Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Metode Penelitian

dalam keadaan hidup. Kasus tersebut dianalisis dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan register Nomor 1513Pid.B2014PN.Mdn.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana regulasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi? 2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan yang terkait dengan Tindak Pidana Perniagaan satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1 Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan, khasanah, dan wawasan tentang kasus tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi. 2 Manfaat Praktis a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana perniagaan satwa yang dilindungi. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa yang dilindungi serta dampaknya terhadap pelestarian lingkungan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Dalam hal dipidananya seseorang tidaklah bergantung pada ada atau tidaknya perbuatan pidana yang dibuatnya. Persoalan seseorang dapat dipidana tergantung pada apakah orang tersebut dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak.Sistempertanggungjawabanpidanadalamhukumpidanapositifsaatini menganut asaskesalahan sebagai salah satu asas disampingasaslegalitas. Pertanggung jawaban pidana erat kaitannya dengan unsur kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentunya dia akan dipidana. Tetapi, jika ia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yaang terlarang dan tercela maka ia tidak akan dipidana. 12 Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan geen straf zonder schuld; Actus Nomorn facit reum nisi mens sist rea. Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. 13 “Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht yang artinya bahwa penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Mengenai hubungan pertanggungjawaban pidana dan kesalahan tersebut telah dipertegas oleh Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana meyatakan bahwa: 14 Seseorang tidak mungkin dapat dipidana apabila ia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak selalu orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut dapat dipidana tergantung kepada ada atau tidaknya unsur 12 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta : Aksara Baru, 1983, hlm.75. 13 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2008 hlm.59. 14 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana..., Op.Cit., hlm.76. kesalahan dari orang tersebut. Dikatakan kesalahan berarti perbuatan yang dilakukan orang tersebut adalah perbuatan yang dicela atau oleh masyarakat perbuatan tersebut tidak disukai. Ia masih memiliki pilihan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Perbedaan mendasar dari delik pidana dan pertanggungjawaban pidana terletak pada unsurnya. Walaupun unsur-unsur daari tiap delik berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu : a. Perbuatan aktifpositif atau pasifnegatif b. Akibat yang ditimbulkan c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil d. Tidak adanya alasan pembenar Dapat disimpulkan bahwa batasan delik pada umumnya adalah Suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan, yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak adanya dasar yang membenarkan perbuatan itu. Sedangkan adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut: a. Kemampuan bertanggungjawab b. Kesalahan pembuat c. Tak adanya dasar pemaaf 15 15 H.A Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm.221.

2. Pengertian Pelaku

Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur suatu perbuatan pidana, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga dan kepadanya dapat dijatuhkan sanksi atau hukuman. 16 Istilah pelaku merupakan terjemahan dari istilah “Dader” yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan peristiwa tindak pidana. 17 16 Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984, hlm.37. 17 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta : Ghalmia Indonesia, 1983, hlm.31. Dalam delik formil terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam delik material terlihat apabila seorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam KUHP yang dapat dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal 55 KUHP, bahwa pelaku tindak pidana dapat dibagi dalam 4 empat golongan : 1 Orang yang Melakukan Sendiri Tindak Pidana pleger Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan pleger atau pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah 2 kriteria : 1. Perbuatannya adalah perbuatan yang menentukan terwujudnya tindak pidana, 2. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana 2 Orang Yang Menyuruh Orang Lain untuk Menentukan Tindak Pidana doen pleger Doenpleger ialah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bentuk yuridis, ini merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat ilmu hukum pidana disebut manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra. Tanggung jawab orang yang menyuruh itu sama dengan tanggung jawab dari pembujuk uitlokker yaitu : Pertama, tanggung jawab itu tidak melebihi dari apa yang dilakukan oleh orang yang disuruh, meskipun maksud orang yang menyuruh itu lebih jauh dari itu. Kedua, tanggung jawab tidak melebihi dari apa yang dikehendakinya. 3 Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana mendepleger KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana harus memenuhi dua syarat : a. Harus adanya kerjasama fisik b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama laain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana Yang dimaksud dengan turut serta melakukan oleh Memorie van Toelichting MvT dijelaskan bahwa yang turut serta malakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat meedoet dalam melakukan suatu tindak pidana. 4 Orang Yang Membujuk uitlokker Seperti halnya doenpleger maka uitlokker juga memakai seorang perantara. Orang yang membujuk orang lain supaya melakukan peristiwa pidana dinamakan perencanaan atau sering disebut “intellectueel dader” atau “uitlokker” sedang orang yang dibujuk disebut “uitgelokte”. Selain itu untuk dapat dikatakan uitlokker, si pembujuk harus menggunakan daya upaya sebagaimana yang tercantum secara limitative dalam pasal 55 ayat 1 sub 2 KUHP. Tanggungjawab uitlokker diatur dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP. Pasal inni mengatur bahwa uitlokker hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan daripada uitgelokte yang memang dengan sengaja digerakkan oleh uitlokker. Pada pihak lain, tanggung jawab dari uitlokker dapat diperluas, artinya ia juga bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatan uitgelokte. 18

