan data terbaru yang bisa dijadikan masukan dalam penyusunan kebijakan dalam pengelolaan maupun mitigasi agar dampak dapat diminimalisir sekecil mungkin, maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana dinamika dari rob yang terjadi di Kelurahan Tanjung Mas dan segala komponen yang mempengaruhinya?.

2. Bagaimana rob yang terjadi mempengaruhi dan memberikan dampak pada segala aktivitas sosial ekonomi masyarakatnya?.

3. Bagaimana memilih strategi pengelolaan di daerah pesisir Kelurahan Tanjung Mas terkait rob yang sering terjadi di wilayah tersebut?.

1.3. Tujuan

Sesuai dengan pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi dinamika sistem sosial ekologis di lokasi penelitian.

2. Mengestimasi dampak rob terhadap sistem sosial ekologis pada lokasi penelitian. 3. Menyusun strategi pengelolaan pesisir berbasis adaptasi terhadap rob.


(47)

4

1.4. Manfaat

Manfaat yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah pengetahuan tentang suatu keterkaitan antara faktor sosial dan ekologis dalam sistem adaptasi masyarakat terhadap rob.

1.5. Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir merupakan bagian dari wilayah perairan laut yang memiliki potensi pemanfaatan yang cukup besar. Hal tersebut mengakibatkan tekanan yang diterima wilayah pesisir sebanding bahkan bisa lebih tinggi dari potensi yang diberikan. Pengelolaan terhadap wilayah tersebut sangat penting untuk dilakukan. Pengelolaan harus menjaga keseimbangan antara kelestarian lingkungan dengan segala aktivitas dari stakeholder sebagai pemangku kepentingan yang ada.

Kondisi pasang surut yang menjadi salah satu faktor dinamika di pesisir secara tidak langsung berperan pada kondisi pesisir tersebut. Kondisi wilayah yang landai menambah kompleksitas dinamika di pesisir. Kejadian banjir pasang (rob) yang semakin luas menyebabkan masyarakat terkena dampaknya baik dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Melalui penelusuran sejarah maka bisa diketahui kondisi terbentuknya wilayah beserta dinamika yang terjadi dan terus berkembang.

Dinamika kondisi wilayah sebagai akibat dari adanya banjir pasang baik di masa lalu maupun sekarang perlu untuk diidentifikasi dan diketahui sebagai masukan untuk proses analisis selanjutnya. Resiko atau dampak yang timbul sebagai akibat dari eksploitaasi yang berlebih akan mendorong dalam penganekaragaman adaptasi. Rumah tangga atau individu yang tidak mampu menghadapi tekanan yang terjadi dari gangguan tersebut akan bersifat rentan (Ellis 1999 in Suriana 2009). Oleh karena itu mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat resiko dari besarnya tekanan terhadap suatu wilayah pesisir perlu dilakukan sebagai salah satu upaya mitigasi dalam pengelolaan kawasan pesisir agar berkelanjutan. Namun, dengan banyaknya

stakeholder yang berkepentingan terhadap wilayah pesisir maka perlu dilakukan pelibatan para stakeholder tersebut dalam penentuan kriteria dampak yang memiliki nilai dominan terhadap kehidupan dan peyusunan skenario pengelolaan untuk masa depan. Penggunaan analisis pada penentuan kebijakan yang berbasis stakeholders

diharapkan dapat mencapai pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, karena analisis ini didasarkan atas beberapa kajian aspek ekonomi, ekologi dan sosial serta dalam pengumpulan informasi/data dilakukan sesuai dengan keinginan dan pandangan para pengguna (stakeholders) yang secara langsung berhubungan dengan


(48)

5

penggunaan sumberdaya di wilayah yang akan dilakukan pemanfaatan. Keluaran yang diharapkan nantinya adalah rekomendasi pengelolaan yang berbasis pada pola adaptasi masyarakat sehingga mampu meminimalisir dampak banjir pasang yang sering terjadi. Secara umum kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Pasang Surut

Kawasan Pesisir Semarang

Landai

Rob

Sosial

Historikal Rob

Ekonomi

Adaptasi Analisis

Histori

Skenario Adaptasi

Coastal Livelihood System Analysis

(CLSA)

Trade Off Analysis (TOA)

Umpan balik Sistem Sosial Ekologis


(49)

(50)

7

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Banjir Pasang (Rob)

Banjir pasang atau dalam bahasa jawa yang lebih dikenal dengan istilah rob

merupakan banjir yang diakibatkan proses pasang surut air laut sehingga menggenangi lahan ataupun kawasan pesisir yang lebih rendah dari permukaan laut rata-rata dan pantai yang memiliki morfologi landai (Suryanti 2008). Rob akan semakin parah apabila pada lahan ataupun kawasan telah ada genangan air yang diakubatkan banjir lokal maupun luapan air dari drainase yang tidak berfungsi dengan baik. Pada daerah pesisir Semarang kejadian rob ini hampir tiap tahun terjadi, umumnya di wilayah Semarang Utara dan Semarang Tengah kejadian rob akan nampak sekali, mengingat di kawasan ini merupakan kawasan industri, padat pemukiman dan aktivitas pelabuhan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryanti (2008) bahwa kejadian banjir pasang ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : pertama, terjadinya perubahan pada penggunaan lahan pada wilayah pantai. Contohnya, lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami fungsinya mampu menahan dan menampung laju masuknya air pada saat pasang kini telah berubah peruntukaannya sebagai lahan permukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya. Perubahan ini dilakukan dengan cara menimbun atau meninggikan daerah-daerah tersebut sehingga apabila terjadi pasang air laut maka akan menggenangi daerah yang lebih rendah. Kedua, Terjadinya penurunan tanah pada kawasan pantai. Menurut Marfai dan King (2008), bahwa terjadinya penurunan tanah ini diakibatkan penggunaan air tanah yang berlebihan dan keberadaan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk.

Ketiga, adanya kenaikan muka air laut sebagai akibat pemanasan global.

Ditinjau dari keadaan topografinya, wilayah Semarang pada bagian utara hingga pantai merupakan dataran rendah, sedangkan di bagian selatan merupakan perbukitan. Secara umum, topografi wilayah Semarang memiliki kemiringan antara 0 sampai 2% dan ketinggian ruang antara 0-3,5 mdpl. Wilayah Semarang bagian atas memiliki ketingggian antara 90-200 meter dari permukaan laut.

