2. Perdagangan satwa liar hanyalah dapat dilakukan oleh badan usaha
yang didirikan menurut hukum dan telah memperoleh rekomendasi dari menteri.
3. Mengenai perdagangan ekspor dan impor satwa hanya dapat
dilakukan atas dasar izin menteri dan telah memenuhi sayart yang ditentukan sesuai dengan Pasal 24 ayat 2.
Peraturan pemerintah ini juga mengatur tentang sanksi yang akan dijatuhkan terhadap pelaku pelanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 18
sampai dengan Pasal 26. Pengaturan mengenai sanksi dalam peraturan pemerintah ini diatur dalam 14 pasal yaitu dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 63, tetapi
sanksi yang dijatuhkan dalam peraturan ini hanya sebatas sanksi administratif saja yaitu berupa sanksi denda serta pencabutan izin usaha dan tidak diatur mengenai
sanksi pidana.
D. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978
Tentang Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora
Keputusan Presiden ini mengatur mengenai pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, yang telah
ditandatangani di Washington pada tanggal 3 Maret 1973. CITES Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora merupakan
konvensi internasional satu-satunya yang mengatur mengenai tindakan pengendalian perdagangan satwa liar di tingkat iternasional. Hampir semua negara
pengimpor dan pengekspor utama bergabung di dalamnya. Indonesia termasuk
salah satu negara anggota dari konvensi ini, yang mana pada tahun 1979 Indonesia telah menandatangani Perjanjian CITES dan meratifikasinya dengan
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. CITES dimaksudkan untuk mengembangkan konservasi spesies yng dibahayakan sambil memperkenalkan
perdagangan spesies satwa liar yang dapat mengahadapi desakan perdagangan konvensi ini mempunyai tiga ketegori perlindungan.
CITES terbagi dalam tiga ketegori apendiks yaitu Apendiks I, Apendiks II, dan Apendiks III. Setiap negara anggota berhak untuk mengajukan untuk
memasukkan suatu jenis satwa liar atau tumbuhan yang mungkin atau berpotensi untuk memiliki dampak negatif terhadap populasi jenis tersebut di alam. Jenis
yang termasuk dalam Apendiks I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Suatu jenis yang pada saat ini tidak
termasuk ke dalam kategori terancam punah namun memiliki kemungkinan punah jika perdagangannya tidak diatur, dimasukkan ke dalam Apendiks II. Dalam
Apendiks III, Apendiks III ini memiliki kriteria dasar yang tidak jauh berbeda dari Apendiks II. Perbedaannya adalah jenis yang termasuk dalam Apendiks III
diberlakukan khusus oleh suatu negara tertentu. Perlu ditambahakan bahwa Apendiks I dan Apendiks II, ketentuan tersebut berlaku untuk semua range
country, yaitu negara-negara dimana suatu jenis dalam Apendiks dapat ditemukan. Jika terdapat perbedaan pendapat antar range country sehingga tidak
semuanya sepakat untuk memasukkan suatu jenis ke dalam Apendiks, maka jenis tersebut dimasukkan ke dalam Apendiks III dan berlaku hanya untuk negara yang
menginginkan untuk memasukkan jenis tersebut ke dalam Apendiks. Dalam
apendix Lampiran I, perdagangan komersial spesies yang diancam dengan kepunahan pada umumnya dilarang. Tercatat lebih dari 800 jenis spesies satwa
dan tumbuhan yang dilarang diperdagangkan untuk tujuan komersil.
37
Jenis-jenis mamalia besar Indonesia hampir semaunya dimasukkan ke dalam Apendiks I.
Spesies ini hanya boleh diperdagangkan dalam keadaan khusus biasanya untuk penelitian ilmiah atau maksud pameran. Transaksi perdagangan spesies seperti
itu memerlukan izin impor dari pejabat yang diserahi pelaksanaan CITES di negara penerima maupun izin ekspor dari pejabat negara asal. Spesies yang
tercantum dalam Apendiks I meliputi semua monyet besar, badak, kura-kura laut, ikan paus besar, gajah Asia dan lebih dari 300 satwa dan tumbuhan lainnya yang
menghadapi kepunahan. CITES mengizinkan perdagangan komersial tradisional dengan persyaratan dalam spesies yang belum dibahayakan akan tetapi perlu
dipantau. Spesies ini tercantum dalam Apendiks II dan hanya boleh diperdagangkan dengan izin ekspor dari negara asalnya. Apendiks II meliputi
lebih dari 2.300 spesies satwa dan lebih dari 24.000 spesies tumbuhan.
38
37
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES..., Ibid., hlm.22.
38
Koesnadi Hardjasoemantri, hukum lingkungan..., Op.Cit., hlm.270.
Apendiks III dari CITES dimaksudkan untuk membantu negara-ngara tertentu memperoleh kerjasama internasional dalam melindungi spesies asli.
Setiap negara boleh memasukkan tumbuhan atau satwa asli ke dalam Apendiks III dan dengan demikian spesies tersebut diperdagangkan dengan persyaratan.
Spesies tersebut tidak boleh diperdagangkan tanpa izin ekspor dari negara asal atau sebuah sertifikat daerah asal apabila datang dari negara yang tidak
memasukkannya ke dalam daftar.
Meskipun CITES telah mencoba membuat ketetapan untuk membantu negara anggota dapat melaksanakan CITES secara efektif, ternyata masih terdapat
kelemahan-kelemahan pada beberapa peraturan. Contohnya adalah peraturan yang berhubungan dengan pertukaran satwa antar kebun binatang. Kebun binatang
memiliki kecenderungan untuk sering melakukan pertukaran satwa yang terancam punah, agar merekadapat memperoleh nilai tambah dan meningkatkan kualitas
kebun binatang. Peraturan lain mengenai kepemilikan terhadap barang pribadi juga sangat riskan, karena dapat saja seseorang membawa spesimen dalam jumlah
yang sangat besar dengan menggunakan hak kekebalan diplomatik. Teks mengenai konvensi CITES tidak memberikan peraturan yang jelas mengenai
kriteria memasukkan suatu jenis ke Apendiks, dan jika perlu dimasukkan, CITES juga tidak memberikan panduan kriteria Apendiks mana yang cocok bagi jenis
tertentu.
BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5
TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Suatu Tindak Pidana
Salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum adalah bahwa pertanggungjawabanpribadi terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan dan
selalu dikaitkan pada keadaan-keadaan tertentu dari mentalnya. Dalam hukum pidana ada dikenal doktrin mens rea. Yang dimaksud dengan doktrin ini
singkatnya adalah bahwa adanya unsur subyektif yaitu unsur yang terdapat dalam diri pelaku adalah mutlak pertanggungan jawab pidana.
39
39
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982, hlm.20.
Menurut sistem hukum Kontinental bahwa syarat-syarat subyektif dalam hukum pidana dibagi atas dua
bentuk, yaitu kesalahan kesengajaan dan kealpaan dan mampu bertanggung jawab. Dalam sistem hukum Common Law syarat-syarat ini disatukan dalam
mens rea. Doktrin mens rea ini disebutkan sebagai dasar dari hukum pidana, dan dalam prakek bahkan ditambahkna orang bahwa pertanggungan jawab pidana
menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi memaafkan. Telah diuraikan sebelumnya bahwa perbuatan pidana tidak termasuk
ke dalam pertanggungjawaban pidana. Kesalahan, pertanggung jawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam
percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu sama lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya