Tujuan Penulisan Tinjauan Pustaka .1 Televisi Sebagai Media Massa

3. Bagaimana efek kognitif dan afektif yang muncul di kalangan khalayak remaja sebagai akibat keterdedahan pada berita kriminal di televisi? 4. Apakah ada hubungan antara keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal dengan efek kognitif dan afektif yang muncul di kalangan khalayak remaja?

1.3 Tujuan Penulisan

Penelitian ini akan mengkaji efek kognitif dan efek afektif yang muncul di kalangan remaja sebagai akibat menonton tayangan kekerasan dari siaran televisi beserta faktor-faktor yang terkait. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal di televisi. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal di televisi. 3. Mengidentifikasi efek kognitif dan afektif yang muncul di kalangan khalayak remaja sebagai akibat keterdedahan pada berita kriminal di televisi. 4. Menganalisis hubungan antara keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal dengan efek kognitif dan afektif yang muncul di kalangan khalayak remaja.

1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek-efek

yang dapat muncul di kalangan remaja sebagai akibat dari menonton tayangan kekerasan di televisi beserta faktor-faktor yang berpotensi memunculkannya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi pihak stasiun televisi, memberikan informasi mengenai efek berita kriminal terhadap khalayak pemirsa, sehingga pihak televisi lebih memperhatikan isi berita kriminal yang akan ditayangkan. 2. Bagi khalayak , menambah wawasan dan informasi kepada khalayak mengenai efek berita kriminal, terutama bagi para orang tua untuk mengawasi dan mendampingi anak saat menonton siaran berita kriminal. 3. Bagi pengembangan riset dan ilmu komunikasi, menambah khasanah pengetahuan tentang penelitian efek media massa televisi terutama pada berita kriminal di televisi.

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Televisi Sebagai Media Massa Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media massa sering dibedakan menjaadi media massa bentuk tampak visual media massa bentuk dengar audio, dan media massa bentuk gabungan tampak dengar audio visual. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak penerima dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi Mulyana, 2001. MCQuail dalam Novilena 2004 mengungkapkan tentang serangkaian ide dasar mengenai tujuan media dalam masyarakat yakni : informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Azwar dalam Novilena 2004 mengungkapkan bahwa khalayak pengguna media massa memiliki alasan-alasan tertentu yang menyebabkannya menggunakan media. Hal ini tentu saja menyebabkan fungsi media massa bagi khalayak. Rivers dkk, 2003 memaparkan bahwa tiap orang menggunakan media secara berbeda. Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi mempengaruhi alasan seorang mengunakan media. Alasan utama yakni media massa diyakini mampu memberikan kepuasan akan kebutuhan dan keinginan khalayaknya. Anzwar dalam Novilena, 2004 menyatakan bahwa sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa mempunyai pengaruh besar dalam pembentukkan opini dan kepercayaan orang. Diantara berbagai media massa yang ada, salah satunya yang banyak dimanfaatkan orang dewasa adalah televisi. Televisi adalah media komunikasi yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan Novilena, 2004. Dewasa ini televisi boleh dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap orang. Televisi memiliki sejumlah kelebihan terutama kemampuannya dalam meyatukan antara fungsi audio dan visual, ditambah dengan kemampuannya dalam memainkan warna. Selain itu televisi juga mampu mengatasi jarak dan waktu, sehingga penonton yang tinggal di daerah terpencil dapat menikmati siaran televisi Mulyana, 2001. Menurut Suangga, 2004 televisi dianggap sebagai kotak ajaib yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia saat ini, menawarkan kenikmatan yaitu mendapatkan hiburan dan informasi, tetapi televisi juga memberikan kehancuran atau kerusakan yang sangat fatal pada berbagai segi kehidupan manusia, yaitu berubahnya nilai-nilai sosial masyarakat, moral, etika, dan sebagainya. Selain itu, televisi memiliki posisi yang penting dalam kehidupan manusia apabila benar-benar di manfaatkan sebagaimana seharusnya. Televisi menawarkan berbagai alternatif, sehingga dapat memilih informasi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu, pendidikan, pengetahuan, dan sebagainya.