Penelitian yang dilakukan oleh Wirasatriya (2005) memperlihatkan hasil bahwa elevasi BM 1 SPP II-1 pada bulan November 2004 menunjukkan nilai MSL + 3,165 m. Setelah dilakukan pengukuran beda tinggi antara BM 1 SPP II-1 dengan BM stasiun pasut pada bulan Mei 2005 didapatkan hasil elevasi BM stasiun pasut sebesar MSL + 1,166 m, selanjutnya pada bulan Mei 1985 ketinggian BM Stasiun Pasut adalah MSL


(51)

8

+ 2,199 m. Pengamatan tersebut menyimpulkan bahwa sejak tahun 1985-2005 BM stasiun pasut telah mengalami penurunan sebesar 1,033 m. Pelindo III cabang Tanjung Emas (2000) menyebutkan bahwa peristiwa penurunan tanah umumnya mengikuti fungsi hiperbola, akan tetapi berdasarkan laporan dari Sriboga Ratu Raya (2004) yang telah melakukan pengukuran secara berkala (tiap bulan) sejak tahun 1998 terhadap penurunan di beberapa titik di area pabrik, didapatkan hasil bahwa penurunan tanah yang terjadi mengikuti pola yang linier, meskipun terdapat variasi mengenai besarnya penurunan di tiap titik, hal ini tergantung dari berat beban yang berada di atasnya dan kedalaman pondasi bangunan. Namun hal ini hanya berlaku pada lokasi Stasiun Pasut saja, sedangkan untuk lokasi-lokasi lain sangat tergantung pada penurunan tanah yang terjadi di lokasi tersebut. Penelitian yang dilakukan Wirasatriya menunjukkan hasil bahwa laju penurunan tanah yang terjadi di Stasiun Pasut Semarang sebesar 5,165 cm/tahun.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Haryono dan Sri Narni (2004) dengan mengambil daerah contoh di sepanjang kawasan pesisir Jakarta. Sama halnya dengan wilayah pesisir di Semarang, kawasan pesisir di sepanjang Jakarta juga sering terjadi banjir. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa keadaan permukaan air laut di sepanjang pesisir Jakarta mengalami peningkatan yang diduga akibat pemanasan global. Selain itu diketahui pula bahwa telah terjadi penurunan tanah di wilayah Jakarta. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya banjir di wilayah pesisir Jakarta, disamping adanya alih fungsi daerah yang menjadi resapan air untuk daerah industri ataupun pemukiman, buruknya sistem drainase, sampah dan banjir kiriman.

2.1.1. Dampak banjir pasang (rob)

Banjir pasang (rob) yang setiap tahun terjadi baik di wilayah pesisir Semarang ataupun Jakarta, menimbulkan permasalahan dan pengaruh yang besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal di wilayah kawasan pesisir. Berdasarkan penelitian Suryanti dan Marfai (2008) bahwa terjadinya

rob pada batasan tertentu talah mengubah kondisi fisik lingkungan, sehingga berdampak negatif terhadap masyarakat, bangunan dan infrastruktur pemukiman di kawasan tersebut. Kegiatan harian masyarakat nyaris tidak dapat berjalan dengan normal. Masyarakat tidak memiliki aksesibilitas untuk pergi ketempat kerja akibat tergenangnya fasilitas jalan akibat air laut. Selain itu, ketersediaan air bersih dan listrik tidak dapat berfungsi secara normal untuk menunjang kegiatan rumah tangga. Masyarakat sebagian besar nyaris tidak dapat melanjutkan pekerjaan harian mereka


(52)

9

untuk menghidupi keluarga. Terjadinya rob juga berdampak pada pekerja domestic wanita atau penjaga rumah yang mengalami kesulitan dalam mengamankan peralatan rumah tangga selama banjir rob, membersihkan rumah dan lingkungan setelah banjir surut (Kobayashi 2003 diacu dalam Suryanti 2008).

Lebih lanjut penelitian Soedarsono (1996) yang diacu dalam Suryanti (2008) menyebutkan bahwa dampak rob juga dirasakan oleh anak-anak, yaitu mudahnya terkena penyakit diare, demam dan malaria serta infeksi akibat sanitasi yang buruk selama terjadi kenaikan air laut. Disamping itu kenaikan air laut juga memberikan pengaruh terhadap kondisi bangunan. Akibat genangan yang kontinyu dengan frekuensi yang tinggi, banyak bangunan tempat tinggal yang mengalami kerusakan. Umumnya bagian bangunan yang mengalami kerusakan adalah pintu, jendela, lantai dan tembok. Meskipun telah dilakukan perbaikan pada bangunan tersebut namun tidak ada dampak kemajuan yang berarti. Sehingga setiap tahun bangunan rumah tersebut akan selalu diganti (Kobayashi 2003 diacu dalam Suryanti 2008).

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Kusumawati (2004) akibat terjadinya rob

adalah gangguan aktivitas kerja yang berupa perubahan kebiasaan pelaksanaan aktivitas interaksi dan adat istiadat. Dimana masyarakat masih dapat mentoleransi genangan rob yang terjadi sebagai akibat dari tingkat kebutuhan, kekerabatan, dan tradisi yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

2.1.2. Mitigasi terhadap banjir pasang (rob)

Banjir pasang (rob) yang terjadi hampir disetiap tahun memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terus menerus. Adapatasi ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Proses adaptasi sangat dinamis karena lingkungan dan manusia berkembang dan berubah secara terus menerus. Umumnya masyarakat yang telah terbiasa daerahnya terkena dampak rob enggan untuk berpindah. Mereka tetap memilih tinggal di daerah asal meskipun tiap tahun harus mengalami langganan rob. Faktor yang menyebabkan masyarakat enggan untuk berpindah adalah pertama, sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun buruh industri sekitar daerah pelabuhan. Dengan bertempat tinggal di daerah dekat dengan tempat mereka bekerja maka mereka mendapatkan kemudahan akses untuk menjangkaunya. Kedua, Sebagian masyarakat berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah yang tidak memiliki modal untuk pindah ke tempat lain.

