Film: Perspektif Praktik Sosial dan Komunikasi Massa

menghibur prajurit Paman Sam Annie Oakly. Dari sini lahirlah indutri perfilman untuk pertama kalinya di dunia. 40 Akan tetapi, Edison memandang film lebih dari suatu pengalaman pribadi daripada pengalaman bersama. Edison lebih tertarik pada usaha menghasilkan sistem tontonan untuk pribadi daripada menciptakan alat untuk ditonton beramai-ramai. Dalam perkembangan selanjutnya berawal dari penemuan Louise dan Auguste Lumiere di Prancis dan Thomas Armat di Amerika Serikat pada tahun 1895. Karya Armat dibeli oleh Edison, sedangkan Lumiere bersaudara mulai memproduksi pada 28 Desember 1895 di ruang bawah Grand Cafe, Boulevard des Capucines nomor 14 di Paris. Kedua bersaudara inilah yang pertama kali mempertunjukkan film yang diproyeksi untuk penonton yang membeli tiket. Peranti atau alat yang disebut sinematograf ini, mereka patenkan pada Maret 1895. 41 Memang, pertunjukan film untuk umum pertama kali dilakukan oleh Edison pada 23 April 1896 di Lpseter dan Bial’s Music Hall, di 34th Street and 6th Avenue, New York. Tetapi seandainya Edison tetap melanjutkan penyelidikannya, tentu hasilnya seperti televisi, sebuah tontonan yang dihayati secara pribadi di rumah-rumah. Tetapi, penemuan Lumiere bersaudara inilah yang meretas jalan ke bioskop. Maka cinematograph ciptaan Lumiere ini dengan cepat menjadi populer dan mengalahkan kinetoskop dan proyektor kinetograph karya Edison. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan dunia international. 42

D. Film: Perspektif Praktik Sosial dan Komunikasi Massa

40 Ibid, hal. 47. 41 Ibid 42 Ibid, hal. 47-48. Persoalan yang segera menghadang ketika hendak menulis tentang teori film adalah belum tuntasnya makna teori film itu sendiri. Meskipun, beberapa buku telah ditulis dengan mencantumkan judul ”teori film”, akan tetapi tidak dengan sendirinya judul tersebut mampu mengurai kekaburan makna teori film. Malah, yang sering terjadi, hal itu semakin menambah daftar persoalan bagi upaya perumusan teori film secara akurat. 43 Tampaknya terdapat perbedaan perspektif yang mendasar di antara para teoritisi dalam memaknai teori film. Sebagian teoritisi–secara normatif–memaknai teori film dalam perspektif estetika formal. Dalam perspektif ini, posisi teoritisi lebih sebagai kritikus daripada sebagai akdemisi yang mengkaji film. Karenanya, perspektif ini melibatkan penilaian-penilaian yang bersifat evaluatif evaluative judgement terhadap aspek estetika film. Film dinilai dalam kerangka baik dan buruk, tanpa menukik ke dalam substansi pesan message film itu sendiri. Akibatnya dari perspektif ini sulit ditemukan acuan-acuan yang setidaknya standar dan bisa diaplikasikan untuk menganalisis film secara umum. Sementara itu, dalam perkembangan teori film belakangan, mulai ada upaya dari beberapa teoritisi untuk mencari perspektif yang lebih mampu menangkap subtansi film. Film tidak lagi dimaknai sebagai karya seni film as art, tetapi lebih sebagai praktik sosial social Practice . 44 Serta sebagai komunikasi massa. 45 Terjadinya pergeseran perspektif ini, paling tidak, telah mengurangi bias normatif dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu mulai meletakkan film secara objektif. Baik perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, sama-sama lebih melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi di dalam 43 Budi Irawanto, Film, Ideologi dan Militer, Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia Yogyakarta: Media Pressindo, 1999, hal. 10. 44 Graeme Turner, Film as Social Practice New York: Routledge, 1993. 45 Garth Jowett and J.M. Linton, Movies as Mass Communication London: Sage Publication, 1980. masyarakat. Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisinya. Bahkan, lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. Sedangkan dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi dan efeknya. Perspektif ini memerlukan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Di samping itu, dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami preferensi penonton yang pada gilirannya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton, dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis. Karena itu, perspektif praktik sosial dan komunikasi massa dipilih dan digunakan sebagai basis dalam kajian ini. E. Film dan Masyarakat: Refleksi atau Representasi?