2.1.2 Keterdedahan Khalayak pada Siaran Televisi

Keterdedahan khalayak terhadap siaran televisi diartikan bagaimana khalayak mengkonsumsi berbagai program acara yang disuguhkan televisi untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpuaskan. Televisi sebagai media massa dianggap mampu memenuhi kebutuhan khalayak, seperti kebutuhan akan informasi, hiburan, maupun sosial budaya. Selanjutnya, khalayak akan memilih berbagai jenis tayangan televisi yang dapat memuaskan kebutuhan pribadinya. Model Uses and Gratification memandang individu sebagai makhluk supra rasional dan sangat selektif. Dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan Wiryanto, 2004. Perhatiannya terpusat pada kerangka psikologis yang mendasari motif serta pemuasan kebutuhan melalui komunikasi massa. Menurut aliran uses and gratification, perbedaan motif dalam konsumsi media massa menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Teori ini memfokuskan pada kemampuan media dalam menambah pengetahuan, mengubah sikap dan menggerakkan perilaku. Lanjutnya efek media massa juga akan berlainan pada setiap anggota khalayaknya Rakhmat, 2004. Penelitian Suharto, 2004 membuktikan teori Uses and Gratification ini bahwa motif menonton khalayak siswa SMPN 1 Dramaga berhubungan nyata dengan tindakan siswa SMPN 1 Dramaga. Semakin sedikit motif menonton maka semakin tinggi mereka melakukan tindakan pencegahan terlibat kriminalitas. Keterdedahan khalayak terhadap tayangan kekerasan di televisi didasari adanya motif-motif khalayak menonton televisi. Umumnya khalayak menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu Rakhmat, 2004. Menurut McGuire Rakhmat, 2004 mengelompokkan motif dalam dua kelompok besar yakni motif kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan motif afektif berkaitan dengan perasaan. Menurut Blumler Rakhmat, 2001 motif yang ada pada tiap individu sangat beragam, yaitu : informasi information, pengawasan surveillance, hiburan entertainment, ketidakpastian uncertainty. Keterdedahan khalayak terhadap tayangan kekerasan di televisi didasari adanya motif-motif khalayak menonton televisi. Umumnya khalayak menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu Rakhmat, 2004. Menurut McGuire Rakhmat, 2004 mengelompokkan motif dalam dua kelompok besar yakni motif kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan motif afektif berkaitan dengan perasaan. Menurut Blumler Rakhmat, 2001 motif yang ada pada tiap individu sangat beragam, yaitu : informasi information, pengawasan surveillance, hiburan entertainment, ketidakpastian uncertainty. Menurut aliran uses and gratification, perbedaan motif dalam konsumsi media massa menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Lanjutnya efek media massa juga akan berlainan pada setiap anggota khalayaknya Rakhmat, 2004. Motif kognitif merupakan motif yang timbul untuk memenuhi kebutuhan pengetahuannya atau bersifat informatif. Motif khalayak menonton tayangan kekerasan di televisi sebatas ingin memuaskan kebutuhannya akan informasi kekerasan. Menurut Nathanson dalam Budhiarty 2004 seseorang menyaksikan tayangan kekerasan guna memuaskan keingintahuan tentang hal-hal yang mengerikan. Hal ini diperkuat oleh Romer 2003 keterdedahan menonton tayangan televisi berhubungan dengan keterdedahan informasi yang mereka terima dari berita televisi setempat serta tergantung dari karakteristik penonton. Dimana penonton mempercayai apapun isi yang disampaikan media dan pengaruhnya langsung pada personal. Khalayak yang didasari motif kognitif memiliki keterdedahan informasi yang tinggi. Motif afektif merupakan motif yang timbul berupa perasaan atau emosi khalayak akan tayangan kekerasan. Motif afektif menonton tayangan kekerasan didasari pada rasa penasaran, mengobati kegelisahan, menghibur, dan sekedar mengisi waktu luang. Menurut Budhiarty 2004 remaja menonton program berita bukan sekedar untuk memperoleh informasi, terkadang responden hanya sekedar iseng menonton berita kriminal karena tidak ada acara lain yang menarik. Keterdedahan tayangan kekerasan menyangkut format acara atau jenis tayangan terutama yang mengandung unsur kekerasan atau adanya adegan kekerasan. Umumnya format acara yang mengandung adegan kekerasan lebih diminati oleh khalayak. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. Seolah, tak ada film lain yang menarik tanpa salah satu adegan tersebut yang patut untuk dihadirkan di ruang keluarga penonton Indonesia Pitaloka, 2006 1 . Hasil penelitian Mazdalifah 1999 Film atau sinetron yang bermuatan kekerasan digemari responden yang berusia 7-9 tahun. Alasannya, karena ceritanya seru, banyak berkelahi, tokoh jagoannya berkelahi, dan punya senjata. Keterdedahan tayangan kekerasan pada khalayak juga menyangkut frekuensi dan durasi menonton tayangan kekerasan di televisi. Menurut Mazdalifah 1999 adegan kekerasan ditelevisi jika ditonton secara teratur dalam waktu yang panjang akan berpengaruh pada keterdedahan pada pengetahuan anak tentang kekerasan, penumpukkan sikap terhadap perilaku kekerasan dan peniruan terhadap perilaku kekerasaan. Hasil penelitian Mazdalifah 1999 pada murid SD Gunung Batu Bogor menunjukkan bahwa responden yang terpaan media yang tinggi, sebagian besar memiliki pengetahuan yang tinggi. Selain itu, tingginya keterdedahan tayangan kekerasan pada anak-anak terutama dalam memenuhi 1 Pitaloka, Ardiningtiyas RR. 2006. Pengkondisian Kekerasan oleh Media Televisi Kita. http:www.e- psikologi.comsosial111206.htm. Diakses pada Sabtu, 17 Januari 2009. kebutuhan pengetahuan dimana anak-anak mengetahui senjata, gaya berkelahi, dan tokoh jagoan dari televisi terutama dari film kartun dan film non kartun. Pengawasan orangtua berpengaruh pada keterdedahan tayangan kekerasan bagi khalayak khususnya anak-anak dan remaja. Menurut Singer yang dikutip Surono Budhiarty, 2004 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan menonton televisi dengan tingkat pengawasan orang tua. Ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV. Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. Sebanyak 58 anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik, ungkap Singer. Sehingga semakin jelas bahwa keterdedahan anak-anak dan remaja akan tayangan kekerasan dipengaruhi adanya peran orang tua. Keterdedahan tayangan kekerasaan dalam penelitian ini meliputi format atau jenis tayangan terutama yang mengandung adegan kekerasan, frekuensi dan durasi menonton tayangan kekerasan. 2.1.3 Efek Siaran Televisi 2.1.3.1 Efek Kognitif Efek kognitif komunikasi massa menurut Rakhmat 2004 lebih menekankan pada citra. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Menurut Robert dalam Rakhmat 2004, Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Efek kognitif mengenai tayangan kekerasan berupa citra dan persepsi yang dibangun khalayak saat dan sesudah menonton tayangan kekerasan di televisi. Gerbner Rakhmat, 2004 melaporkan penelitian berkenaan dengan persepsi penonton televisi tentang realitas sosial. Citra tentang lingkungan sosial kita terbentuk berdasarkan realitas yang ditampilkan media massa. Karena televisi sering menyajikan adegan kekerasan, sehingga khalayak cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman, dan lebih mengerikan. Persepsi tentang dunia dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam televisi. Efek kognitif dari tayangan kekerasan di televisi meliputi pengetahuan teknis khalayak akan tindak kekerasan. Khalayak yang menonton tayangan kekerasan akan mengetahui bagaimana gaya berkelahi, penggunaan senjata, bahkan pelajaran tentang modus operandi kejahatan. Efek kognitif tayangan kekerasan berhubungan dengan penilaian khalayak mengenai realitas yang ditampilkan televisi dengan realitas sebenarnya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi. Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Terjadilah apa yang disebut stereotip. Media massa juga “menipu” manusia; memberikan citra dunia yang keliru. Media massa juga mempertahankan citra yang sudah dimiliki khalayaknya Rakhmat, 2004. Menurut penelitian Suangga 2004 terhadap persepsi remaja pedesaan terhadap tayangan berita kriminalitas di televisi mengungkap bahwa semakin banyak materi yang dikemukakan, maka berita tersebut akan semakin menarik minatnya. Responden menyukai berita yang dikemas dengan membahas satu atau dua kejadian secara rinci dan menyeluruh, gambarilustrasi yang jelas atau detail tidak ada penyensoran. Hal ini menunjukkan bahwa responden terbuka atas penayangan kriminal dan hal-hal tersebut mempengaruhi persepsi mereka dalam menilai kriminalitas di lingkungan sekitar. Berbagai teori di atas menjelaskan efek kognitif media massa merupakan citra atau persepsi yang dibentuk khalayak setelah diterpa oleh isi media. Penelitian ini mendefinisikan efek kognitif media massa merupakan pembentukan citra atau persepsi khalayak saat atau setelah diterpa isi media massa, memberikan pengaruh terutama pengetahuan teknis mengenai kekerasan, serta khalayak membuat penilaian-penilaian terhadap realitas yang ditampilkan media dengan realitas sebenarnya yang terjadi di sekitarnya.

2.1.3.2 Efek Afektif

Efek afektif mengenai tayangan kekerasan di televisi menyangkut perasaan yang timbul setelah menonton tayangan kekerasan di televisi. Perasaan berkaitan dengan rangsangan emosional khalayak terhadap tayangan kekerasan di televisi. Perasan tersebut meliputi rasa takut dan curiga yang timbul setelah menonton tayangan kekerasan. Tayangan kekerasan dan kekerasan di layar televisi, telah lama menimbulkan kegelisahan. Dalam tayangan TV, banyak peristiwa pembunuhan atau adegan orang sedang dipukuli, termasuk rekayasa ilustrasi yang diperankan model. Menurut penelitian, khalayak yang telah menonton tayangan kekerasan di televisi mengalami susah tidur, karena terbayang peristiwa tersebut. Yang terjadi pada anak-anak, rupanya adegan itu sampai terbawa dalam mimpi. Fenomena tersebut mengambarkan meningkatnya kecemasan pada diri seseorang sesudah menonton tayangan kekerasan Arix, 2006 2 . Penelitian yang dilaporkan Weiss Rakhmat, 2004 anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keaadaan sendirian atau di tempat gelap. Penelitian yang dilakukan Garbner dan kawan- kawan Mc Quail, 2000 menunjukkan bahwa penonton berat kekerasan di televisi merasa menjadi penakut di dunia, merasa takut menjadi korban kekerasan, sehingga menjadi lebih waspada pada dirinya sendiri, dan memiliki rasa kecurigaan yang tinggi terhadap orang lain. Hasil penelitian Novilena 2004 menunjukkan bahwa adanya hubungan sikap terhadap tayangan berita kriminal di televisi. Selain itu, hasil penelitian mengenai dampak tayangan berita kriminal di televisi menunjukkan bahwa dampak positif yang dirasakan yaitu timbulnya sikap waspada dan hati-hati terhadap bahaya, sedangkan dampak negatifnya adalah menjadi mudah curiga, perasaan takut dan ngeri bahkan mencekam sampai berhari-hari lamanya. Efek afektif yang dirasakan khalayak mengenai tayangan kekerasan di televisi yakni toleransi khalayak akan tindak kekerasan. Hal ini berarti bagaimana empati khalayak mengenai kekerasan yang terjadi pada realitas di televisi dengan realitas nyata, terutama kepada korban atau pelaku kekerasan. Media televisi 2 Arixs. 2006. Tayangan Kekerasan dan Kesadisan perlu Dikontrol. http:www.cybertokoh.commod.php?mod= publisherop=viewarticleartid=715. Diakses pada Sabtu, 17 Januari 2009. dapat memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan terhadap khalayak salah satunya yakni de-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri Pitaloka, 2006 3 . Studi menunjukkan akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain Baron 1974 dalam Baron Byrne, 2000. Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebal dan tidak peka lagi dengan kekerasan Flora, 2004 dalam pitaloka 2006. Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat. Kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain. Ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain. Keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan yang dialami 4 . Berdasarkan pemaparan mengenai efek afektif dapat disimpulkan bahwa efek afektif media massa merupakan perasaan atau emosi khalayak setelah menerima dan menseleksi informasi yang dibentuk persepsi mereka masing- masing saat diterpa atau sesudah diterpa media. Efek afektif sebagai hasil dari pembentukan citra. Efek afektif menonton tayangan kekerasan berupa perasaan takut, curiga bahkan toleransi khalayak terhadap tindak kekerasan. 3 Pitaloka, op. ci.t, hal.3 4 Anonim, 2002. Tayangan Kekerasan. http:72.14.235.132search?q =cache:4xVt597LpAwJ:www.warmasif.co.id kesehatanonlinemod.php3Fmod3Ddownload26op3Dvisit26lid3D394+tayangan+kekerasanhl=idct=clnk cd=26gl=id. Diakses pada 8 januari 2009.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Memunculkan Efek