Berbagai adaptasi telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kobayashi (2001) adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat yaitu : pindah ke lokasi yang lebih aman,


(53)

10

membangun polder dan pompa, menambah tanah di tempat yang rendah, merubah jenis bangunan (rumah panggung atau rumah susun). Sedangkan menurut Suryanti dan Marfai (2008) adaptasi yang telah dilakukan masyarakat antara lain: pertama, membuat tanggul kecil/urug di dalam rumah atau meninggikan pondasi rumah. Ini dilakukan untuk mencegah supaya air tidak menggenang di dalam rumah. Kedua, membuat talud dan tanggul permanen dan non permanen di pantai. Ketiga, meninggikan jalan sekitar 1 – 1,5 m untuk menghindari supaya jalan tidak tergenang saat rob terjadi sehingga akses untuk transportasi tetap lancar. Keempat, sebagian warga telah membangun rumah panggung. Adaptasi lain yang dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan mengubah waktu aktivitas keseharian, aktifitas interaksi maupun aktifitas adat (Kusumawati, 2004).

2.1.3. Dinamika sosial kawasan pesisir

Perubahan pembangunan yang disebabkan pertumbuhan populasi manusia, meningkatnya kualitas hidup, dan restrukturisasi ekonomi nasional mendorong Indonesia untuk mengintensifkan dan meragamkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perairan laut. Hal ini didasarkan pada peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup dan sumberdaya pesisir dan perairan laut akan menjadi tumpuan utama untuk menopang pembanguna ekonomi negara dimasa depan. Dua puluh lima tahun ke depan diharapkan pentingnya sumber daya pesisir laut bagi ekonomi Indonesia meningkat, namun pola pemanfaatan tidak akan berubah secara dramatis. Kawasan pesisir dan laut akan terus mengalami tekanan dari kegiatan pembangunan yang membutuhkan sumber daya alam dan jasa lingkungan dari kawasan pesisir dan laut (Hutabarat, 2009).

Dilihat dari aspek biofisik, wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas. Adanya sifat yang khas ini mengakibatkan perubahan yang signifikan apabila terdapat intervensi manusia di dalamnya, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lainnya. Aspek kepemilikan menunjukkan bahwa wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang ada di dalamnya bersifat open access, artinya tidak memliki status kepemilikan yang jelas. Namun di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi , Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan kelembagaan tradisional awig-awig , dan Sangihe Talaud dengan kelembagaan maneeh, memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki kepedulian terhadap wilayah pesisir laut beserta sumberdaya yang di dalamnya. Karakteristik


(54)

11

wilayah yang khas dan open access itulah, maka menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang daan sumber daya serta sangat mudah terjadi degradasi lingkungan dan problem eksternalitas dengan adanya pembangunan di wilayah pesisir dan laut serta pemanfaatan sumber daya di dalamnya (Hutabarat, 2009).

Usman (2003) mengemukakan bahwa lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Dikatakan pula bahwa perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial. Menurut Suharti yang diacu dalam Manuwono (2008), masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, selain itu keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif.

Zamroni (1992) menyatakan bahwa perilaku sosial merupakan hubungan antara tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan. Indikator-indikator perubahan perilaku sosial berbeda-beda menurut pandangan setiap ahli. Jayasuriya dan Wodon (2003) melakukan riset di sejumlah negara menggunakan 2 kategori utama yaitu pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Africa (2003) menggunakan indikator kebutuhan dasar minimum - sistim informasi data masyarakat (MBN-CBIS) dengan 3 indikator utama yaitu survival, security dan enabling. Usman (2003) memberikan 3 komponen utama dalam mengupas permasalahan di masyarakat yang terkait dengan kondisi lingkungan yaitu: demografi, ekonomi dan budaya.

Purba (2002) menyatakan berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara lain: berkembangnya konflik atau friksi sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan. Melihat berbagai pendapat dapat dilihat pula bahwa sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan, seperti nelayan , petani ikan, penambang pasir, pencari kayu mangrove dan lainnya. Kemiskinan yang


(55)

12

terjadi di masyarakat pesisir merupakan problem struktural yang hingga saat ini masih tetap ada. Penerimaan yang rendah setiap bulan dan atau kebutuhan yang meningkat, bagi penduduk asli mendorong menjual tanah yang dimiliki atau lahan (tambak, rawa) kepada pihak lain. Pengalihan hak kepemilikan mendorong munculnya kawasan baru seperti industri atau real estate dan kawasan perdagangan.

Perubahan lahan di wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan peruntukannya telah berakibat terjadinya banjir pasang. Perunukan lahan yang telah mengubah kondisi ekologis secara simultan akan berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi secara menyeluruh. Perubahan ini akan memacu perubahan perilaku masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya perubahan dalam lingkungan masyarakatnya sebagai akibat adanya peningkatan status maupun penurunan keadaan. Perubahan perilaku dapat bersifat intern maupun ekstern dan dapat bersifat positif maupun negatif. Perubahan intern ini dalam arti perilaku keseharian yang menyangkut diri sendiri seperti rasa apatis, apriori, traumatik dan lain-lain, sedang ekstern adalah perilaku keseharian yang menyangkut terhadap orang lain baik di dalam keluarga maupun luar keluarga seperti kerjasama, paternalistis dan lain-lain (Manuwono, 2008).

Peruntukan wilayah pesisir sangat komplek dalam berbagai aktifitas kegiatan manusia. Suprijanto (2003) menunjukkan contoh kawasan tepi air pada umumnya digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman. Kawasan ini cenderung memiliki aktivitas yang tinggi. Haryono dan Narni (2004) memberi contoh kawasan pesisir Jakarta bahwa penduduknya terlalu padat dan jaringan air minum dari Perusahaan Air Minum Jaya masih dirasakan kurang. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menggali sumur sendiri untuk berbagai keperluan. Kalangan industri juga menggali sumur dalam untuk memenuhi keperluannya. Sumaryo (1997) menambahkan terjadinya proses akresi dapat menyebabkan terjadinya penurunan tanah. Kenaikan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah dapat berpengaruh terhadap terjadinya banjir di sepanjang pesisir Jakarta.

Suryanti dan Marfai (2008) menunjukkan tipologi penghuni kawasan pesisir Semarang bahwa 66% penduduk berkelamin laki-laki dan sisanya perempuan dengan usia produktif. Tingkat pendidikan 20% SD, 50% SMP, 30% SMA dan PerguruanTinggi. Berdasarkan aktivitas/mata pencaharian 47,5% responden adalah buruh industri, 25% responden petani dan nelayan, 20% responden PNS, dan 7,5% bekerja di sektor lain. Fenomena tersebut mengindikasikan status sosial dari menengah ke bawah. Tempat tinggi permanen sebanyak 84%,tetapi kondisi rumahnya sangat jauh dari standar rumah sehat dan baik.


