Film dan Masyarakat: Refleksi atau Representasi?

masyarakat. Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisinya. Bahkan, lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. Sedangkan dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis, yang memahami hakikat, fungsi dan efeknya. Perspektif ini memerlukan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Di samping itu, dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami preferensi penonton yang pada gilirannya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton, dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis. Karena itu, perspektif praktik sosial dan komunikasi massa dipilih dan digunakan sebagai basis dalam kajian ini. E. Film dan Masyarakat: Refleksi atau Representasi? Hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan awal penelitian komunikasi yang selalu berkutat di sekitar kajian tentang dampak media. Selama beberapa dekade, paradigma yang mendominasi penelitian komunikasi tidak jauh beranjak dari ”model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali diperkenalkan oleh Shannon dan Weaver 1949. Komunikan selalu diasumsikan oleh paradigma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh dari media massa. 46 Meskipun pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di perkotaan, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan menjangkau kelas yang lebih luas. Kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, kemudian menyadarkan para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Karena itu, mulai merebaklah studi yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat. Ini bisa dilihat dari sejumlah penelitian film yang mengambil topik seperti: pengaruh film terhadap anak, film dan agresivitas, film dan politik dan seterusnya. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan message dibaliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan pada argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kemudian memproyeksikannya ke layar. Film sebagai refleksi dari masyarakatnya, tampaknya menjadi perspektif yang secara umum lebih mudah disepakati. Sebagaimana dikemukakan Garth Jowett dan J.M. Linton: “It is more generally agree tha t mass media are capable of ‘reflecting’ society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widest possible audience ”. 47 46 Budi Irawanto, Op.Cit, hal. 12; Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Op.Cit. 47 Lihat, Garth Jowett and J.M. Linton, Movies as Mass Communication London: Sage Publication, 1980. Dari pernyataan di atas setidaknya dapat dimaknai bahwa lebih mudah disepakati bahwa media massa mampu “merefleksikan” masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan audiens yang luas. Proposisi dari Jowett dan Linton ini menunjukkan, kepentingan komersial justru menjadi imperatif bagi isi media massa film agar memperhitungkan khalayaknya, sehingga dapat diterima secara luas. Dalam perspektif ini karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual visual public concensus, karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Dengan kata lain, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya. Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat sebagai pandangan yang refleksionis. Yaitu film dilihat sebagai cermin yang memantulkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai dominan dalam kebudayaannya. Bagi Turner, perspektif ini sangat primitif dan mengemukakan metaphor yang tidak memuaskan, karena menyederhanakan proses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan, baik dalam bidang film, prosa, atau bahkan percakapan. Antara film dan masyarakat, sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan, baik bersifat cultural, sub-kultur, industrial serta institusional. 48 Karena itu, bisa dipahami jika Turner, menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat, dimana Turner menyatakan bahwa “Film does not reflect or even record reality; like any other medium of representation it constructs and ‘represent’ it pictures of reality 48 Lihat, Graeme Turner, Op.Cit., hal. 128-129. by way of codes, conventions, myth, and ideologies of its culture as well as by way of the spesific signifiying practices of the medium ”. 49 Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindahkan” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Semantara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaannya. Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi, bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk memperoleh kesenangan di dalam sistem yang menjamin berputarnya kapital. 50 Menurut Claire Johnston, pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxis terletak pada lokus film dalam hubungannya dengan produksi, dibandingkan pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan baik pembuat maupun penonton film. 51 Dalam proposisi yang ekstrem, kajian Marxis tentang film bukanlah terfokus bentuk atau isi tetapi pada beroperasinya film dalam pertautannya dengan subjektivitas proses konstruksi, apapun jenis “pencipta” dan “penikmat” yang dihasilkannya. Dengan kata lain, pentingnya kajian film dalam perspektif Marxian terletak pada cara representasi itu sendiri yang juga tampak sebagai pertanyaan politis. 49 Ibid, hal. 128. 50 Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss, Theories of Human Communication, Eight edition Belmont, CA: Thomson Wadsworth, 2005. 51 Claire Johnston, “British Film Culture” dalam Carl Gardner eds. Media, Politics and Culture London: The Mac Millan Press Ltd, 1979, hal. 85. Bagaimanapun, hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematik. Karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut. 52 Dalam konsteks ini, Turner mengungkapkannya dengan mengatakan bahwa selain film bekerja pada sistem-sistem makna kebudayaan untuk mempengaruhi, mereproduksi atau me- review-nya dimana film juga diproduksi oleh sistem-sistem makna itu. 53 Hal semacam ini dimaknai oleh Antoni Giddens sebagai tradisi budaya dimana sebenarnya tradisi-tradisi budaya film tidak pernah diam, mereka selalu diciptakan kembali oleh generasi-generasi kemudian. 54 Dengan demikian posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu diproduksi. Bagaimanapun, hal ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya. Atau dapat dikatakan pula bahwa melihat sebuah film selayaknya juga ditempatkan pada konteks sosial, politik, dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung. 55 Namun jika melihat film hanya sebagai representasi realitas maka, hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Lumiere bersaudara dimana mereka tidak menciptakan realitas baru, tapi sekadar merekam realitas yang ada. Bagi mereka, film hanyalah sekadar tanggapan bersahaja terhadap realitas. Berbeda dengan Georges Melies, yang memandang bahwa melalui film, kita bisa mewujudkan fantasi-fantasi kita. Yang terkenal adalah Voyage to the Moon 1920. Melies telah merintis film cerita film narasi bagi industri film modern. 56 52 Alkhajar, Op.Cit.; Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Cet. 4 LKiS: Yogyakarta, 2005. 53 Graeme Turner, Op.Cit., 54 Antoni Giddens, The Consequences of Modernity California: Stanford University Press, 1990. 55 Eriyanto, Op.Cit,. 56 Ekky Al-Malaky, Op.Cit, hal. 51.

F. Ekonomi Politik Media Menilik