Menurut Raymond Bavor Little John dalam Vera, 2002 media massa tidak langsung menimbulkan dampak bagi audiens. Banyak variabel terlibat dalam proses terjadinya efek. Gaver Rakhmat, 1989 dalam Vera 2002 menyatakan bahwa komunikasi massa terjadi lewat serangkaian perantara. Untuk sampai kepada perilaku tertentu, maka pengaruh ini disaring, bahkan ditolak sesuai dengan faktor-faktor yang menyertainya, seperti faktor personal dan faktor situasional. Menurut Vera, 2002 faktor personal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri yang mempengaruhi perilaku seseorang, terdiri atas sikap dan emosi. Faktor situasional adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri yang mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor luar pertama adalah lingkungan masyarakat. Faktor kedua adalah lingkungan keluarga. Faktor personal yang dimaksud penulis meliputi pendapat khalayak menilai isi tayangan kekerasan atau persepsi. Faktor personal memberi pengaruh terhadap perkembangan perilaku agresif, yang lebih berpengaruh lebih pada pandangan dan pendapat seseorang. Semakin positif pandangan dan pendapat seseorang terhadap adegan kekerasan di televisi maka semakin tinggi perilaku agresifnya Vera, 2002. Remaja dalam menonton berita kriminal berhubungan dengan tingkat pengetahuan mereka tentang manfaat mereka menonton berita tersebut bagi dirinya. Jenis kelamin juga termasuk faktor-faktor yang memicu efek perilaku khalayak. Responden laki-laki menunjukkan sikap positif yang lebih besar terhadap tayangan kriminal, responden perempuan menunjukkan sikap negatif yang besar. Sikap positif paling banyak ditunjukkan oleh responden dengan tingkat pendidikan rendah, sedangkan sikap negatif paling banyak ditunjukkan oleh responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Faktor personal lainnya yakni prestasi akademis di kelas. Hasil penelitian Suharto 2006 menjelaskan bahwa semakin rendah peringkat di kelas maka semakin rendah minat menonton berita kriminal. Pada remaja di kota Jakarta dengan kemudahannya mengakses berita kriminal di TV, menunjukkan semakin tinggi peringkat di kelas ternyata minat remaja dalam menonton berita kriminal juga semakin tinggi. Hal ini terjadi karena bagi remaja berprestasi menganggap telah menguasai pelajaran dengan baik sehingga mereka bosan akan tayangan berita yang umum. Hal ini dipekuat dengan penyataan Lowery De Fleur dalam Budhiarty 2004 bahwa anak-anak yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi memiliki variasi yang lebih banyak dalam pemilihan program acara televisi dibanding mereka yang memiliki intelegensi yang rendah. Faktor situasional yang dimaksud penulis adalah lingkungan dimana khalayak tinggal. Lingkungan terdiri dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Faktor situasional memberi pengaruh pada perilaku agresif. Tindak kekerasan lingkungan yang sering melakukan tindak kekerasan akan terciptanya semakin tingginya perilaku agresif Vera, 2002. Selain itu lingkungan juga faktor mempengaruhi persepsi khalayak. Persepsi khalayak akan kejahatan tergantung pada jarak tempat dimana tindak kejahatan itu terjadi. Menurut Heath dalam Romer 2003 semakin jauh lokasi tindak kejahatan itu terjadi maka semakin rendah ketakutan khalayak akan kejahatan. Ellen 2005 meneliti persepsi resiko kejahatan sebagai fungsi keduanya pada tingkat kejahatan regional dan setempat. Persepsi orang akan kejahatan tergantung pada jarak tempat dimana kejahatan itu terjadi, semakin jauh dari tempat kejadian kejahatan maka semakin rendah rasa ketakutannya.