(56)

13

Kasus yang menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat akibat adanya perubahan di wilayah pesisir ditunjukkan Manuwono (2008) yang melakukan pengamatan di wilayah pesisir Demak. Terjadinya banjir pasang sebagai akibat perubahan lahan mangrove yang berubah fungsinya sebagai lahan tambak. Seiring dengan kondisi pasar udang yang semakin menurun dan kebijakan pasar dunia yang tidak menerima produk udang dari hasil pembukaan lahan dalam artian ‘merusak’ menyebabkan masyarakat merugi dan lahan yang ada terbengkelai. Lahan yang ada tidak lagi terpakai dan kelamaan terkikis air laut dan berubah menjadi wilayah laut dan mengakibatkan masuknya air laut saat pasang semakin jauh ke daratan. Kondisi ini telah mengubah perilaku masyarakat akibat berkurangnya pendapatan. Masyarakat yang dulunya menjadi ‘juragan’ berubah menjadi ‘bukan juragan’. Secara umum para petani tambak dan nelayan yang mengalami penurunan pendapatan akibat abrasi tambak dan rob, mengalami perubahan perilaku yang bersifat negatif yaitu apriori, apatis dan mengalami gangguan jiwa.

2.2. Sistem Pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar dari pada daerah paparan benua (continental shelf) (Bengen, 2002).

Konsep tentang pesisir, yaitu sebidang lahan yang membentang di pedalaman dari garis pesisir (coastline) sejauh pengaruh laut dan dibuktikan pada bentuk lahannya. Garis pesisir (coastline) adalah garis yang membentuk batas antara pesisir dan pantai. Garis pesisir (coastline) berbeda dengan garis pantai (shoreline). Jika garis pesisir membatasi pesisir dan pantai yang kedudukannya relatif tetap, maka garis pantai membatasi darat dan permukaan laut yang kedudukannya selalu berubah dan sangat fluktuatif bergantung pada pasang surut dan besamya gelombang. Pada suatu saat, garis pesisir dapat berimpit dengan garis pantai. Berimpitnya kedua garis tersebut terjadi ketika laut mengalami pasang dengan gelombang yang relatif besar.

Ciri pokok sistem pesisir, yaitu: (1) daerah kepesisiran yang mencakup komponen-komponen darat dan laut, (2) mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh tingkat pengaruh darat pada laut dan pengaruh laut pada darat, serta (3) tidak memiliki lebar, kedalaman, dan ketinggian yang seragam. Khakkhim et al. (2005) mengemukakan bahwa wilayah pesisir merupakan ekosistem yang kaya akan sumber


(57)

14

daya alam baik sumber daya alam dapat pulih (renewable resources) seperti ikan, terumbu karang, hutan mangrove, dan sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang dan mineral lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga memiliki potensi energi kelautan yang cukup potensial seperti gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion),

serta memiliki potensi jasa-jasa lingkungan (environmental services) seperti media transportasi, keindahan alam untuk kegiatan pariwisata, dan Iain-lain.

Sel sedimen adalah satuan panjang pantai yang mempunyai keseragaman kondisi fisik dengan karakteristik dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya yang tidak mengganggu keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan (http://www.iczmsabah. gov.sediment.html

a. Batas tetap yang dididentifikasikan berdasar pada stabilitas, seperti head land, inlet dan struktur bangunan sipil besar (jety) yang menjorok dari pantai;

). Menurut Bray et al. (1995), sel sedimen adalah suatu sistem transport sedimen yang secara relative self contained dimana sumber sedimen, deposit sedimen sementara, hilangnya sedimen, batas pergerakan sedimen dan pola pergerakan sedimen teridentifikasi. Batas sedimen sendiri menurut Bray et al. (1995) adalah sebagai berikut :

b. Batas dinamis yang sulit dikenali karena stabilitasnya terbatas, seperti pertemuan

littoral drift.

Sedangkan definisi lain menurut Carter (1988), bahwa sel sedimen adalah satu panjang pantai dimana sirkulasi sedimen pada pantai tersebut dikontrol secara ruang oleh distribusi energy gelombang sebagai penggerak sedimen. Carter menbedakakan dua tipe batas pergerakan sedimen, antara lain :

a. Batas tetap yang dapat dikenali sebagai kenampakan morfologi, seperti: tanjung (head land) dan mulut sungai (inlet);

b. Batas dinamis, sulit dikenali karena dikontrol oleh energi gelombang.

Dalam rencana pengelolaan garis pantai menurut MAFF (1995), sel sedimen ini didefinisikan sebagai pantai yang berasosiasi dengan wilayah nearshore dimana pergerakan sedimen non suspended (kerakal dan pasir) relatif self contained; interupsi pergerakan dari sedimen dalam satu sel sedimen tidak mempengaruhi sel-sel lain di sebelahnya. Pengelolaan kawasan pesisir dapat mengambil contoh Negara Inggris dalam coastal defense sejak abad ke-19 (era Victorian) yaitu bahwa penanganan masalah erosi/abrasi menjadi keharusan. Pemahaman pergerakan sedimen dalam satu sistem sedimen transport (sediment cell) menjadi prasyarat dalam mengelola garis pantai. Lebih jauh, kebijakan yang lebih luas (caring, understanding, using


(58)

15

wisely) dijadikan dasar kebijakan Pemerintah Australia dalam mengelola sumber daya laut dan pesisir tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan aspirasinya.

Pendekatan sel sedimen untuk model perencanaan tata ruang dapat dikaji melalui citra satelit dan foto udara. Proses yang terjadi di wilayah pesisir sangat dinamis di mana gelombang, arus, dan pasang surut merupakan tenaga yang selalu 'mencari' dan mengangkut serta menempatkan sedimen dalam suatu wilayah. Dahuri (2003) mengemukakan bahwa pengelolaan lingkungan dalam wilayah pesisir sesuai dengan konsep yang ada harus dilaksanakan secara terencana, rasional, bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsep perencanaan tata ruang pesisir tidak dapat mengikuti sepenuhnya konsep daratan, karena karakteristik eko-biologis dan prinsip dasar yang berbeda. Pada kawasan pesisir, pola perencanaan sangat dipengaruhi oleh pembagian zona-zona perlindungan yang sangat ketat. Hal ini disebabkan karakter pesisir yang sangat dinamis tetapi rentan terhadap perubahan yang terjadi.

