Washaiyah dan Agama Dialogis

25 Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. Menyingkap Pesan Suci Merajut Hubungan Antarumat Beragama untuk ‘go internasional’. Wasathiyah dimaksudkan adalah umat pertengahan atau moderat, idak terlalu ke sini dan idak terlalu kesana. Berari juga umat yang terbuka, toleran, menyongsong yang lain menjadi budaya qabulul akhar atau bisa juga disebut sebagai masyarakat terbuka open society. Indonesia dikenal dunia sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar. Lebih besar dari penduduk muslim di dunia Arab ataupun Timur Tengah yang dianggap sebagai pusat dunia Islam. Sebagai negeri muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia juga dikenal sebagai ‘Islam moderat”. Mengapa kemudian kehadiran Islam di Indonesia dapat diterima dengan ramah oleh berbagai komunitas agama, baik Hindu, Budha dan aliran kepercayaan. Hal itu idak lain, karena Islam yang hadir adalah “ Islam Wasathiyah” bercorak tasawuf dan spiritual yang terbuka, toleran, menghargai kultur arus utama yang berkembang saat itu. Dengan begitu, heterogenitas dan kamejemukan keyakinan tersebut dapat hidup berdampingan, rukun, serta bekerjasama membangun kekuatan mengusir penjajah sebagai musuh bersama dan meraih kemerdekaan. Islam wasathiyah atau moderat bukanlah tanpa konsep dan landasan. Justru isilah itu muncul dengan dasar atau landasan teologis Qur’ani yang sangat kuat. Isilah Islam wasathiyah ialah bagian dari ajaran Islam yang universal, boleh dikatakan ini ajaran Islam. Isilah Islam Wasathiyah memiliki padanan dengan isilah Arab ummatan wasathan atau al-din al-wasath QS. Al-Baqarah:143. Ummatan wasathan berari golongan atau agama tengah, idak ekstrim. Arinya umat yang adil, tengah-tengah, terbuka dengan siapapun dan siap bekerjasama dalam membangun kemaslahatan umat, dengan prinsip-prinsip : • Toleransi; keterbukaan terhadap keanekaragaman, perbedaan sebuah keniscayaan. • Pembebasan, agama sejainya diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia limashalih al-ummat. • Kemanusiaan, insaniyah. Dalam pandangan Islam wasathiyah, sejak awal kehadirannya memperlihatkan tekad yang besar dalam upaya membangun masyarakat yang adil dan menunjung inggi nilai-nilai kemanusiaan. • Menghargai perbedaan ta’adudiyah. Keragaman merupakan kehendak Tuhan, dan dibangun perdamaian di dalamnya. • Persamaan al-musawa. Islam wasathiyah menentang penindasan, peminggiran dan keidakadilan. Keteladanan Rasulullah membangun kebersamaan tanpa diskriminasi. 26 Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. DIALOG QUR’AN dan BIBEL Kita ambil contoh dalam tradisi Islam klasik, masa Rasulullah Saw. untuk menciptakan suasana yang aman dan tenteram di Madinah, Beliau mengadakan perjanjian persahabatan serta perdamaian dengan kaum Yahudi. Perjanjian persahabatan dan perdamaian itu kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah. Dalam piagam Madinah itu ditetapkan serta diakui hak-hak kemerdekaan seiap orang. Salah satunya adalah kemerdekaan untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing- masing. Hal itu merupakan salah satu perjanjian poliik yang menunjukkan kebijaksanaan Nabi Muhammad saw. Tindakan seperi itu belum pernah dilakukan oleh nabi-nabi dan rasul sebelumnya. Isi perjanjian persahabatan dan perdamaian yang disepakai nabi Muhammad saw. dengan kaum Yahudi madinah adalah sebagai berikut: 1. Kaum Yahudi dan Nasrani hidup damai bersama-sama dengan muslimin. Kedua belah pihak bebas memeluk dan menjalankan syariat agama masing-masing. 2. Muslimin, kaum Yahudi dan Nasrani wajib tolong-menolong untuk melawan siapa saja yang memerangi muslimin ataupun kaum Yahudi dan Nasrani. 3. Muslimin memikul tanggung jawab belanja sendiri dan kaum yang lain juga memikul belanja mereka sendiri. 4. Muslimin, kaum Yahudi dan Nasrani wajib nasihat-menasihai, tolong- menolong, serta melaksanakan kewajiban dan keutamaan. 