2.1.5 Berita kriminal

Morissan, 2008 mengemukakan bahwa berita adalah informasi yang penting dan menarik bagi khalayak audiens. Soehoet Novilena, 2004 memaparkan bahwa berita yang lengkap mengandung semua elemen yang dibutuhkan khalayaknya, untuk itu media massa dalam menyusun suatu berita lengkap dengan menggunakan rumusan 5W + 1 H. Menurut Novilena, 2004 berita kriminal adalah uraian tentang peristiwafakta atau pendapat yang mengandung nilai berita tentang kejahatan yang ditayangkan di televisi. Budhiarty, 2004 mendefinisikan berita kriminal sebagai acara yang menayangkan informasi hanya berkisar mengenai kejadian kriminalkejahatan, kecelakaan, kebakaran dan atau orang hilang; tayangan ini dapat dikemas dalam format berita news ataupun laporan mendalam indepth report yang mengupas suatu kasus lama atau baru yang belum. Sudah terungkap, dan terkadang disertai tips-tips untuk mengantisipasi setiap modus kejahatan. Berita kriminal adalah uraian tentang peristiwa atau fakta mengenai berbagai tindakan kriminal kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Berita dianggap menarik minat khalayak pemirsanya dengan kemasan aktual dan mendalam. Selain itu dengan berita yang bersifat komprehensif, interpretatif dan investigatif, akan menambah pengetahuan dan wawasan khalayak secara mendalam. Menurut Miller Siagan, 2000 dalam Budhiarty, 2004 kemasan berita berisikan fakta atau pendapat dalam bentuk langsung dan berita mendalam. Berita langsung adalah uraian fakta yang makna beritanya kuat penting. Berita mendalam adalah berita komprehensif, interpretatif dan investigatif. 1. Berita komprehensif adalah uraian secara terperinci tentang peristiwa atau fakta dan atau pendapat yang mengandung nilai berita di dalam suatu sistem sosial tertentu 2. Berita interpretatif adalah uraian fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita dengan menempatkan fakta sebagai mata rantai atau konteks permasalahan yang lebih luas, ragam sumber informasi dapat memberikan pendapat menurut interpretasi masing-masing. 3. Berita investigatif adalah uraian fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita dengan membandingkan antara fakta di permukaan dengan fakta tersembunyi yang diperoleh dengan menyelusuri jejak melalui investigasi. Perbedaan berita langsung dan berita mendalam adalah dari isi uraian, kecepatan penyajiaan kepada khalyak, kepadatan dan rincian fakta atau pendapat yang disajikan. Uraian berita mendalam apapun bentuknya akan memberikan informasi lebih lengkap dan menyeluruh bila dibandingkan dengan uraian berita langsung Budhiarty, 2004.