Perencanaan tata ruang kawasan pesisir mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi empat zone yaitu : (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, (3) zona penyangga, dan (4) zona budidaya (zona pemanfaatan) (Dahuri, dkk, 2004). Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang tata ruang, zona (1) dan (2) dinamakan kawasan lindung, sedangkan zona (4) dinamakan kawasan budidaya. Zona preservasi adalah suatu daerah dengan ekosistem yang unik, biota endemik atau langka, atau proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan (spawning ground),

daerah pembesaran (nursery ground) dan alur ruaya (migration rates) dari biota perairan. Dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia, kecuali kegiatan pendidikan dan penelitian. Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan (pemanfaatan) dilakukan secara terbatas dan terkendali, misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam bahari (ecotourism) dapat berlangsung dalam zona konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragaman (biodiversity) bergantung pada kondisi alam. Luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya antara 30 - 50% dari luas totalnya.


(59)

16

Khakhim et al. (2005) menyimpulkan pendekatan pengelolaan wilayah pantai antara lain sebagai berikut : (1) Berdasarkan atas keseragaman fisik maka setiap pantai mempunyai kondisi dan karakteristik sel sedimen yang berbeda, (2) Pemanfaatan lahan untuk suatu penggunaan tertentu ditentukan oleh kondisi dan keseragaman fisik lahan. Peruntukan dan penggunaan lahan suatu wilayah merupakan dasar untuk penyusunan rencana tata ruang, dan (3) Kondisi dan karakteristik sel sedimen dapat dimanfaatkan sebagai acuan di dalam penyusunan rencana tata ruang.

2.3. Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut

Sistem sosial ekologis menurut Berkes dan Folke (1998) dalam Suryawati (2012) diartikan sebagai suatu sistem yang terpadu antara alam dan manusia dengan segala hubungan timbal baliknya. Pengertian lain mengenai sistem sosial ekologis yang dikemukakan oleh Anderies in Suryawati (2012) adalah sebagai sistem dari unit biologi/ekosistem yang dihubungkan dengan dan dipengaruhi satu atau lebih sistem sosial.. Pemahaman SES (Social Ecological System) yang dikemukakan oleh Gunderson and Hollini (2002), Berkes dan Folke (1998) dan ditegaskan kembali dengan Berkes dan Folke (2002) in Suryawati (2012) menerangkan bahwa dinamika manusia, masyarakat dan alam sebagai bagian dari sistem terintegrasi dimana interkoneksi sosial ekologis adalah terkemuka dan penggambaran antara sistem alam dan sosial adalah sewenang-wenang dan tiruan. Dimensi sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial ekologis. Sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir, konsep tersebut sangat penting mengingat adanya keterkaitan antara ekosistem perairan, sumberdaya dan pelaku perikanan yang memiliki karakteristik dan dinamika. Menurut Adrianto and Aziz (2006) in Suryawati (2012) terdapat paradigma

Social-Ecological System dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang merupakan intergrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir. Indonesia memiliki dan garis pantai sepanjang 81.000 Km. Dengan kondisi ini Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang besar (mega-biodiversity) dan kawasan pesisir yang potensial dalam pengembangannya. Namun seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya pembangunan di wilayah ini untuk berbagai peruntukan menyebabkan tekanan secara ekologis yang diterima sangat besar. Besarnya tekanan yang dialami dapat mengancam kelangsungan ekosistem beserta sumberdaya pesisir, laut maupun pulau kecil yang ada disekitarnya. Besarnya kerusakan yang dialami kawasan pesisir umumnya disebabkan karena pembangunan yang dilakukan tidak berprinsip pada


(60)

17

pembangunan yang berkelanjutan. Aktifitas yang terjadi hanya satu pihak, yaitu lebih besar dalam mengembangkan ekonomi pusat daripada pertumbuhan ekonomi masyarakat, tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ada kalanya tidak sesuai dengan hukum yang mengatur. Sehingga perlu adanya sistem pengelolaan.

Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Menurut Kay dan Alder (1999) bahwa bahwa suatu sistem pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen et al. (1990) menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan dan administrasi untuk wilayah pesisir yaitu :

a. Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.

b. Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek (harus dilakukan terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif)

c. Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan)

d. Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui program-program.

e. Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan)

f. Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.

Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, berikut disajikan gambar pendekatan berdasarkan kompleksitas dari pengelolaan pesisir seperti Gambar 2.


(61)

18 Interaksi dengan lingkungan sosial ekonomi terluar Interaksi dengan lingkungan alam terluar Perubahan ekologis Interaksi kebijakan Input legal Perubahan sosial ekonomi Organisasi pesisir Penggunaan pesisir Sistem pesisir Ekosistem pesisir Pembangunan berkelanjutan

Gambar 2. Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan pesisir berkaitan dengan ekosistem pesisir dan struktur penggunaan yang mengarahkan rancangan organisasi pesisir (Vallega A, 2001a)

Dari suatu kesimpulan tidak ditemukan jalan terbaik untuk mengorganisasi pemerintah sehubungan dengan pengelolaan pesisir. Hal ini disebabkan dalam kenyataan didunia terdapat keanekaragaman sosial, budaya, politik dan faktor administratif yang menyebabkan tidak ada satu-satunya jalan terbaik. Dengan demikian para perancang administrasi, untuk menata program pengelolaan pesisir yang baru, harus menyesuaikan dengan struktur administratif untuk memperoleh manfaat dari faktor-faktor budaya, sosial dan politik didalam kewenangan secara hukum dimana mereka berinteraksi sesuai issue yang akan dipecahkan. Sorensen et al. (1990) menggambarkan susunan institusional untuk mengalokasi kelangkaan sumberdaya dan nilai kompetitif di wilayah pesisir adalah ; gabungan hukum/aturan, adat/kebiasaan, organisasi dan strategi pengelolaan.

Permasalahan wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Dahuri (2001) merupakan permasalah umum wilayah pesisir yang banyak dijumpai di Indonesia. Dikemukakan bahwa permasalah wilayah pesisir meliputi: pencemaran, kerusakan habitat pantai, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai, konversi kawasan lindung dan bencana alam. Permasalah-permasalahan tersebut sebagian besar diakibatkan


(62)

19

oleh aktifitas kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun yang berada di luar kawasan.

Pengelolaan kawasan pesisir dan laut beserta sumberdayanya perlu dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan, dengan mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan antara aspek ekologis, aspek sosial, antar disiplin ilmu dan semua

stakeholder yang terlibat dan mengambil manfaat dari sumberdaya yang ada. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.

