Solusi Terhadap Kawasan Pesisir

mempengaruhi kebiasaan dan distribusi geografis nyamuk malaria dan siklus hidup parasitnya. Secara tidak langsung pengaruhnya pada ketersediaan vegetasi untuk tempat perindukan. Bila suhu rata rata naik 3- 5 derajat karena perubahan iklim, jumlah orang yang terpapar malaria akan meningkat 45 - 60 dari populasi. Suhu adalah variable utama dalam transmisi malaria. Suhu dan kelembaban mempengaruhi periode inkubasi secara ekstrinsik dari parasit dan kemampuan survival vector. Transmisi malaria tidak dapat terjadi pada suhu rendah. Suhu optimum untuk perkembangan parasit adalah antara 20 – 27 C. Suhu optimum untuk nyamuk adalah antara 25 – 27 C sedangkan 40 C adalah suhu maksimum untuk vector dan parasit Patz, et al’ 1996. Pemahaman dan analisis data lingkungan dan unsur cuaca dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran vektor malaria dan menduga populasi vektor malaria. Kombinasi kedua faktor tersebut dapat digunakan dalam penyusunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria disuatu daerah. Overlay data lingkungan altitide, slope dan land used digunakan untuk menduga zona risiko malaria. Perubahan iklim mempercepat penyebaran virus DBD. Jumlah populasi nyamuk berkembang cepat akibat pola hujan yang berubah dan frekuensinya lebih banyak dan tidak teratur membuat siklus penularan virus DBD menjadi lebih pendek. Selain itu, suhu yang menghangat juga membuat proses perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty berlangsung lebih cepat. Sebagai contoh pada saat terjadi La Nina pada tahun 1998 kasus DBD meningkat bahkan terjadi Kejadian Luar Biasa KLB. Contoh yang lain penelitiannya Achmad Sasmita dkk menyimpulkan bahwa siklus hidup vektor DBD dipengaruhi oleh curah hujan lokal dengan prediksi 61 untuk Surabaya dan DKI 56 ICCSR, 2010. Pemahaman dan analisis data-data lingkungan, unsur cuaca dan kondisi demografi yang terkait erat dengan munculnya dan meningkatnya penyakit DBD digunakan untuk mengetahui pola penyebaran penyakit DBD dan menduga distribusi dan pergerakannya. Kombinasi ketiga faktor tersebut diatas dapat digunakan dalam penyusunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran penyakit DBD. Kerentanan kesehatan tidak hanya berfokus pada vektor pembawa penyakit saja, melainkan berpengaruh pula terhadap tingkat kesejahteraan penduduk, pelayanan dan tenaga kesehatan yangmana tingkat kesejahteraan penduduk menunjukkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi pelayanan kesehatan dan juga pemenuhan ketersediaan makanan serta nutrisi yang layak. Pemenuhan nutrisi dan gizi yang buruk dapat menyebabkan kerentanan untuk terserang penyakit-penyakit tertentu terkait perubahan iklim. Proses menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan baik langsung maupun tidak langsung diperlukan data yang cukup memadai dengan rentang waktu yang panjang time series. Saat ini Departemen Kesehatan telah mengumpulkan dan mengelola data kesehatan namun dirasa belum cukup untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di Indonesia secara komprehensif. Mengingat pentingnya analisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, di masa yang akan datang sektor kesehatan perlu meningkatkan program surveilans khususnya sistem dan metode pengumpulan, pengolahan dan pengelolaan data yang terkait dengan perubahan iklim.

4.4 Solusi Adaptasi Perubahan Iklim

4.4.1 Solusi Terhadap Kawasan Pesisir

Wilayah pesisir merupakan laboratorium untuk menguji konsep yang baru karena dibandingkan dengan berbagai dampak lainnya. Kenaikan muka laut merupakan dampak perubahan iklim yang dapat dipahami dan dirasakan secara langsung. Dalam perspektif oseanografi, wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rawan terhadap perubahan iklim. Banjir, dan abrasierosi beberapa aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian. Proses adaptasi dibutuhkan untuk membantu perbaikan yang dibutuhkan, khususnya dalam merespon berbagai kerentanan yang dialami masyarakat, baik itu dari segi perubahan sistem sosial dan lingkungan terkait ketidakpastian dalam perubahan iklim dan evaluasi dari dampak serta biaya yang muncul, sehingga dibutuhkan evaluasi kembali. Contohnya nelayan di Indramayu, kurang inisiatif daripada para petani. Nelayan di indramayu cenderung menggunakan feeling mereka dalam menentukan kejadian alam yang mereka rasakan saat itu daripada menggunakan informasi yang di sampaikan oleh BMKG. Nelayan cenderung melihat fenomena seperti pergerakan angin dan awan yang cepat, yang menandakan terjadinya badai sehingga para nelayan tidak akan melaut. Ketika badai sedang melanda daerah tersebut, para nelayan biasanya akan beralih pekerjaan untuk mencari sumber pendapatan yang lain. Perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan seperti ketika pasang, airnya akan lebih tinggi dari sebelumnya yang kita ketahui bahwa hal tersebut dikarenakan akibat dari naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut tersebut menyebabkan adanya perubahan daerah kumpulnya ikan, karena perubahan panas di laut, sehingga para nelayan kesulitan mencari dan memprediksi tempat berkumpulnya ikan-ikan. Kerusakan ekosistem lainnya yang diperkirakan terjadi akibat pemanasan global di kawasan pesisir adalah pemutihan terumbu karang. Saat tekanan yang dialami komunitas terumbu karang meningkat, organisme yang hidup di terumbu karang menghilang. Akibatnya, terumbu karang memutih bleaching. Hal ini akan berdampak serius bagi kelestarian terumbu karang dan kehidupan biota laut serta masyarakat pesisir. Perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan ternyata juga ada dampak positifnya. Seperti pada El Nino yang meningkatkan penakapan ikan tuna karena peningkatan kondisi garam. Sedangkan ketika La Nina, meningkatkan kandungan air tawar untuk pembudidayaan ikan tambak dan perikanan darat. Berbagai kegiatan adaptasi dapat dilakukan, seperti pada: 1. Pemukimanperumahan: a. Relokasi atau mundur dari pantai; b. Membangun rumah panggung; c. Perencanaan Wilayah, Zonasi, dan jalur evakuasi; d. Pembuatan dinding laut dan penguatan pantai; 2. Ekosistem pantai: a. Penyemaian terumbu karang; b. Perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan vegetasi pinggir pantai;

4.4.2 Solusi Terhadap Kerentanan Pangan