2.1.6 Perilaku Remaja

Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batas umurnya tidak dirinci dengan jelas, tetapi secara kasar berkisar antara umur 12 sampai akhir belasan tahun, ketika pertumbuhan Atkinson dkk, 1983. Istilah Adolescene atau remaja berasal dari kata Latin adolescere kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescene mempunyai arti luas, mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik Hurlock, 1980. Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja. Garis pemisah antara awal masa dan akhir masa remaja terletak kira-kira sekitar usia tujuh belas tahun; usia saat mana rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menegah tingkat atas. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun, dan masa akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun Hurlock, 1980. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah bergeser Hurlock, 1980. Hurlock, 1980 memaparkan adanya lima perubahan pada masa remaja awal. Pertama, meningginya emosi yang itentitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh. Ketiga, perubahan minat, peran yang diharapkan kelompok sosial tertentu. Keempat, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Kelima, Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan. Perubahan perilaku mencangkup aspek kognisi, afeksi dan aspek konasi. Menurut Winkel dalam Suharto, 2006 kognisi adalah pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki khalayak. Afektif adalah sikap khalayak mengenai tayangan berita di TV. Konasi adalah tindakan individu menurut cara tertentu. Menurut Hurlock dalam Suharto, 2006 menjelaskan beberapa pola perilaku sosial pada masa anak-anak hingga remaja yaitu : 1 hasrat akan penerimaan sosial, 2 empati, kemampuan meletakkan diri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Berkaitan dengan televisi terhadap perilaku remaja, Hurlock dalam Suharto, 2006 menjelaskan beberapa faktor karakteristik remaja yang mempengaruhi minat anak hingga remaja pada televisi yaitu : 1 prestasi akademik, 2 penerimaan sosial. Semakin mereka diterima secara sosial maka semakin kurang perhatiannya pada televisi dan sebaliknya. Artinya ada keinginan remaja untuk memanfaatkan waktu luang yang dimiliki di luar waktu sekolah. 3 Kepribadiaan. Pengaruh televisi terhadap remaja yakni : 1 pengaruh pada sikap yaitu tokoh pada televisi biasanya digambarkan dengan berbagai stereotip. Anak kemudian mengetahui semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan yang ada di televisi. Ini mempengaruhi sikap anak-anak. 2 Pengaruh pada perilaku yaitu keinginan anak untuk meniru, mereka merasa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Dapat ditambahkan pengaruh pada pengetahuan remaja tersebut. Menurut Lubis dalam Budiarty, 2004 remaja sebagai individu dalam masa transisi memiliki beragam tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka, antara lain untuk mendapatkan informasi yang saat ini menjadi topik pembicaraan banyak orang, medapat hiburan ketika bosan, mencari jalan keluar atas masalah mereka dan mungkin sekedar mengisi waktu luang. Salah satu cara memenuhi kebutuhan tersebut yakni dengan menonton televisi. Salah satu program yang digemari pemirsa yakni berita kriminal. Berdasarkan penelitian Suangga, 2004 mengenai persepsi remaja terhadap tayangan berita kriminalitas ditelevisi memperoleh kesimpulan bahwa semakin banyak materi yang dikemukakan, maka berita tersebut akan semakin menarik minat remaja. Menurut Budiarty, 2004 memaparkan bahwa intentitas dan kualitas pemberitaan kriminalitas terus-menerus dengan tingkat kekerasan tinggi, dapat menciptakan iklim ketakutan fear of crime , sehingga pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yan resisten kebal terhadap perilaku kekerasan. Apabila dibiarkan terus-menerus situasi ini tidak akan sehat karena dapat menimbulkan masyarakat yang penuh kecurigaan dan kehilangan kehangatan sense of friendly, serta kepekaan sosial yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan masyarakat. Menurut penelitian Suharto, 2006 dikembangkan pemikiran bahwa perilaku remaja terkait kriminalitas, juga dipengaruhi oleh jumlah stasiun TV yang ditonton, ini menunjukkan tingkat variasi stasiun TV yang ditonton. 2 Saat Menonton. Subiakto dalam Suharto, 2006 menyebutkan saat menonton termasuk dalam pola tayangan kriminalitas rutin. 3 Minat menonton dan 4 motif menonton. 2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Deskripsi