Menurut Kay dan Alder (1999), konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target. Hal paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Konsep pengelolaan wilayah pesisir seperti terlihat pada Gambar 3.


(63)

20

Skala Keseimbangan

Kekuatan Pembangunan Kekuatan Konservasi

Gambar 3. Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kay dan Alder, 1999)

Gambar 3 tersebut menerangkan bahwa konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.

2.4. Dinamika Pasang Surut

Saidja (1988) menjelaskan bahwa air laut akan terjadi pasang naik dan pasang surut secara harian dan bulanan. Pasang harian terjadi siang dan malam, masing-masing dua kali pasang naik dan surut. Pasang bulanan akan terjadi dua kali pasang naik yaitu: (i) pada bulan purnama (tanggal 14 atau 15 Komariah), dan (ii) pada bulan baru dan bulan mati (tanggal 1 dan 30 Komariah), serta dua kali pasang surut yaitu: (i) pada minggu pertama/kwarter pertama (tanggal 7 atau 8), dan (ii) pada pekan terakhir/kwarter terakhir (tanggal 21 atau 22). Pada pasang harian akan terjadi dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut.

Kapan pasang naik dan pasang surut harian terjadi? Pengamatan Saidja (1988) selama 24 jam sejak tanggal 1 sampai 30 Komariah di pantai Parangtritis, Samas, Baron, dan Krakal mendapatkan rumus sebagai berikut :

(1)

Keterangan :

S : saat air laut pasang T : tanggal Komariah


(64)

21

Simamora dalam Saidja (1988) menyatakan bahwa pasang naik dan pasang surut harian akan terlambat kira-kira 50 menit untuk hari berikutnya. Pasang surut laut terbentuk karena adanya gaya tarik dari semua planet terutama bulan dan matahari terhadap bumi. Tarikan itu akan menyebabkan permukaan air laut bergerak vertikal dan horisontal. Oleh karena itu, permukaan air laut tidaklah statis melainkan dinamis. Untuk mengetahui keadaan permukaan air laut perlu dilakukan pengamatan di lapangan. Disini perlu dilakukan pengamatan dengan menggunakan alat perekam permukaan air otomatis ataupun rambu visual. Data ini kemudian dianalisis agar permukaan air laut rerata dapat diketahui. Untuk melakukan analisis ini, dapat dipakai rumus :

(2) Keterangan :

MSL : permukaan air laut rerata A : amplitudo

N : banyaknya pengamatan

∑ : tanda jumlah

Jika ketinggian permukaan air laut tersebut diplotkan melawan perioda waktu, maka akan diperoleh grafik. Sesudah itu, jika grafik ini diolah lebih lanjut, maka dapat diperoleh garis kecenderungan. Berdasarkan garis kecenderungan ini, akan dapat dilihat apakah permukaan air laut tersebut naik, tetap ataupun turun.

2.5. Penurunan Permukaan Tanah

Wilayah pesisir yang digunakan sebagai kawasan pemukiman menekan tersedianya sumber daya alam melalui pemanfaatannya. Keadaan ini makin parah apabila laju pertumbuhan penduduk besar, pemanfaatan sumber daya alam meningkat (ekploitasi) seperti penggunaan air tanah, peningkatan penutupan tanah dan penurunan ruang resapan serta intrusi maupun abrasi.

Ingham (1974) menunjukkan pengamatan penurunan tanah dengan teknologi sipat datar sangat berguna untuk menentukan beda tinggi suatu titik. Beda tinggi titik dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

(3) Keterangan :

h : beda tinggi diantara dua titik a : angka bacaan rambu belakang b : angka bacaan rambu muka


(65)

22

Seandainya dilakukan sipat datar memanjang, ketinggian suatu titik dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :

(4) Keterangan :

T : ketinggian suatu titik

∑ h : jumlah beda tinggi

Jika pada suatu titik di ukur tingginya lebih dari satu kali, yaitu pada epok waktu yang berbeda, maka dapat ditentukan beda tinggi antara epok yang satu dengan epok yang lain. Penghitungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan rumus :

(5)

Keterangan :

∆h : beda tinggi suatu titik yang sama, tetapi diamati pada dua epok waktu yang berlainan

H1 : tinggi suatu titik pada epok waktu pertama H2 : tinggi suatu titik pada epok waktu ke dua

Berdasarkan beda tinggi suatu titik yang sama akan tetapi diamati dengan beberapa epok waktu yang berlainan, maka dapat diketahui apakah titik itu kedudukannya tetap, turun atau naik.

Jika pada suatu daerah dibuat jaringan titik yang cukup banyak dan selanjutnya dilakukan pengukuran dan penghitungan sipat datar seperti itu, maka akan dapat diketahui apakah jaringan titik itu tetap, naik ataupun turun. Karena keberadaan jaringan tersebut mewakili permukaan tanah di kawasan itu, maka dapat dibuat analisis lanjutan yaitu apakah permukaan tanah itu naik, tetap atau turun. Kecepatan penurunan permukaan tanah tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

(6)

Keterangan :

∆t : beda waktu (tahun)

2.6. Definisi dan Konsep Kota Pantai

Kota merupakan suatu permukaan wilayah dimana terdapat pemusatan penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintahan. Pengembangan kota bisa meluas ke samping, menjulanh keatas dan memanjang. Pengembangan kota yang semakin meluas ini memunculkan konsep kota mendatar (horizontal city). Pengembangan kota yang menjulang keatas memunculkan konsep kota menjulang keatas (vertical city). Sedangkan pengembangan kota yang memanjang memunculkan konsep kota memanjang (linear city).


(66)

23

Pengertian kota pantai adalah kota tepi laut. Dimana terdapat permukiman penduduk yang berkembang karena adanya potensi ekonomi yang memberi peluang pemanfaatan sumber daya kelautan (perikanan). Contoh perkembangan konsep kota pantai adalah tempat yang dulunya berfungsi sebagai Tempat Pendaratan Ikan (TPI) berkembang karena adanya jasa-jasa industri pengolahan kemudian menjadi kota pelabuhan. Kota pantai sendiri muncul kareana adanya fasilitas perhubungan dan strategi pertahanan. Ruang pantai dan laut serta ruang daratan merupakan asset dan lansekap kota pantai yang sangat menarik, sehingga penataan ruang yang terintegrasi perlu untuk direncanakan.

