Keragaman itu Anugerah Bukan Bencana
58
Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. DIALOG QUR’AN dan BIBEL
Kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam
rahmat-Nya. dan orang-orang yang zalim idak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan idak pula seorang penolong. QS.42:8.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. QS. 49:13.
Selama ini intoleransi selalu dituduhkan pada Islam. Padahal intoleransi itu tumbuh dari seiap agama, dan bukan persoalan mayoritas dan minoritas.
Kasus di Bali misalnya, ada anggota DPD Bali yang mengatakan bahwa Bali untuk orang Bali, yang lain idak boleh lagi mengamalkan ajaran agamanya,
dan di Bali ada desa dinas dan ada desa adat, arinya desa adat hanya untuk orang Bali. Persepsi parsial itu juga banyak terjadi di luar negeri, seperi di
satu bagian Negara Afrika-Angola, bahwa Islam idak dibenarkan ada di sana, hanya karena idak sesuai dengan kultur dan budaya mayoritas setempat.
Termasuk di Myanmar yang idak mencantumkan etnis Rakhene-Rohingya dalam undang-undang kewarganegaraannya. Hal ini sangat memprihainkan.
Tidak ada Negara seperi Indonesia yang menghargai segala enitas, peribadatan masing-masing agama, saling menghargai, menghormai dan
tetapi rukun damai. Kita opimis bahwa kerukunan di Indonesia tetap terpelihara, soal disana sini ada kekurangan so pasi. Beruntunglah kita
bangsa Indonesia mempunyai Pancasila, yang merupakan suatu pandangan ilosois kebangsaan bersama dan aturan-aturan prakis yang mampu
mewadahi keanekaragaman, sekaligus melindungi keyakinan masing-masing dari intervensi dan kepeningan poliik. Pancasila telah terbuki dan teruji
dapat menyatukan suku, agama, ras dan antargolongan agar kita tetap bersama, mesi idak sama.
Untuk mewujudkan persaudaraan yang sejai atau solidaritas sosial ‘
aṣabiyah dalam pirani integrasi umat beragama, paham pluralis harus disertai keterlibatan akif dalam kehidupan kebersamaan. Pluralitas idak
cukup hanya dengan mengakui dan menghormai keberadaan orang lain yang berbeda etnis, warna kulit, bahasa, maupun agama, tetapi juga harus
disertai kesadaran yang mendalam untuk bersama-sama membangun suatu pergaulan yang dilandasi penghargaan dan penghayatan atas kemajemukan.
26
Semua agama hadir di tengah-tengah manusia dengan tawaran berbagai janji. Janji yang ditawarkan agama kepada manusia adalah untuk
26
Shihab, Islam Inklusif, h. 41-43.
59
Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. Menyingkap Pesan Suci Merajut Hubungan Antarumat Beragama
membangun masyarakat ideal, kehidupan yang lebih baik, beradab, aman, damai dan sejahtera. Konsekuensi dari janji-janji ini adalah semua agama
harus siap diuji oleh mahkamah sejarah. Jika ternyata gagal memenuhi janji-janjinya, dapat dipasikan bahwa agama akan digugat dan diinggalkan
orang. Selain menawarkan janji-janji, agama juga bagaikan kacamata yang dengan orang beriman akan memandang dan menafsirkan dunia sekitarnya
serta mengonstruksi realitas dunia. Sekalipun secara isik idak kelihatan, keyakinan dan paham agama sangat berpengaruh terhadap kehidupan
seseorang ataupun masyarakat. Untuk itulah sedianya para pemuka dan tokoh agama menampilkan ajaran agama yang moderat dan toleranif
terhadap keberbedaan.
Umat beragama diajak untuk memahami bahwa dari segi hakikat penciptaan, manusia idak ada perbedaan. Mereka semuanya sama,
dari asal kejadian yang sama yaitu tanah, dari diri yang satu yakni Adam yang diciptakan dari tanah dan dari padanya diciptakan istrinya. Oleh
karenanya, idak ada kelebihan seorang individu dari individu yang lain, satu golongan atas golongan yang lain, ras atas ras yang lain, seorang tuan
atas pembantunya. Atas dasar itulah, maka idak layak seseorang atau satu golongan membanggakan diri terhadap yang lain atau merendahkan orang
lain.
27
Keragaman pada hakikatnya adalah penerimaan terhadap nilai-nilai bahkan insitusi-insitusi yang diyakini sebagai kebenaran. Kenyataannya
manusia idak lahir dalam ruang yang hampa budaya dan hampa agama, tapi sudah tercipta berbagai keyakinan dan agama dalam bingkai satu
Tuhan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung inggi nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus dihambat oleh
senimen kelompok keagamaan. Jika memang agama diwahyukan untuk manusia, dan bukan manusia untuk agama, maka salah satu ukuran baik-
buruknya sikap hidup beragama adalah menggunakan standard dan kategori kemanusiaan, bukannya ideologi dan senimen kelompok. Hanya dengan cara
demikian misi agama dapat melahirkan integrasi dalam kehidupan manusia yang terus berubah dan berkembang bagi peningkatan martabatnya dan
mengembangkan keteladan hidup keberagamaan yang santun, meningkatkan kesolehan sosial.
27
Ali Nurdin, Quranic Society, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an,
Jakarta : Erlangga, 2006, h. 282-285.
60
Dr. H. Ariinsyah, M.Ag. DIALOG QUR’AN dan BIBEL