seseorang. Si peneliti diakui memiliki pengalaman subjektif. Namun, bila pengalaman tersebut juga disepakati beberapa orang, maka pengalaman peneliti bisa dipandang
objektif. Teknik untuk mengukur konfirmabilitas ini dilakukan dengan cara audit kepastian.
Dalam ranah penelitian ini peneliti telah melakukan berbagai upaya pemeriksaan keabsahan data yakni mengupayakan empat terma trustworthiness credibility, transferability,
dependability, confirmability sebagaimana disebut oleh Guba dan Lincoln.
128
Dimana peneliti melakukan perpanjangan keikutsertaan maupun ketekunan dalam observasi selama sekitar 1,5
tahun dengan melakukan berbagai pelacakan terhadap data-data yang relevan dengan penelitian, selanjutnya melakukan berbagai cross references baik melalui dokumen, literatur, maupun
indepth-interview untuk selanjutnya melakukan deskripsi mendalam dalam upaya penulisan
laporan penelitian ini.
G. Alur Penyajian Data
“Data don’t speak for themselves,” demikian kata banyak penulis. Penelitian yang kaya data tidak akan berarti sama sekali jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang
baik. Penulis kualitatif, menurut Gorman dan Clayton yakni melaporkan meaning of the events dari apa yang diamati penulis.
129
Dimana tujuan akhir kualitatif ialah memahami apa yang dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri.
130
Dalam melakukan penelitian dapat dikatakan jarang ada orang yang dengan langsung
128
Lihat, Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln Eds., Handbook of Qualitative Research London: Sage Publication, 1994, hal. 114
129
G.E. Gorman and Pater Clayton, Qualitative Research for the Information Professional, a Practical Handbook London: Library Association Publishing, 1997, hal. 23-24.
130
Gorman and Clayton dalam Septiawan Santana K, Op.Cit, hal. 29.
dapat menuangkan sisi pemikirannya di atas kertas secara terperinci.
131
Dalam konteks ini peneliti menulis laporan sembari mengumpulkan data. Sebagaimana dijelaskan oleh Miles
Huberman.
132
Hal senada juga disampaikan James Spraedly yang mengajukan konsep “strategi maju bertahap”. Disebut “maju” lantaran peneliti menulis sejak awal penelitian; sedangkan
“bertahap” berarti peneliti mengarungi tahap-tahap aktivitasnya sejalan dengan alur analisis yang dilakukannya.
133
Dengan menulis sejak awal, besar kemungkinan peneliti masih teringat konteks dari data yang diperolehnya. Karena perlu diingat bahwa konteks dan situasi yang melingkupi
data sangat berarti bagi laporan studi kualitatif. Penyajian-penyajian yang sering dilakukan pada data kualitatif adalah bentuk teks
naratif cerita menarik. Penyajian jenis ini digunakan untuk menggabungkan banyak informasi data agar tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan dapat diraih, dengan demikian seorang
penulis peneliti dapat melihat apa yang terjadi dengan sistematis.
134
Penyajian data dalam penelitian ini, diawali oleh pemaparan hasil-hasil studi literatur mengenai permasalahan yang diteliti dengan mengungkapkan berbagai macam dimensi yang
melatarbelakanginya. Yakni mengenai masa-masa krisis suram perfilman Indonesia dengan secara kritis dan teliti melihat berbagai dimensi yang melatarbelakanginya.
Untuk selanjutnya, peneliti melakukan pemantapan data melalui lacakan dari pengalaman masa lampau yang dialami maupun penggambaran oleh para pelaku
sejarah perfilman, kritikus, dan pembuat film yang relevan dengan konteks yang permasalahan yang digali dan dilacak.
Sesuai dengan
semangat kualitatif maka rancangan penelitian ini, sebagaimana diungkapkan Yvonna S. Lincoln
131
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat Jakarta: Gramedia, 1981, hal. 394, 399.
132
Matthew B. Miles and A. Michael Huberman, Op.Cit.
133
James Spraedly, Metode Etnografi Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, hal. 55-57.
134
Matthew B. Miles and A. Michael Huberman, Op.Cit, hal. 17-18.
dan Egon Guba, bersifat luwes emergent design, maksudnya agar terbuka dengan kondisi di lapangan serta untuk meningkatkan dinamika penelitian.
135
BAB IV ANALISIS DATA
Tontonan film sudah mulai dipertunjukkan orang di Indonesia tidak lama berselang sesudah teknik “moving pictures” ditemukan orang. Yakni, ketika negeri ini masih merupakan
koloni Kerajaan Belanda.
136
Dalam sejarah perjalanan perfilman Indonesia tentu mengalami lika-liku yang mewarnai segenap tapak langkahnya. Meminjam istilahnya Budi Irawanto, landskap perfilman Indonesia
ibarat belantara luas yang dipenuhi belukar persoalan serta onak masalah. Memasuki landskap itu tanpa menggenggam secarik peta niscaya hanya akan menuai kebingungan atau malahan bisa
tersesat ke wilayah tak bertuan.
137
Dalam penulisan analisis ini pun peneliti memperoleh kesan yang sama dimana peneliti berhadapan dengan timbunan data tentang perfilman Indonesia yang telah difokuskan melalui
peta permasalahan yang diambil peneliti yakni masa-masa suram perfilman Indonesia agar dapat menjadi pegangan dalam melakukan lacakan dan pencandraan dalam penelitian ini.
138
Ternyata memang benar bahwa kegiatan memilah-milah data, menemukan akar persoalan dan menuliskannya lantas tak menjadi perkara gampang. Kemudian kesan lain yang muncul
135
Yvonna S. Lincoln and Egon G. Guba, Op.Cit, hal. 41.
136
Sebagaimana dikutip dari Misbach Yusa Biran, Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia Jakarta: Sinematek Indonesia, 1982, hal. 1.
137
Lihat, Kurnia, Novi, Budi Irawanto dan Rahayu, Menguak Peta Perfilman Nasional Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Bekerjasama dengan Jurusan Fisipol UGM dan Fakultas Film dan
Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2004, hal. vii.
138
Peta permasalahan yang diambil adalah masa-masa suram perfilman Indonesia 1957-1968 dan 1992-2000.