Awal berdirinya kota pantai merupakan bentukan di masa kolonial Belanda. Dimana kota-kota pantai merupakan kota-kota yang terletak di pesisir pantai dan dipergunakan sebagai pusat perdagangan pada masa dulu. Sejarah perkembangan kota pantai (historical waterfront) adalah pelengkap dari kebudayaan maritime dan beberapa diantaranya berhubungan erat denagn awal kemakmuran dan awal pembangunan ekonomi. Pada umumnya, sebagai kota pantai mampu untuk menjaga sejarah pesona masa lampau yang dahulu dimiliki untuk kehidupan modern. Pengembangan wilayah pantai di Indonesia tidak terlepas daripada sejarah dimasa yang lalu. Sejarah pertumbuhan kota besar di Indonesia banyak dimulai dari wilayah pantai. Sejarah memperlihatkan bahwa pusat-pusat kerajaan berada di wilayah pantai dan berhubungan dengan sistem sungai sebagai pengembangan wilayah pedalaman. Sebagai contoh kerajaan-kerajaan yang berbasis wilayah pantai seperti Sriwijaya, Samudera Pasai, banten, Kasultanan Demak, Kesultanan Ternate.

Propinsi Jawa Tengah memiliki panjang pantai sekitar 656,1 km yang terbagi dalam wilayah utara dimulai dari pantai kota Brebes menuju kota Rembang sepanjang 453,9 km dan wilayah pantai selatan yang dimulai dari pantai kota Cilacap menuju kota Yogyakarta sepanjang 202,9 km. Jawa Tengah sebagai bagian dari wilayah Kepulauan Jawa memiliki sejarah kota-kota pantai. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya dua kerajaan besar yang mengalami masa kejayaan dimasanya, yaitu Kerajaan Islam Demak yang berada di Pantai Utara Jawa dan Kerajaan Mataram Islam (Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) yang berada di pesisir Pantai Selatan Jawa. Kerajaan-kerajaan ini meninggalkan pengaruh berupa struktur pemerintahan yang berpengaruh pada pola penataan ruang wilayah pesisir. Hal ini dibuktikan dari adanya pola permukiman, sistem sosial budaya, ekonomi dan sistem jaringan perdagangan yang menempati pusat-pusat strategis terhadap wilayah daratannya.


(67)

24

Konsep kota pantai atau Waterfront City Consept (WFC) didefinisikan sebagai konsep pengembangan kawasan dengan dukungan aksesibilitas, arus urbanisasi dan sumberdaya alam yang mendukungnya. Konsep WFC diharapkan dapat memberikan acuan pembangunan kawasan pesisir dengan beorientasi bahari bukan sekedar pembanguna fisik, namun juga pola pikir stakeholder sehingga terciptanya rasa memiliki yang tinggi. Adanya konsep ini diharapkan dapat mendukung penguatan kelembagaan masyarakat lokal, meningkatkan ekonomi kerakyatan yang pada akhirnya akan menciptakan sinergisitas pembangunan di kawasan daratan dan lautan untuk kepentingan bersama. Selain itu, keberhasilan konsep WFC adalah kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Dimana masyarakat dilibatkan secara langsung dalam kemajuan perkembangan kota sehingga akan muncul rasa memilki, menghargai dan memelihara dari asset-aset yang berada di daerah tersebut.

Konsep atau sistem kota pantai di Pulau Jawa menjadikan pelabuhan sebagai jalur perdagangan internasional. Pada perkembangan selanjutnya kawasan pantai ini diubah menjadi tempat yang menarik untuk dikembangkan sebagai daerah permukiman. Hal ini didasarkan pada wilayah pantai yang merupakan kawasan alternatif permukiman kota bagi kaum urbanis miskin, kemudahan akses transportasi dan menjadi pintu gerbang perdagangan antar pulau atau antar negara. Kondisi tersebut menyebabkan laju pertumbuhan tinggi, dimana kawasan kota pantai cenderung lebih cepat pertumbuhannya, baik dari sisi sosial kependudukan dan ekonomi, dibanding dari wilayah lai

Vallega, A. (2001b) menerangkan bahwa terdapat umpan balik diantara persepsi sosial tentang peran pantai dan efektivitas program pembangunan tepi laut. Semakin banyak sistem yang menganggap revitalisasi pantai dan pembangunan sebagai alat penting bagi perkembangan kota dan daerah, semakin dimungkinkan untuk merancang program jangka panjang. Semakin banyak kemungkinan untuk menciptakan interaksi antara tepi laut dan pembangunan yang berkesinambungan dari daerah pesisir. Asumsi ini mengarah ke fokus pada pilihan dasar dari mana desain tujuan pembangunan tepi laut dan interaksinya dengan wilayah pesisir. Setiap tepi laut akan berkembang dan berhasil dalam strategi pembangunan, tergantung pada sejauh mana pembangunan tersebut membawa pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya lokal, dan dirancang untuk mengambil keuntungan dari globalisasi ekonomi internasional.


(68)

25

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup

Alam merupakan salah satu bentuk dari sistem. Faktor yang terdapat di dalamnya saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain. Apabila terjadi perubahan dalam lingkungan mengindikasikan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan pada sistem sehingga sistem menjadi rentan dan menimbulkan resiko. Resiko yang terjadi sebagai bentuk dari kerentanan yang telah terjadi antara lain : resiko lingkungan seperti musim kering, hama dan banjir, fluktuasi harga, resiko sosial, resiko politik, resiko kesehatan (ADB 2006 diacu dalam Suriana 2009). Keadaan sistem yang labil dapat memberikan pengaruh terhadap komponen yang ada di dalamnya sebagai pembentuk sistem itu sendiri.

Banjir pasang (rob) merupakan fenomena yang sering terjadi di kawasan pesisir pantai. Namun tidak semua pesisir pantai mengalami banjir pasang. Terjadinya banjir pasang lebih banyak memberikan dampak negatif di tiap aspek kehidupan, utamanya pada sistem sosial ekologis. Kondisi banjir pasang telah mengubah kondisi fisik lingkungan, infrastruktur, aktifitas keseharian masyarakat, kondisi kesehatan dan aktifitas kerja. Kerugian akibat banjir pasang kemungkinan bisa dihitung. Kejadian banjir pasang mengakibatkan lumpuhnya sementara aktifitas perekonomian di masyarakat.

Kajian terdahulu telah dilakukan untuk mengetahui penyebab kemungkinan timbulnya banjir pasang yang tiap tahun terjadi. Faktor alam maupun manusia dengan segala aktifitasnya telah dikaji, termasuk membangun persepsi masyarakat sekitar daerah yag terkena dampak banjir pasang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini secara garis besar dilakukan untuk mengidentifikasi dampak dinamika banjir pasang pada waktu lampau, saat ini, dan masa yang akan datang. Analisis yang didapatkan diharapkan dapat memberikan gambaran dari dampak yang ditimbulkan akibat banjir pasang. Ruang lingkup dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.


(69)

26

Gambar 4. Diagram ruang lingkup penelitian

2


(1)

Lampiran 2. Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder) No

Tingkat Stakeholders Group Tingkat Kepentingan

Rata-Rata

Tingkat Pengaruh

Rata-Rata

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5

1. Pusat

Badan nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) (X1)

3 7 1 7 6 7 5 5,14 1 6 2 1 1 2,20

2. Provinsi Bappeda Provinsi (X2) 5 5 1 7 3 1 1 3,29 5 7 2 5 5 4,80

3. Lokal

Bappeda Kota (X3) 1 5 1 3 7 1 5 3,29 6 5 2 2 1 3,20

Pemerintah Kota (X4) 3 5 1 5 1 1 5 3,00 5 5 1 1 5 3,40

PSDA ESDM (X5) 1 5 1 7 7 1 5 3,86 3 7 2 2 3 3,40

Dinas Pemadam

Kebakaran (X6) 1 5 1 3 7 1 5 3,29 1 5 6 1 5 3,60

Akademisi (X7) 5 5 1 1 5 5 3 3,57 1 1 1 1 1 1,00

Dinas Pekerjaan Umum

(X8) 5 5 2 7 7 6 3 5,00 2 7 3 2 4 3,60

Swasta/industri (X9) 5 5 7 5 1 1 1 3,57 7 3 5 7 5 5,40

Masyarakat umum (X10) 5 5 3 5 1 1 3 3,29 3 1 3 1 5 2,60

Buruh Industri (X11) 7 7 5 5 1 3 1 4,14 5 1 5 3 5 3,80

TOTAL 41 59 24 55 46 28 37 39 48 32 26 40

DAFTAR PERTANYAAN

No. Tingkat Kepentingan No. Tingkat Pengaruh

1 Mata pencaharian 1 PAD

2 Keberlanjutan kehidupan 2 Alokasi dana untuk pengelolaan

3 Keberlangsungan proses produksi 3 Peningkatan pendapatan masyarakat

4 Penanggulangan Bencana 4 Keuntungan produksi

5 Penataan wilayah 5 Ketersediaan lapangan kerja

6 Pengelolaan wilayah pantai 7 Pengawasan kelembagaan


(2)

Kriteria/Sub-kriteria X1 X2 X5 X8 X9 X11 Skor Rata-rata Skor Indeks

Ekologi

Hutan Lindung/daerah resapan air 6 7 7 5 4 6 5,8

Hutan Mangrove 6 7 6 5 5 6 5,8

Keberadaan Kawasan Terbangun 3 3 2 6 6 3 3,8

Elevasi Kawasan 7 7 7 6 6 6 6,5

Luas Genangan Rob 6 7 6 7 7 6 6,5

Rata-rata 5,7 0,40

Sosial

Kepadatan Penduduk 5 6 5 5 4 7 5,3

Tingkat Kemiskinan 5 6 5 4 5 4 4,8

Mata Pencaharian 5 7 5 5 7 5 5,7

Status Kepemilikan Lahan 5 7 6 6 7 5 6,0

Pemahaman terhadap Bencana 7 6 4 5 5 6 5,5

Sikap terhadap Terjadinya Bencana 5 6 4 4 4 6 6,5

Rata-rata 5,6 0,39

Ekonomi

Keberadaan Lokasi Usaha/Produksi 4 3 4 5 4 5 3,8

Keberadaan Kawasan Perdagangan dan

Jasa 4 3 5 5 6 3 4,3

Persentase Jalan Tergenang Rob 2 3 1 1 2 2 1,8

Kerusakan Fisik Bangunan 3 3 2 1 1 3 2,2

Rata-rata 3,0 0,21

Jumlah 14,4 1,00


(3)

Lampiran 4. Kawasan wilayah pesisir Semarang yang terdampak rob

Kecamatan Kelurahan

Genuk Trimulyo

Terboyo Wetan Terboyo Kulon Muktiharjo Lor

Tugu Mangkang Kulon

Mangunharjo Jerakah Tugurejo Panggung Lor Panggung Kidul Bulu Lor

Purwosari Plombokan Bandarharjo Kuningan Dadapsari Tanjung Mas

Semarang Barat Karang Ayu

Tawangsari Tawangmas Gisikdrono Krobokan Tambakharjo

Gayamsari Kaligawe

Tambakrejo Sawah Besar

Semarang Timur Kemijen

Pedurungan Muktiharjo Kidul

Semarang Tengah Pandan Sari


(4)

Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1 ++ ++

2 ++ +

3 ++ +

4 ++ +

5 ++

6 ++ ++

7 ++ ++ ++

8 ++ ++

9 ++

10 ++ ++

11 ++

12 ++

13 ++

14 ++

15 ++

16 ++

17

18 ++

19

20 ++

21 ++


(5)

Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

22 ++

23 ++

24 ++

25

26 ++

27 ++

28 ++

29 ++

30

Jumlah 4 5 4 8 2 6 4

Keterangan:

1 : Alih pekerjaan dan pemberian kompensasi 2 : Penyuluhan usaha alternatif

3 : Pemberian bantuan

4 : Penyuluhan dan pembinaan 5 : Pendampingan

6 : Perbaikan sarana prasarana 7 : Penyuluhan dan pembinaan 8 : Pendampingan

9 : Relokasi

10 : Bantuan/tali asih 11 : Pelayanan sosial 12 : Pembinaan

13 : Pendekatan vegetatif 14 : Relokasi tempat tinggal ++ : Perlu

+ : Tidak perlu +++ : Sangat perlu

Lampiran 5. (lanjutan)


(6)

No. Stakeholder Alternatif pilihan 1 X1 Perbaikan sanitasi lingkungan, pendekatan secara vegetatif

2 X2 Perencanaan infrastruktur

3 X5 Pembangunan talud

4 X8 Pembentukan daerah secara infrastruktur

5 X9 Perbaikan infrastruktur, pembangunan infrastruktur untuk mencegah rob masuk ke darat

6 X11 Perbaikan lingkungan