3. Pengertian Satwa Yang Dilindungi

Pengertian satwa menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah “semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup di darat maupun air”. Pasal 1 butir 7 menyebutkan bahwa pengertian “satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, daanatau di air danatau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yag hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia”. Dalam Penjelasan Pasal 1 butir 7 memuat pembatasan mengenai defenisi satwa liar tersebut, sebagai berikut “ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk dalam pengertian satwa”. Hal yang sangat erat hubungannya dengan “satwa” adalah “habitat”. Pengertian habitat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 butir 8 adalah “Lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami”. 19 18 http:makalah-hukum-pidana.blogspot.com201401pelaku-tindak-pidana-dader.html diakses pada tanggal 10 Februari 2015 pukul 22:44 19 Leiden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Jakarta : Erlangga, 1995, hlm.47. Dahulu perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu diatur pada Dierenbeschermings Ordonantie 1931 dan Dierenbescharmings Verordening 1931 berdasarkan peraturan tersebut, Menteri Pertanian telah menentukan jenis-jenis satwa yang dilindungi berdasarkan keputusan- keputusan berikut : a. Nomor : 421KtpsUm81970 b. Nomor : 327KtpsUm71972 c. Nomor : 66KtpsUm21972 Ketiga keputusan tersebut telah menentukan perlindungan satwa yang terdiri dari : a. Mamalia : 95 jenis b. Aves : 372 jenis c. Reptilia : 28 jenis d. Pisces : 20 jenis 20 Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa membedakan jenis tumbuhan dan satwa atas dasar golongan, sebagai berikut : a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi Kriteria tumbuhan dan satwa yang tergolong dilindungi haruslah memenuhi kriteria : a. Mempunyai populasi kecil; 20 Ibid., hlm.50 b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c. Daerah penyebarannya terbatas endemik. 21 Dapat disimpulkan bahwa satwa yang dilindungi adalah jenis satwa yang hanya mempunyai populasi yang sedikit atau hampir punah dan habitatnya hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja. Satwa liar memiliki peran yang sangat penting terhadap tanah dan vegetasi dan memegang peran kunci dalam penyebaran, pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik yang lebih berguna bagi kehidupan tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan dan tanah . Satwa liar juga berperan dalam perekoNomormian lokal dan nasional, nilai ekoNomormi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah tropik, terutama di Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang layak dipertimbangkan. Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada beberapa macam, antara lain : a. Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan oleh suku -suku pedalaman b. Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuat tas, bajuhiasan lain oleh penduduk asli c. Mengumpulkan dan menjual beberapa jenis satwa liar 21 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa d. Menjual produk-produk dari satwa liar, seperti daging, kulit, ranggah, cula dan gading e. Berburu untuk tujuan memperoleh penghargaan trophy atau untuk olahraga wisatawan f. Melindungi satwa liar di taman nasional sebagai atraksi untuk wisatawan yang harus membayar bila akan melihat, meneliti, memotret atau mendekatinya. 22 Mengenai jenis satwa yang dilindungi diatur secara langsung dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah : 1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum yang Yuridis Nomorrmatif dinamakan juga dengan penelitian hukum Nomorrmatif atau penelitian hukum doktrinal, yang mengacu pada Nomorrma-Nomorrma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta Nomorrma hukum yang ada dalam masyarakat. 2 Sifat Penelitian Sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan mengenai pendapat 22 Wiratno,dkk, Berkaca dicermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi pengelolaan taman Nasional, Jakarta :The Gibon Foundation, 2001, hlm.106-107. yang berkembang serta proses yang sedang berlangsung mengenai hal yang sedang diteliti yang dalam skripsi ini yang diteliti adalah pertanggung jawaban pidana erhadap pelaku yang memperniagakan satwa liar. 3 Jenis Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu berupa dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Convention On International Traade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa dokumen yang merupakan hasil kajian tentang pertanggung jawaban hukum terhadap pelaku tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi meliputi Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register 1513Pid.B2014PN.Mdn, buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri Medan. Tujuan penelitian kepustakaan library research ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 5 Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data yang diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data- data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Dokumen yang terkait

Pengadaan Barang Yang Menyebabkan Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 19/Pid.Sus.K/2014/PT.MDN)

6 100 148

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

2 54 90

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemny ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/Pn.Md

3 88 109

Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

3 59 100

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Ilegal Satwa Liar Yang Dilindungi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Register No.2.640/Pid.B/2006/PN.Medan, Register No.2.641/Pid.B/2006/PN.Medan dan Register No.2.642/Pid.B/2006/PN.Medan)

4 83 81

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Penegakan Hukum Atas Perburuan Liar Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa

0 2 1

BAB II REGULASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservas

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservas

0 0 23