5. Kota Madinah merupakan kota suci yang wajib dihormai bersama yang terikat dengan perjanjian persahabatan dan perdamaian ini. 6. Jika terjadi perselisihan antara kaum Yahudi, Nasrani dan Muslimin, urusannya diserahkan kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw. 7. Siapa saja yang inggal di dalam atau di luar kota madinah, wajib dilindungi keamanannya, kecuali orang yang berbuat zalim dan bersalah. Agama Islam mengajarkan kerukunan, baik terhadap sesama muslim maupun dengan non muslim. Perjanjian persahabatan dan perdamaian antara Nabi Muhammad saw. dan kaum Yahudi di Madinah, mencerminkan sikap toleransi terhadap sesama pemeluk agama. Islam idak pernah melakukan pemaksaan terhadap seseorang atau kelompok untuk memeluk agama Islam. Hal itu dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah Ayat 256. Dengan demikian Islam sangat menghargai kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Hal itu juga dijelaskan dalam piagam Madinah. Bahkan kaum Yahudi harus dilindungi 27 Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. Menyingkap Pesan Suci Merajut Hubungan Antarumat Beragama dari segala macam bentuk ancaman, rongrongan, serta gangguan dari mana saja dan dari siapa saja. Mereka mempunyai hak yang sama dengan kaum muslimin. Dari rekaman sejarah tersebut nampaknya idak pernah terjadi ketegangan dan konlik yang berbau agama antara kaum muslim dengan non muslim, bahkan Rasulullah Saw. benar-benar melindungi mereka. Hal ini dinyatakan dalam sabdanya: ”Dari Abdullah Ibn Amr, dari Rasulullah saw. berkata : Barangsiapa membunuh seseorang yang ada ikatan perjanjian dengan kaum muslimin kair dzimmi maka idak akan dapat mencium bau surga, dan bau surga dapat ditemukan dari jarak tempuh perjalanan 40 empat puluh tahun H.R. Bukhari Peran moderasi pemuka agama dan tokoh adat sangat signiikan dan pening diberdayakan. Mereka senaniasa terlibat dan akif dalam kegiatan- kegiatan sosial masyarakat. Tanpa kehadiran mereka, kegiatan-kegiatan sosial masyarakat dipandang idak lengkap dan bahkan dapat menjadi gagal. Karenanya masyarakat di daerah ini pada dasarnya sangat hormat kepada pemuka agama dan tokoh adat. Nasehat dan petuah mereka senaniasa didengar dan keputusaan-keputusan mereka diturui. Oleh karena itu pembinaan kaderisasi ketokohan dan keulamaan di tengah masyarakat plural menjadi bagian terpening dari proses pembangunan manusia seutuhnya. Peran moderasi atau wasaṭan, bermakna dasar pertengahan atau moderat yang memang menunjuk pada pengerian adil. 20 Selanjutnya isilah ini digunakan sebagai sesuatu yang berada di pertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Dengan demikian, peran moderasi berari seseorang bersikap dan berbuat yang berada di pertengahan dan idak memihak. Posisi pertengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut idak memihak ke kiri dan ke kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun dan di manapun, termasuk dalam konteks hubungan antarumat beragama. Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspekif agama mereka secara spesiik sehingga memunculkan Kristen- sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat pening. Dikembangkan kesadaran 20 Ibnu Faris, Mu’jam al-Maqâyis i al-Lughah, Beirut : Dar al-Fikr, 1994, h. 869. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata atersebut diarikan dengan suku bangsa, sanak saudara dan segolongan manusia. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, cet. ke-4, h. 454. 28 Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. DIALOG QUR’AN dan BIBEL konstrukif mengenai agama-agama lain. Selain itu, diskusi dan sikap menerima terhadap masyarakat yang pluralisik menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa mendatang. Peran terbuka dan moderat inilah yang tepat ditampilkan oleh para pemuka agama dan tokoh adat sebagai pembimbing umat. Walaupun pemuka agama memiliki fungsi dan tugas pokok sebagai pemimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dan pembina keagamaan masyarakat, namun mereka juga ikut dan terlibat dalam kegiatan acara-acara adat. Demikian pula para tokoh adat meskipun memiliki fungsi dan tugas pokok memimpin kegiatan upacara adat, namun mereka juga ikut dan terlibat dalam kegiatan acara-acara keagamaan. Keikutsertaan dan keterlibatan tokoh adat dalam kegiatan keagamaan selain sebagai anggota masyarakat yang beragama, juga memberikan kata sambutan dan bimbingan kepada masyarakat. Dalam konteks itu terjadi ainitas nilai eika keagamaan dengan nilai-nilai adat isiadat sebagai perekat antarumat beragama.

E. Dialog Agama Di Puncak Esoteris

Sejak abad pertengahan sampai sekarang, studi tentang agama terasa semakin berkembang. Sejak saat ini pula tumbuh kesadaran baru bahwa agama selain merupakan keyakinan dan pedoman hidup untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, juga menjadi objek studi dan peneliian oleh para ilmuwan dan agamawan. Kajian agama-agama idak hanya melalui pengamatan fenomena dengan menggunakan metode empiris yang dirumuskan dalam bentuk evaluaif dan diskripif. Tetapi juga melakukan peneliian esoterik, eksoterik dan inklusif dengan pendekatan perennial untuk mencari iik temu yang hakiki. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru, para ahli dalam berbagai disiplin ilmu menaruh perhaian untuk mengadakan studi terhadap agama, karena mereka mengetahui bahwa agama mempunyai peranan sangat pening dalam kehidupan masyarakat. Bahkan mereka menyadari bahwa tanpa mengetahui kedudukan dan peran agama dalam suatu masyarakat, maka idak mungkin memperoleh gambaran lengkap mengenai mayarakat tersebut. Sejarah mencatat kontak Islam dengan agama-agama lain, bahwa kelompok Islam yang paling toleran, paling simpai, paling terbuka, dan paling ramah terhadap agama-agama lain adalah para sui dan tokoh agama moderat yang berada di puncak esoteris. Oleh karena itu, dalam pembicaraan tentang perjumpaan Islam dengan agama-agama lain ” hubungan atarumat 29 Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. Menyingkap Pesan Suci Merajut Hubungan Antarumat Beragama beragama”, penulis akan menguraikan secara singkat pokok pikiran salah seorang sui terkemuka dalam hal ini yakni Suhrawardi, dan beberapa orang tokoh kontemporer seperi Thaha Husein, Ismail Raji al-Farugi dan Ahmad Deedat. Mereka adalah tokoh dialogis yang paling berhak dan paling pantas untuk diungkapkan. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran dalam upaya membangun budaya damai dalam perbedaan, dan menampilkan sikap tasamuh dalam kehidupan bemasyarakat yang pluralisik di tengah tantangan global. Shihab ad-Din Yahya bin Habasy bin Amarak Abu Futuh Suhrawardi juga dikenal dengan sebutan Syeik al-Isyraq, terutama di kalangan para muridnya. Ia juga populer dengan sebutan Suhrawardi al-Maqtul. Agaknya penamaan ini sengaja disandangkan kepadanya, karena akhir hayatnya dibunuh. Ia dilahirkan pada abad ke-6 H di pedesaan Janizan, bagian utara Iran. Tidak ada yang tahu pasi tanggal kelahirannya. Penulis biograinya yang paling terkenal adalah Syahraruzi. Ia memperkirakan kelahiran Suhrawardi sekitar tahun 545-550 H atau 1166-1171 M. 21 Suhrawardi mengajarkan doktrin kesatuan agama-agama. Yang dimaksud dengan kesatuan agama-agama adalah semua agama pada hakikatnya adalah satu dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu Tuhan Yang Esa. Perbedaan antara agama terletak hanya pada namanya, bentuknya dan cara ibadahnya, bukan pada tujuannya. Perbedan itu idak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada tujuan yang sama esoteris. Agama para penyembah berhala dan agama para penyembah api sama dengan agama para penyembah Tuhan. ’Abd al-Rahman al-Wakil menuduh bahwa para sui beriman kepada kesatuan agama-agama, baik yang berasal dari angan-angan, khayal dan nafsu maupun yang berasal dari apa yang diwahyukan Allah kepada rasul-rasul-Nya. Bagi para sui, iman dan tauhid sama dengan kufur dan syirik dalam Islam dengan petunjuk serta kesuciannya sama dengan agama majusi dengan kesesatan dan kekotorannya. 22 Agama para sui dengan pasi meniadakan azab. Karena Tuhan mereka, menurut agama ini adalah seiap orang musyrik dan seiap orang bertauhid, mustahil bagi Tuhan mengazab dirinya sendiri. Pembicaraan tentang persoalan ini berkenaan dengan pandangan dan sikap para sui sebagai suatu kelompok Islam tentang agama-agama 21 Syahraruzi, Nuzhat al-Arwah wa Raudhat al-Arfah i Tarikh al-Hukama wa al- Falasifah, ed, S. Khursid Ahmad, Kairo, Nahda, 1976, hlm. 119-143 22 Abd al-Rahman al-Wakil, Hadzihi Hiya al-Suiyah, Matba’at al-Sunnah al- Muhammadiyah, Kairo, 1955, hlm. 93